News Update :
Home » » MAKALAH SOSIOLOGI AGAMA

MAKALAH SOSIOLOGI AGAMA

Penulis : Unknown on Wednesday, August 7, 2013 | 4:11 AM

Ideologi Pancasila dan Teologi Agama Masyarakat Muslim 
Pada tahun 1967 kementrian agama Republik Indonesia mempublikasikan edisi dari Bhagavadgita, ini adalah sebuah teks sansakerta yang telah diterjemahkan, dikomentari dan diperkenalkan dengan bahasa Indonesia. Dalam publikasinya buku ini menerima 3 kata pengantar dari 3 orang muslim yang menonjol di Indonesia pada saat itu, kata pengantar pertama ditulis oleh Abdul Haris Nasution yang pada saat itu menjabat sebagai pembicara dari parlemen, dia memberikan komentar politik dalam kata pengantar tersebut yang berhubungan dengan peristiwa 30 spki 1965. Pemberi kata pengantar kedua adalah Soeharto, dan yang ketiga adalah Mentri Agama Kiyahi Haji Saifuddin Zuhri. dia menyebut buku tersebut sebagai kitab suci veda yang kelima. Ia bersyukur kepada Tuhan terhadap posisi agama untuk yang berada diposisi terkuat di masyarakat indonesia dalam periode itu dan kontribusi dari agama terhadap meningkatnya moralitas dan karakter masyarakat Indonesia. 

Ketiga kata pengantar yang diberikan oleh 3 orang yang menonjol dari umat muslim pada saat itu terhadap kitab suci Hindu terdengar aneh bagi masyarakat muslim dan Negara muslim. Tampaknya politik Indonesia serta ideology Negara yaitu Pancasila telah mempengaruhi teologi agama muslim di Indonesia. Oleh karena hal itu kita ingin mempelajari aspek yang sedang berkembang ini, kita harus mempelajari aspek tersebut karena proses ini masih berlangsung dan belum selesai serta belum adanya doktrin yang seimbang. Hanya kecenderungan dan beberapa variasi, seperti bentuk protes atas kecenderungan yang umum yang dapat di sajikan. 

Disamping itu, untuk mempelajari secara lebih ilmiah persepsi muslim terhadap agama dan kebudayaan lain yang dilakukan dengan cara menganalisa sejarah-sejarahnya. Kita akan terkonsentrasi pada perkembangan karakter politik, sebagai konsep dari Pancasila sebagai sebuah ideologi, dan hal ini sangat sering dikemukakan didalam sebuah diskusi. Kita tidak memulai dari perdebatan agama dan konsep teologikal, tapi kita mulai dari konteks ideology politik 

Pancasila : Dari Kompromi Politik ke Arah Masyarakat Beragama 
Antara tahun 650 dan 1000 M adalah ketika Islam memiliki ekspansi yang besar dan memiliki kemakmuran pada periodenya, kepulauan Indonesia mengalami konversi lain,. Selama periode ini, Indonesia berkenalan dengan Hindu dan Budha dari tradisional India. Di Jawa Tengah yaitu di Borobudur terdapat pembangunan yang mempekerjakan arsitek berbakat, Indonesia pada saat itu mempunyai kombinasi kuil terbesar di dunia Budha, dimana hingga lebih dari 3 kilometer panjang “lembah para raja”, yang juga terdapat di candi Prambanan di dekat Yogyakarta. Hal ini menukjukan sisa-sisa dari beberapa candi Hindu di Indonesia, namus semua itu adalah masa lalu dari agama Hindu dan Budha tersebut. Setelah para pedagang dan para mistikus mulai muncul dan memperkenalkan agama Islam pada abad ke-12 hingga saat ini, dengan jumlah penduduk yang sampai mencapai hamper 190 juta, atau 87 % diantara masyarakat Indonesia adalah Muslim. Dan pada saat itu Indonesia memiliki jumlah yang besar dari muslim didunia yang ada dalam satu negara. 

Selama dalam proses pembangunan bangsa, pada masa pergantian dari masa kolonialisme ke masa kemerdekaan pada tahun 1945, masalah agama pada saat itu menjadi masalah yag penting. Kepala Negara pada saat itu kemudian memutuskan bahwa demi menjaga% 2 dari Bali Hindu dan 8% dari orang Kristen di batak dan kepulauan bagian timur dalam republik, Indonesia seharusnya Indonesia tidak menjadi negara Islam. Dari pemikiran Soekarno dirumuskan bahwa pancasila mempunyai 5 ideologi, dimana kepercayaan pada satu Tuhan dirumuskan pada kehidupan berbangsa dan bernegara. Tapi pemikiran tersebut terlalu bernuansa Islam, walaupun dalam pengaplikasiannya masuk kedalam seluruh agama yang ada di Indonesia, seperti Kristen, Hindu, dan Budha. 

Ideology Pancasila itu tidak langsung diterima dan terbentuk secara final, ini juga bersamaan dengan deklarasi kemerdekaan 1945. Pada periode pertama pada tahun 1945-1955 idoelogi ini disetujui sebagai bentuk yang saat itu dibutuhkannya kompromi antara kaum muslim yang menginginkan Negara Islam dan umat Kristiani yang terancam meninggalkan republik Indonesia yang masih muda ini. Kompromi formulasi yang dilakukan tidak hanya terpaku dengan Islam, tapi ada juga terdapat prinsip-prinsip sekuler didalamnya, itu lah yang dimaksudkan dengan kompromi, dimana dalam pancasila tidak hanya terdapat nilai Islam saja, namun uiga ada prinsip-prinsip sekulernyan. 

Oleh karena itu formulasinya menjadi samar-samar, dimana ketuhanan yang maha esa seharusnya diartikan sebagai dewa yang sempurna dan mempunyai kekuatan yang superior daripada konsep personal dari tuhan itu sendiri, diartikan sebagai sesuatu yang berada di atas kita. Dalam kepemimpinan 10 tahun terakir presiden pertama indonesia yaitu pada tahun 1955-1965 banyak muncul doktrin-doktrin ideoligi yang lain selain pancasila, munculnya sebuah usaha untuk mempertahankan partai komunis dan juga koalisi pemerintahan yang berdampingan dengan partai muslim. Pada saat itu banyak muslim merasa bahwa Pancasila adalah suatu senjata dari sekulerisme atau dari orang-orang yang anti terhadap agama. Namun pandangan itu berubah ketika ketika Presiden Soeharto naik dan menjadikan ideology sebagai senjata untuk melawan komunis, dan pada saat itu komunis dihapuskan dari bagian Pancasila. 

Pada tahun 1984, melalui hukum mendeklarasikan Pancasila sebagai basis dasar untuk organisasi politik dan sosial. Semua organisasi agama seperti Majelis Ulama, muhammadiyah dan lain-lain harus memasukkan nilai-nilai ideologi Pancasila didalamnya. Dalam perdebatan pemerintah harus mendeklarasikan bahwa Pancasila itu merupakan filosofi dari politik, bukanlah sebuah agama. Akibat dari perdebatan yang panjang tersebut, orang-orang Islam pada saat itu lebih mendominasi dari orang-orang Kristen, namun sejak naiknya presiden Soeharto dia lebih mengutamakan orang-orang Jawa dalam pemerintahannya. Tidak menitik beratkan pada orang-orang muslim saja, namun lebih merata dan tidak memandang agama. Sejak itu di dalam pemerintahan sudah banyak orang-orang Kristen yang ikut di dalamnya, seperti tentara, mentri-mentri. 

Dan pada saat itu Pancasila sudah menunjukan bahwa hal-hal tersebut dapat dipertahankan, karena Pancasila sudah menunjukan bahwa ini bisa dijadikan sebagai suatu alat pemersatu bangsa. Dan setiap tanggal 17 dalam setiap bulannya dulakukan sebuah ritual yang bertujuan untuk menekankan arti dari persatuan tersebut, ritual ini dilakukan di sekolah-sekolah, kantor pemerintahan dan di rumah sakit. Dan pada akhirnya semua itu berhasil dilakukan karena berjalannya sebuah ideologi. 

True Religion Restricted to Five Religions Only: Muslim Opposition to the Aliran Kepercayaan 
Dalam UUD 1945 pasal 29 mengenai kebebasan beragama, disebutkan bahwa: 
1. Negara berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa. 
2. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk 
    beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. 

Makna agama dan kepercayaan telah diperdebatkan sejak awal tahun 1950an. Pada awalnya, agama dan kepercayaan dipahami sebagai satu hal yang sama. Akan tetapi setelah tahun 1965, kepercayaan lebih diartikan sebagai bentuk kelompok keagamaan yang lebih atau kurang terorganisir. Kepercayaan tidak dianggap sebagai sebuah agama karena tidak memenuhi ketentuan yang sudah ditetapkan oleh kementrian agama sejak tahun 1967. Berdasarkan ketentuan kementrian agama, hanya ada lima agama yang diakui di Indonesia, yaitu Islam, Kristen Protestan, Katolik, Budha dan Hindu. 

Dari tahun 1952 sampai tahun 1967, aliran kepercayaan berada dalam struktur kementrian agama. Sejak tahun 1954, kementrian keadilan membentuk sebuah komite yang bertugas untuk mengawasi setiap aliran kepercayaan yang ada di Indonesia agar sesuai dengan hukum dan tatanan yang sudah ada. Komite ini bernama Pengawas Aliran Kpercayaan Masyarakat, atau disingkat PAKEM. Selain PAKEM, kementrian agama juga memiliki sebuah badan yang mengurus masalah keagamaan sendiri, yang disebut Lembaga Kerohanian dan Keagamaan, atau biasa disebut LEMROHAG. Badan yang dibentuk pada tahun 1971 ini bertujuan untuk: 
1. Mengontrol kelompok keagamaan. 
2. Memberikan informasi dan petunjuk kepada anggota kelompok keagamaan untuk kembali ke agama 
    mereka yang sebenarnya. 
3. Untuk melakukan penelitian. 
4. Untuk melakukan kerjasama dengan lembaga nasional maupun internasional. 
5. Untuk mewujudkan kerukunan beragama. 

Meskipun telah dibentuk berbagai lembaga yang mengurusi masalah keagaman, definisi resmi mengenai keagamaan itu sendiri tidak pernah dibentuk. Seementara itu praktek keagamaan hanya bisa diterima jika memenuhi syarat yang ditentukan oleh kementrian agama: (1) Percaya pada satu Tuhan (2) diakui secara internasional (3) memiliki kitab suci (4) dan memiliki rasul. Definisi terakhir ini banyak diperdebatkan dan pada akhirnya ditinggalkan sama sekali. Tidak hanya itu, beberapa Muslim membatasi agama kepada agama samawi dan membedakannya dengan agama duniawi. Berdasarkan kriteria ini, maka aliran kepercayaan tidak diterima secara politik di Indonesia. 

Setelah lebih dari satu dekade berada di bawah naungan kementrian agama, pada awal tahun 1970an, aliran kepercayaan beralih menjadi tugas dari kementrian pendidikan dan kebudayaan. Hal ini berangkat dari rasa simpati kementrian pendidikan dan kebudayan terhadap gerakan Taman Siswa yang dipelopori oleh Ki Hadjar Dewantara. Menurut pandangannya, gerakan Taman Siswa ini merupakan sebuah gerakan yang sangat dekat dengan bentuk teosofi Jawa. Selain itu, menurut pandangan kementrian agama, aliran kepercayaan dapat dipertimbangkan sebagai kelompok yang mendorong kesenian tradisional Indonesia, tarian, musik, filsafat, tapi tidak secara tegas membicarakan agama. 

Tidak diakuinya aliran kepercayaan secara politik di Indonesia membuat anggotanya dengan terpaksa harus mengkuti salah satu dari lima agama yang diakui oleh pemerintah. Aliran kepercayaan dilarang untuk dicantumkan sebagai agama dalam kartu pengenal. Selain itu dalam melakukan pernikahan pengikut aliran kepercayaan harus mengikuti salah satu ritual agama yang diakui pemerintah, dan biasanya adalah ritual agama Islam. Pelemahan posisi alran kepercayaan ini secara tidak langsung telah menguatkan posisi agama di sisi lain. Sebagai contoh dapat dilihat dalam doa yang dibacakan dalam setiap upacara nasional. Doa tersebut seringkali mengacu kepada agama Islam, dengan kalimat-kalimat berbahasa Arab. Sealin itu doa juga dialamatkan kepada pahlawan yang telah berjuang merebut kemerdekaan. 

Pada tanggal 18 Agustus 1978, kementrian agama mengirimkan surat instruksi kepada semua gubernur di 26 provinsi di Indonesia, yang berisikan: 
  1. Di Republik Indonesia tidak ada upacara pernikahan, sumpah, atau pemakaman yang mengikuti aliran kepercayaan diakui oleh negara. Tidak ada aliran kepercayaan yang disebut sebagai agama dalam kartu pengenal. 
  2. Penganut agama yang mengikuti aliran kepercayaan dapat mengikuti ajaran agamanya. Meskipun begitu kami tidak menerima upacara pernikahan, sumpah, pemakaman menurut aliran kepercayaan. 
Surat perintah yang ditujukan untuk gubernur ini juga dikuatkan oleh instruksi presiden tertanggal 27 September tahun 1978. 

Setelah tahun 1970, istilah kepercayaan menjadi dominan karena dasar hukumnya. Istilah kepercayaan digunakan dalam konstitusi 1945. Ada dua jenis aliran kepercayaan di Indonesia. pertama kelompok yang terdiri dari “new religions”, kebanyakan berangkat dari cerita rakyat, mistisisme dan tradisi Jawa yang sering kali dikembangkan dengan elemen teosofi atau doktrin yang diambil dari filsafat modern. Kedua adalah tribal religion, yang dianggap sebagai peninggalan anemisme di Indonesia. Aliran kepercayaan ini kebayakan berada di area pegunungan di luar pulau Jawa. 

Akan tetapi, meskipun menemukan dasar konstitusinya, kedua jenis aliran kepercayaan ini tetap tidak dapat diakui sebagai sebuah agama di Indonesia. Sebagai contohnya adalah perjalanan panjang gerakan Agama Djawa Sunda (ADS) yang dipelopori Madrais di Jawa Barat. Perjalanan panjang ADS dimulai dari dideklarsaikannya Ads pada tahun 1923 oleh Madrais. Pada masa ini ADS tidak mendapatkan larangan oleh pemerintah kolonial. Akan tetapi pada masa itu, ADS memfokuskan ajarannya kepda cerita-cerita rakyat, tari, musik dan filsafat agama karena tengah terjadi ketegangan antara Islam ortodoks dan legal. 

Tahun 1964, ADS mulai dilarang keberadaannya oleh pemerintah Jawa Barat karena dianggap sebagai simpatisan komunis, yang pada saat itu dianggap sebagai musuh negara. Akibatnya, pemimpin ADS memutuskan untuk masuk agama Katolik. Tahun 1981, pemimpin selanjutnya memtuskan untuk kembali ke ajara awal ADS, karena dia melihat adanya peluang diterimanya ADS, meskipun hanya sebatas aliran kepercayaan yang berada di bawah naungan menteri pendidikan dan kebudayaan. Kasus lain dapat dilihat dari aliran tribal religons di Kalimantan. Dimana agama animistik yang dipercayai oleh masyarakat Dayak di sana tidak diakui oleh pemerintah sebagai sebuah aliran kepercayaan sampai saat ini. 

1971-1993: Policies of Three Minister of Religion 
1971-1978: A Weberian Scholar: H.A. Mukti Ali 
Kementrian agama didirikan pada tahun 1946 sebagai penerus kantor kolonial yang bertugas mengontrol dan meregulasi Islam. Hingga tahun 1971, kementrian ini didominasi oleh muslim tradisionalist. Pada tahun 1971, seorang modernist muslim, H.A. Mukti Ali menjabat sebagai kepala kementrian agama. Pada masa kepemimpinannya, setiap kebijakan yang dibuat berdasarkan kepada teori Max Weber, dalam hubungan antara Protestan dan kapitalisme. Setiap agama dirangsang untuk terlibat dalam pembangunan sosial ekonomi. Pada masa pemerintahannya, H.A. Mukti Ali merangsang sekolah yang berbasis agama untuk berkonsentrasi dalam pengajaran agama tradisonal serta juga menambahkan pelatihan keterampilan. Organisasi asing juga diundang untuk membantu sekolah Islam dengan pembangunan skala kecil dalam bidang bangunan, pertanian, atau peternakan. 

Meskipun sangat gencar menyuarakan pembangunan melalui agama, H.A. Mukti Ali memisahkan secara tegas antara doktrin agama dengan proyek pembangunan. Agama memang didesak untuk bekerjasama dalam pembangunan, tapi dalam doktrin agama semua agama harus saling menghormati terhadap perbedaaan keyakinan. Terkait pemikiran dengan H.A. Ali Mukti Boland menyimpulkan idenya tentang teologi agama Islam. Menurutnya Islam telah memiliki teologi agama sejak awal. Islam membawa semangat inklusi, berbeda dengan agama lain yang cenderung eksklusif. Hal tersebut juga dilakukan oleh H.A. Ali Mukti, dia selalu mengadakan diskusi lintas agama untuk membahas berbagai masalah yang terjadi. H.A. Ali Mukti juga disebut sebagai orang yang berperan penting dalam menyatukan partai Islam di Indonesia. Meskipun intervensi pemerintah telah mengakibatkan terjadi politisasi Islam, H.A. Ali Mukti tidak giyah dengan pendiriannya, dia tetap tidak ingin terlibat dalam partai politik 

1978-1983: Alamsyah Ratu Prawiranegara: A Politician Promotes Law and Other between Religion 
Alamsyah Ratu Prawiranegara yang dikenal sebagai figure politik merupakan Menteri Agama pada tahun 1978-1983. Sebagai anggota tentara Ia memiliki fokus dibidang kestabilan nasional, hukum serta peraturan. Pada masa jabatannya Ia mencanangkan program mengenai kerukunan beragama, yang terdiri dari: a. Kerukunan internal umat beragama, b. Kerukunan antar umat beragama, serta c. Kerukunan umat beragama dengan pemerintah. Ketiga cakupan ini merepresentasikan wilayah dimana kelompok-kelompok tersebut saling melakukan interaksi dan bekerja sama. 

Untuk melihat latar belakang dari terbentuknya program atau kebijakan tersebut tulisan ini mencoba membahas lebih dalam, dan melihat kejadian-kejadian sebelum dan selama periode beberapa tahun awal ketika Alamsyah menjabat sebagai Mentei Agama. Di tahun 1975 Presiden Suharto mengusulkuan dibentuknya Majelis Ulama , di sisi lain Komunitas Katholik telah terorganisasi dalam Conference of Catholic Bishops of Indonesia, sedangkan Protestan memiliki Council of Churcher. Sama halnya dengan Hindu, dan Budha, serta adanya sekretariat Aliran Kepercayaan. Majelis Ulama selanjutnya memiliki tugas ganda yakni mempromosikan persatuan dan solidaritas di kalangan komunitas Muslim dan mewakili Islam di dalam pemerintahan. Haji Abdul Malik ibn Abdulkarim Amrullah (Hamka) yang dikenal sebagai pemimpin yang Islami, berpengalaman dalam menulis novel, buku keagamaan popular, dan anggota dari dewan pengurus Organisasi modernist Muhammadiyah, merupakan ketua umum dari Majelis Ulama pada masa itu. Hamka sangat menentang upaya dari satu agama (Kristen) untuk membentuk penganut agama dari jajaran agama lain (Islam). 

Pada tahun 1978 Majelis Ulama Sangat mendukung keputusan pemerintah, salah satu langkah pertama yang diambil oleh Alamsyah, adalah membatasi jumlah misionaris asing dan mengatur bantuan asing yang diberikan melalui gereja. Kemudian pada tahun 1981 Departemen Fatwa dari Majelis Ulama mengeluarkan isu mengenai pelarangan partisipasi umat muslim dalam perayaan Hari Natal, terutama di kalangan penganut Protestan. Perayaan natal menjadi hal yang sangat eksis / nyata ditengah-tengah masyarakat bahkan mereka yang Non-Kristiani diundang untuk berpartisipasi. Majelis Ulama menerima banyak keluhan mengenai murid beragama muslim di sekolah Kristen yang didesak untuk tampil dalam acara pertunjukan dan berakting sebagai Joseph, Mary, ataupun malaikat pada cerita mengenai Hari Natal. Ada pula keluhan lainnya mengenai adanya murid yang harus menyanyikan lagu natal di sekolah atau pertemuan natal di sekolah. Umat Kristen menjawab bahwa kerukunan dan keselarasan kehidupan beragama akan berada dalam bahaya jika mereka harus menolak partisipasi tersebut. 

Pelarangan tersebut diterbitkan dalam surat kabar pada tanggal 5 May 1981 sedangkan keputusan tersebut telah ada sejak tanggal 7 Maret. Pada tanggal 6 May beberapa surat kabar melaporkan pada tanggal 23 April pertemuan antara ketua dari Majelis Ulama dan Menteri Agama dilangsungkan dan di tanggal 30 April Majelis Ulama memutuskan untuk menarik kembali fatwa tersebut dari peredaran. Penarikan ini ditandangani oleh Hamka, bukan oleh K. H. Syukri Ghozali kepala departemen Fatwa yang mengerluarkan larangan tersebut. Pada tanggal 7 May 1981, Hamka menuliskan surat dalam majalah Panji Masyarakat, Ia menuliskan pernyataan mengenai fatwa seharusnya tidak boleh dianggap salah atau invalid: menarik kembali fatwa tersebut dari peredarannya tidak mengurangi nilai dari fatwa itu sendiri, karena hal itu terdapat di dalam Al-Qur’an Dan Hadist Nabi. 

Hamka menambahkan: Ulama memang pewaris para nabi, dari ini mereka mewarisi kewajiban untuk menyerukan kebaikan dan memperingatkan kejahatan. Dari hal ini mereka juga mewarisi fitnah dan penghinaan yang mereka terima ... Apakah ulama hanya guru yang bisa dipesan atau diberhentikan secara sewenang-wenang? Pada deklarasi yang sama Hamka menyebutkan tiga hal yang secara khusus terlarang bagi umat Muslim ketika mereka menghadiri pertemuan umat Kristen, yakni untuk menyalakan lilin, untuk memakan roti yang dianggap sebagai the Body of Christ dan untuk meminum air yang dianggap sebagai the Blood of Christ. 

Pada tanggal 19 Mei Hamka mengundurkan diri dari jabatannya tanpa menunggu persetujuan dari Kementrian Agama. Selanjutnya jabatan ketua umum Majelis Ulama dipegang oleh K. H. Syukri Ghozali, yang sebelumnya menjabat sebagi kepala pimpinan dari departemen fatwa. Kementrian mengeluarkan surat tertanggal 1 September 1981, dimana Ia membuat perbedaan antara aspek ritual dan aspek perayaan pada perayaan hari Natal seperti halnya pada agama lain. Sebagai aspek ritual, partisipasi hanya terbatas pada pemeluk agama yang bersangkutan, namun pada aspek perayaan, dibolehkan bagi agama lain untuk menjadi yang hadir maupun yang berpartisipasi. 

Dari keseluruhan peristiwa tidak hanya terkait dengan isu Natal dan relasi antara umat Muslim dan Kristen. Menteri Agama, Alamsyah menganggap bahwa Hamka melakukan tindakan menentang ideologi “Pancasila” ketika Hamka menuduh pemerintah bertentangan dengan agama dan mencoba untuk memperkenalkan Pancasila sebagai agama baru bagi negara. 

1983-1993: Munawir Syadzali, Internal Discussion within the Muslim Community 
Menteri Agama ke tiga yang akan dibahas dalam keterkaitannya dengan kebijakan yang dibuatnya adalah Munawir Syadzali. Ia lahir di Surakarta, Jawa Tengah dalam keluarga yang sangat religius, Ia mendapatkan pendidikan sekuler yang baik serta training keagamaan di sekolah kesultanan, Mamba’ul Ulum of Surakarta. Setelah mandiri Ia mendapatkan gelar M.A., Ilmu Politik pada Universitas Georgetown, Washington dan memulai karir dengan menjadi pekerja. Pada tahun 1983-1985 Ia menjadi promotor nasional diantara Muslim dalam penerimaan pada hukum organisasi sosial. Ia menjadi promotor nasional di kalangan umat Islam dari penerimaan hukum di organisasi sosial, yang juga merumuskan Pancasila sebagai satu-satunya dasar bagi kehidupan sosial dan politik. Undang-undang ini adalah langkah terakhir menuju depolitisasi Islam. 

Munawir Syadzali juga diketahui sebagai promoter atau penggagas pemikiran baru dalam Islam, yang terkadang mencoba membuat kontekstualisasi. Beberapa kali ia mengatakan bahwa tidak selamanya semua yang ada dalam Qur’an adalah benar (valid). Beberapa ajaran hanya cocok digunakan pada masa ke-nabi-an. Penerus nabi Muhammad yakni Khalifah Umar, dengan beberapa keraguan telah mengubah beberapa aturan dalam Qur’an dan nabi sebagai udah a mengarah pada kontekstualisasi. 

Dalam kebijakannya Munawir Syadzali tidak terlalu mementingkan dengan apa yang disebut oleh Alamsyah sebagai relasi interagama. Ia juga kurang memberi perhatian pada relasi antara agama dan pembangunan. Tujuan utamanya adalah mengenai promosi internal kepada komunitas penganut agama Islam, dengan membuat perbaikan pada wilayah pengadilan agama dan pendidikan agama. Ia mengirimkan lebih dari seratus orang pria dan wanita dari staff akademik di kementriannya dan pelajar teologi Islami untuk menuntut Ilmu di luar negeri. 

Ia mengorganisasikan banyak bagian yang telah diperbaiki bagi Hakim Islami. Selama jabatannya menjadi menteri agama, kebijakan mengenai perkawinan campuran (berbeda agama) menjadi lebih kaku. Hingga awal tahun 1980 perempuan muslim masih diperbolehkan untuk menikah dengan lelaki non-muslim, dengan mendaftarkan diri ke catatan sipil. Pada kenyataannya hukum mengenai pernikahan di tahun 1974 tidak memberikan peraturan yang kaku bagi pernikahan beda agama, dan terdapat pernyataan bahwa pernikahan harus disahkan menurut agama dari kedua pasangan. Hukum Islam tidak memperbolehkan pernikahan antara perempuan Muslim dengan lelaki non muslim. Sejak 1987 hampir dari setiap wilayah di Indonesia pernikahan seperti itu tidak memungkinkan untuk dilaksanakan. Dalam aspek ini dapat terlihat bahwa kebijakan Munawir mengarah pada peraturan Islami yang kaku. 

Di tahun 1993, Presiden Suharto menominasikan Tarmizi Taher sebagai Menteri Agama untuk periode ke-enam masa pemerintahannya. Taher telah memulai karirnya sebagai tentara, dimana Ia membentuk kyai tentara Islami. Beberapa peneliti menganggap Ia sebagai contoh kembalinya denominasionalism pada masanya. Jumlah Menteri beragama Kristen dibawah kepemimpinan kabinet yang baru berkurang dari enam menjadi tiga, dan mereka kehilangan posisi mereka dalam bidang finansial dan ekonomi. Inilah yang selanjutnya disebut sebagai penghijauan. 

Beberapa kasus tentang pertemuan agama yang disponsori pemerintah dan konsekuensinya untuk Islam. 
Pada tahun fiskal 1979-1980, Alamsyah sebagai menteri agama pada saat itu meluncurkan suatu program tentang diskusi antar agama, namun yang kami bahas hanya dua program, yaitu pertemuan antar agama di Ujung Pandang dan di Lombok Barat. 

Pada pertemuan antar agama di Ujung Pandang, dua puluh enam mahasiswa, sepuluh di antaranya berasal dari universitas Islam, tujuh dari sekolah teologi Protestan, lima dari seminaris Katolik dan empat dari fakultas kedokteran, diundang dalam pertemuan ini. Mereka melakukan inspeksi tentang isu lingkungan dan kesehatan di empat desa yang penduduknya campuran dari suku bangsa Bugis, Makassar, Toraja dan Jawa. Kesimpulan umumnya adalah program ini membuktikan pentingnya agama dalam pengembangan lingkungan, dimana program ini menstimulasi dan mempromosikan toleransi beragama di Ujung Pandang. 

Program yang sama dilaksanakan di Lombok Barat. Penelitian yang dilakukan adalah mengenai relasi antara umat Islam dan Hindu di Lombok Barat. Persentase agama penduduk Lombok Barat adalah: 84,6% beragama Islam, 11,3% beragama Hindu, 2,2% Buddha dan 1,2% Kristen. Hipotesis awal yang ditarik adalah “relasi antara umat Islam dan Hindu belum bisa disebut baik”. Namun, kesimpulan akhir yang bisa ditarik adalah “memang terjadi beberapa konflik antara dua kelompok itu, namun konflik yang terjadi biasanya bukan masalah antar agama, namun masalah properti, irigasi, dll”. 

Inisiatif-inisiatif pertemuan dan kerjasama antar agama di luar program pemerintah 
Pemerintah Indonesia adalah promotor utama dalam kerjasama antar agama dan untuk pemahaman bersama. Di Indonesia, hubungan antara Islam dan Kristen telah dilabel sebagai hubungan antara dua minoritas, dimana adanya kecurigaan di antara kedua agama tersebut. Walaupun secara kuantitas Islam adalah mayoritas, Islam merasa sebagai minoritas dalam masalah ekonomi, kultural, dan terkadang politik. Di lain pihak, umat Kristen takut diperlakukan sebagai minoritas seperti saudara-saudara mereka yang ada di Malaysia. Posisi seperti ini menghambat proses kerjasama antar agama sampai tahun 1990. Karena bertumbuhnya kepercayaan diri umat Islam di Indonesia ada akhir era 1980-an, beberapa inisiatif di luar program pemerintah untuk kontak antar agama dimulai. 

Organisasi-organisasi Islam di Indonesia muncul setelah datangnya Islam modernis/reformis pada tahun 1905. Pada tahun 1912 Muhammadiyah terbentuk di Yogyakarta dan sekarang dapat dikatakan sebagai organisasi Islam terbesar di dunia. Muhammadiyah aktif di bidang-bidang pendidikan, kesehatan, administrasi Masjid dan da’wah. Salah satu tujuan dibentuknya Muhammadiyah adalah untuk menantang penyebaran agama Kristen oleh para misionaris dan memang sejak awal organisasi ini berkebijakan anti Kristen dengan cara memberikan bantuan sosial ekonomi kepada para umat Islam dan juga lewat polemik anti Kristen. Pertahanan Islam terhadap penyebaran agama Kristen seperti ini memang karakteristik pada sebagian besar pergerakan reformis. 

Sejak tahun 1920-an, ulama-ulama tradisional membentuk beberapa organisasi berdasarkan kepemimpinan pesantren. Yang paling penting dari kasus ini adalah berdirinya Nahdlatul Ulama (NU) pada tahun 1926. Ketika para gerakan reformis berusaha untuk membersihkan Islam dari elemen-elemen pra-Islam, NU dan organisasi-organisasi serupa selalu menunjukkan toleransi terhadap praktek-praktek dan ritual-ritual tradisional. Mereka juga menunjukkan sikap polemik yang lebih sedikit terhadap agama lain, mungkin disebabkan karena mereka berbasis di pinggiran kota dimana keberadaan agama-agama lain tersebut masih belum banyak diketahui. 

Selama tahun 1980-an, Abdurrachman Wahid (Gus Dur) naik menjadi pemimpin NU. Gus Dur beserta lingkaran intelektual di sekitarnya menjadi dekat dengan beberapa ahli teologi Kristen progresif yang simpatetik kepada teologi kebebasan America Latin. Di dalam konteks perasaan anti komunis yang tinggi di Indonesia, teologi ini diformulasikan ulang menjadi “teologi pembangunan”. Di tahun 1988 dan 1989, NU mengadakan dua pertemuan nasional dimana representatif dari agama-agama mayor di Indonesia diundang dalam diskusi mengenai teologi pembangunan dan hubungan antara agama dan kehidupan sosial ekonomi. Dapat dilihat jelas bahwa pertemuan-pertemuan ini bukanlah mengarah pada polemik-polemik antara Islam dan Kristen di masa lalu, namun mengarah pada kerjasama untuk pembangunan. 

Gus Dur dan beberapa pemuka agama Islam bekerjasama dengan satu-satunya gerakan inisiatif Kristen untuk dialog antar agama yang bernama DIAN (Dialog Antariman) yang dalam bahasa inggris INTERFIDEI (Inter-Faith Dialogue in Indonesia) didirikan pada tahun 1992 oleh Dr. Sumartana yang beragama Kristen Protestan. Organisasi serupa lainnya bermunculan seperti IAIN dan IAHR. 

Opponents 
Para pendiri bangsa kita yang telah melahirkan dan membentuk negara ini dengan pemikiran arif dan bijaksana, dan dengan pandangan yang jauh ke depan telah meletakkan dasar-dasar yang kuat dan teguh di atas nama negara ini dapat tumbuh dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang berbhinneka tunggal ika. Berangkat dari prinsip dasar NKRI tersebut, the founding fathers menetapkan tujuan-tujuan yang harus dijalankan oleh negara, dalam hal ini pemerintah. Salah satu tujuan tersebut adalah melindungi segenap bangsa Indonesia yang beraneka ragam termasuk melindungi dari ancaman dan gangguan terhadap para pemeluk agama. 

Agama Islam dan Kristen sebenarnya merupakan agama satu rumpun. Kedua agama tersebut termasuk kedalam three abrahamic faith karena mereferensikan bentuk keimanannya kepada iman Ibrahim. Berbagai narasi yang menjadi teladan ketiga agama diambil dari tokoh-tokoh sejarah yang sama, seperti Kisah Adam dan Hawa, kisah Nuh, Kisah Luth dan kaumnya, dan sebagainya. Dalam Islam, akar kesejarahan agama Islam tersebut dibakukan dalam salah satu rukun iman, yaitu iman kepada rasul-rasul Allah. 

Indonesia yang sejak lama membanggakan bhinneka tunggal ika dan toleransi antarumat beragama pun tidak mampu menyembunyikan ketegangan tersebut dari penglihatan dunia internasional. Semenjak awal Era Orde Baru, ketegangan antara umat Islam dan Kristen menunjukkan grafik yang terus naik. Pada awal tahun 1990-an terjadi beberapa ketegangan terbuka antara pemeluk Islam dan pemeluk Nasrani. Kasus Tabloid Monitor, perayaan Natal bersama, unjuk rasa dan perusakan terhadap gereja-gereja maupun masjid, kerusuhan Rengasdengklok-Karawang, amuk massa di Purwakarta dan juga di Situbondo tahun 1992 menandai konflik terbuka di Era kekuasaan Orde Baru. 

Era reformasi adalah sebuah titik balik dari kehidupan sosial-politik yang tersentralisir dengan pendekatan keamanan yang dominan di masa Orde Baru. Era reformasi dimulai dengan jatuhnya Presiden Suharto setelah didemo secara besar-besaran oleh para mahasiswa di seluruh Indonesia, yang sebagian di antaranya menduduki gedung MPR. Hubungan Islam-Kristen pada Era Reformasi pun mulai kepada sebuah babak baru. Ketegangan yang terjadi pada masa Orde Baru biasanya dilokalisir oleh pemerintah dan dicarikan solusi bersama, meskipun sering tidak cukup efektif sekarang memperoleh momentum untuk meledak menjadi konflik sosial. 

Kasus perusakan rumah ibadah masih tetap terjadi, bahkan dengan pendekatan baru. Pada era reformasi terjadi peledakan Masjid Istiqlal dan disusul dengan peledakan berbagai gereja di Tanah Air. Perilaku dan isu terorisme berbagai ketegangan sosial yang terjadi di Indonesia. Isu-isu klasik masih tetap mewarnai ketegangan dua kelompok agama tersebut, ditambah dengan beberapa isu baru. Pertikaian antara umat Islam dan Kristen di Ambon dan Poso, Sulawesi Tengah, merupakan babakan baru hubungan Islam Kristen di Indonesia. Di Nusa Tenggara Timur, beberapa bangunan milik umat Islam mengalami perusakan. Hal itu menunjukkan sebuah respon aktif dari pihak Kristen dalam menanggapi tekanan umat Islam. 

Pembentukan Institusi untuk Harmonisasi Agama 
Dalam rangka meningkatkan kerukunan hidup umat beragama telah dilakukan berbagai upaya seperti pembentukan forum silaturahmi yang diselenggarakan oleh tokoh-tokoh agama untuk mengembalikan pada tata kehidupan semula. Disamping itu, tokoh-tokoh berbagai agama memfasilitasi pertemuan antar badan musyawarah umat beragama dengan menerima atau memberikan saran, usulan serta alternatif pemecahan terhadap permasalahan yang ada baik yang berskala lokal, regional, nasional maupun internasional. Hal ini ditandai dengan telah dilaksanakannya Konferensi Internasional Islam-Kristen di Jakarta yang diikuti para pakar 18 negara untuk mengkaji sejarah hubungan Kristen dan Islam dan membahas 4 dimensi hubungan agama, politik, sosial dan ekonomi. Selain itu, juga telah dilakukan pertemuan rekonsiliasi/rujuk sosial dengan ditandai adanya Deklarasi Malino I dan Malino II sebagai upaya mengatasi konflik. 

Demikian pula, pembentukan Lembaga Pengkajian Kerukunan Umat Beragama (LPKUB) yang berpusat di Yogyakarta dan perwakilannya di Ambon dan Medan diharapkan menjadi wadah dialog bagi para cendekiawan antar agama untuk bersama-sama mengkaji, meneliti sejarah masyarakat dengan komunitas yang majemuk untuk menemukan pemecahan masalah secara tepat dalam suasana penuh kebersamaan dan persaudaraan. Melaksanakan check on the spot kepada korban kerusuhan oleh para tokoh berbagai agama juga merupakan upaya untuk melangkah pada pembentukan rekonsiliasi/rujuk sosial. Kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka pembinaan kerukunan hidup umat beragama meliputi musyawarah antar pemuka agama, musyawarah antara pemuka berbagai agama, musyawarah antara pemuka berbagai agama dengan pemerintah, dan musyawarah cendekiawan antaragama. 

Berbagai kegiatan lain untuk mendukung upaya peningkatan kerukunan hidup beragama dilaksanakan kegiatan-kegiatan: dialog antar cendikiawan, dialog antara mahasiswa dengan organisasi keagamaan pemuda, dialog antarpenyiar agama di daerah, dan dialog antar guru-guru agama. 

Sumber: 
Waerdenburg, Jacques.Muslim Perceptions of Other Religions.1999.Oxford University Press: New York. 
Share this article :

Post a Comment

 
Design Template by panjz-online | Support by creating website | Powered by Blogger