Pages - Menu

Sunday, December 8, 2013

PENANGANAN PERKARA SUAP PILKADA

Penanganan perkara suap : Kiranya dapat dikemukakan bahwa sub sistem yang ada dalam sistem peradilan pidana adalah melibatkan unsur kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Hal ini juga berlaku dalam penangan perkara suap pilkada, Oleh karena itu mekanisme sistem peradilan pidana juga dapat dikatakan sebagai bekerjanya masing-masing unsur tersebut dalam kapasitas dan fungsinya menghadapi dan atau menangani tindak pidana suap pilkada yang terjadi. Dengan demikian tentunya dapat dipahami bahwa bekerjanya sistem peradilan pidana dimulai ketika adanya informasi-informasi yang diterima oleh aparat Kepolisian baik melalui laporan, pengaduan, tertangkap tangan atau dilihat sendiri oleh penyidik tentang adanya dugaan kuat akan, sedang atau telah terjadi adanya tindak pidana suap pilkada, yang diformulasikan dalam pentahapan sebagai berikut: 

1. tahap pertama 
Proses penyelesaian perkara pidana dimulai dengan suatu penyelidikan yang dilakukan oleh Penyelidik. Jika hasil penyelidikan menunjukan adanya dugaan keras tentang terjadi adanya tindak pidana selanjutnya diteruskan dengan penyidikan oleh aparat Penyidik. Dari semua rangkaian tindakan penyelidikan ataupun penyidikan tersebut sebagaimana diamanatkan menurut ketentuan Pasal 75 KUHAP masing-masing harus dibuatkan berita acaranya, misalnya : Berita Acara Pemeriksaan (BAP) tersangka, Berita Acara Penangkapan, Berita Acara Penahanan, Berita Acara Penggeladahan, Berita Acara Penyitaan dan lain sebagainya.

Setelah selesai membuat masing-masing berita acara, kemudian berita acara tersebut disatukan dalam satu berkas dan diserahkannya berkas tersebut kepada Penuntut Umum tanpa disertai dengan barang bukti atau tersangkanya (vide Pasal 8 ayat (3) huruf a KUHAP). Sedangkan Tersangka dan barang bukti dalam suatu perkara pidana itu baru kemudian diserahkan kepada Penuntut Umum yaitu setelah penyidikan dianggap selesai (Vide Pasal 8 ayat (3) huruf b KUHAP). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa bekerjannya sub sistem kepolisian dalam kapasitas fungsinya sebagai Penyidik berakhir sampai dilakukanya penyerahan tanggung jawab atas tersangka dan barang buktinya kepada Penuntut Umum. 

2. Tahap Kedua
Bekerjanya sub sistem Kejaksaan dimulai setelah menerima penyerahan tanggung jawab atas Tersangka dan barang bukti dari sub Kepolisian. Berdasarkan berkas perkara pemeriksaan dari sub Kepolisian sub Kejaksaan melalui organ Penuntut Umum terlebih dahulu melakukan pemeriksaan. Selanjutnya selama waktu yang telah ditentukan jika ternyata ada kekurangan pada penyidikan, maka Penuntut Umum memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan melalui lembaga prapenuntutan (Vide Pasal 110 ayat (3) jo. Pasal 138 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP). 

Istilah Prapenuntutan dalam KUHAP tercantum dalam Pasal 14 tentang wewenang penuntutan pada butir b yang berbunyi: 

“mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan memberikan petunjuk dalam rangka penyempurnaan Penyidik”. 

Sedangkan apa yang dimaksud dengan istilah Prapenuntutan ialah tindakan Penuntut Umum untuk memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan oleh penyidik. Setelah Jaksa Penuntut Umum menganggap selesai prapenuntutan dan berkas perkara dinyatakan telah lengkap, Penuntut Umum membuat surat dakwaan yang bahan-bahannya dirumuskan dari berkas-berkas perkara yang telah diajukan oleh penyidik untuk kemudian dilanjutkan penuntutan (Vide Pasal 1 angka 7 KUHAP). 

Berbicara tentang surat dakwaan adalah penting artinya bagi Penuntut Umum, hal ini dapat dihayati dari tujuan utama pembuatan surat dakwaan itu sendiri yaitu untuk menentukan batas-batas pemeriksaan di sidang Pengadilan yang menajdi dasar dari Penuntut Umum melakukan penuntutan terhadap pelaku kejahatan. Sehingga dapat dikatakan bahwa surat dakwaan merupakan dasar ketentuan acara dimuka Pengadilan. 

3. Tahap Ketiga
Bekerjanya sub sistem Pengadilan berupa pemeriksaan perkara di muka Pengadilan, yang diawali dengan menerima pelimpahan perkara dari Penuntut Umum yang kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan terdakwa, saksi serta kebenaran alat bukti yang ada diakhiri dengan memutus perkara pidana. Ketentuan ini didasarkan Pasal 147 KUHAP yang berbunyi : 

“setelah Pengadilan Negeri menerima surat pelimpahan dari Penuntut Umum, Ketua mempelajari apakah perkara itu termasuk wewenang Pengadilan yang dipimpinnya”. 

Atas dasar hal itu apabila Ketua Pengadilan berpendapat bahwa perkara yang dilimpahkan oleh Penuntut Umum kepadanya termasuk dalam wewenangnya, maka Ketua Pengadilan menunjuk Hakim yang akan menyidangkan (Vide Pasal 152 ayat (1) KUHAP). 

Selanjutnya Hakim yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan untuk menyidangkan perkara (khususnya dalam acara biasa), menentukan hari sidang dengan diikuti pemanggilan terhadap Terdakwa dan saksi-saksi melalui Penuntut Umum untuk didengar dalam sidang Pengadilan. Tahap berikutnya dalam persidangan diawali dengan membuka sidang, sesuai asas pemeriksaan terbuka untuk umum, sehingga kaena jabatannya Hakim membuka sidang diteruskan dengan pemeriksaan identitas Terdakwa, dengan dilanjutkan pembacaan surat dakwaan oleh Penuntut Umum. 

Setelah selesai dilakukan pembacaan surat dakwaan ada kemungkinan terdakwa dan/atau bersama dengan penasehat hukumnya mengajukan eksepsi. Jika eksepsi ditolak (pada umumnya dalam praktek demikian) maka dilanjutkan tahap pembuktian terhadap terdakwa, para saksi, dan alat-alat bukti. Selesai pembuktian, jika terdakwa ternyata terbukti maka langkah berikutnya ketua majelis memberikan kesempatan kepada Penuntut Umum untuk mengajukan tuntutan pidana atau requisitoir. Kemudian jika hal ini ditanggapi oleh Terdakwa atau penasehat hukumnya maka diajukan pembelaan/pledoi.

Dalam hal mengajukan pledoi di dalam KUHAP diatur dalam Pasal 182 ayat (1) huruf b yang berbunyi: 

“Selanjutnya Terdakwa dan atau penasehat hukumnya mengajukan pembelaan yang dapat dijawab oleh Penuntut Umum . . . “. 

Sedangkan dalam penjelasan Pasal tertulis “cukup jelas”, berarti KUHAP tidak menjelaskan cara pengajuan pledoi. Untuk hal ini dapat kita cermati dalam Keputusan Menteri Kehakiman Nomor : M.01.PW.07.03 Tahun 1982 tanggal 4 Februari 1982, Bidang Penuntutan, Bab III : Pemeriksaan di sidang Pengadilan, menjelaskan: 

“sehubungan dengan itu apabila Hakim ketua menyatakan pemeriksaan telah selesai, tuntutan pidana tertulis dibacakan Penuntut Umum, demikian juga jawaban atas pembelaan Terdakwa atau penasehat hukumnya dan setelah dibacakan diserahkan kepada Hakim Ketua sidang dan turunannya diserahkan kepada pihak yang berkepentingan”. 

Dengan demikian jelas bahwa “pledoi” dibuat tertulis dan dibacakan dalam sidang. Sebagian jawaban atas Pledoi ini selanjutnya Penuntut Umum menanggapi dengan mengajukan Replik, sebaliknya Terdakwa atau penasehat hukumnya mengajukan duplik. Istilah “Replik” dalam kamus bahasa Indonesia diartikan jawaban Penuntut Umum atas tangkisan Terdakwa atau penasehat hukumnya. Sedangkan istilah “Duplik” diartikan jawaban kedua sebagai jawaban atas Replik.

Selesainya Replik dan Duplik, keseluruhan proses pemeriksaan di akhiri dengan pengambilan keputusan oleh Hakim Ketua/Majelis Hakim dengan berpedoman sebagaimana dimaksud menurut Pasal 197 KUHAP. Sebagai konsekwensinya apabila tidak dipenuhinya ketentuan tersebut maka putusan batal demi hukum. Sehingga dengan dijatuhkannya putusan terhadap Terdakwa (tanpa pula melepaskan kontrol atas putusan Pengadilan tersebut oleh Hakim yang menanggani jalannya persidangan) berarti berakhirlah bekerjannya subsistem Pengadilan. 

4. Tahap Keempat 
Bekerjanya sub sistem Lembaga Pemasyarakatan diartikan sebagai proses sejak seseorang Nara Pidana atau Anak Didik masuk ke Lembaga Pemasyarakatan sampai lepas kembali (menjalankan pemidanaan) dengan didasarkan konsep resosialisasi, yaitu : memasyarakatkan kembali Nara Pidana sehingga menjadi warga negara yang baik dan berguna. Setelah dikeluarkannya terpidana dari tahanan berarti mengakhiri pula secara keseluruhan bekerjanya sub sistem peradilan pidana. 

Sejalan dengan itu Muladi dan Barda Nawawi berpendapat bahwa mengenai tahapan-tahapan pidana dalam sistem peradilan pidana tersebut di atas sangat berkaitan erat dengan masalah pemidanaan, dan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam mekanisme penegakan hukum di Indonesia. Hal ini disebabkan karena dalam sistem peradilan pidana (criminal justice sistem), masalah-masalah pemidanaan tersebut menempati posisi sentral, dengan alasan bahwa putusan di dalam pemidanaan akan mempunyai konsekwensi yang sangat luas baik yang mencakup pelaku pidana maupun masyarakat secara luas. 

Selanjutnya jika dilihat dari mekanisme penegakan hukum, maka pemidanaan atau pemberian pidana tidak lain sebagai suatu proses kebijakan yang sengaja direncanakan. Artinya, supaya pemberian pidana itu dapat benar-benar terwujud dengan sebaik-baiknya. Dengan demikian dilihat sebagai suatu proses mekanisme penegakan hukum, maka keempat tahapan pidana itu diharapkan menjadi suatu jalinan mata rantai yang saling berkaitan dalam suatu kebulatan sistem terhadap sistem pemeriksaan perkara pidana, oleh karena itu penyidikan mempunyai peranan yang sangat besar sebelum masuk pada tahapan-tahapan pidana tersebut di atas, yaitu sebagai awal dimulainya tahapa-tahapan pidana dalam sistem pemeriksaan perkara pidana.

No comments:

Post a Comment