News Update :
Home » , , , , , » PEMBANGUNAN PENDIDIKAN DAN MDGs DI INDONESIA

PEMBANGUNAN PENDIDIKAN DAN MDGs DI INDONESIA

Penulis : kumpulan karya tulis ilmiah on Tuesday, October 20, 2015 | 5:02 AM

1. Pengantar
Tujuan kedua dari delapan tujuan Pembangunan Millenium (TPM) atau Millennium Development Goals (MDGs) adalah mencapai pendidikan dasar untuk semua. MDGs memang bukan merupakan isu yang baru, tetapi pencapaian target MDGs di Indonesia masih di bawah target yang diharapkan. Bahkan, menurut Laporan "A Future Within Reach" maupun Laporan MDGs Asia-Pasifik tahun 2006, Indonesia termasuk dalam kategori terbawah bersama Banglades, Laos, Mongolia, Myanmar, Pakistan, Papua Nugini dan Filipina (Hartiningsih, 2007). Pada awal sosialisasi MDGs di Indonesia memang menimbulkan beberapa kontroversi. Ada sebagian dari komponen masyarakat yang menganggap bahwa MDGs sebagai program yang ambisius. Namun, MDGs sebenarnya bukan hal yang ambisius atau mengada-ada karena MDGs merupakan program yang didasarkan pada semangat pemenuhan hak dasar warga negara. Hal ini dapat dilihat bahwa sebagian besar indikator MDGs didasarkan pada Human Development Index (HDI) yang terdiri dari tiga indikator, yaitu: pencapaian pembangunan bidang kesehatan, pendidikan dan ekonomi. Tiga indikator dalam HDI yang meliputi aspek kesehatan, pendidikan dan ekonomi tersebut mencerminkan sejauh mana negara mampu memenuhi hak-hak dasar warga negara.

Apabila keberhasilan pencapaian MDGs diukur dari HDI, maka pencapaian MDGs di Indonesia masih sangat memprihatinkan. Posisi Indonesia dalam HDI pada tahun 2006 berada pada urutan 108, dengan nilai indeks sebesar 0,83. Ranking Indonesia ini jauh di bawah negara-negara Asia Tenggara lainnya, misalnya Singapura yang berada pada urutan ke-25, Malaysia ke- 61, Thailand ke-74, Filipina ke–84 dan Brunei Darrusalam ke-34. Karena tulisan ini akan mendiskusikan tujuan kedua dari delapan Tujuan Pembangunan Milenium, maka akan disajikan tingkat pencapaian bidang pendidikan di Indonesia. Setidaknya kita akan melihat posisi Indonesia dalam beberapa negara di Asia Tenggara. Menurut Global Monitoring Report (GMR) 2008 yang dikeluarkan UNESCO, Indeks Pembangunan Pendidikan atau Education Development Index (EDI) Indonesia mengalami penurunan. Pada GMR, peringkat Indonesia turun dari posisi 58 menjadi 62. Seperti yang dipaparkan pada Kompas (31 Desember 2007:14), nilai total EDI yang diperoleh Indonesia juga mengalami penurunan sebesar 0,003 poin dari 0,938 menjadi 0,935. Tabel 1 berikut ini menyajikan nilai EDI agar dapat mengamati perbandingan Education Development Index (EDI) beberapa negara Asia Tenggara. 
 
Tabel 1. Indeks Pembangunan Pendidikan Negara Asia Tenggara

Negara
Indeks Pembangunan Pendidikan
Angka Partisipasi Pendidikan Dasar
Angka Melek Huruf usia 15 thn keatas
Angka menurut gender
Angka Bertahan hingga kelas 5 SD
Brunei Darrussalam
0,965
0,969
0,927
0,967
0,995
Malaysia
0,945
0,954
0,904
0,938
0,984
Indonesia
0,935
0,983
0,904
0,959
0,895
Vietnam
0,899
0,878
0,903
0,945
0,868
Filipina
0,893
0,944
0,926
0,955
0,749
Myanmar
0,866
0,902
0,899
0,963
0,699
Kamboja
0,807
0,989
0,736
0,871
0,631
Laos
0,750
0,836
0,714
0,820
0,630
Sumber: EFA Global Monitoring Report 2008 dalam Kompas 31 Desember 2007:14.

Menurut sistem penilaian EDI yang membagi tiga kategori skor, yaitu kelompok negara dengan indeks pendidikan tinggi (0,950 keatas), sedang (0,800 sampai dibawah 0,950) dan rendah (dibawah 0,800). Maka menempatkan Indonesia, Malaysia, Filipina, Vietnam, Myanmar dan Kamboja, berada di kelompok negara dengan kategori EDI sedang. Sementara Indeks Pendidikan Brunei Darussalam menempati peringkat tinggi (Kompas, 31 Desember 2007:14).

Posisi negara Indonesia yang berada pada kategori sedang ini terkait dengan beberapa realita. Realita-realita tersebut, yang akan diuraikan pada pembahasan berikut ini yang terdiri dari angka buta huruf di beberapa daerah, rendahnya rata-rata lama studi dan kesenjangan Angka Partsipasi Sekolah (APS) antara laki-laki dan perempuan.

Pembangunan nasional yang telah dilaksanakan sejak Repelita I tahun 1969, hendaknya telah mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Meskipun pembangunan nasional telah dilaksanakan sejak Repelita I ternyata masih menyisakan sejumlah masalah diantaranya bidang pendidikan. Salah satu indikatornya adalah kemampuan baca tulis yang merupakan ketrampilan minimal yang diperlukan oleh masyarakat untuk mencapai hidup sejahtera. Kemampuan baca tulis tercermin dari angka melek huruf yaitu persentase penduduk diatas 10 tahun yang dapat membaca dan menulis. Pada tahun 2005, memang proporsi penduduk yang masih buta huruf secara nasional sudah jauh menurun dan tinggal sebesar 8,09% (Statistik Kesejahteraan Rakyat, 2005:70). Namun beberapa propinsi masih memiliki proporsi buta huruf yang relatif tinggi, seperti Papua (26,43%), NTB (18,27%), Sulawesi Selatan (13,71%), NTT (13,32%), Jawa Timur (12,79%), DIY (12,11%), Jawa Tengah (11,13%) dan Kalimantan Barat (10,89%). Disparitas angka melek huruf tersebut bukan hanya meliputi propinsi saja, akan tetapi disparitas juga terjadi antara desa-kota dan laki-laki perempuan. Menurut Statistik Pendidikan 2006, persentase penduduk buta huruf 10 tahun keatas di daerah pedesaan (10,24%) mencapai dua kali lipat lebih tinggi dibanding perkotaan (4,24%). Pola serupa juga ditemukan untuk laki-laki dan perempuan. Persentase penduduk buta huruf perempuan (10,33%) mencapai dua kali lipat lebih tinggi dibandingkan penduduk laki-laki (4,88%).

Disamping masih tingginya angka buta huruf di beberapa daerah (termasuk DIY yang notabene sebagai kota pendidikan) masalah lain yang masih harus mendapat perhatian serius adalah rendahnya rata-rata lama sekolah. Rata-rata lama sekolah merupakan indikator lainnya yang diformulasikan oleh UNDP pada tahun 1990 untuk menyusun Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Program Wajib Belajar 9 tahun telah dicanangkan pemerintah sejak tahun 1994 melalui Inpres I tahun 1994. Rata-rata lama sekolah di Indonesia pada tahun 2006 baru mencapai 7,44 (Statistik Pendidikan 2006:57). Angka ini menunjukkan bahwa rata-rata pendidikan penduduk Indonesia baru mencapai jenjang pendidikan kelas 1 SMP. Realita tersebut diatas jelas menuntut bahwa percepatan pembangunan bidang pendidikan terutama pendidikan dasar merupakan kebutuhan yang sangat mendesak.

Tulisan ini bertujuan mengkaji beberapa program Pemerintah Indonesia untuk mewujudkan pendidikan dasar untuk semua serta mengemukakan kajian tentang pencapaian program pendidikan di Indonesia berkaitan dengan tujuan kedua dari Millenium Development Goals (MDGs). Data yang digunakan dalam kajian ini berasal dari berbagai sumber diantaranya Biro Pusat Statistik, Depdiknas dan media masa.

2. Tujuan Pembangunan Milenium dan Pendidikan untuk Semua (PUS)
Pada bulan September tahun 2000, perwakilan-perwakilan dari 189 negara menandantangani deklarasi yang disebut sebagai Millennium Declaration yang mengandung 8 poin dan harus dicapai sebelum tahun 2015. Negara-negara yang membuat kesepakatan tersebut bukan saja negara kaya tetapi juga negara-negara miskin dan berkembang. Delapan poin ini tergabung dalam tujuan yang dinamakan sebagai Millennium Development Goals (MDGs). Di Indonesia MDGs disebut sebagai Tujuan Pembangunan Milenium.

Delapan kesepakatan dalam MDGs tersebut adalah:

  1. Menanggulangi kemiskinan dan kelaparan (eradicate extreme poverty and hunger).
  2. Mencapai pendidikan dasar untuk semua (achieve universal primary education)
  3. Mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan (promote gender equality and empower women)
  4. Menurunkan Angka Kematian anak (reduce child mortality).
  5. Meningkatkan kesehatan Ibu (increase maternal health)
  6. Memerangi HIV/AIDS, Malaria dan penyakit lainnya (combat HIV/AIDS, malaria and other diseases)
  7. Memastikan kelestarian lingkungan hidup (ensure environment sustainability).
  8. Membangun kemitraan global untuk pembangunan (develop a global partnership for development).
Delapan tujuan pembangunan milenium yang telah disepakati oleh 189 negara itu didasarkan pada pemenuhan hak dasar warga negara atau right based approach. Hak dasar/asasi manusia (human right) bersifat universal, legal dan belaku sama bagi setiap warga negara. Hak dasar ini merupakan suatu konsep etika politik dengan gagasan pokok penghargaan dan penghormatan terhadap manusia dan kemanusiaan. Secara umum HAM yang diumumkan PBB tahun 1948 mengandung empat hak pokok. Pertama, hak individual atau hak-hak yang dimiliki setiap orang. Kedua, hak kolektif atau hak masyarakat yang hanya dapat dinikmati bersama orang lain, seperti hak akan perdamaian, hak akan pembangunan dan hak akan lingkungan hidup yang bersih. Ketiga, hak sipil dan politik, antara lain mernuat hak-hak yang telah ada dalam perundangan Indonesia seperti: hak atas penentuan nasib sendiri, hak memperoleh ganti rugi bagi mereka yang kebebasannya dilanggar; hak atas kehidupan, hak atas kebebasan berfikir, berkeyakinan dan beragama, hak yang sama bagi perempuan dan laki-laki untuk menikmati hak sipil dan politik, hak seorang untuk diberi tahu alasan-alasan pada saat penangkapan, persamaan hak dan tanggung jawab antara suami-istri, hak atas kebebasan berekspresi. Keempat, hak ekonomi, sosial dan budaya, antara lain mernuat hak untuk menikmati kebebasan dari rasa ketakutan dan kemiskinan; larangan atas diskriminasi ras, wama kulit, jenis kelamin, gender, dan agama, persamaan hak antara laki-laki dan perempuan untuk menikmati hak ekonomi, sosial dan budaya; hak untuk mendapat pekerjaan; hak untuk memperoleh upah yang adil bagi buruh laki-laki dan perempuan; hak untuk membentuk serikat buruh; hak atas pendidikan: hak untuk bebas dari kelaparan. Kemudian prinsip human right ini diadopsi oleh beberapa institusi internasional seperti CARE, Save the Children, UNICEF, UNDP, UNFPA, UNESCO dan SIDA, DFID untuk dijadikan dasar aktivitasnya. Demikian juga MDGs dibentuk dengan prinsip hak dasar warga negara atau human right based approach (Arowolo, 2007:2). Prinsip pemenuhan hak dasar bagi setiap warga negara ini memberikan implikasi bahwa negara bahkan dunia internasional mempunyai tanggung jawab yang mutlak terhadap pemenuhannya.

Dengan menggunakan prinsip right based approach, maka upaya untuk memberikan pelayanan bidang pendidikan menjadi salah satu tujuan prioritas di dalam Tujuan Pembangunan Millenium dengan tekad untuk mewujudkan Education for All (EFA) yang di Indonesia kemudian disebut sebagai Pendidikan untuk Semua (PUS).

Mengapa pemenuhan pelayanan pendidikan kepada seluruh warga negara menjadi prioritas yang akan diwujudkan di dalam MDGs? Hal ini karena pendidikan merupakan hak dasar setiap warga negara. Pendidikan merupakan kebutuhan paling asasi bagi semua orang karena masyarakat yang berpendidikan setidaknya dapat mewujudkan tiga hal, yaitu : Pertama, dapat membebaskan dirinya dari kebodohan dan keterbelakangan. Kedua, mampu berpartisipasi dalam proses politik untuk mewujudkan masyarakat yang demokratis dan ketiga, memiliki kemampuan untuk membebaskan diri dari kemiskinan.

Pentingnya pendidikan sebagaimana diuraikan di atas memang tidak dapat disangkal lagi. Bagi sebagian besar orang miskin, pendidikan merupakan salah satu alat mobilitas vertikal yang paling penting. Ketika modal yang lain tidak mereka miliki, terutama modal berupa uang atau barang, hanya dengan modal pendidikanlah mereka dapat berkompetisi untuk mendapatkan kesempatan memperoleh penghidupan yang lebih baik di masa depan.

Pendidikan yang tinggi, yang ditunjang dengan kondisi kesehatan yang baik, pada akhirnya dapat meningkatkan kemampuan masyarakat untuk mencapai kehidupan yang sejahtera. Tentu pendidikan dan kesejahteraan tidak memiliki hubungan yang bersifat langsung, akan tetapi melalui proses panjang di mana pendidikan yang baik akan memberi peluang pada anggota masyarakat untuk dapat terlibat di dalam proses pembangunan ekonomi. Bagaimana mekanisme tersebut dapat terjadi dapat dijelaskan dalam proses sebagai berikut: Kondisi pendidikan dan kesehatan yang baik merupakan prasayat terbentuknya SDM yang berkualitas. Dengan SDM yang berlualitas maka masyarakat akan memiliki produktivitas tinggi. Produktivitas yang tinggi pada gilirannya akan berkontribusi sangat significant pada upaya untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi.

Kesempatan untuk dapat memperoleh pelayanan pendidikan, dengan demikian, dapat pula digunakan sebagai instrumen yang paling efektif untuk memotong matai rantai atau lingkaran setan kemiskinan (the vicious circle of poverty, di mana kemiskinan terjadi karena rendahnya produktivitas orang miskin yang disebabkan rendahnya kualitas SDM (pendidikan dan kondisi kesehatan) orang miskin tersebut. Rendahnya SDM orang miskin itu sendiri disebabkan kondisi kemiskinan mereka sehingga mereka tidak mampu melakukan investasi untuk pendidikan dan kesehatan. Bagaimana lingkaran setan kemiskinan tersebut terjadi digambarkan sebagai berikut: 
 
 
Gambar 1. Lingkaran Setan Kemiskinan
 
Selain menjadi instrumen strategis untuk memotong lingkaran setan kemiskinan, pendidikan juga punya makna sangat penting bagi upaya untuk memberdayakan kaum perempuan. Relevansi ini tidak hanya berkaitan dengan persoalan kesetaraan gender, akan tetapi juga didasarkan pada realitas bahwa, jika berbicara tentang kemiskinan, maka dari golongan kaum perempuanlah sebagian besar pemberi kontribusi kelompok miskin.

Dengan demikian pendidikan bagi kaum perempuan memiliki makna yang sangat penting. Lebih dari sekedar memberi instrumen untuk memperoleh pendapatan yang lebih baik yang pada gilirannya dapat membebaskan diri dari belenggu kemiskinan dan ketidakberdayaan, pendidikan juga akan memperbaiki kondisi kehidupan kaum perempuan dalam banyak aspek atau dimensi kehidupan mereka. Dengan pendidikan yang maju, maka kaum perempuan akan lebih banyak terekspos dengan berbagai hal seperti kesehatan, hak-hak pribadi, hak politik dan sebagainya. Meningkatnya pengetahuan kaum perempuan terhadap berbagai hal tadi pada gilirannya akan memperbaiki kondisi kesejahteraan masyarakat pada berbagai aspek, sebab kaum perempuanlah yang selama ini menjadi ujung tombak perbaikin kondisi kesejahteraan keluarga. Thomas, et.al (2000: 50-2) menjelaskan bahwa peningkatan kapasitas perempuan tidak hanya memperbaiki pendapatan mereka akan tetapi juga memperbaiki kesehatan reproduksi, menurunkan angka kematian bayi dan anak, serta dengan pengetahuannya tentu akan menguntungkan bagi pembentukan generasi berikutnya. Pendapat senada juga didukung oleh Tatyana (2000: 35) yang menyatakan bahwa pendidikan merupakan unsur yang sangat vital dalam pembangunan ekonomi. Disamping, modal fisik seperti mesin, bangunan dan sejenisnya, modal manusia merupakan unsur vital. Untuk mencapai pembangunan ekonomi yang tinggi maka diperlukan modal manusia yang berpendidikan tinggi juga.

3. Pencapaian Pendidikan Untuk Semua di Indonesia
Pendidikan dasar bagi anak laki-laki dan perempuan adalah tujuan kedua dari Millennium Development Goals (MDGs). Targetnya adalah pada tahun 2015, seluruh anak baik laki-laki maupun perempuan di mana saja mereka berada harus sudah menyelesaikan pendidikan dasar. Sebagai negara yang ikut meratifikasi MDGs/ Tujuan Pembangunan Millenium, Indonesia tidak bisa mengabaikan pembangunan di bidang pendidikan dasar ini.

Untuk dapat mewujudkan Tujuan Pembangunan Millenium bidang pendidikan tersebut tentu bukan perkara yang mudah untuk dilaksanakan. Diperlukan suatu langkah-langkah kongkrit dalam bentuk kebijakan-kebijakan, baik jangka pendek, menengah, maupun jangka panjang untuk dapat mewujudkan tujuan tersebut. Kebijakan-kebijakan tersebut tentu saja tidak hanya dibuat dan diimplementasikan oleh pemerintah pusat saja, akan tetapi juga perlu dukungan dari pemerintah daerah. Sebab, mengacu kepada Undang-Undang No. 22/1999 yang kemudian direvisi menjadi UU No. 32/2004 tentang otonomi daerah, pemerintah daerahlah yang memiliki tugas untuk menyelenggarakan urusan pelayanan pendidikan dasar (SD dan SLTP). Dengan demikian, upaya pemerintah untuk dapat mencapai Tujuan Pembangunan Millenium dalam bidang pendidikan harus juga melibatkan dukungan pemerintah daerah.

Upaya meyakinkan pemerintah daerah untuk dapat mewujudkan tujuan millenium bidang pendidikan tentu bukan pekerjaan mudah dilakukan. Selain kesadaran daerah yang masih kurang tentang pentingnya mewujudkan MDGs, persoalan yang muncul adalah rendahnya dukungan anggaran, SDM, dan infrastruktur yang ada di daerah untuk dapat mewujudkan tujuan MDGs tersebut. Terlebih lagi, koordinasi pembangunan yang tidak lagi bersifat sentralistik seperti yang terjadi pada jaman Orde Baru dalam banyak hal telah menyebabkan berbagai dokumen rencana pembangunan yang dibuat oleh pemerintah, misalnya, Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tidak selalu menjadi acuan pemerintah daerah di dalam membuat dokumen yang sama, yaitu RPJP-D dan RPJM-D. Persoalan yang muncul kemudian adalah rencana dan realisasi berbagai program pembangunan di daerah tidak selalu seiring dan sejalan dengan rencana pembangunan yang dibuat oleh pemerintah pusat.

Kondisi yang demikian sangat mungkin menyebabkan upaya untuk mencapai MDGs bidang pendidikan dasar menjadi tidak akan mudah untuk dilaksanakan. Hanya apabila pemerintah memiliki kapasitas untuk meyakinkan pemerintah daerah bahwa MDGs merupakan hal yang penting yang harus diwujudkan dan diikuti dengan dukungan instrumen koordinasi yang baik saja maka MDGs bidang pendidikan akan dapat dicapai.

Untuk mengetahui sejauh mana pencapaian MDGs bidang pendidikan, maka analisis pada sub bab ini akan dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama akan dilakukan review terhadap berbagai kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah sebagai upaya untuk mewujudkan MDGs tersebut. Pada bagian berikutnya analisis akan lebih diarahkan untuk mengetahui sejauh mana implementasi berbagai macam program tersebut mampu mewujudkan tujuan pembangunan millenium bidang pendidikan.

* Kebijakan Pemerintah Untuk Mencapai MDGs Bidang Pendidikan

Pemerintah telah banyak melaksanakan kebijakan dan program untuk menjamin pendidikan. Komitmen pemerintah untuk menjamin pendidikan ini sangatlah penting mengingat pendidikan merupakan kebutuhan utama untuk mewujudkan masyarakat sejahtera. Mengingat keterbatasan yang dimiliki oleh pemerintah, maka program pendidikan dasar yang menjadi prioritas kewajiban pemerintah. Sebagai wujud konkrit atas pentingnya pendidikan dasar, UUD 1945 pasal 31 (termasuk juga pasal 31 dalam Perubahan keempat Undang-undang Dasar 1945) yang menyatakan bahwa pemerintah bertanggung jawab atas pendidikan dasar. Hal ini tertuang secara jelas pada ayat 1 dan ayat  2, seperti dibawah ini.

Pasal 31
Ayat 1: “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”
Ayat 2: “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”
Kemudian komitmen pemerintah terhadap anggaran tertuang pada pasal 31 ayat 4, yaitu anggaran pendidikan minimal harus 20% dari APBN dan APBD, seperti dikutip di bawah ini:
Ayat 4: “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”.
Komitmen pemerintah mengenai pendidikan dasar ini dipertegas lagi dalam UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS), yaitu pada pasal 17 dan pasal 34.
Pasal 17
(1)   Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah
(2)   Pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs) atau bentuk lain yang sederajat
(3)   Ketentuan mengenai pendidikan dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah
Pasal 34
(1)   Setiap warga negara yang berusia 6 tahun dapat mengikuti program wajib belajar
(2)   Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya
(3)   Wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat.
(4)   Ketentuan mengenai wajib belajar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah (PP).

Pemerintah bahkan menerbitkan kebijakan yang populer untuk mengatasi putus sekolah pada tingkat pendidikan dasar yaitu dengan Bantuan Operasional Sekolah (BOS).  Program penanggulangan putus pendidikan dasar telah banyak diterbitkan. Program yang paling populer saat ini adalah Bantuan Operasional Sekolah atau yang lebih dikenal dengan BOS. Tujuan pemerintah menciptakan program BOS ini adalah agar semua anak terutama dari keluarga miskin dapat mencapai kelulusan pada tingkat pendidikan dasar.
Sejak tahun 2001 sampai Juni 2005, pemerintah telah mengalokasikan sebagian dari penghematan subsidi BBM yang kemudian dialokasikan sebagai Dana Bantuan Khusus Murid (BKM) bagi keluarga miskin. Untuk periode Juli–Desember 2005, pemerintah menegaskan untuk melakukan perubahan penerima langsung dana tersebut, dari keluarga ke sekolah berupa Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Program BOS ini didasarkan pada jumlah siswa yang terdaftar dalam satu sekolah. Sejak Juli 2005, pemerintah telah menyerahkan dana BOS ke seluruh sekolah SD dan SMP, dan secara terbatas masih melanjutkan program BKM. Mekanisme alokasi bantuan yang baru ini telah banyak mengubah anggaran pendidikan dasar dan pendidikan menengah pertama. Perubahan ini menunjukkan bahwa pemerintah pusat kini medanai bagian yang cukup besar untuk biaya operasional sekolah.
Program BOS mencakup sekitar 41 juta siswa dengan rincian 62 persen berada pada jenjang sekolah dasar dan 38 persen pada pendidikan sekolah menengah pertama. Program BOS telah menyalurkan sebanyak Rp 5.3 triliun antara Juni–Desember 2005 dan selanjutnya Rp 11.12 triliun di tahun 2006, atau sekitar 25 persen dari keseluruhan anggaran pemerintah pusat untuk sektor pendidikan. Besarnya anggaran untuk setiap sekolah ditentukan oleh jumlah siswa, untuk sekolah dasar menerima Rp 235.000 (sekitar AS$25) per siswa per semester, dan siswa sekolah menengah pertama menerima Rp 324.500 (kira-kira AS$35). Dana BOS tersebut digunakan untuk menanggulangi biaya operasional sekolah dan sekolah pun diharapkan dapat menurunkan atau bahkan menghapuskan uang SPP (sumbangan pembinaan pendidikan). Dana BOS disalurkan secara langsung ke sekolah. Sekolah harus memiliki nomor rekening bank yang akan digunakan untuk menyimpan dana tersebut untuk mencegah terjadinya kebocoran, serta untuk meningkatkan transparansi.
Selain itu, Laporan Bappenas yang berjudul Tema dan Prioritas Pembangunan Nasional tahun 2007, menetapkan prioritas pembangunan bidang pendidikan  tahun 2007, adalah sebagai berikut:
  1. Beasiswa siswa miskin jenjang SD/MI dan SMP/MTs.
  2. Beasiswa siswa miskin jenjang SMA/SMK/MA.
  3. Pengembangan pendidikan keaksaraan fungsional.

* Hasil-Hasil yang Dicapai
Sebagaimana diuraikan di depan, berbagai kebijakan telah dibuat oleh pemerintah sebagai upaya untuk mewujudkan Tujuan Pembangunan Millenium di Indonesia, termasuk tujuan yang kedua yaitu keberhasilan bidang pendidikan. UNDP mengukur keberhasilan dalam implementasi kebijakan bidang pendidikan melalui tiga indikator, seperti angka melek huruf (literacy rate), angka partisipasi sekolah (school enrollment ratio) dan lama studi yang ditempuh ( mean years of schooling).
Ketiga indikator tersebut akan dipakai sebagai instrumen analisis untuk menilai sejauh mana keberhasilan atau kinerja implementasi berbagai kebijakan untuk menyediakan layanan pendidikan bagi semua di Indonesia.

Tabel 2. Persentase Penduduk 10 Tahun ke Atas yang Buta Huruf menurut Tipe Daerah, Kelompok Umur dan Jenis Kelamin, Tahun 2006

Tipe Daerah/
Jenis Kelamin
Kelompok Umur (tahun)
10 - 14
15 – 24
25 - 44
Perkotaan:
Laki-laki (L)
0,59
0,57
1,04
Perempuan (P)
0,40
0,48
2,49
L+P
0,50
0,52
1,78
Perdesaan:
Laki-laki (L)
1,49
1,71
3,81
Perempuan (P)
1,25
1,98
7,26
L+P
1,37
1,84
5,58
Perkotaan dan Perdesaan
Laki-laki (L)
1,13
1,20
2,54
Perempuan (P)
0,91
1,27
5,08
L+P
1,02
1,24
3,84
Sumber: BPS, Susenas Tahun 2006 dalam Statistik Pendidikan, 2006 (56).

Dari Tabel 2 di atas terlihat bahwa persentase angka melek huruf di Indonesia boleh dikatakan cukup tinggi, yaitu di atas 90 persen, baik di daerah perkotaan maupun di daerah perdesaan. Jika dilihat dari kelompok umur, rata-rata angka melek huruf yang tinggi berada pada kelompok umur 10-14 tahun, yaitu 98,98%, disusul oleh kelompok umur 15-24  dan 25-44, masing-masing 98,76% dan 96,16% pada tahun 2006. Di Indonesia, proporsi melek huruf  telah mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Apabila dilihat pada tahun 2004, maka angka melek huruf untuk kelompok umur 15-19 tahun sebesar 98,84% (Indikator Kesejahteraan Rakyat 2005:18). Tingginya angka melek huruf tersebut tidak terlepas dengan keberhasilan pemerintah untuk meningkatkan Angka Partisipasi Sekolah (APS). Seperti yang dapat dilihat pada Tabel 3, Indonesia telah berhasil mencapai Angka Partisipasi Sekolah diatas 90% untuk  Sekolah Dasar selama periode 1995 hingga 2005.

 Tabel 3. Angka Partisipasi Sekolah (APS) pada Berbagai Jenjang Pendidikan, Tahun 1995-2005 (dalam %)

APS
1995
1998
2000
2002
2004
2005
SD
91,5
92,3
92,4
92,7
92,7
93,2
SMP
51,0
58,4
61,7
61,7
60,9
65,2
SMA
32,6
36,9
39,5
39,5
36,8
41,7

Berdasarkan Tabel 3 di atas menunjukkan bahwa proporsi murid yang mampu melanjutkan pada jenjang pendidikan menengah baru sekitar 50%. Angka Partisipasi Sekolah (APS) atau yang juga sering disebut scholl enrollment pada Sekolah Dasar (SD) memang sangat tinggi yaitu diatas 90%. Namun kemudian terjadi penurunan APS pada Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA).  Meskipun selama periode tahu 1995-2005 tingkat APS pada jenjang Sekolah Menengah Pertama terus mengalami peningkatan tetapi nilainya masih jauh dari persentase APS pada jenjang pendidikan Sekolah Dasar. Tingkat APS pada jenjang pendidikan Sekolah Menengah Pertama hanya berkisar 50-65% selama periode 1995-2005. Dan tingkat APS makin mengalami penurunan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Rendahnya proporsi penduduk  yang melanjutkan ke Sekolah Menengah  (SMP dan SMA) menyebabkan angka rata-rata lama sekolah yang rendah.

Tabel 4. Rata-rata Lama Sekolah Penduduk Berumur 15 Tahun ke Atas menurut Tipe Daerah dan Jenis Kelamin, tahun 2004,  2005 dan 2006 (dalam tahun)

Jenis kelamin
Perkotaan
Perdesaan
Perkotaan+Perdesaan
2004
2005
2006
2004
2005
2006
2004
2005
2006
Laki-laki(L)
9,3
9,4
9,48
6,6
6,5
8,53
7,8
7,8
9,00
Perempuan(P)
8,2
8,4
6,68
5,5
5,5
5,72
6,7
6,8
6,20
L+P
8,8
8,9
7,92
6,0
6,0
6,97
7,2
7,3
7,44
Sumber:           Indikator Kesejahteraan Rakyat, 2005 (19) dan BPS, Susenas dalam Statistik Pendidikan, 2006 (57).

Keberhasilan Indonesia dalam pembangunan untuk meningkatkan pencapaian melek huruf dan partisipasi penduduk agar bersekolah memang telah membuahkan hasil yang relatif tinggi. Setelah tahun 2000, tingkat melek huruf  telah mencapai angka di atas 90%. Namun apabila dilihat dari rata-rata lama sekolah, kondisi pendidikan Indonesia masih sangat memprihatin. Secara umum, rata-rata lama sekolah yang masih pada kisaran 7,2 hingga 7,4 tahun selama tahun 2004 sampai 2006. Angka ini menunjukkan bahwa pendidikan dasar 9 tahun belum sepenuhnya tercapai. Belum tercapainya target pendidikan dasar 9 tahunmemang merupakan permasalahan yang sangat penting. Permasalahan penting lainnya menurut Tabel 4 adalah masih terjadinya disparitas rata-rata lama sekolah menurut wilayah kota-desa dan jenis kelamin. Penduduk laki-laki di wilayah perkotaan telah mengenyam pendidikan dasar 9 tahun, tetapi hal ini tidak sama dengan kaum laki-laki yang tinggal di wilayah pedesaan.
Tabel 4 juga memberikan gambaran bahwa program Pendidikan untuk Semua  masih terjadi disparitas antar wilayah kota-desa. Daerah perkotaan mencapai hasil yang lebih tinggi untuk angka rata-rata lama bersekolah dibandingkan daerah perdesaan. Jika Tabel 4 telah menunjukkan betapa disparitas mengenai rata-rata lama bersekolah terjadi antar desa-kota dan jenis kelamin, lalu bagaimanakah gambaran menurut wilayah propinsi. Apakah rata-rata lama sekolah juga terjadi disparitas antar propinsi? Tabel  5 di bawah ini akan menyajikan data rata-rata lama sekolah propinsi-propinsi di Indonesia tahun 1999 dan 2002.

Tabel 5. Rata-rata Lama Sekolah di Indonesia 1999 dan 2002 (dalam tahun)

No
Nama Propinsi
1999
2002
1
Nangroe Aceh D
7,2
7,8
2
Sumatera Utara
8,0
8,4
3
Sumatera Barat
7,4
8,0
4
Riau
7,3
8,3
5
Jambi
6,8
7,4
6
Sumatera Selatan
6,6
7,1
7
Bengkulu
7,0
7,6
8
Lampung
6,4
6,9
9
Bangka Belitung
6,5
6,6
10
DKI Jakarta
9,7
10,4
11
Jawa Barat
6,8
7,2
12
Jawa Tengah
6,0
6,5
13
D.I. Yogyakarta
7,9
8,1
14
Jawa Timur
5,9
6,5
15
Banten
7,7
7,9
16
Bali
6,8
7,6
17
NTB
5,2
5,8
18
NTT
5,7
6,0
19
Kalimantan Barat
5,6
6,3
20
Kalimantan Tengah
7,1
7,6
21
Kalimantan Selatan
6,6
7,0
22
Kalimantan Timur
7,8
8,5
23
Sulawesi Utara
7,6
8,6
24
Sulawesi Tengah
7,0
7,3
25
Sulawesi Selatan
6,5
6,8
26
Sulawesi Tenggara
6,8
7,3
27
Gorontalo
6,3
6,5
28
Maluku
7,6
8,0
29
Maluku Utara
6,5
8,4
30
Papua
5,6
6,0

INDONESIA
6,7
7,1
      Sumber: Laporan Pembangunan Manusia, 2004: 106-113

Disparitas rata-rata lama sekolah juga terjadi antar propinsi di Indonesia. Tabel 5 memperlihatkan gambaran yang sama halnya dengan Tabel 4, yaitu kondisi Indonesia secara umum yang masih jauh dari harapan tercapainya Wajar 9 tahun. Hanya propinsi DKI Jakarta yang telah mampu mencapainya. Hal ini ditunjukkan baik pada tahun 1999 dan 2002, rata-rata lama sekolah diatas 9 tahun, yaitu 9,7 (1999) dan 10,4 (2002). Sedangkan propinsi DIY yang terkenal dengan julukan kota pelajar belum mampu mencapai nilai rata-rata lama sekolah untuk program Wajar 9 tahun. Pada tahun 1999, rata-rata lama sekolah yang dicapainya hanya sebesar 7,9. Meskipun pada tahun 2002 rata-rata lama sekolah mengalami peningkatan tetapi tetap belum memenuhi target untuk program Wajar karena nilainya hanya sebesar 8,1. Propinsi-propinsi yang termasuk rendah dalam pencapaian nilai rata-rata lama studi adalah NTB, NTT, Kalimantan Barat dan Papua.  Berkaitan dengan rata-rata lama studi adalah siswa yang mengalami putus sekolah atau tidak lagi melanjutkan sekolah. Tabel 6 menyajikan alasan penduduk yang berumur 7-18 tahun untuk tidak melanjutkan sekolah.

Tabel 6.   Persentase Penduduk Berumur 7-18 Tahun yang Tidak/Belum Pernah Sekolah/Tidak Bersekolah Lagi menurut Alasan Tidak Melanjutkan Sekolah, Tipe Daerah dan Jenis Kelamin, Tahun 2006.  


Perkotaan
Perdesaan
Perkotaan+Perdesaan
L
P
L+P
L
P
L+P
L
P
L+P
1.  Tidak ada biaya
30,74
32,63
31,70
38,72
38,98
38,85
35,31
36,24
35,78
2.  Tidak suka / malu
2,46
2,14
2,30
4,04
3,90
3,97
3,36
3,14
3,25
3.  Bekerja
42,91
14,38
28,45
31,51
8,35
19,87
36,38
10,95
23,56
4.  Menikah
2,63
29,57
16,29
4,24
26,42
15,39
3,55
27,78
15,77
5.  Tidak diterima+dikeluarkan
0,30
0,30
0,30
0,23
0,18
0,21
0,26
0,23
0,25
6.  Sekolah Jauh
0,65
0,95
0,80
3,38
4,01
3,70
2,21
2,68
2,45
7.   Merasa pendidikan cukup
9,46
9,02
9,24
5,78
5,09
5,43
7,36
6,79
7,07
8.   Cacat
0,39
0,32
0,35
0,41
0,37
0,39
0,40
0,35
0,37
9.   Menunggu pengumuman
0,18
0,19
0,19
0,07
0,07
0,07
0,12
0,12
0,12
10. Sudah diterima tp belum sekolah
0,13
0,13
0,13
0,07
0,07
0,07
0,10
0,09
0,10
11. Belum cukup umur
2,95
2,62
2,79
3,70
3,33
3,51
3,38
3,02
3,20
12. Lainnya
7,19
7,75
7,47
7,85
9,24
8,55
7,56
8,59
8,08
Total
100,00
100,00
100,00
100,00
100,00
100,00
100,00
100,00
100,00
Sumber: BPS, Susenas Modul tahun 2006 dalam Statisik Pendidikan, 2006 (61)

Seperti yang dapat dilihat pada Tabel 6, permasalahan ekonomi mendominasi alasan tidak melanjutkan sekolah, Di daerah perkotaan maupun perdesaan sebesar 35,78% murid tidak melanjutkan sekolah karena tidak ada biaya. Di perdesaan, proporsi yang tidak melanjutkan sekolah karena alasan biaya lebih tinggi sekitar 3% dibandingkan di daerah perkotaan. Kemudian sebesar 23,56% mereka harus bekerja mencari nafkah. Proporsi penduduk laki-laki memang mendominasi tidak melanjutkan sekolah karena mereka harus bekerja. Faktor kedua adalah berkaitan dengan budaya yaitu menikah sebesar 15,77%. Dan sebesar 7,07% mereka merasa bahwa sekolahnya sudah cukup. Disamping faktor ekonomi dan budaya, faktor kekurangan infrastruktur dan fasilitas sekolah masih sebesar 2,45%.

Tabel 7.   Persentase Penduduk Berumur 10 tahun ke atas menurut Propinsi dan Ijazah/STTB Tertinggi yang Dimiliki, 2004

No
Propinsi
Tidak mempunyai ijazah
sd/mi
sltp/mtS
SMU
1
Nangroe Aceh D
21,48
29,37
23,44
19,67
2
Sumatra Utara
21,92
28,03
23,94
18,14
3
Sumatra Barat
28,92
27,16
18,99
16,02
4
Riau
23,11
28,94
20,00
19,13
5
Jambi
27,56
33,09
19,94
12,89
6
Sumatra Selatan
27,82
35,10
18,05
13,15
7
Bengkulu
27,74
29,37
19,73
14,87
8
Lampung
31,46
33,43
19,10
10,43
9
Bangka Belitung
37,46
31,94
14,33
8,56
10
DKI Jakarta
12,02
20,29
21,53
27,01
11
Jawa Barat
26,63
37,86
16,84
12,06
12
Jawa Tengah
32,27
35,78
16,47
8,59
13
DIY
26,58
22,30
17,13
18,38
14
Jawa Timur
34,07
31,98
16,02
10,58
15
Banten
26,85
32,18
17,54
15,84
16
Bali
30,61
27,95
13,89
17,95
17
NTB
45,19
26,36
13,55
10,60
18
NTT
41,24
33,32
11,69
8,66
19
Kalimantan Barat
39,48
29,16
17,37
9,33
20
Kalimantan Tengah
22,64
35,86
23,35
12,36
21
Kalimantan Selatan
29,65
34,08
17,39
12,74
22
Kalimantan Timur
22,39
26,74
20,66
19,41
23
Sulawesi Utara
20,18
28,09
23,01
19,93
24
Sulawesi Tengah
26,41
36,44
18,77
11,51
25
Sulawesi Selatan
35,68
28,68
15,75
12,58
26
Sulawesi Tenggara
28,96
31,05
18,68
14,34
27
Gorontalo
35,28
35,78
12,25
10,46
28
Maluku
20,72
33,39
21,22
17,40
29
Maluku Utara
30,11
30,88
20,40
13,38
30
Papua
44,27
23,66
14,38
11,24

INDONESIA
29,40
32,27
17,62
13,07
Sumber: Statistik Kesejahteraan Rakyat , BPS, 2004: 122-123.

Seperti yang ditampilkan pada Tabel 4 dan 5 berdasarkan indikator rata-rata lamanya studi bahwa pencapaian tujuan MDGs kedua masih jauh dari yang diharapkan. Secara nasional pada tahun 2004, hanya sebesar 17,62% penduduk yang telah lulus program Wajar. Pada tahun yang sama persentase terbesar penduduk Indonesia hanya memiliki ijasah kelulusan SD/MI yaitu sebesar 32, 27%. Kondisi yang sangat mememerlukan perhatian besar bahwa ternyata persentase penduduk yang tidak lulus SD juga sangat besar yaitu 29,4%. Sedangkan persentase penduduk yang sampai pada tingkat Sekolah Menengah Kejuruan, Diploma I, Akademi, Universitas dan S2/S3 secara keseluruhan hanya sebesar 7,64%.

4. Komitmen Internasional
Sebenarnya negara-negara maju telah lama berkomitmen untuk membantu  program pendidikan di negara berkembang. Kesepakatan negara-negara maju terutama diperuntukkan terhadap program Education for All (EFA) yang diawali di Jomtien pada tahun 1990. Kesepakatan yang dibangun di Jomtien, Thailand pada tahun 1990 adalah EFA dan menurunkan buta aksara secara masif. Kemudian kesepakatan ini diperkuat setelah kemunculan program MDGs dengan mengadakan pertemuan di Dakar pada tahun 2000. Kesepakatan yang dibangun di Dakar berisikan enam tujuan utama yaitu:
1.       Memperluas pendidikan untuk anak usia dini
2.       Menuntaskan wajib belajar untuk semua (2015)
3.       Mengembangkan proses pembelajaran/keahlian untuk orang muda dan dewasa
4.       Meningkatnya 50% orang dewasa yang melek huruf (2015), khususnya perempuan
5.       Menghapuskan kesenjangan gender
6.       Meningkatkan mutu pendidikan
Untuk mencapai enam tujuan tersebut maka strategi penting adalah memastikan dukungan dana dan membangun kemitraan antara pemerintah dengan Civil Society Organizations.  Namun karena MDGs dan program EFA dibangun melaui kesepakatan internasional maka dukungan internasional pun sangat penting. Komunitas Donor  dan Badan-Badan Multilateral menyatakan dukungan kepadan PUS dan MDGs adalah G8, EU, The IFIS (World Bank dan ADB). Pada konferensi mengenai pendanaan pembangunan di Monterrey Mexico, Maret 2002 dan dialog tingkat tinggi di New York, Oktober 2003, mereka berkomitmen untuk menambahkan sumbangan untuk program EFA sebesar $16 milyar.
Tetapi, realitanya komunitas donor ini tidak memenuhi komitmen mereka. Dukungan dana yang diberikan hanya sangat kecil yaitu $ 5 milyar (1990) dan $  4 milyar (2000). Sedangkan selama tahun 90an, hanya sekitar 8% dari bantuan bilateral diberikan untuk bidang pendidikan.
Mereka justru berargumentasi bahwa negara tidak akan dapat memenuhi pembiayaan pendidikan keseluruhan. Seperti argumen yang dikemukakan Muchtar (2003), ketika negara miskin tidak dapat memenuhi pembiayaan pendidikan keseluruhan  maka negara tersebut harus mendapatkan  alternatif untuk pembiayaan pendidikan dengan memberikan saran sebagai berikut:
  1. Cost Recovery
  2. Biaya pendidikan ditanggung oleh komunitas pemakai.
  3. Penyediaan pelayanan pendidikan lebih besar diserahkan kepada pasar
  4. Sehingga partisipasi sektor swasta yang lebih besar
  5. Dalam rangka era desentralisasi Pemerintah Pusat memberikan beban peran lebih besar kepada pemerintah daerah
  6. Tidak ada lagi subsidi untuk pendidikan setingkat universitas
Saran dari Bank Dunia dan ADB ini berimplikasi pada privatisasi pendidikan di negara-negara miskin dan berkembang.Padahal perspektif right based approach, pendidikan adalah hak dasar rakyat  dan negara harus menyelenggarakan pendidikan gratis dan bermutu sebagai usaha memenuhi hak dasar ini.
Privatisasi pendidikan di Indonesia memberikan dampak yang kontraproduktif terhadap pencapaian MDGs. Fenomena privatisasi yang menyebabkan makin tingginya biaya pendidikan ini setidaknya berimplikasi pada:
  • Terjadinya proses pemiskinan dan pembodohan pada masyarakat yang semakin kuat
  • Tidak ada perhatian dan prioritas untuk:
-             Perbaikan kualitas pendidikan
-             Program pendidikan untuk kelompok-kelompok  masyarakat yang tidak beruntung
-             Semakin terkotak-kotaknya masyarakat Indonesia berdasarkan status sosial ekonomi, antara yang kaya dan miskin

 5.  Pengeluaran Publik untuk Pendidikan di Indonesia
Indonesia menargetkan 100% APS di tingkat SD dan 96% di SMP pada tahun 2009. UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa setiap anak yang berumur 7 sampai 15 tahun harus menyelesaikan pendidikan dasar. UU No. 20/2003 ini memberikan implikasi bahwa pemerintah seharusnya menyediakan pelayanan pendidikan gratis untuk semua. Kemudian hal ini dituangkan dalam program Pendidikan untuk Semua (PUS) atau sering disebut sebagai Education for All (EFA). Program Pendidikan untuk Semua (PUS) ditujukan untuk: (i). Seluruh siswa dapat ditampung sampai tingkat pendidikan sekolah menengah pertama, (ii). Menjamin bahwa anak-anak dari keluarga miskin memiliki akses yang sama dan penuh terhadap sekolah yang menyediakan lingkungan belajar yang menarik dan pengajaran yang efektif, dan (iii). Menyediakan pendidikan dengan mutu yang dapat dipertanggungjawabkan dan sesuai dengan kondisi sosial ekonomi Indonesia.
Namun tantangan terberat yang dihadapi saat ini setidaknya ada tiga hal, yaitu:
1). Kesenjangan APS antara tingkat SD dengan SMP
2). Kesenjangan APS akibat perbedaan status sosial ekonomi terutama pada tingkat SMP
3). Kesenjangan APS karena faktor geografis.

1). Kesenjangan APS antara tingkat SD dengan SMP

Grafik 1. Angka Partisipasi Sekolah pada Berbagai Jenjang Pendidikan, 1970-2005
 

Sumber: Kajian Pengeluaran Publik Indonesia, 2007:31

Semakin tinggi jenjang pendidikan justru akan semakin rendah Angka Partisipasi Sekolah (APS). Pada grafik 1 di atas menunjukkan bahwa Angka Partisipasi Sekolah untuk jenjang pendidikan Sekolah Dasar (SD) yaitu pada anak usia 7-12 tahun selalu mencapai nilai diatas 90%. Akan tetapi tidak demikian untuk jenjang pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) yaitu anak usia 13-15. Pada jenjang pendidikan SMP ini, Angka Partisipasi Sekolah (APS) hanya menunjukkan kisaran 50% hingga 65% selama tahun 1995-2005. Kemudian pada jenjang pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA), Angka Partisipasi Sekolah semakin mengalami penurunan. Nilai APS pada jenjang pendidikan SMA ini hanya mencapai nilai sebesar 17% pada tahun 1970 dan 41,7% pada tahun 2005.


2). Kesenjangan APS akibat perbedaan status sosial ekonomi

Grafik 2.    Partisipasi Sekolah menurut Golongan Pendapatan 2004


 Catatan: Q1= Quintile termiskin dan Q5 = Quintile terkaya

Pada jenjang pendidikan Sekolah Dasar (SD) yaitu pada kelompok anak usia 7-12 tahun, Angka Partisipasi Sekolah (APS) hampir sama pada kelima kelompok berdasarkan pendapatan tersebut. Kemudian pada jenjang pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP), Angka Partisipasi Sekolah (APS) mulai terjadi perbedaan antar golongan masyarakat menurut tingkat pendapatannya. Tetapi perbedaan pada jenjang pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) tidak setajam seperti pada jenjang pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA). Selain tidak terjadi perbedaan yang tajam antar golongan masyarakat yang didasarkan pada tingkat pendapatan, Angka Partisipasi Sekolah pada jenjang pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP)  juga mencapai nilai yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan pencapain APS pada jenjang pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA). Angka Partisipasi Sekolah (APS) ini mengalami perbedaan yang cukup tajam antar kelompok pendapatan pada jenjang pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) yaitu pada anak usia 16-18 tahun.
Disamping terjadi perbedaan yang cukup tajam antar golongan masyarakat yang didasarkan pada tingkat pendapatan, Angka Partisipasi Sekolah pada jenjang pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) juga tidak mampu mencapai nilai yang tinggi sebagaimana tingkat pencapain APS pada jenjang pendidikan Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Banyak aspek yang mempengaruhi terjadinya disparitas dalam pemenuhan pendidikan seperti kemiskinan, bencana alam, krisis, perang, eksklusi sosial serta alokasi investasi publik yang tidak tepat. Tingginya perbedaan APS antar kelompok masyarakat berdasarkan pada status sosial ekonomi terutama pada jenjang pendidikan menengah sangat tidak menguntungkan. Apabila distribusi akses pendidikan terlalu asimetris maka terdapat kerugian yan amat besar karena kemampuan masyarakat tidak dimanfaatkan dengan optimal (Thomas, et.al. 2000:58-59). Fenomena seperti ini tentu saja memberikan implikasi bahwa negara harus memiliki peran yang lebih besar.

Grafik 3. Persentase Pengeluaran Publik untuk Bidang Pendidikan
 


Sumber: Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007:34 (diolah)
 
Dewasa ini negara-negara berkembang makin meningkatkan perhatiannya pada bidang pendidikan dibanding selama era tahun 1980. Hal ini cukup beralasan karena masyarakat dengan tingkat pendidikan yang baik maka akan memberikan kontribusi yang besar terhadap proses pembangunan. Peningkatan persentase pengeluaran publik untuk bidang pendidikan juga dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Sejak tahun 2001, Indonesia telah mengalami peningkatan persentase pengeluaran publik untuk bidang pendidikan.

Namun demikian, persentase pengeluaran publik untuk bidang pendidikan negara-negara berkembang tetap masih lebih kecil dibandingkan negara maju. Di negara berpendapatan tinggi (high-income countries), persentase pengeluaran publik untuk bidang pendidikan sebesar 5,6% dari GDP, sementara negara berpendapatan menengah (middle-income countries) sebesar 4,4% dari GDP dan negara miskin (low-income countries) hanya sebesar 3,4 (Tatyana, 2000 dan HDI, 2006). Berikut data pengeluaran publik untuk bidang pendidikan di empat negara ASEAN yaitu Malaysia, Thailand, maupun Filipina. Indonesia menempati posisi paling bawah untuk pengeluaran publik bidang pendidikan yaitu hanya 14,2%. Semenatara itu, Malaysia dan Thailand yang menempati posisi paling atas untuk pengeluaran publik bidang pendidikan yaitu 27% sedangkan Filipina sebesar 16%. Kondisi yang memprihatinkan lagi bahwa PDB perkapita di Indonesia paling rendah diantara empat negara ASEAN tersebut, tetapi persentase pengeluaran publik untuk bidang pendidikan justru yang paling rendah. Kondisi ini memberikan implikasi bahwa biaya pendidikan akan menjadi tanggung jawab yang lebih besar bagi masyarakat meskipun Indonesia hanya memiliki PDB perkapita rendah.


Tabel 8. Pengeluaran Publik Bidang Pendidikan di Malaysia, Thailand, Filipina dan Indonesia tahun 2004


malaysia
THAILAND
filipina
indonesia
Persentase pengeluaran publik untuk bidang pendidikan dari total pengeluaran pemerintah
28
27
17,2
9
Per kapita PDB (harga US$ pada konstan 2000)
4.290
2.356
1.085
906
Jumlah penduduk (juta)
24,4
63,7
81,6
217,6
Persentase jumlah penduduk berumur 0-14
3,0
4,1
2,8
3,5
Sumber:   Tabel HDI 2006

Setelah diketahui bahwa komitmen pemerintah Indonesia terhadap bidang pendidikan berada pada peringkat yang paling bawah diantara negara-negara Malaysia, Thailand dan Filipina. Selanjutnya bagaimanakah pembagian kewenangan dan tanggung jawab antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah setelah era desentralisasi dan otonomi daerah. Selama masa pemerintahan Orde Baru, anggaran bidang pendidikan menjadi beban pemerintah pusat secara keseluruhan. Setelah era desentralisasi dan otonomi daerah seharusnya porsi anggaran akan lebih besar menjadi tanggung jawab kepada pemerintah kabupaten/kota. Kemudian bagaimana nasib dunia pendidikan setelah era desentralisasi dan otonomi daerah ini? Berikut di bawah ini akan ditampilkan tabel untuk melihat komposisi pengeluaran publik untuk sektor pendidikan berdasarkan tingkat pemerintahan.

Tabel 9. Komposisi Pengeluaran Publik untuk Sektor Pendidikan berdasarkan Tingkat Pemerintahan, 2001-2004
Tingkat
Pemerintah
2001
2002
2003
2004
Rp
%
Rp
%
Rp
%
Rp
%
Pusat
14,1
33
14,7
29
22,5
35
19,4
31
Pembangunan
8,5
60
9,2
62
15,6
69
12,3
63
Rutin
5,6
40
5,6
38
6,9
31
7,1
37
Propinsi
1,9
4,6
4,0
7,8
3,9
6,1
3,8
6
Pembangunan
1,4
70
2,6
66
3,1
80
3,0
79
Rutin
0,6
30
1,4
34
0,8
20
0,8
21
Kab/Kota
26,2
62
32,6
63
38,3
59
39,8
63
Pembangunan
3,0
11
4,6
14
5,3
14
4,6
12
Rutin
23,2
89
28,0
86
33,0
86
35,2
88
Total
42,3
100
51,3
100
64,8
100
63,1
100
Sumber: Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007, hal:35.
 
Tabel 9 menampilkan komposisi pengeluaran publik untuk sektor pendidikan berdasarkan tingkat pemerintahan di Indonesia. Pemerintah kabupaten/kota memang memiliki kontribusi yang paling besar dalam belanja publik untuk sektor pendidikan selama periode 2001-2004. Akan tetapi proporsi yang lebih besar belanja publik untuk bidang pendidikan yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota bukan untuk pengeluaran pembangunan melainkan untuk belanja rutin yang berupa belanja pemerintah untuk gaji pegawai. Rata-rata pengeluaran untuk pembangunan hanya berkisar 11-14%, sedangkan proporsi yang dialokasikan untuk belanja rutin/belanja pegawai rata-rata adalah sebesar 85%. Hal ini menunjukkan bahwa setelah Otonomi Daerah, pemerintah Kabupaten/Kota tidak memiliki kemampuan yang besar untuk meningkatkan pelayanan publik di bidang pendidikan. Sebagai konsekuaensi hal tersebut maka dalam periode yang sama, tugas pembangunan sektor pendidikan masih menjadi tanggung jawab pemerintah pusat dan propinsi yaitu dengan proporsi di atas 50%. Dwiyanto et.al (2003), berdasarkan hasil penelitian Governance and Decentralization Survey (GDS), menemukan bahwa setelah implementasi undang-undang otonomi daerah ternyata tidak membawa perubahan yang significant pada pelayanan kesehatan dan pendidikan jika dilihat dari beberapa indikator seperti: keberadaan Perda yang mengatur masalah pelayanan pendidikan dan kesehatan, orientasi Perda tersebut kepada kepentingan pemerintah atau kepentingan publik, dan alokasi anggaran untuk pelayanan dalam bidang kesehatan dan pendidikan. Hal senada diungkapkan oleh Purwanto (2006: 6) Otonomi Daerah ternyata tidak membuat pelayanan pendidikan berubah menjadi lebih baik. Di beberapa daerah, sejak otonomi justru membuat pelayanan bidang pendidikan makin mahal dan tidak terjangkau oleh masyarakat. Sedikitnya perhatian yang diberikan oleh pemerintah daerah telah menjadi sebab meningkatnya angka putus sekolah. Lemahnya komitmen pemerintah daerah terhadap pelayanan pendidikan secara nyata terlihat dari banyaknya gedung-gedung sekolah dasar yang roboh dan tidak layak untuk dipakai. Selain itu, kurang sensitifnya perhatian pemerintah daerah terhadap kesulitan yang dihadapi oleh masyarakat dalam memenuhi kebutuhan akan pendidikan telah menimbulkan beberapa kasus anak SD yang tidak mampu membayar SPP.

Kondisi yang demikian ini tidak akan mampu menjadi faktor pendorong terhadap peningkatan kualitas pelayanan pendidikan. Akibatnya biaya untuk pelayanan pendidikan akan dibebankan kepada masyarakat. Sementara itu dilihat bahwa PDB perkapita Indonesia paling rendah diantara negara-negara Malaysia, Thailand dan Filipina maka akan menjadi sulit bagi masyarakat Indonesia untuk mencapai pendidikan yang baik. Hal ini dapat dilihat pada pencapaian APS untuk jenjang pendidikan yang semakin tinggi maka APS semakin rendah.


6.  Komitmen Pemerintah yang Melemah
Komitmen pemerintah yang kurang terhadap anggaran bidang pendidikan memunculkan sejumlah problema sosial. Dampak yang paling kronis adalah belum tercapainya Wajib Belajar 9 tahun secara merata. Disamping itu, rendahnya anggaran ini juga berakibat bahwa pendanaan pendidikan menjadi tanggungjawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat seperti yang tertuang pada UU No 20 tahun 2003 pasal 34 ayat 3. Pasal tersebut jelas bertentangan dengan amanat UUD 1945. Menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat telah membangun logika aparatur pemerintah bahwa pemerintah bertanggung jawab separuh dan separuh lagi ditanggung oleh masyarakat yaitu orang tua siswa. Hal ini memunculkan legalitas bahwa sekolah memungut berbagai iuran dan sumbangan kepada orangtua siswa. Akibatnya pendidikan menjadi mahal dan hanya menyentuh kelompok masyarakat dengan status ekonomi menengah keatas. Sehingga anak-anak dari kelompok masyarakat miskin tidak mampu membiayai sekolah. Jika kita membuat perbandingan antara rata-rata penghasilan penduduk Indonesia dengan rata-rata biaya pendidikan memang akan terlihat betapa mahalnya pendidikan di Indonesia. Berikut ini kutipan tabel mengenai rincian biaya pendidikan selama satu tahun yang dihimpun oleh Balitbang Depdiknas.

Tabel 10. Biaya Pendidikan Siswa per Tahun             

Jenis&Jenjang
Pendidikan
Biaya Satuan Pendidikan Per Tahun (dalam ribu rupiah)
Buku + ATK
Pakain + perlengkapan sekolah
Transportasi
Karyawisata
Uang saku
Iuran Sekolah
Total
SD
245,5
348,0
331,5
55,0
492,5
317,5
1.790,0
MI
200,5
298,5
215,0
42,5
374,0
150,0
1,280,5
SMP
264,0
346,5
374,0
64,5
646,0
501,5
2.196,5
MTs
183,0
318,5
242,5
57,0
495,0
296,5
1.592,5
Sumber: Balitbang Depdiknas dalam Ujiyati 2005:27                               
 
Berdasarkan data pada tabel diatas, rata-rata biaya pendidikan SD adalah sebesar 150.000 dan biaya pendidikan SMP sebesar 183.000. Apabila dikaji berdasarkan penghasilan petani, buruh atau pekerja pabrik, biaya sekolah tersebut jelas sangat tinggi. Berdasarkan data UMP tahun 2005, rata-rata UMP di Indonesia sebesar Rp 460,892. Seandainya seorang buruh yang memiliki dua orang maka penghasilannya jelas tidak dapat untuk membiayai sekolah hingga SMP. Kondisi tersebut membuat keparahan pada anak yang memerlukan investasi untuk masa depannya. Disamping itu, keparahan juga terjadi ketika anak mengalami problema psikologis dan sosilogis karena tuntutan biaya sekolah. Bunuh diri anak sekolah bukanlah menjadi perkara langka lagi (Ujiyati 2005:23).

Tabel 11. Data Siswa Bunuh Diri Karena Biaya Sekolah

Tanggal
Nama
Umur
Sekolah
Motif
Juni 1997
Wartini
13
SD Samarinda Kaltim
Malu dituduh nunggak uang SPP
Agustus 2003
Heryanto
12
SD Garut, Jawa Barat
Gantung diri, malu tidak bayar uang ketrampilan Rp 2500 namun selamat
Juni 2004
Soleh
14

Orang tua tidak sanggup bayar ujian akhir. Selamat
Mei 2005
Eko Haryanto
15
Kecamatan Kramat, Tegal, Jateng
Gantung diri, malu nunggak uang sekolah
Mei 2005
Jarwanto
16
SMP Jatoroto, Wonogiri Jateng
Gantung diri, malu belum bayar SPP
Sumber: Data Media Indonesia 22 Mei 2005 dalam (Ujiyati 2005:23)

Meskipun data yang pasti mengenai jumlah anak bunuh diri akibat masalah biaya sekolah juga tidak ada. Tetapi data yang berhasil dihimpun oleh Media Indonesia tersebut telah mampu merefleksikan betapa persoalan biaya sekolah telah menjadi beban serius bagi sebgaian kelompok masyarakat miskin di Indonesia.

7.  Kesimpulan
Ada empat aspek yang perlu kita perhatikan dari tulisan di atas:
  1. Pemerintah belum memiliki political will  terhadap tujuan kedua dari Pembangunan Milenium  sebagai prioritas dalam pembangunan. Hal ini terbukti bahwa alokasi anggaran untuk bidang pendidikan masih rendah. Akibat kemauan poiltik pemerintah yang rendah ini, maka kebijakan pendidikan cenderung bersifat pragmatis.
  2.  Komitmen pemerintah sebagaimana tertuang pada pasal 31 UUD 1945 dan pasal 34 UU No tahun 2003 ternyata mengalami “pengingkaran”. Pemerintah agaknya ingin melimpahkan sebagian tanggung jawab pendidikan dasar 9 tahun yang wajib diikuti oleh seluruh masyarakat justru kepada masyarakat itu sendiri. Melemahnya komitmen pemerintah terhadap kewajiban penyelenggaran pendidikan dasar ini semakin tampak dalam pasal 46 ayat 1UU no 20 tahun 2003, yang menyatakan bahwa pendanaan pendidikan menjadi tanggungjawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat.
  3. Otonomi daerah justru makin mempersulit pencapaian MDGs karena lemahnya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah
  4. Dukungan lembaga internasional terhadap pencapaian MDGs juga masih jauh dari harapan. Yang semestinya dunia internasional memberi dukungan besar karena  masalah pendidikan masih merupakan masalah kronis di negara berkembang.

Diskusi mengenai kebijakan dan permasalahan di atas membawa sejumlah rekomendasi sebagai berikut:
  1. Pemerintah semestinya lebih meningkatkan prioritas pembangunan bidang pendidikan mengingat permasalahan pendidikan di Indonesia masih relatif besar dengan belum tercapainya target pendidikan dasar untuk semua. Strategi yang paling tepat untuk mengatasi masalah ini adalah meningkatkan alokasi APBN dan APBD untuk bidang pendidikan.
  2. Pemerintah juga nampaknya melibatkan masyarakat dalam pembiayaan Wajib Belajar 9 Tahun. Akibatnya pendidikan dasar di Indonesia mahal karena subsidi pemerinath yang rendah, dan orang tua siswa harus menanggung biaya yang besar. Dalam kondisi seperti ini, lapisan masyarakat yang paling miskin akan mengalami kesulitan. Mengingat permasalahn ini, maka rekomendasi yang ditawarkan pemerintah hendaknya membuat peraturan tentang perpanjangan masa pakai buku pelajaran dan meningkatkan penyediaan buku pelajaran oleh pemerintah yang gratis.
  3. Perbaikan infrastruktur pendidikan adalah kebutuhan mendesak, mulai dari gedung sekolah, jembatan, jalan beserta fasilitas lainnya.
  4. Mendesak lembaga donor dan perusahaan multinasional untuk turut berperan dalam mewujudkan program education for all. Untuk perusahaan multinasional misalnya melalui Corporate Social Responsibility (CSR).
Refrensi
Alston, Philip. 2004, A Human Rights Perspective on the Millennium Development Goals, Contributed paper to the work of the Millennium Project Task Force on Poverty and Economic Development, New York.

Arowolo, Oladele.Achieving the MDGs with Equity: Need for the Human Rights Based Approach, UNFPA (Contributed paper, at the Fifth African Population Conference: Arusha, Tanzania, 10-14 December, 2007)

Dwiyanto, Agus et.al. 2003. Reformasi Tata Pemerintahan dan Otonomi Daerah. Yogyakarta: Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan.

Purwanto, Erwan Agus. 2006. Pembagian Kewenangan dalam Pelayanan Publik antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Jurnal Kebijakan dan Administrasi Publik (JKAP) v.10(2).

Soubbotina, Tatyana P. 2000. Beyond Economic Growth: An Introduction to Sustainable Development. World Bank

Thomas, Vinod et.al. 2000. The Quality of Growth. World Bank.

Ujiyanti, Tatak Prapti 2005. Reformasi Pendidikan Dasar di Indonesia. Policy Assessment, The Indonesian Institute

Kompas, Indeks Pendidikan Indonesia Menurun, Kompas 31 Desember 2007

UNDP, 2006. Human Development Index.

Badan Pusat Statistik, 2006. Statistik Pendidikan, Jakarta.

…………, 2005. Statistik Kesejahteraan Rakyat, Jakarta.

…………, 2005. Indikator Kesejahteraan Rakyat, Jakarta.
Share this article :

Post a Comment

 
Design Template by panjz-online | Support by creating website | Powered by Blogger