Pages - Menu

Sunday, January 12, 2014

Analisis Daya Dukung Wilayah Pedesaan

Analisis Daya Dukung Wilayah Pedesaan : Konsep daya dukung lingkungan meliputi tiga faktor utama, yaitu : kegiatan/aktivitas manusia, sumberdaya alam dan lingkungan. Kualitas lingkungan dapat terjaga dan terpelihara dengan baik apabila manusia mengelola daya dukung pada batas antara minimum dan optimim. Daya dukung kualitas yang dikelola antara 30 % - 70 % memberikan kualitas yang cukup baik. Angka ini diperoleh berdasarkan konsep tata ruang arsitektur bangunan yang harus memperhitungkan “arsitektur alam” antara 1/3 - 2/3 dari seluruh ruang yang dirubah/dikelola manusia harus dikelola untuk berkembang secara alami (Zoer’aini, 1997). Batas ini dianggap baik karena jika penggunaan sumberdaya alam melebihi 70 % sampai 100 % akan berdampak pada menurunnya kualitas lingkungan dan keadaan akan menjadi semakin buruk. Dalam hal ini perhitungan didasarkan pada besarnya luasan penggunaan lahan (Soerjani, 1987 : 10 – 12).

Dalam menerapkan konsep daya dukung lingkungan perlu dilakukan analisis mengenai daya dukung yang membandingkan kebutuhan antara tata guna lahan dengan lingkungan alam atau sistem lingkungan buatan. Hal ini bertujuan untuk mempelajari dampak dari pertumbuhan penduduk dan sistim pembangunan kota, sistim fasilitas umum, dan pengamatan lingkungan. Daya dukung lingkungan terkait dengan kapasitas ambang batas sebagai dasar untuk membatasi rekomendasi pertumbuhan. Prosedur analisis daya dukung lingkungan meliputi : melihat faktor pembatas/ambang batas atau mengidentifikasikan kualitas lingkungan dan geografi. Sedangkan variabel pokok yang harus diketahui dalam analisis daya dukung lingkungan adalah potensi lahan dan jumlah penduduk (Kaiser, 1995).

Pesatnya perkembangan di sektor industri dan pemukiman berdampak pada berkurangnya lahan–lahan yang subur sehingga pembangunan pertanian khususnya pelestarian swasembada pangan menghadapi tantangan yang cukup berat, terutama terhadap ketersedian sumberdaya lahan. Tantangan tersebut dapat kita lihat puluhan ribu hektar lahan pertanian yang produktif setiap tahun beralih fungsi menjadi sektor non pertanian. Masalah lahan lebih nyata terlihat di daerah perdesaan karena kurang lebih 80 persen penduduk tinggal di perdesaan, dengan sumber mata pencaharian utama di bidang pertanian. Dengan demikian di perdesaan sangat potensil terjadi konflik sosial atau fisik masalah lahan . 

Konversi lahan pertanian yang semakin meningkat akhir-akhir ini merupakan salah satu ancaman terhadap keberlanjutan pertanian dipedesaan. Salah satu pemicu alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan lain adalah rendahnya isentif bagi petani dalam berusaha tani dan tingkat keuntungan berusahatani relatif rendah. Selain itu, usaha pertanian dihadapkan pada berbagai masalah yang sulit diprediksi dan mahalnya biaya pengendalian seperti cuaca, hama dan penyakit, tidak tersedianya sarana produksi dan pemasaran. Alih fungsi lahan banyak terjadi justru pada lahan pertanian yang mempunyai produktivitas tinggi menjadi lahan non-pertanian. Dilaporkan dalam periode tahun 1981-1999, sekitar 30% (sekitar satu juta ha) lahan sawah di pulau Jawa, dan sekitar 17% (0,6 juta ha) di luar pulau Jawa telah menyusut dan beralih ke non-pertanian, terutama ke areal industri dan perumahan.

Banyak areal lumbung beras nasional kita yang beralih guna seperti dipantura dan seperti pusat pembangunan di dalam pinggir perkotaan. Daerah pertanian ini umumnya sudah dilengkapi dengan infrastruktur pengairan sehingga berproduksi tinggi. Alih guna lahan sawah ke areal pemukiman dan industri sangat berpengaruh pada ketersedian lahan pertanian, dan ketersediaan pangan serta fungsi lainnya. 

Pembangunan nasional yang mengedepankan pertumbuhan ekonomi mengabaikan pemerataan dan menjadikan pendekatan keamanan (stabilitas politik) sebagai pengawalnya telah menggerakkan ekonomi nasional. Namun gagal menjadikan gerak ekonomi nasional tersebut sebagai pendorong laju perkembangan desa. Beberapa masalah yang merupakan hasil dari suatu proses pembangunan yaitu 1) Kemiskinan, dari tahun ke tahun jumlah penduduk miskin terus bertambah, 2) Kesenjangan, kesenjangan yang terjadi merupakan cermin bias dari pembangunan yang lebih mengarah ke kota. 

Daya dukung lahan dihitung dari kebutuhan lahan per kapita. Daya dukung lahan dapat diketahui melalui perhitungan daya tampung lahan. Nilai yang didapat dari hasil perhitungan daya tampung dapat digunakan sebagai acuan untuk mengetahui kawasan mana saja yang berada pada kondisi ambang batas yang masih dapat dimanfaatkan.

Daya dukung lahan berdasarkan daya tampung, dihitung dengan menggunakan variabel luasan fungsi lahan dibagi dengan jumlah penduduk eksisting, dengan rumus sebagai berikut :

A = L / P

A = Daya dukung lahan

L = Luas Lahan (ha)

P = Populasi Penduduk (jiwa)

Apabila nilai daya dukung lahan tersebut melebihi nilai yang ditentukan maka dikatakan populasi penduduk pada wilayah tersebut sudah melebihi daya dukung lingkungannya (di luar ambang batas). Nilai daya dukung lahan yang ditunjukkan dengan konsumsi lahan per kapita untuk berbagai ukuran populasi kota menurut Yeates et al (1980) sebagai berikut :

Tabel  Konsumsi Lahan Per Kapita
No.
Populasi Penduduk (jiwa)
Konsumsi lahan (ha/jiwa)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
10.000
25.000
50.000
100.000
250.000
500.000
1.000.000
2.000.000
0,100
0,091
0,086
0,076
0,070
0,066
0,061
0,057
Sumber : Yeates et al, 1980

Tabel ini menunjukkan bahwa ukuran penggunaan lahan di wilayah perkotaan untuk ukuran jumlah populasi penduduk tertentu membutuhkan konsumsi lahan dengan luasan tertentu. Semakin besar jumlah penduduk kota maka semakin kecil konsumsi lahan per ha per kapitanya.

Hubungan antara manusia dengan lingkungan fisik dapat mencerminkan daya dukung lingkungan, sejumlah ahli biologi mendefinisikan daya dukung lingkungan sebagai jumlah populasi dari mahluk yang dapat didukung oleh tempat hidup (habitat). Kormody (1969) dalam Hadi (2001 : 11) menyebutkan bahwa populasi seharusnya selalu berada pada titik keseimbangan di mana lingkungan dapat mendukung. Batas di antara titik keseimbangan tersebut yang dinamakan daya dukung lingkungan. Menurut Soemarwoto (1985 dan 1990) dalam Hadi (2001 : 12) menjelaskan bahwa semakin tinggi tingkat kepadatan penduduk semakin tinggi pula tingkat permintaan terhadap lahan. Jika ketersediaan lahan tidak mencukupi maka respon yang muncul di antaranya adalah membuka hutan dan menanami daerah rawan erosi, dan hal yang demikian ini menunjukkan kondisi lapar lahan.

No comments:

Post a Comment