Pages - Menu

Wednesday, January 15, 2014

INTEGRITAS SEKTOR PUBLIK

INTEGRITAS SEKTOR PUBLIK:  Latar Belakang : Pada satu pihak, kondisi Indonesia sekarang dapat digambarkan sebagai suatu negara yang sudah merdeka selama 63 tahun, dan telah mencapai beberapa keberhasilan, seperti sistem pemerintahan yang lebih demokratis dimana partai politik sudah bebas dari kontrol pemerintah. Disamping itu, kesempatan memperoleh pendidikan lebih merata dan kesejahteraan masyarakat lebih baik seperti yang terlihat dari income per capita yang lebih tinggi.

Di lain pihak, banyak indikasi tentang terjadinya kemunduran dalam berbagai bidang, seperti, kemiskinan dan kesenjangan sosial yang semakin parah, mutu pendidikan yang merosot, korupsi yang masih merajalela meskipun upaya pemberantasan korupsi sudah berhasil menyeret sejumlah pejabat pemerintah pusat dan daerah ke pengadilan. Disamping itu, telah terjadi kerusakan lingkungan hidup yang cukup parah, dan sebagai akibatnya telah terjadi banyak bencana seperti banjir, tanah longsor, kekeringan dan kebakaran hutan. Ketenangan masyarakat terganggu karena banyak terjadi tindakan kejahatan, unjuk rasa yang sering diikuti oleh tindakan anarkhis. Keadaan ini bertambah parah karena di berbagai daerah masih sering muncul protes dan demonstrasi yang menuntut pemekaran daerah dan malahan ada indikasi bahwa semangat nasionalisme menjadi pudar.

Kalau disimak lebih cermat, disamping telah terjadi perubahan yang mudah terdeteksi, ada beberapa perubahan yang sulit diketahui (intangible) misalnya, ada gejala kemerosotan moral, integritas dan kejujuran di kalangan pejabat publik. Banyak pejabat yang memberi janji-janji kepada rakyat tanpa merasa harus memenuhi janji tersebut. Dengan perkataan lain, ada gejala ketidak sinkronan antara perkataan dan perbuatan; antara laporan (pertanggung jawaban) dengan fakta yang sebenarnya; adanya sikap yang sangat mementingkan pertanggung jawaban formal (rule driven) dari pada mengungkapkan kebenaran materiil. Tulisan ini membahas integritas sektor publik, apa faktor-faktor yang mempengaruhinya, apa implikasi dan dampaknya terhadap masyarakat, serta apa upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah integritas tersebut. 

Salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku sektor publik adalah pola pikir yang dominan dalam masyarakat terutama dikalangan elite adalah pola pikir yang linear, dari atas ke bawah, hanya mementingkan perencanaan, implementasi, dan output. Tidak ada evaluasi terhadap kegiatan atau program pemerintah, sehingga tidak ada mekanisme umpan balik yang sistematis. Dengan perkataan lain, tidak adanya mekanisme siklus administrasi publik yang efektif menyebabkan terhambatnya pembelajaran yang berbasis pengalaman.

Ilustrasi tentang perubahan semenjak kemerdekaan Indonesia tersebut diatas mencerminkan keanekaragaan dan dinamika masyarakat. Pola dinamika ini berulang tanpa arah yang jelas maka terjadilah lingkaran setan (vicious circle) sehingga tidak terjadi perubahan yang berarti, seolah-olah hanya berjalan di tempat. Majalah ”Time” edisi 12 September 2008 mempertanyakan keadaan yang dihadapi Indonesia sekarang:

The country has all ingredients for success: a stable democracy, a wealth of natural resources and a large consumer market. But Indonesia is not keeping pace with Asia’s booming economies.

Apa yang menyebakan Indonesia terjebak dalam lingkaran setan keterpurukkan? Apa yang menyebabkan rendahnya integritas sektor publik? Berikut ini adalah beberapa faktor yang saling terkait yang dapat mempengaruhi perkembangan suatu bangsa dan negara, yaitu faktor-faktor sumber daya manusia dan pendidikan nasional, administrasi publik, dan gejala globalisasi telah menambah kompleksnya permasalahan yang dihadapi Indonesia

Kondisi Sumber Daya Manusia dan Pendidikan Nasional
Upaya pembangunan sumber daya manusia telah berhasil dalam beberapa hal seperti pada periode 1960 – 1999: angka kematian bayi menurun dari 159 menjadi 45 perseribu kelahiran hidup; angka buta huruf penduduk usia dewasa menurun dari 61% menjadi 12%; dan angka harapan hidup naik dari 41 tahun menjadi 66.2 tahun Tetapi menurut Indeks Prestasi Manusia (IPM) yang telah disesuaikan agar mampu mengukur dampak krisis moneter 1998, ternyata telah terjadi penurunan IPM dari 1966 (0.690) menjadi 1999 (0.643). Dilain pihak, data statistik tahun 1999 menunjukan masih buruknya beberapa indikator pembangunan manusia Indonesia, misalnya: penduduk tanpa akses terhadap air bersih masih tinggi yaitu 51.9%; balita kurang gizi 30.0%; sedangkan penduduk tanpa akses terhadap sarana kesehatan meningkat dari 14.0% (tahun 1990) menjadi 21.6% (tahun 1999).(BPS-Bappenas-UNDP.2001:5-15).

Hasil pembangunan dalam bidang pendidikan masih jauh dari harapan. Meskipun Indonesia berhasil dalam mengurangi angka buta huruf, tetapi belum berhasil dalam menyediakan pendidikan yang bermutu bagi semua orang. Malahan ada indikasi terjadinya penurunan kualitas pendidikan nasional. Misalnya, pada tahun 1960an angka batas minimum kelulusan ujian negara untuk Sekolah Menengah Atas (SMA) adalah 6.0 dan tidak menjadi masalah karena kebanyakan siswa berhasil lulus. Sekarang pada tahun 2006 dengan angka batas minimum kelulusan hanya 4.25, ternyata banyak sekali siswa yang tidak lulus. Begitu juga mutu pendidikan tinggi di Indonesia ternyata belum memuaskan, seperti tercermin dari rangking universitas dunia yang dibuat oleh Times Higher Education Supplement tahun 2007 (pp.1-4), ternyata rangking universitas terbaik di Indonesia berada jauh dibawah rangking universitas yang terbaik di negara-negara di kawasan Asia Tenggara dan Timur. Misalnya, Tokyo University pada rangking 16, University of Hongkong pada rangking 18, National University of Singapore pada rangking 33, Peking University, pada rangking 36, sedangkan universitas dalam negeri yang terbaik adalah Universitas Gajah Mada yang berada pada rangking 360, Institut Teknologi Bandung pada rangking 369, sedangkan Universitas Indonesia pada rangking 395 (pada hal tahun 2006 berada pada posisi 250). Tahun 2008 Universitas Indonesia peringkatnya naik lagi menjadi 287. Keadaan ini merupakan indikasi bahwa potensi sumber daya manusia Indonesia belum mampu dikembangkan menjadi able people sebagai unsur utama dalam pembangunan di semua bidang kehidupan.

Kondisi Administrasi Publik
Banyak keluhan terhadap kenerja administrasi publik Indonesia karena korup, pelayanan yang berbelit-belit sehingga tidak memuaskan masyarakat. Kepegawaian negeri yang belum sepenuhnya berdasarkan merit system, seperti belum adanya penerencanaan pegawai negeri berdasarkan prinsip-prinsip manajemen sumber daya manusia yang modern. Sebagaian besar rekrutmen dan seleksi belum dilakukan secara terbuka dengan ujian saringan yang objektif, sebagian besar rekrutmen terbatas pada pegawai honorer yang sebelumnya diterima melalui proses yang tertutup dan sarat dengan KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme). Selanjutnya, pengembangan karir belum terencana dengan baik, masih dipengaruhi oleh hubungan yang bersifat patrimonial, serta belum adanya sistem manajemen kinerja yang terintegrasi dengan fungsi manajemen kepegawaian negeri yang lain. Disamping itu, kesejahteraan pegawai negeri juga masih dan jauh dari tingkat yang wajar. Sebagai akibatnya, disiplin pegawai negeri masih rendah dan produtivitas kerja juga rendah. Buruknya kondisi kepegawaian negeri Indonesia menyebabkan kurangnya minat para lulusan yang terbaik dari perguruan tinggi di Indonesia untuk menjadi pegawai negeri.

Meskipun sudah ada petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk pelaksanaan teknis (juknis) untuk semua kegiatan instansi pemerintahan tetapi realitas di lapangan masih jauh dari keadaan yang ideal. Praktek yang lazim dilakukan adalah secara formal mematuhi semua peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik yang menyangkut jadual dan dokumentasi pendukung maupun laporan pertanggung jawaban, tetapi dalam realitas terjadi penyimpangan yang signifikan. Misalnya pertanggung jawaban kegiatan sudah dibuat sebelum kegiatan dilakukan, sedangkan pelaksanaannya dilakukan belakangan (kemudian). Apabila terjadi penyimpangan dalam pelaksanaan, biasanya tidak terdeteksi oleh lembaga pengawas karena fokus pemeriksanaan pada pertangggung jababan formal yang sudah sudah dilakukan sebelumnya. 

Menurut laporan Indonesian Corruption Watch ternyata instansi pemerintah dalam penegakkan hukum, pemberian izin, perpajakan dan bea cukai, DPR, DPRD termasuk yang paling rawan terhadap praktek KKN. Posisi Indonesia pada tahun 2007 berdasarkan Corruption Perception Index yang dipublikasikan oleh Transparency International adalah no. 143 dari 179 negara yang dinilai, yaitu dengan skor 2.3 ( dalam skala 0 yang paling jelek sampai 10 yang paling baik). Berikut ini adalah cuplikan laporan Transparency International (2007:1-7):

Cuplikan Sejumlah Negara Menurut CPI Score Tahun 2007

No.
Negara
CPI Score
1
Denmark, Finland, dan New Zealand
9.4
2
Singapore dan Sweden
9.3
3
USA
7.2
4
Malaysia, South Korea
5.1
5
Brazil, China, India, Mexico, Marocco, Peru
3.5
6
Saudi Arabia
3.4
7
Bosnia and Herzegovina, Thailand
3.3
8
Timor-Leste, Viet Nam, Zambia
2.6
9
Indonesia, Rusia
2.3
10
Bangladesh, Cambodia, Papua NG, Venezeula
2.0

Upaya perubahan (reformasi) administrasi publik yang telah dilakukan selama ini ternyata belum mampu meningkatkan kinerja instansi pemerintah. Pelayanan publik masih belum memuaskan masyarakat karena prosedur yang berbelit-belit, tidak efisien, dan korup. Belum terwujudnya pelayanan publik yang capat dan efisien (agile process) merupakan salah satu faktor utama yang menyebabkan kondisi yang tidak kondusif bagi parisipasi masyarakat dalam pembangunan nasional. 

Gejala Globalisasi
Perkembangan ilmu pengetahuan khususnya teknologi informasi dan komunikasi yang cepat, telah menimbulkan gejala globalisasi. Globalisasi telah memungkinkan integrasi yang lebih baik antara negara-negara di dunia sebagai akibat turunnya biaya komunikasi dan transportasi, serta berkurangnya hambatan terhadap arus orang, barang, pelayanan, kapital, ide-ide, dan pengetahuan. Sayang hanya negara maju dan kaya yang dapat memanfaatkan dan diuntungkan oleh globalisasi tersebut. Sekarang mulai disadari bahwa globalisasi seharusnya tidak hanya menguntungkan negara industri maju dan kaya, tetapi juga harus dapat bermanfaat bagi negara yang kurang maju dan miskin (lihat: Stiglitz, 2003:252-258). Merupakan tantangan bagi Indonesia untuk menemukan bagaimana caranya agar globaslisasi tersebut dapat dijadikan peluang untuk pembangunan nasional. Pembangunan yang dimaksud dalam tulisan ini adalah upaya perubahan dalam semua bidang kehidupan masyarakat untuk meningkatkan taraf hidup bangsa Indonesia. Pembangunan tersebut bersifat multi dimensional dan saling terkait dalam suatu kerangka sistem

Hal ini bukan sesuatu yang mustahil karena sudah ada negara yang dulu dikenal sebagai negara yang sedang berkembang, ternyata mampu menjadikan globalisasi sebagai peluang bagi pembangunan ekonominya, misalnya Korea Selatan dan Republik Rakyat Cina. Kedua negara tersebut dapat memanfaatkan sumber daya asing, seperti menjadikan modal asing yaitu foreign direct investment (FDI) sebagai mengungikit (leverage) pembangunan nasional, dan mengkaitkan FDI dengan transfer teknologi serta menjadikan kehadiran modal asing sebagai peluang memasuki pasar global untuk menjual berbagai produk industri mereka di luar negeri terutama ke negara asal FDI tersebut. Sekarang ini produk Cina telah menguasai dunia seperti yang tercermin dari surplus perdagangan luar negeri China yang mencapai US $177.47 miliar pada tahun 2006, dan meningkat menjadi US $262.2 miliar pada tahun 2007 (Xinhua Jan. 11, 2008:1-4). Krisis keuangan yang melanda dunia dewasa ini telah mempengaruhi semua negara tidak terkecuali Indonesia, misalnya, harga saham jatuh sampai lebih dari 50%, ekspor komoditi turun, harga minyak mentah turun dari lebih US $ 120.00 menjadi US$ 60.00 per barrel, harga kelapa sawit jatuh dari Rp. 1.600,00 menjadi Rp. 300,00 per kilo tandan segar, dan harga karet juga jatuh drastis.

Kegagalan menyikapi globalisasi ini dapat menjadi ancaman yang serius bagi perekonomian nasional. Bayangkan kalau sebagian besar produk dalam negeri tidak mampu bersaing dengan produk impor maka akan banyak industri yang tutup usaha atau mengurangi volume usahanya, dan pada gilirannya akan mengurangi peluang kerja di dalam negeri. Sekarang ini meskipun cadangan divisa Indonesia ada sekitar US$ 5.108 milyar (Warta Ekonomi,10 Okt. 2008), tetapi ada gejala berkurangnya cadangan devisa ini kerena penurunan ekspor dan meningkatnya kewajiban pembayaran luar negeri. Sekarang Indonesia masih tergantung pada impor hampir semua jenis produk, bukan saja impor barang hasil industri dan minyak (petroleum), tetapi juga impor berbagai hasil pertanian seperti beras, kedelai, jagung, buah-buahan, daging sapi, daging ayam, dan lain-lain. Hal ini sangat ironis karena sebagian besar penduduk Indonesia bekerja di sektor pertanian tetapi tidak mampu swa sembada bahan pangan. Setiap tahun para petani menghadapi masalah yang sama yaitu, pada masa tanam mereka terpaksa mengeluarkan banyak biaya karena harga bibit dan pupuk naik sampai dua kali lipat, sebaliknya pada masa panen mereka terpaksa menjual hasil panennya dengan harga yang sangat murah. Secara umum bangsa Indonesia telah menjadi bangsa yang konsumtif, sebagai konsumen dari pada sebagai produsen. Keadaan ini tidak menguntungkan karena hanya kegiatan yang produktiflah yang menciptakan nilai tambah bagi perekonomian.

Kesulitan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia menjadi lebih parah karena adanya kerusakan lingkungan hidup termasuk gejala global warming yang telah menyebabkan perubahan iklim sehingga sering terjadi banjir, angin ribut (puting beliung) dan kekeringan yang tidak jelas polanya. Bencana alam telah menimbulkan kerugian yang tidak sedikit bagi masyarakat, seperti kerusakan harta benda, kerusakan infrastruktur, terhalangnya transportasi darat, laut dan udara, serta terhalangnya kegiatan pertanian dan perikanan laut.

Ketidakmampuan menghadapi tantangan tersebut dapat berarti hilangnya peluang bagi upaya pembangunan ekonomi, yang selanjutnya dapat menimbulkan berbagai pemasalahan baru seperti bertambahnya pengangguran, kemiskinan dan kesenjangan sosial, yang selanjutnya dapat memicu gangguan keamanan, kerusuhan sosial dan sebagainya. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Indonesia sudah terjebak dalam lingkaran setan, malahan kondisi negara dan masyarakat menurun menuju titik equilibrium yang lebih rendah.

No comments:

Post a Comment