Pengertian MDGs : Sebuah keluarga pastilah menginginkan masa depan yang sehat dan bahagia, juga pendidikan bermutu bagi anak-anaknya. Selain itu, sebuah keluarga tentu saja berharap mampu menyediakan sandang dan pangan berkecukupan serta memiliki rumah idaman. Seseorang dipastikan mendambakan kebebasan, yaitu hidup dalam sebuah negeri bernama Indonesia yang demokratis, di mana kebebasan untuk mengungkapkan pendapat dan mengatur kehidupan, dijamin oleh undang-undang.
Menggembirakan bahwa saat ini semakin banyak orang Indonesia menjadi lebih makmur, dibandingkan dengan sekitar 60 tahun lalu ketika republik ini didirikan. Bangsa Indonesia telah mengalami kemajuan pesat, menjadi lebih kaya dengan rata-rata penghasilan lima kali lipat penghasilan saat itu.
Sebagian dari kita memang lebih beruntung jika dibandingkan dengan yang lain. Namun, saat ini, sudah lebih banyak orang yang menjadi semakin sejahtera. Bukan sekadar dari ukuran penghasilan. Coba perhatikan berbagai kemajuan di kabupaten/kota, kini tersedia lebih banyak jalan, sekolah, pusat kesehatan dan tempat-tempat hiburan yang membuat sesuatu menjadi mudah.
Memang tidak semuanya menjadi lebih baik. Terkadang, situasinya malah memburuk. Mungkin saja seseorang kehilangan pekerjaan, anak jatuh sakit atau rumah yang dilanda banjir. Situasi pun bisa berubah menjadi buruk bagi negara secara keseluruhan. Sepuluh tahun lalu, misalnya, terjadi krisis moneter. Tiba-tiba banyak yang jatuh miskin. Meskipun demikian, dalam menapaki periode panjang sejak kemerdekaan, nampaknya Indonesia telah menuju arah yang tepat, terlihat dengan capaian ‘pembangunan manusia’ berupa peningkatan penghasilan dan perbaikan pendidikan. Orang Indonesia saat inipun hidup lebih lama dan lebih sehat.
Sebenarnya, Indonesia sudah dikategorikan sebagai negara “berpenghasilan menengah”. Hal ini dikarenakan penghasilan masyarakat Indonesia berdasarkan Gross National Index (GNI), yang dihitung dari nilai pasar total dari barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu negara dalam periode tertentu, penghasilan per kapita Indonesia tahun 2007 adalah $ 1.650. Nilai ini setara dengan Rp. 1.250.000 per bulan. Jika dibandingkan dengan negara lain, Indonesia masuk urutan ke 142 dari 209 negara di dunia (World Bank GNI, 2008).
Akan lebih baik kalau Indonesia di urutan yang lebih tinggi. Namun, urutan tidak terlalu penting. Terkadang ada negara yang berkembang cepat, sementara yang lain lebih lambat, yang perlu dicermati adalah apa yang terjadi di Indonesia. Apakah semakin banyak yang mampu membaca dan menulis? Atau, apakah semakin banyak anak yang diimunisasi sehingga kebal campak, cacar air atau polio? Selanjutnya, apakah rata-rata kita berumur lebih panjang?
Dibandingkan dengan 60 tahun yang lalu, mereka yang lahir tahun 1960-an rata-rata hanya punya harapan hidup 41 tahun. Namun, anak-anak yang lahir pada 2007, bisa berharap untuk hidup sepanjang 68 tahun. Dulu, pada tahun 1960-an, hanya sekitar 30% penduduk yang tidak memiliki keterampilan dasar baca tulis. Namun, tentu saja masih banyak yang harus dilakukan. Jutaan penduduk masih hidup dalam kemiskinan. Sekitar seperempat dari anak-anak Indonesia masih kekurangan gizi. Juga, terlalu banyak sekolah di negara ini yang kekurangan buku, peralatan atau guru yang kompeten. Indonesia pun masih tetap sebuah negara berkembang dan masih butuh waktu untuk mencapai standar yang telah dicapai banyak negara kaya.
Bagi pemerintah, biasanya lebih mudah memperbaiki bidang pendidikan ketimbang kesehatan. Kemajuan dalam bidang pendidikan umumnya dicapai berkat peran sekolah. Sementara, untuk perbaikan di bidang kesehatan, diperlukan lebih dari sekadar pelayanan yang efektif. Faktor lain, seperti apakah seseorang merokok, atau apakah ia memiliki pola makan baik, berperan cukup signifikan. Meskipun demikian, apapun bidangnya, sangat mungkin untuk menetapkan target dan mengupayakan pencapaiannya. Misalnya, seseorang dapat menetapkan target bahwa setiap orang bisa mendapatkan air minum yang bersih pada tahun tertentu. Begitu pula dalam pemberantasan malaria, demam berdarah atau mengatasi banjir dan kemacetan. Tentu saja, ada hal yang pencapaiannya memerlukan waktu lebih lama dibandingkan yang lain.
Seseorang dapat menetapkan target untuk komunitas, sekolah, atau Puskesmas di sekitarnya. Begitu pula, pemerintah daerah dapat menetapkan target pembangunan pusat kesehatan baru, atau ruang kelas sekolah. Pemerintah pusat juga dapat melakukan hal yang sama. Sebenarnya, selama ini keduanya melakukan hal tersebut. Sebagai contoh, ada target untuk mewujudkan pendidikan dasar 9 tahun pada 2009. Dan hal yang sama juga terjadi di tingkat global, khususnya melalui kesepakatan internasional. Sejak sekitar 20 tahun terakhir, telah banyak pertemuan internasional di mana Indonesia bergabung dengan negara-negara di dunia untuk menetapkan target global terkait produksi pangan, “pendidikan untuk semua” serta pemberantasan penyakit seperti malaria dan HIV/AIDS. Boleh jadi, seseorang belum pernah mendengarnya, tetapi masih banyak target yang sepantasnya menjadi sasaran bersama masyarakat dunia.
Mungkin seseorang merasa semua itu bukan urusannya. Sementara negara-negara anggota PBB, termasuk Indonesia, berupaya mengusung sekian banyak tujuan dan sasaran pembangunan yang belum tersosialisasikan. Pada September 2000, para pemimpin dunia bertemu di New York mengumumkan ”Deklarasi Milenium” sebagai tekad untuk menciptakan lingkungan “yang kondusif bagi pembangunan dan pengentasan kemiskinan”. Dalam rangka mewujudkan hal ini, kemudian dirumuskan 8 (delapan) Tujuan Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals).
Hanya ada delapan tujuan umum, seperti kemiskinan, kesehatan, atau perbaikan posisi perempuan. Namun, dalam setiap tujuan terkandung “target-target” yang spesifik dan terukur. Terkait perbaikan posisi perempuan, misalnya, ditargetkan kesetaraan jumlah anak perempuan dan laki-laki yang bersekolah. Begitu pula berapa banyak perempuan yang bekerja atau yang duduk dalam parlemen. Delapan tujuan umum tersebut, mencakup kemiskinan, pendidikan, kesetaraan gender, angka kematian bayi, kesehatan ibu, beberapa penyakit (menular) utama, lingkungan serta permasalahan global terkait perdagangan, bantuan dan utang. Jadi, pemerintah sedang berupaya memberantas kemiskinan dan penyakit. Memang, rasanya tidak mungkin tercapai. Namun, perlu pemerintah ketahui, bahwa semua target yang ditetapkan cukup realistis. Memang ada tujuan jangka panjang untuk memberantas kemiskinan sampai tuntas. Namun, tujuan MDGs hanya mematok target pengurangan kemiskinan menjadi separuh. Sementara, untuk HIV/AIDS, tujuannya adalah meredam persebaran epidemik. Sedangkan untuk pendidikan, targetnya lebih ambisius yaitu memastikan bahwa 100% anak memperoleh pendidikan dasar 9 tahun.
Sebagian besar ditargetkan pada 2015, dengan patokan tahun 1990. Sebagai contoh, di Indonesia, proposi penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan pada 1990 berjumlah sekitar 15,1%. Pada 2015, pemerintah harus mengurangi angka tersebut menjadi separuh, yaitu 7,5%.
Terkait kemiskinan, belum banyak kemajuan yang dicapai. Pada tahun 2008, angka kemiskinan Indonesia (15,4%) masih lebih tinggi dibandingkan tahun 1990. Jadi, dalam delapan tahun ke depan, banyak yang harus pemerintah lakukan. Sementara, untuk beberapa tujuan MDGs yang lain, pemerintah lebih berhasil. Sebagai contoh, angka partisipasi anak di sekolah dasar, telah mencapai 94,7%. Namun, bila dicermati lebih rinci seperti terbaca dalam uraian pada bagian berikut, kondisi kemiskinan sebenarnya tidak seburuk angka yang ditampilkan. Sebaliknya, kondisi pendidikan tidak sebaik yang terungkap dalam angka tadi.
Menurut pemerintah, isu-isu yang diusung MDGs sangat penting, meskipun terkesan sederhana karena terkonsentrasi pada hal-hal yang sifatnya kuantitatif. Sebagai contoh, di sektor pendidikan, adalah baik bahwa 94,7% anak-anak terdaftar di sekolah dasar. Namun, ketika sekolah mereka bocor, atau hanya memiliki buku dalam jumlah yang terbatas serta guru-guru yang kurang kompeten, maka bersekolah tidak akan membuat anak-anak mendapatkan pendidikan bermutu. Sayangnya, tujuan pendidikan dalam MDGs tidak mengkaji aspek kualitas.
Mengukur kualitas memang lebih sulit, meskipun tidak mustahil. Pemerintah mungkin bisa menilai kualifikasi para guru, atau hasil-hasil ujian, tetapi sulit untuk mengukur dan mendapatkan informasi tentang kualitas. Hal ini membawa pemerintah ke masalah besar berikutnya. Di negara yang sangat besar dan beragam seperti Indonesia, angka nasional saja tidak terlalu bermanfaat. Ambil contoh, usia harapan hidup secara nasional adalah 68 tahun. Namun, bervariasi antara 73 tahun di Yogyakarta hingga 61 tahun di Nusa Tenggara Barat. Selain itu, meskipun ada angka provinsi, belum juga mengungkapkan kondisi kabupaten. Karena itu, secara keseluruhan, data-data MDGs memiliki keterbatasan.
Baiknya, jangan terlalu cepat mengambil kesimpulan. MDGs bukan sekadar soal ukuran dan angka-angka, tetapi lebih untuk mendorong tindakan nyata. Mencegah terjadinya kematian ibu lebih penting daripada sekadar menghitung berapa banyak perempuan meninggal sewaktu melahirkan. Yang penting tidak hanya menghitung berapa banyak anak Indonesia yang kekurangan gizi, tetapi juga memastikan bahwa semua anak memperoleh asupan gizi yang cukup. Salah satu manfaat dari MDGs adalah berbagai persoalan yang diusung menjadi perhatian berbagai pihak termasuk masyarakat secara luas. Namun, laporan tentang kemajuan MDGs di tingkat kabupaten juga sangat diperlukan.
Anggaplah ini sebagai titik awal, yaitu cara untuk memperkenalkan berbagai masalah tersebut secara umum, sehingga masyarakat di seluruh negeri yang luas ini dapat mulai berpikir tentang penyelesaiannya. Sebuah laporan nasional juga bisa dimasukkan ke dalam sistem internasional yang mencatat pencapaian-pencapaian MDGs di seluruh dunia.
No comments:
Post a Comment