News Update :
Home » , » Pola-pola Suap Pilkada

Pola-pola Suap Pilkada

Penulis : kumpulan karya tulis ilmiah on Sunday, December 8, 2013 | 6:47 AM

Pola-pola Suap Pilkada : Terbatasnya preferensi dari pemilih dalam mendapatkan figur-figur yang berkualitas. Karena banyak figur-figur yang memiliki kompetensi tinggi, justru pilihan politik mereka berada diluar, dan tidak bersedia masuk menjadi partisan partai politik. Kalaupun calon perseorangan ini akhirnya masuk dalam bursa kompetisi intrenal partai politik maka posisi tawar mereka cenderung sangat lemah. Lebih jauh lagi, politik satu pintu cenderung akan memperluas konflik internal dalam partai politik. Dalam pertarungan internal sudah dapat dipastikan akan digunakan segala cara untuk memenangkan pertarungan; seperti penggunaan kekuatan uang, mobilisasi dukungan, premanisme dan juga manipulasi wacana. 

Hal di atas diperparah dengan fakta empirik yang menyatakan bahwa tidak semua parpol mau dan mampu mengembangkan mekanisme yang demokratis dalam menominasi calon yang diajukan. Seringkali yang justru muncul adalah cara-cara oligarkis yang memungkinkan segelintir elite memanfaatkan kesempatan untuk mendominasi proses pencalonan.

Pada perspektif lain, UU Nomor 32 Tahun 2004 tidak memberi “hak inisiatif” kepada rakyat untuk mengajukan calonnya tanpa melalui partai politik. Dengan kata lain, rakyat hanya memiliki “hak pilih” dari calon-calon yang telah ditentukan oleh partai politik. Akibatnya, parpol masih tetap menjadi mesin politik utama menuju kekuasaan. Dan peran sebagai “mesin kekuasaan” inilah yang akan menjadi medan magnet terjadinya suap. Padahal UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu menyatakan “setiap pemilih dan peserta Pemilu mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan pihak mana pun”.

Menurut Indra J. Piliang, pusaran korupsi diperkirakan tidak sekuat pada masa 5 tahun kebelakang. Justru ada kecenderungan bahwa suap ini lebih menyebar dan menjangkau langsung kepada anggota masyarakat. Logikanya, suap akan mengikuti dimana “suara” berada. Pada saat berlakunya UU 5/1974, pemerintah pusat memiliki hak untuk memilih seorang Kepda dari 3 hingga 5 calon yang diajukan DPRD. Oleh karenanya tidak aneh jika sebagian terbesar kasus korupsi pada saat itu terjadi di tingkat pusat. Kemudian pada era UU 22/1999, korupsi dilakukan secara beramai-ramai oleh DPRD karena memang DPRD-lah pemegang hak pilih terhadap seorang kepala daerah. Kini, ketika suara (hak pilih) didistribusikan secara langsung kepada perseorangan, maka ranah korupsi-pun akan bergerak mengikuti pemilik suara tersebut.

Dalam kaitannya dengan Putusan Perkara No. 005/PUU-III/2005 perihal pengujian atas penjelasan Pasal 59 ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2004 terhadap UUD 1945 yang memberikan peluang kepada semua partai politik yang memperoleh suara (tanpa harus memiliki kursi di DPRD) untuk dapat mencalonkan pasangan calon kepala daerah, menurut penulis terasa amat janggal.
Share this article :

Post a Comment

 
Design Template by panjz-online | Support by creating website | Powered by Blogger