Pages - Menu

Tuesday, January 14, 2014

ESTETIKA DALAM KAKAWIN JAWA KUNA

ESTETIKA DALAM KAKAWIN JAWA KUNA : Seperti dalam sastra Melayu, estetik dalam kakawin Jawa Kuno hanya bisa dirumuskan berdasarkan ucapan-ucapan sang kawi, yang terdapat dalam kakawin, khususnya dalam manggala dan penutup. Tidak terdapat teks khusus mengenai teori keindahan dan poetika. Pokok2 estetis dalam kakawin Jawa Kuna dapat dirumuskan sebagai berikut :

Sang kawi memulai karyanya dengan menyembah dewa pilihannya (istadewata), yang dipujanya sebagai dewa keindahan. Bagi sang kawi dewa itu baik menjadi asal dan tujuan segala yang indah, maupun menjelma di dalam segala sesuatu yang indah (lango). Sang kawi mohon pertolongan dewa jujaannya dengan mempersatukan diri dengannya (dewasraya). 

Persatuan dengan dewa keindahan itu merupakan sarana dan tujuan. Sarana: persatuan itu membuat sang kawi "bertunas keindahan" (alung lango); dengan begitu ia berhasil menciptakan karya keindahan (kalangwan), yakni kakawin. Tujuan: dengan persatuan dengan dewa keindahan serta penciptaan karya keindahan itu sang kawi berharap akan mencapai kelepasan (moksa). Kakawin menjadi candi, tempat semayam dewa keindahan, dan silunglung, bekal kematian sang kawi. Persatuan dengan dewa keindahan dan penciptaan kakawin merupakan yoga yang khas bagi sang kawi, yakni yoga keindahan dan yoga sastra. Dewa keindahan, sebagai Yang Mutlak dalam alam niskala, berkat samadi sang kawi, berkenan turun dan bersemayam di dalam sakala-niskala, yakin jiwa atau hati sang kawi (jnana, hidep, tutur). 

Keadaan itu membuat sang kawi dapat berhubungan dengan dewa yang nampak dalam alam sakala, dalam Segala sesuatu yang indah. Dengan menyadari kesatuannya dengan dewa di dalam aneka ragam pernyataannya itu, sang kawi pun menyadari kesatuannya dengan dewa di alam niskala, yang menjadi tujuan akhir dari yoga.

Untuk menemukan dewa keindahan, yang menjelma dalam alam sakala itu, sang kawi mengembara, menjelajah gunung (awukiran) dan pantai, hutan dan petirtaan (atirtha), sambil berlaku tapa (abrata). Sang kawi rindu akan keindahan alam dan ingin menjelmakannya dalam kakawin. Alam pun rindu untuk ditangkap keindahannya oleh sang kawi dan dijelmakan dalam kakawin. 

Keindahan yang ditemukan oleh sang kawi dalam alam juga terbayang di mana-mana, khususnya dalam pertempuran, kecantikan wanita dan percintaan. Pertempuran kerap kali dilukiskan dengan gambaran2 dari alam. Begitu pula kecantikan wanita. Bahkan wanita yang sangat cantik dikatakan: kecantikannya melebihi keindahan alam. Berhadapan dengan wanita dalam percintaan menimblkan rasa, seperti yang dialami, bila orang berhadapan dengan keindahan alam dan terlibat dalam pertempuran. 

Alam dan manusia menyatu dalam keindahan. Berhadapan dengan alam, yang begitu menarik dan "mempeseona" (alango), sang kawi, pencinta keindahan (mango), "terpesona (alango), terserap seluruhnya dan tenggelam dalam obyek yang dipandangnya (lengeng, lengleng), hingga segala sesuatu yang lain lenyap dan terlupakan. Semua kegiatan budi berhenti. Persepsi obyek sendiri menjadi samar-samar dan dalam pengalaman kesatuan, yang mengaburkan pemisahan subjek dengan obyek itu, kesadaran diri pun lenyap pula. Itulah pengalaman ekstatis, yang merangkum pengalaman estetis dan mistis/religius. 

Pengalaman estetis sang kawi itu bukan melulu ketertengggelaman dalam keindahan alam, yang sensual dan fenomental belaka, belainkan ketertenggalaman dalam Yang Mutlak, di mana sang kawi mengatasi segala macam nafsu dan godaan. Diterapkan dalam hubungan kakawin dengan pembaca atau pendengarnya, dapat dikatakan, bahwa kakawin menimbulkan pada pembaca atau pendengarnya pengalaman sang kawi itu: tenggelam dalam alam fenomenal, tembus sampai ke hakekatnya, bertemu dengan "Sang Keindahan" sendiri. 

Berdasarkan pokok2 estetik di atas, dapat dikatakan bahwa istilah lango, lengeng, lengleng merupakan konsep sentral dalam estetik pada kawi. Aspek2nya dapat dirumuskan sebagai berikut:

Aspek Ontologis dari lango memiliki 3 taraf:
Taraf imaterial/transenden: dewa, "Sang Keindahan", sebagai Yang Mutlak (alam niskala). 

Taraf imaterial-material/transenden-imanen: dewa, "Sang Keindahan", yang bersemayam dalam hati sang kawi dan dipuja dalam samadi (alam sakala-niskala).

Taraf material/imanen: dewa "Sang Keindahan" yang menjelama dalam segala sesuatu yang nampak, terindera dan dijelmakan kembali oleh sang kawi dalam kakawin (alam sakala).

Sesuai dengan aspek ontologis itu, aspek psikologis dari lango, yang sekaligus juga merupakan aspek religius -seperti dalam yoga - memuat tiga tahap:

Tahap konsentrasi (dhyana): jiwa sang kawi terpusat pada obyek (alam fenomenal). Tahap meditasi (dharana): jiwa sang kawi terpenuhi "bayangan" dewa, sehingga aneka ragam rupa obyek lenyap.

Tahap unifikasi (samadhi): kesadaran diri lenyap, sang kawi tenggelam dalam persatuan dengan Yang Mutlak. Aspek psikologis lango pada sang kawi itu mutatis mutandis juga merupakan aspek psikologis pada pembaca atau pendengar, bila berhadapan dengan obyek, kalangwan, 'karya keindahan', yakni kakawin.

Mengingat aspek ontologis dan psikologis-religius itu, dapat dikatakan, bahwa dalam kakawin fungsi estetis berpadu dengan fungsi religius. Dengan demikian dapat dipahami, bahwa kerap kali dalam kakawin terdapat bagian-bagian, yang memuat ajaran etis-religius (niti, tutur).Mengingat aspek2 itu pula, nampaklah bahwa dalam estetik para kawi termuat ciri2 idealis dan materialis. 

Dari uraian di atas nampaklah bahwa ada persamaan dan perbedaan dalam estetik sastra Melayu Klasik dan kakawin Jawa Kuna. Namun demikian, yang diutarakan dalam tulisan ini berulah pokok2-nya saja. Perumusan teoritis beserta dengan segala nuansanya masih perlu dikerjakan. Jika bahasa itu terungkap dalam tulisan yang bermakna, berbobot, mengesankan, maka kita masuk ke dalam dunia sastra. Jadi sastra pada dasar filsafahnya adalah primer: suatu pewahyaan ada (en offenbar werden des Seins). Dan baru secara sekunder atau tersier berciri pewahyaan secara indah, menarik, kolosal, penuh hikmah, simbolisasi, impresionistik, surrealistik, magis-realistik, absurd, mitologis, religius (Y.B. Mangunwijaya, dan Basis, Januari 1986, XXXV, 1, berjudul Sastra dan Bentuk Hidup).

No comments:

Post a Comment