Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah
Berdasarkan hasil analisis lapangan dengan menggunakan indikator output kebijakan dan outcomes kebijakan, kesimpulan menunjukkan bahwa implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah belum memberikan hasil sebagaimana yang diharapkan, dengan kata lain kinerja kebijakan masih relatif rendah.
Berdasarkan kajian teori (konsep) dari para ahli kebijakan dan ahli otonomi daerah sebagaimana telah dikemukakan di atas, serta hasil analisis di lapangan, telah diidentifikasi bahwa ada empat variabel yang dapat menjelaskan bahwa kinerja implementasi desentralisasi dan otonomi daerah di Kabupaten/Kota, yaitu aspek manajerial, aspek SDM organisasi, aspek budaya birokrasi, dan etika pelayanan publik.
1. Aspek Manajerial
Keampuan kepemimpinan Bupati/Kepala Daerah Bupati selaku top manajer di Daerah memegang peranan penting akan keberhasilan implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Mengingat kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah masih merupakan suatu yang baru bagi pemerintah daerah serta memiliki tujuan yang begitu luas dan kompleks, jelas memerlukan suatu kemampuan seorang Bupati dalam memanage agar tujuan kebijakan yang begitu luas dan komleks bisa dipahami oleh semua pihak yang berkepentingan (stakeholders). Dalam manajemen modern, setiap organisasi harus memiliki visi dan misi yang jelas, sebagai acuan bagi semua komponen dalam melaksanakan aktivitasnya. Visi organisasi tersebut sedapat mungkin disosialisasikan kepada karyawan, menjadi visi bersama yang harus diperjuangkan (Ordway Tead, 1954).
Kendala yang dihadapi dalam merealisasikan misi yang telah ditetapkan adalah lebih disebabkan oleh pelaksanaan program kerja yang belum terdesain secara baik. Sebagian besar dinas di daerah selaku pelaksana teknis urusan otonomi daerah belum didukung dengan renstra yang memiliki logframe yang baik yang memuat program-program yang dianggap strategis bagi kemajuan daerah.
Dari uraian di atas, bahwa kemampuan manajerial pimpinan daerah cukup baik dalam mewujudkan visi, misi, dan tujuan yang telah ditetapkan, tetapi belum didukung oleh SDM pelaksana programnya maupun anggaran yang tersedia. Kondisi ini jelas berimplikasi terhadap kinerja kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah sebagaimana yang telah dipaparkan di muka.
2. Aspek SDM Organisasi
Ketersediaan Sumber daya Manusia (SDM) organisasi (dinas daerah) sangat penting dalam implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. SDM dimaksud antara lain mencakup karyawan yang harus mempunyai keahlian dan kemampuan melaksanakan tugas, perintah, dan anjuran atasan (pimpinan). Di samping itu, harus ada ketepatan dan kelayakan antara jumlah karyawan yang dibutuhkan dan keahlian yang dimiliki sesuai dengan bidang tugas yang akan dikerjakan (Salusu, 1988: 493).
a. Ketercukupan Pegawai Dinas Daerah
Waktu yang dibutuhkan Pemerintah daerah dalam membenahi organisasi dinas daerah kurang lebih satu tahun. Dengan jumlah pegawai dari setiap dinas atau instansi yang ada pada kenyataannya kurang mencukupi untuk melayani ara pengguna jasa atau masyarakat yang optimal. Padahal sektor-sektor ini memiliki kedudukan yang strategis untuk menggerakkan perekonomian daerah setempat.
Sejauh yang diketahui belum ada suatu analisis yang bisa menyimpulkan bahwa semakin besar jumlah karyawan pada suatu organisasi, maka kinerja organisasi tersebut meningkat (Notoatmodjo, 1998: 8). Namun demikian, perlu mencermati bahwa pada organisasi birokrasi, seperti pada beberapa dinas daerah, terdapat suatu budaya birokrasi di mana para karyawan yang menduduki jabatan cenderung bergaya “aristokrat, dalam engertian selalu merasa diri sebagai boss” yang termanifestasi di dalam kerja seharian.
Untuk pekerjaan administrasi, misalnya mengetik surat, mengantar surat, mengatur kebersihan ruangan, dan sejenisnya, umumnya tidak mau dilakukan oleh karyawan yang memiliki eselon, dan hanya mengharapkan staf atau karyawan bawahan. Budaya kerja dan perilaku seperti ini jelas secara tidak langsung ikut mempengaruhi kinerja organisasi.
Berdasarkan kondisi tersebut, bahwa andaikan saja para karyawan mau melakukan pekerjaan apa saja demi berjalannya aktivitas organisasi, tanpa terbelenggu dengan berbagai titel dan jabatan, maka kegiatan organisasi akan berjalan secara lancar, dan pada akhirnya berdampak pada meningkatnya kinerja organisasi dinas. Sebab, dalam realitas keseharian, banyak karyawan yang hanya bersantai-santai pada jam kantor dan pada saat yang sama banyak pekerjaan kantor yang bersifat rutin terabaikan. Dengan demikian, maka sedikitnya jumlah karyawan dinas daerah serta masih terpeliharanya budaya kerja santai dari para karyawan menyebabkan banyak bidang pekerjaan terbengkalai. Implikasi lebih lanjut adalah gagalnya dinas daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan berdasarkan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah.
b. Kesesuaian Kualifikasi Pendidikan Karyawan
Dengan bidang tugas yang diemban SDM yang berkualitas merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan suatu organisasi dalam menjalankan misinya. Untuk mendapatkan SDM yang berkualitas, ada dua jalur yang biasanya ditempuh, yaitu: pertama melalui sistem seleksi ketat dengan persyaratan tertentu untuk suatu bidang pekerjaan; dan kedua melalui pendidikan/pelatihan tambahan setelah menjadi karyawan atau melalui model magang (learning by doing).
Secara konsepsi, organisasi yang memiliki SDM yang terbatas tetapi berkualitas akan jauh lebih berhasil dibandingkan dengan organisasi yang memiliki jumlah karyawan banyak tetapi kualitas SDMnya rendah. Dan yang lebih parah lagi adalah SDM yang terbatas dengan kualitas yang rendah. Persoalan kualitas SDM akan terasa pengaruhnya ketika organisasi mulai menghadapi pekerjaan-pekerjaan yang spesifik yang membutuhkan kualifikasi pendidikan atau skill tertentu.
Tidak berjalannya sistem seleksi dan rekrutmen dalam proses pemenuhan kebutuhan pegawai pada sejumlah dinas daerah merupakan faktor utama yang menyebabkan kurangnya jumlah karyawan yang memiliki kualifikasi pendidikan yang cocok dengan bidang tugasnya yang diemban. Prinsip the right men on the right place kurang diperhatikan dalam sistem rekrutmen pada jabatan-jabatan yang ada di dinas daerah.
Dari uraian di atas, bahwa minimnya karyawan dinas daerah yang memiliki kualifikasi pendidikan yang cocok dengan tugas bidang pekerjaannya, telah ikut memberi kontribusi terhadap rendahnya kinerja implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, yang terefleksi dari kinerja dinas daerah menjalankan tugasnya.
3. Aspek Budaya Birokrasi
Secara nasional birokrasi pemerintah yang ada di Indonesia memiliki ciri-ciri yang hampir sama, di mana unsur paternalisme amat kental dalam pola hubungan yang bersifat internal organisasi maupun pada tataran eksternal organisasi. Hubungan antara bawahan dan pimpinan berada pada posisi di mana bawahan cenderung berusaha melayani dan memuaskan atasan. Kondisi ini secara otomatis akan mengurangi kualitas layanan yang diberikan birokrasi kepada masyarakat sebagai pengguna jasa.
Pada sisi lain budaya lokal juga memberikan warna tersendiri terhadap budaya birokrasi pemerintah, terutama pemerintah daerah setempat. Akan berbeda tampilan birokrasi pemerintah di wilayah Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali maupun Papua. Hal ini terutama berkaitan dengan pola pengambilan keputusan , dimana kebanyakan birokrasi di pulau Jawa terutama Jawa Tengah dan Yogyakarta, akan sangat berhati-hati untuk membuat keputusan terutama berhubungan dengan keputusan diskresi. Kehati-hatian ini akan berakibat pada lambannya pelayanan publik yang diberikan kepada masyarakat sebagai pengguna jasa.
Secara umum tampilan birokrasi pemerintah di Indonesia, baik di tingkat pusat maupun daerah masih diwarnai dan dilingkupi oleh sifat feodalisme yang tinggi, sebagai himbasan dari pola kerja birokrasi selama orde baru yang memerintah selama lebih dari 32 tahun. Pola kerja yang kental dengan unsur feodalisme ini, terasa terus dipertahankan oleh kelompok-kelompok yang dalam birokrasi karena berbagai kepentingan ekonomi politik yang ada.
Nilai budaya masyarakat yang sebagian besar berkiblat pada sektor agraris, dengan corak utama para pelaku untuk cenderung mempertahankan keharmonisan antar elemen dan menghindari konflik atau friksi yang dianggap akan merugikan semua pihak. Pola pikir dan mental seperti ini menghasilkan suatu kondisi pada habitat birokrasi yang tidak memungkinkan terjadinya kritik maupun autokritik terhadap keputusan atau kebijakan pimpinan, walaupun dampak keputusan itu merugikan bawahan dan masyarakat yang luas. Dari sinilah dapat dilihat garis hubungan antara nilai yang masih dianut dalam masyarakat yang berpola pikir agraris dengan perilaku birokrasi, karena proses adopsi yang terjadi di dalamnya. Pola inipun masih terjadi di kalangan birokrasi pemerintah Kabupaten/Kota di Indonesia, sehingga kinerja birokrasi dalam pemberian pelayanan belum berjalan secara optimal.
Di samping itu, pilihan sentralisme dalam penyelenggaraan birokrasi pemerintah telah menimbulkan persoalan tersendiri terhadap kualitas pelayanan kepada masyarakat pengguna jasa, karena kinerja birokrasi menjadi rigid yang disebabkan pengambilan posisi yang lebih tinggi dari pihak birokrasi terhadap masyarakat. Kondisi demikian ini jelas pada era globalisasi dan penguatan civil society akan semakin berseberangan dengan upaya semua komponen masyarakat untuk menerapkan prinsip good governance yang memprioritaskan asas akuntabilitas, responsibilitas, maupun asas transparansi dalam pelayanan publiknya.
Sentralisme ini secara langsung berdampak pada tampilan budaya birokrasi yang lingkungannya bernuansa diskriminatif dan mengandalkan preferensi subjektivitas dalam pemberian pelayanan kepada pengguna jasa maupun dalam pola hubungan internal organisasi birokrasi. Sentralisme akan mengakibatkan berkurangnya pertanggungjawaban terhadap publik, karena menciptakan budaya kurang peduli pihak birokrasi terhadap kemajuan maupun perubahan sosial ekonomi sebagai tujuan dari pelaksanaan pembangunan, dimana birokrasi merupakan motor penggeraknya. Fenomena yang ada memperlihatkan bahwa kinerja birokrasi tidak optimal, karena faktor koordinasi yang lemah, etos kerja yang tidak mendukung, serta disiplin kerja yang kurang, sehingga banyak tugas pelayanan kepada para pengguna jasa menjadi terbengkalai dan membutuhkan waktu yang berlarut-larut untuk menyelesaikannya.
Pola pikiryang mengungkapkan peraturan secara kaku melalui penerapan dan penafsiran juklak (petunjuk pelkasanaan) dan juknis (petunjuk teknis), membuat birokrasi pemerintah menjadi kaku dan tidak luwes dalam pemberian pelayanan publik. Struktur hierarkis birokrasi publik menjadikan aparatur pemerintah menjadi tunduk secara tidak proporsional kepada pimpinan dan melupakan tugasnya sebagai agen perubahan melalui pemberian pelayanan kepada masyarakat.
Dari uraian di atas, menunjukkan bahwa sesungguhnya birokrasi pemerintah yang ada di Indonesia masih jauh dari harapan untuk memberikan pelayanan prima kepada masyarakat pengguna jasa, akibat pengaruh budaya birokrasi yang mengadopsi budaya masyarakat lokal, yang justru cenderung mengagungkan posisi birokrasi dan menganggap masyarakat lebih rendah daripadanya. Unsur feodalisme, paternalisme dan penggunaan asas sentralisme yang berkolaborasi dengan budaya birokrasi yang mengagungkan otoritas pimpinan sebagai titik sentral jelas semakin memperlemah posisi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang berkualitas dan mampu melakukan perubahan sosial ekonomi melalui pelaksanaan pembangunan.
4. Aspek Politik Lokal
Perpanjangan proses politik pemerintah pusat yang berupaya menyeragamkan semua institusi birokrasi pemerintah, baik dari segi struktur maupun fungsinya telah menyebabkan kemacetan proses penyelesaian masalah yang telah berlaku secara turun-temurun pada masyarakat melalui pola musyawarah mufakat yang merupakan bentuk penerapan demokrasi lokal.
Birokrasi nasional yang perkembangan historisnya berasal dari kaum bangsawan menjadikan birokrasi pemerintah dan aparaturnya mengidentifikasi diri sebagai golongan elite yang memiliki status sosial terhormat dan tinggi di tengah masyarakat. Kondisi ini jelas menjadikan pelayanan ublik tidak akan berfungsi otimal, karena kaum birokrat cenderung ingin dilayani secara internal maupun eksternal, ketika terjadi transaksi sosial berupa pelayanan publik. Indikasi yang terlihat dari kondisi di atas adalah penyebutan yang istimewa kepada para pejabat birokrat yang memiliki status sosial istimewa itu.
Keangkuhan yang terkondisi di kalangan birokrat ini menjadikan birokrasi pemerintah menjadi jauh dengan masyarakat, karena persepsi birokrat merasa lebih tinggi dari masyarakat kebanyakan yang menjadi pengguna jasa pelayanan publik. Budaya seperti ini jelas menjadi penghambat bagi birokrat untuk berfungsi optimal dengan kinerja yang memadai dalam pemberian pelayanan publik.
Perkembangan politik lokal yang terjadi pada masyarakat di daerah menciptakan iklim bagi perluasan partisipasi politik masyarakat lokal yang berdampak pada proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan persoalan-persoalan publik. Kebijakan publik yang lahir akan terlihat apakah masyarakat lokal ikut dilibatkan atau tidak dan seberapa jauh pelibatan itu terjadi yang mampu mengadopsi aspirasi dan kebutuhan kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat. Keseimbangan akan terjadi, jika proses pembuatan kebijakan publik mengikutsertakan kelompok kepentingan yang ada di tengah masyarakat lokal.
Penerapan asas desentralisasi dan otonomi luas pasca reformasi memberikan angin segar dalam perubahan hubungan antara pihak pemerintah daerah (aparatur) dengan masyarakat luas yang merupakan mitra dalam pelaksanaan pembangunan. Pada era ini berbagai perubahan telah terjadi, sehingga masyarakat pengguna jasa memiliki akses terhadap proses pembuatan kebijakan publik.
Kondisi dan perubahan ini jelas memberikan nuansa baru yang sebelumnya tidak terjadi, di mana elemen-elemen yang ada dalam masyarakat memiliki kesempatan untuk melakukan pengawasan dan memantau kinerja birokrasi secara transparan, terutama dalam hal pengalokasian sumberdaya secara lebih adil sesuai dengan proporsi kelompok-kelompok yang eksis di masyarakat lokal tersebut. Hal ini secara otomatis akan mengurangi penyimpangan dan penyalahgunaan kekuasaan dari pihak birokrasi pemerintah, yang pada masa sebelumnya banyak merugikan masyarakat banyak.
Kondisi perkembangan politik di daerah menunjukkan mental dari para birokrat belum ada perubahan yang signifikan dan berarti bagi peningkatan kinerja pelayanan publik yang berpihak pada masyarakat kebanyakan. Justru yang terjadi adalah masih menonjolnya penggunaan kekuasaan dari pihak birokrasi pemerintah daerah yang hanya menguntungkan kelompoknya secara sepihak, dan mengorbankan kepentingan masyarakat banyak.
Peran dan fungsi legislatif yang diharapkan memberikan kontribusi positif dalam proses pembuatan kebijakan publik, ternyata banyak terjebak pada evaluasi kebijakan yang bersifat makro dan kurang bergerak pada kebijakan langsung yang memberikan manfaat bagi masyarakat terutama berkaitan dengan peningkatan pelayanan publik. Pihak legislatif banyak yang terjebak pada persoalan internalnya yang hanya membahas penggunaan dan alokasi APBD dan sering memperjuangkan kesejahteraan pribadi melalui peningkatan honor dan fasilitas kesejahteraannya.
No comments:
Post a Comment