HAM DAN KEBEBASAN BERAGAMA
Pendahuluan
HAM (Hak Asasi Manusia) merupakan suatu konsep etika politik modem dengan gagasan pokok penghargaan dan penghormatan terhadap manusia dan kemanusiaan. Gagasan ini membawa kepada sebuah tuntutan moral tentang bagaimana seharusnya manusia memperlakukan sesamanya manusia. Tuntutan moral tersebut sejatinya merupakan ajaran inti dari semua agama. Sebab, semua agama mengajarkan pentingnya penghargaan dan penghormatan terhadap manusia, tanpa ada pembedaan dan diskriminasi. Tuntutan moral itu diperlukan, terutama dalam rangka melindungi seseorang atau suatu kelompok yang lemah atau “dilemahkan” (al-mustad'afin) dari tindakan dzalim dan semena-mena yang biasanya datang dari mereka yang kuat dan berkuasa. Karena itu, esensi dari konsep hak asasi manusia adalah penghormatan terhadap kemanusiaan seseorang tanpa kecuali dan tanpa ada diskriminasi berdasarkan apapun dan demi alasan apapun; serta pengakuan terhadap martabat manusia sebagai makhluk termulia di muka bumi.
Kesadaran akan pentingnya HAM dalam wacana global muncul bersamaan dengan kesadaran akan pentingnya menempatkan manusia sebagai titik sentral pembangunan (human centred development). Konsep HAM berakar pada penghargaan terhadap manusia sebagai makhluk berharga dan bermartabat. Konsep HAM menempatkan manusia sebagai subyek, bukan obyek dan memandang manusia sebagai makhluk yang dihargai dan dihormati tanpa membedakan ras, warna kulit, jenis kelamin, jenis gender, suku bangsa, bahasa, maupun agamanya.
Sebagai makhluk bermartabat, manusia memiliki sejumlah hak dasar yang wajib
dilindungi, seperti hak hidup, hak beropini, hak berkumpul, serta hak beragama dan
hak berkepercayaan. Nilai-nilai HAM mengajarkan agar hak-hak dasar yang asasi
tersebut dilindungi dan dimuliakan. HAM mengajarkan prinsip persamaan dan
kebebasan manusia sehingga tidak boleh ada diskriminasi, eksploitasi dan
kekerasan terhadap manusia dalam bentuk apa pun dan juga tidak boleh ada
pembatasan dan pengekangan apa pun terhadap kebebasan dasar manusia, termasuk
di dalamnya hak kebebasan beragama.
Isu Kebebasan Beragama Dalam
Dokumen HAM
Isu kebebasan beragama selain tercantum di dalam Deklarasi Universal
Hak Asasi Manusia (disingkat DUHAM),[3] ditemukan
juga di dalam berbagai dokumen historis tentang HAM,[4]
seperti
dokumen Rights of Man France (1789), Bill of Rights of USA (1791)
dan International Bill of Rights (1966). Pasal 2 DUHAM menyatakan:
“setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan yang tercantum di
dalam Deklarasi ini tanpa perkecualian apapun, seperti ras, warna kulit, jenis
kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat yang berlainan, asal mula
kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran, ataupun kedudukan lain.”
Secara umum DUHAM yang diumumkan PBB tahun 1948 mengandung empat
hak pokok. Pertama, hak individual atau
hak-hak yang dimiliki setiap orang. Kedua, hak kolektif atau hak masyarakat
yang hanya dapat dinikmati bersama orang lain, seperti hak akan perdamaian, hak
akan pembangunan dan hak akan lingkungan hidup yang bersih. Ketiga, hak sipil
dan politik, antara lain mernuat hak-hak yang telah ada dalam perundangan
Indonesia seperti: hak atas penentuan nasib sendiri, hak memperoleh ganti rugi
bagi mereka yang kebebasannya dilanggar; hak atas kehidupan, hak atas kebebasan
berfikir, berkeyakinan dan beragama, hak yang sama bagi perempuan dan laki-laki
untuk menikmati hak sipil dan politik, hak seorang untuk diberi tahu
alasan-alasan pada saat penangkapan, persamaan hak dan tanggung jawab antara
suami-istri, hak atas kebebasan berekspresi. Keempat, hak ekonomi, sosial dan
budaya, antara lain mernuat hak untuk menikmati kebebasan dari rasa ketakutan
dan kemiskinan; larangan atas diskriminasi ras, wama kulit, jenis kelamin,
gender, dan agama, persamaan hak antara laki-laki dan perempuan untuk menikmati
hak ekonomi, sosial dan budaya; hak untuk mendapat pekerjaan; hak untuk
memperoleh upah yang adil bagi buruh laki-laki dan perempuan; hak untuk
membentuk serikat buruh; hak untuk mogok; hak atas pendidikan: hak untuk bebas
dari kelaparan.
Prinsip
kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam dokumen HAM internasional tersebut secara
jelas disebutkan dalam pasal 18: "Setiap orang berhak atas kemerdekaan
berfikir, berkeyakinan dan beragama; hak ini mencakup kebebasan untuk berganti
agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk menjalankan agama atau
kepercayaannya dalam kegiatan pengajaran, peribadatan, pemujaan dan ketaatan,
baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, dimuka umum atau secara
pribadi.“
Hak kebebasan beragama dinyatakan pula secara lebih rinci
dalam Kovenan Internasional Tentang
Hak-Hak Sipil dan Politik pasal 18. Kovenan ini telah diratifikasi pemerintah Indonesia
melalui UU No. 12 Tahun 2005. Isinya sebagai berikut: (1) Setiap orang berhak atas
kebebasan berfikir, berkeyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk
menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri,
dan kebebasan, baik secara individu maupun bersama-sama dengan orang lain, di
tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam
kegiatan ibadah, ketaatan, pengamalan dan pengajaran; (2) Tidak seorang pun
boleh dipaksa sehingga menggangu kebebasannya untuk menganut atau menerima
suatu agama atau kepercayaan sesuai dengan pilihannya.
DUHAM menyebut istilah basic human rights[5] (hak-hak asasi manusia dasar), yaitu hak asasi
manusia yang paling mendasar dan dikategorikan sebagai hak yang paling penting
untuk diprioritaskan di dalam berbagai hukum dan kebijakan, baik di tingkat
nasional maupun internasional. Hak-hak asasi manusia dasar itu adalah
serangkaian hak yang memastikan kebutuhan primer material dan non-material manusia
dalam rangka mewujudkan eksistensi kemanusiaan manusia yang utuh, yaitu manusia
yang berharga dan bermartabat. Walaupun,
secara eksplisit tidak dijumpai satu ketetapan atau penjelasan yang merinci
tentang hak-hak apa saja yang termasuk di dalam basic human rights ini,
namun, secara umum dapat disebutkan hak-hak asasi dasar tersebut mencakup hak hidup,
hak atas pangan, pelayanan medis, kebebasan dari penyiksaan, dan kebebasan
beragama.[6]
Hak-hak itu, dan juga secara keseluruhan hak asasi manusia didasarkan pada satu
asas yang fundamental, yaitu penghargaan dan penghormatan terhadap martabat manusia.[7]
Hak kebebasan beragama digolongkan dalam kategori hak asasi
dasar manusia, bersifat mutlak dan
berada di dalam forum internum yang merupakan wujud dari inner
freedom (freedom to be). Hak ini tergolong sebagai hak yang non-derogable.[8] Artinya,
hak yang secara spesifik dinyatakan di dalam perjanjian hak asasi manusia
sebagai hak yang tidak bisa ditangguhkan pemenuhannya oleh negara dalam situasi
dan kondisi apa pun, termasuk selama dalam keadaan bahaya, seperti perang sipil
atau invasi militer. Hak yang non-derogable ini dipandang sebagai hak
paling utama dari hak asasi manusia.[9]
Hak-hak non derogable ini harus dilaksanakan dan harus dihormati oleh negara
pihak dalam keadaan apapun dan dalam situasi yang bagaimanapun.
Akan tetapi, kebebasan beragama dalam bentuk kebebasan untuk
mewujudkan, mengimplementasikan, atau memanifestasikan agama atau keyakinan
seseorang, seperti tindakan berdakwah atau menyebarkan agama atau keyakinan dan
mendirikan tempat ibadah digolongkan dalam kebebasan bertindak (freedom to
act). Kebebasan beragama dalam bentuk ini diperbolehkan untuk dibatasi dan
bersifat bisa diatur atau ditangguhkan pelaksanaannya. Namun, perlu dicatat,
bahwa penundaan pelaksanaan, pembatasan atau pengaturan itu hanya boleh
dilakukan berdasarkan undang-undang. Adapun alasan yang dibenarkan untuk
melakukan penundaan pelaksanaan, pembatasan, atau pengaturan itu adalah semata-mata
perlindungan atas lima
hal, yaitu: public safet; public order; public helth; public
morals; dan protection of rights and freedom of others. Dengan
demikian tujuan utama tindakan penundaan pelaksanaan, pengaturan atau
pembatasan itu adalah untuk menangkal ancaman terhadap keselamatan manusia atau
hak milik mereka.[10]
Prisip kebebasan
beragama di dalam dokumen-dokumen hak asasi manusia tidaklah berdiri sendiri
melainkan selalu dikaitkan dengan kebebasan lainnya, yaitu kebebasan pikiran
dan hati nurani. Pada esensinya, kebebasan beragama atau berkeyakinan
mengandung paling sedikit delapan komponen, yaitu: kebebasan internal,
kebebasan eksternal, non-coercion, non-discrimination, hak orang tua dan
wali, kebebasan kelembagaan dan status legal, batas yang diperbolehkan bagi
kebebasan eksternal dan bersifat non-derogability.[11]
Masalahnya kemudian, apakah yang
dimaksud dengan agama dalam dokumen HAM tersebut? Menarik diketahui bahwa dokumen
hak asasi manusia tidak memberikan definisi yang konkret tentang apa itu agama.
Alasannya, sangat jelas. Untuk menghindari kontroversi filosofis dan ideologis
serta polemik yang berkepanjangan. Sebab, definisi agama sangat beragam dan
amat problematik menentukan satu definisi dalam rumusan legal. Hukum hak asasi
manusia internasional menemukan istilah yang tepat untuk melindungi hak-hak itu
di bawah judul yang disepakati yaitu: kebebasan berpikir, berkesadaran dan beragama.
Pada prinsipnya, kebanyakan kaidah internasional yang dikembangkan mengarah
pada upaya melindungi hak kebebasan beragama atau berkeyakinan.[12] Dengan
ungkapan lain, yang dilindugi dan dihormati adalah hak dan kebebasan manusia
untuk memilih atau tidak memilih beragama dan berkeyakinan.
Mengapa agama tetap diperlukan manusia?
Sebab, dalam menghadapi realitas hidup yang serba kompleks ini, manusia secara
fisik maupun psikis selalu terhadang
oleh berbagai situasi krisis, terutama tiga bentuk situasi krisis yang abadi,
yaitu ketidakberdayaan, ketidakpastian, dan kelangkaan. Agama dengan wawasan
supra-empirisnya dipandang sebagai satu-satunya solusi yang dapat membantu
manusia menyesuaikan diri dengan situasi krisis eksistensial tersebut. Agama
dapat memberikan kepada manusia kebebasan untuk mencapai niai-nilai yang
mentransendensikan tuntutan dari kehadiran sosial. Karena itu, agama adalah
bersifat sungguh-sungguh pribadi dan sungguh-sungguh sosial.[13]
Dalam realitas sosiologis agama sering didefinisikan sebagai sebuah sistem
keyakinan dan ritual yang mengacu kepada sesuatu yang dipercayai bersifat suci
yang mengikat seseorang atau kelompok, sebagaimana dinyatakan oleh Durkheim
(1912). Agama juga didefinisikan sebagai rangkaian jawaban yang koheren pada
dilema keberadaan manusia, berupa kelahiran, kesakitan, dan kematian, yang
membuat dunia bermakna, seperti diterangkan oleh Marx Weber (1939).
Berbeda dengan pendekatan sosiologis
itu, praktik empiris yang terjadi di Indonesia
adalah bahwa pemerintah Indonesia
merumuskan pengertian sendiri tentang agama. Agama secara sepihak oleh
pemerintah (sedikitnya sebagian aparat negara) dan sebagian kelompok masyarakat
diperlakukan sebagai suatu sistem kepercayaan yang disusun berdasarkan kitab
suci, dan oleh karena itu mengandung ajaran yang jelas, mempunyai nabi dan
sudah barang tentu juga kitab suci. Itulah sebabnya seringkali terdengar
pendapat yang salah kaprah bahwa agama yang diakui pemerintah adalah
agama-agama: Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha. Lalu, sejak akhir 2006
termasuk Konghucu.
Pendekatan empiris di Indonesia itu memiliki implikasi
yang merugikan masyarakat penganut kepercayaan atau agama-agama lokal yang
dalam pendekatan sosiologis termasuk dalam kategori agama. Kerugian tersebut,
antara lain dalam wujud tiadanya perlindungan negara terhadap hak-hak sipil
mereka sebagai warga negara. Agama dan kepercayaan mereka tidak diakui sebagai
agama yang sah dan oleh karena itu pengikutnya mendapat perlakuan yang bersifat
diskriminatif, terutama dari institusi negara.[14]
Agenda Internasional
Perlindungan Hak Kebebasan Beragama
Hal-hal apa saja sesungguhnya yang ingin dilindungi melalui agenda internasional perlindungan hak kebebasan beragama? Sebelum menjawab pertanyaan penting ini, perlu terlebih dahulu menjelaskan makna kebebasan dalam perspektif HAM. Menurut Groome, kebebasan adalah kekuasaan atau kemampuan bertindak tanpa paksaan; ketiadaan penghalang atau hambatan; kekuasaan untuk memilih. Lebih jauh Groome membagi kebebasan dasar ke dalam dua kategori, yaitu hak-hak dan perlindungan pribadi; dan hak-hak dan perlindungan di dalam sistem keadilan. Kelompok hak dan perlindungan pribadi mencakup: kebebasan beragama; kebebasan berfikir; kebebasan berekspresi; kebebasan pers; kebebasan berserikat; kebebasan bergerak; hak untuk kehidupan pribadi; hak untuk berkumpul; hak untuk berserikat; hak atas pendidikan; dan hak untuk berpartisipasi dalam pemerintah. Dari sini kemudian dikenal istilah four freedom (empat kebebasan)[15] oleh F.D. Roosevelt, yaitu: kebebasan berekspresi, kebebasan beragama, kebebasan berkeinginan dan kebebasan dari perasaan ketakutan.
Hal-hal apa saja sesungguhnya yang ingin dilindungi melalui agenda internasional perlindungan hak kebebasan beragama? Sebelum menjawab pertanyaan penting ini, perlu terlebih dahulu menjelaskan makna kebebasan dalam perspektif HAM. Menurut Groome, kebebasan adalah kekuasaan atau kemampuan bertindak tanpa paksaan; ketiadaan penghalang atau hambatan; kekuasaan untuk memilih. Lebih jauh Groome membagi kebebasan dasar ke dalam dua kategori, yaitu hak-hak dan perlindungan pribadi; dan hak-hak dan perlindungan di dalam sistem keadilan. Kelompok hak dan perlindungan pribadi mencakup: kebebasan beragama; kebebasan berfikir; kebebasan berekspresi; kebebasan pers; kebebasan berserikat; kebebasan bergerak; hak untuk kehidupan pribadi; hak untuk berkumpul; hak untuk berserikat; hak atas pendidikan; dan hak untuk berpartisipasi dalam pemerintah. Dari sini kemudian dikenal istilah four freedom (empat kebebasan)[15] oleh F.D. Roosevelt, yaitu: kebebasan berekspresi, kebebasan beragama, kebebasan berkeinginan dan kebebasan dari perasaan ketakutan.
Esensi dari kebebasan beragama atau berkeyakinan tercakup
dalam delapan komponen utama,[16] sebagai berikut.
- Kebebasan Internal: Setiap
orang mempunyai kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama. Hak ini
mencakup kebebasan untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaan
atas pilihannya sendiri termasuk untuk berpindah agama dan keyakinannya.
- Kebebasan Eksternal: Setiap
orang memiliki kebebasan, apakah secara individu atau di dalam masyarakat,
secara publik atau pribadi untuk memanifestasikan agama atau keyakinan di
dalam pengajaran dan peribadahannya.
- Tidak ada Paksaan: Tidak
seorangpun dapat menjadi subyek pemaksaan yang akan mengurangi kebebasannya
untuk memiliki atau mengadopsi suatu agama atau keyakinan yang menjadi
pilihannya.
- Tidak
Diskriminatif: Negara berkewajiban untuk menghormati dan menjamin
kebebasan beragama atau berkepercayaan semua individu di dalam wilayah
kekuasaannya tanpa membedakan suku, warna kulit, jenis kelamin, bahasa,
agama dan keyakinan, politik atau pendapat, penduduk: asli atau pendatang,
serta asal usulnya.
- Hak dari Orang Tua
dan Wali: Negara berkewajiban untuk menghormati kebebasan
orang tua, dan wali yang sah, jika ada untuk menjamin bahwa pendidikan
agama dan moral bagi anak-anaknya sesuai dengan keyakinannya sendiri.
- Kebebasan Lembaga
dan Status Legal: Aspek yang vital dari kebebasan beragama atau
berkeyakinan bagi komunitas keagamaan adalah untuk berorganisasi atau berserikat
sebagai komunitas. Oleh karena itu komunitas keagamaan mempunyai kebebasan
dalam beragama atau berkeyakinan termasuk di dalamnya hak kemandirian di
dalam pengaturan organisasinya.
- Pembatasan yang dijinkan
pada Kebebasan Eksternal: Kebebasan untuk menjalankan agama atau
kepercayaan seseorang hanya dapat dibatasi oleh undang-undang, dan itupun
semata-mata demi kepentingan melindungi keselamatan dan ketertiban publik,
kesehatan atau kesusilaan umum, serta dalam rangka melindungi hak-hak
asasi dan kebebasan orang lain.
- Non-Derogability: Negara
tidak boleh mengurangi kebebasan beragama atau berkeyakinan dalam keadaan
apapun dan atas alasan apapun.
Bagaimana Seharusnya Bentuk
Perlindungan Hak Kebebasan Beragama di Indonesia ?
Prinsip kebebasan beragama di Indonesia
di samping mengacu kepada instrumen internasional mengenai HAM, seperti
dipaparkan sebelumnya, juga harus mengacu kepada konstitusi dan sejumlah
Undang-undang lainnya yang berkaitan dengan penegakan HAM. Di antaranya, UU No.
7 Tahun 1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan,
UU No. 9 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 23 Tahun 2003 tentang
perlindungan Anak, UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT (Kekerasan
dalam Rumah Tangga), dan UU No. 12 Tahun 2005 tentang ratifikasi Kovenan
Internasional tentang pemenuhan hak-hak sipil dan politik dari seluruh warga
negara tanpa kecuali.
Pemaknaan terhadap
kebebasan beragama di Indonesia harus dimulai dari pengakuan bahwa negara
berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa (pasal 28 (e) ayat 1 dan 2 UUD 1945
hasil amandemen. Dasar Ketuhanan Yang
Maha Esa itu selanjutnya diikuti dengan ketentuan mengenai kebebasan beragama
dan menjalankan ibadah menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Kebebasan disini berarti bahwa keputusan
beragama dan beribadah diletakkan pada tingkat individu. Dengan ungkapan lain,
agama merupakan persoalan individu dan bukan persoalan negara. Negara cukup
menjamin dan menfasilitasi agar warga negara dapat menjalankan agama dan
peribadatannya dengan nyaman dan aman, bukan menetapkan mana ajaran agama atau
bentuk peribadatan yang harus dan tidak harus dilakukan oleh warga negara.
Demikian pula, negara sama sekali tidak berhak mengakui atau tidak mengakui
suatu agama; negara juga tidak berhak memutuskan mana agama resmi dan tidak
resmi; tidak berhak menentukan mana
agama induk dan mana agama sempalan. Negara pun tidak berhak mengklaim
kebenaran agama dari kelompok mayoritas dan mengabaikan kelompok minoritas.
Bahkan, negara juga tidak berhak mendefinisikan apa itu agama. Penentuan agama
atau bukan hendaknya diserahkan saja sepenuhnya kepada penganut agama
bersangkutan. Bahkan, menurut Agus Salim, salah satu tokoh penting the
Founding Fathers Indonesia, Pancasila menjamin setiap warga negara memeluk
agama apapun, bahkan juga menjamin setiap warga negara untuk memilih tidak
beragama sekalipun.
Kebebasan beragama, adalah prinsip yang
sangat penting dalam kehidupan bernegara dan berbangsa sehingga harus dipahami makna dan konsekuensinya, baik
oleh negara maupun masyarakat. Oleh sebab itu prinsip ini perlu diwujudkan ke
dalam suatu UU yang memayungi kebebasan beragama. UU ini diperlukan untuk
memproteksi warga dari tindakan diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan
berbasis agama sekaligus juga membatasi otoritas negara sehingga tidak
menimbulkan campur tangan negara dalam hal aqidah (dasar-dasar kepercayaan),
ibadah, dan syari’at agama (code)
pada umumnya. Tujuan lain adalah menyadarkan seluruh warga negara akan hak-hak
asasinya sebagai manusia yang bermartabat dalam berpendapat, berkeyakinan dan
beragama, serta potensi-potensi yang terkandung di balik hak-hak tersebut. UU
semacam itu harus mendefinisikan kebebasan beragama secara lebih operasional.
Apa saja yang harus dicakup dalam prinsip
kebebasan beragama? Mengacu kepada dokumen HAM internasional, konstitusi dan
sejumlah undang-undang tersebut, maka kebebasan beragama harus dimaknai sebagai
berikut.
Pertama, kebebasan setiap warga negara untuk
memilih agama atau menentukan agama dan kepercayaan yang dipeluk, serta
kebebasan melaksanakan ibadah menurut agama dan keyakinan masing-masing.
Kedua, kebebasan dan kemerdekaan menyebarkan
agama, menjalankan misi atau berdakwah dengan syarat semua kegiatan penyebaran
agama itu tidak menggunakan cara-cara kekerasan maupun paksaan secara langsung
maupun tidak langsung. Demikian pula tidak mengeksploitasi kebodohan dan
kemiskinan masyarakat atau bersifat merendahkan martabat manusia sehingga tidak
dibenarkan melakukan pemberian bantuan apa pun, pembagian bahan makanan,
pemberian beasiswa atau dana kemanusiaan kepada anak-anak dari keluarga miskin
atau pelayanan kesehatan gratis dengan syarat harus masuk ke dalam agama
tertentu.
Ketiga, kebebasan beragama seharusnya
mencakup pula kebebasan untuk berpindah agama, artinya berpindah pilihan dari
satu agama tertentu ke agama lain. Setiap warga negara berhak untuk memilih
agama dan kepercayaan apapun yang diyakininya dapat membawa kepada keselamatan
dunia dan akhirat. Karena itu, berpindah agama hendaknya dipahami sebagai
sebuah proses pencarian atau penemuan kesadaran baru dalam beragama.
Anehnya sikap umum pemerintah dan masyarakat
terhadap orang-orang yang pindah agama tidak konsisten, dan cenderung
diskriminatif. Sebab, jika seseorang itu berpindah ke dalam agama yang
kita anut, kita cenderung menerimanya dengan sukacita atau bahkan merayakannya.
Sebaliknya, jika seseorang itu berpindah dari agama kita ke agama lainnya
(keluar dari agama kita), kita cenderung
marah dan memandang pelakunya sebagai murtad, kafir, musyrik dan sebagainya.
Hal ini sangat tidak adil. Bagaimana mungkin kita dapat menerima perpindahan
seseorang ke dalam agama kita dan menolak hal yang sama. Sebab, orang yang pindah agama itu murtad
dalam pandangan semua agama. Jika bisa menerima orang lain masuk ke dalam agama
kita, seharusnya mudah pula menerima orang kita masuk ke agama lain. Mengapa
dalam beragama ada semacam pikiran culas? Hanya mau untung tetapi takut rugi.
Keempat, kebebasan beragama hendaknya juga
mencakup kebolehan perkawinan antara dua orang yang berbeda agama atau berbeda
sekte atau berbeda faham keagamaan sepanjang perkawinan itu tidak mengandung
unsur pemaksaan dan eksploitasi. Artinya, perkawinan itu bukan dilakukan untuk
tujuan perdagangan perempuan dan anak perempuan (trafficking in women and
children) yang akhir-akhir ini menjadi isu global.
Yang penting dilindungi adalah hak warga
negara untuk mencatatkan peristiwa penting tersebut, baik kepada lembaga
pencatatan sipil maupun KUA. Negara berkewajiban mencatatkan peristiwa sipil
warga, seperti kelahiran, perkawinan, dan kematian, sebaliknya warga negara
berhak menerima pelayanan registrasi. Dalam hal ini negara tidak mencampuri
urusan prosedur pernikahan berdasarkan ketentuan atau upacara agama apapun. Kedua calon
mempelai berhak melangsungkan pernikahan berdasarkan pilihan dan kesepakatan
bersama. Otoritas agama boleh saja membuat fatwa atau keputusan yang
mengharamkan perkawinan lintas agama, atau keluarga dan individu boleh
menganggap haram pernikahan antara pemeluk agama yang berbeda. Namun fatwa atau
keputusan tersebut tidak mengikat negara dan masyarakat.
Kelima, kebebasan beragama hendaknya juga
mencakup kebebasan mempelajari ajaran agama manapun di lembaga-lembaga
pendidikan formal, termasuk lembaga pendidikan milik pemerintah.
Konsekuensinya, setiap siswa atau mahasiswa berhak memilih atau menentukan
agama mana yang akan dipelajarinya. Tidak boleh dibatasi hanya pada agama yang
dianut peserta didik. Demikian juga, kebebasan untuk memilih tidak mengikuti
pelajaran agama tertentu. Akan tetapi, lembaga pendidikan dapat mewajibkan
peserta didiknya untuk mengikuti pelajaran budi pekerti atau etika berdasarkan
Pancasila, karena pelajaran itu penting bagi pembentukan karakter warganegara
yang baik.
Keenam,
kebebasan beragama memungkinkan negara dapat menerima kehadiran sekte, paham,
dan aliran keagamaan baru sepanjang tidak menggangu ketenteraman umum dan tidak
pula melakukan praktek-praktek yang melanggar hukum, seperti perilaku
kekerasan, penipuan atau pembodohan warga dengan kedok agama.
Ketujuh,
kebebasan beragama mendorong lahirnya organisasi-organisasi keagamaan untuk
maksud meningkatkan kesalehan warga,
meningkatkan kualitas kecerdasan emosional dan spiritual berdasarkan
ajaran agama tertentu selama tidak mengharuskan keimanan kepada suatu agama
atau keyakinan sebagai syarat. Konsekuensinya, negara atau otoritas keagamaan
apa pun tidak boleh membuat fatwa atau keputusan hukum lainnya yang menyatakan
seseorang sebagai kafir, murtad atau berdosa. Atau memberi label terhadap suatu
paham, sekte, aliran keagamaan atau kepercayaan tertentu sebagai paham sesat.
Kedelapan, kebebasan beragama mengharuskan
negara bersikap dan bertindak adil pada semua penganut agama dan kepercayaan
yang hidup di negara ini. Negara tidak boleh bersikap memihak terhadap kelompok
keagamaan tertentu dan berbuat diskriminatif terhadap kelompok lainnya. Dalam
konteks ini seharusnya tidak ada istilah mayoritas dan minoritas, juga tidak
ada istilah penganut agama samawi dan non-samawi. Demikian juga tidak perlu ada
istilah agama induk dan agama sempalan. Jangan lagi ada istilah agama resmi dan
tidak resmi atau diakui dan tidak diakui pemerintah. Setiap warga negara
mendapatkan hak kebebasannya dalam menentukan pilihan agamanya.
Post a Comment