News Update :
Home » , » Upaya yang dilakukan oleh aparat penegak hukum untuk mengatasi problematika

Upaya yang dilakukan oleh aparat penegak hukum untuk mengatasi problematika

Penulis : kumpulan karya tulis ilmiah on Sunday, December 8, 2013 | 8:59 AM

Upaya yang dilakukan oleh aparat penegak hukum untuk mengatasi problematika
Opini publik yang berkembang pada saat aturan hukum pilkada dirumuskan bahwa pilkada langsung dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan praktek suap ternyata tidak dapat dipertahankan lagi. Sebagai ilustrasi berikut ini disajikan resume hasil penelitian permasalah pilkada;

Menurut Topo Santoso, salah satu kekurangan dari peraturan perundang yang mengatur pilkada adalah minimnya alasan menggugat hasil pilkada. UU No 32 Tahun 2004 hanya mengenal satu alasan. Hasil pemilihan bisa digugat bila KPUD salah menghitung. Padahal, bisa saja terjadi kesalahan besar dalam pendaftaran pemilih sehingga pendukung salah satu kandidat kehilangan hak pilih, seperti terjadi di Cilegon. Salah seorang calon menduga, lebih dari 56.000 pendukungnya kehilangan hak pilih. Kecurangan lain yang berpotensi memengaruhi hasil adalah suap. Ini pun tidak bisa dijadikan alasan menggugat hasil pilkada. Juga kecurangan di tahapan pendaftaran pemilih, tahapan kampanye, kekerasan atau ancaman kekerasan, pelibatan PNS atau penyalahgunaan kekuasaan, menghalangi pemilih, dan aneka kecurangan lain. Solusi hukumnya jelas. Berikan hak kepada pihak yang merasa dirugikan untuk menyanggah penetapan KPUD dengan mekanisme hukum yang jelas. Sementara itu, dasar untuk menggugat hasil pilkada harus diperluas, bukan hanya terjadinya kesalahan penghitungan oleh KPUD, tetapi juga mencakup terjadinya kesalahan, kecurangan, manipulasi, atau tindak pidana pemilihan yang bisa memengaruhi hasil. Hal ini hanya bisa dilakukan dengan memperbaiki atau melengkapi UU Pemerintah Daerah.


Definisi suap dalam pemilihan kepala daerah langsung perlu diperjelas untuk menghindari kambuhnya "penyakit pemilu" itu dalam pilkada Juni 2005. Definisi suap dalam Undang-Undang No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah No 6/2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah tidak terlalu jelas cakupannya. Definisi suap dalam UU No 32/2004 itu secara implisit tercantum dalam Pasal 82 Ayat (1) yang menyebutkan, Pasangan calon dan/atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi pemilih. Kemudian Ayat (2), Pasangan calon dan/atau tim kampanye yang terbukti melakukan pelanggaran berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dikenai sanksi pembatalan sebagai pasangan calon oleh DPRD. Menurut penulis, definisi seperti itu sulit diaplikasikan di lapangan. Dalam kenyataannya suap terjadi sejak pasangan calon mendaftarkan diri pada partai politik hingga ke masa kampanye.

Mengutip pendapat Ramlan Surbakti, setidak-tidaknya tiga cara dapat ditempuh untuk mencegah praktik suap, yaitu melalui mekanisme pelaporan dan audit dana kampanye pilkada langsung, penegakan hukum, dan melalui pengorganisasian pemilih (organize voters) oleh para pemilih sendiri. Cara pertama diadopsi oleh peraturan perundang-undangan, tetapi pengaturannya masih harus dilengkapi oleh KPU provinsi/KPU kabupaten/kota. Berdasarkan pengalaman menangani pelaporan dan audit dana kampanye pemilihan umum presiden dan wakil presiden tahun 2004, tujuh hal berikut perlu diadopsi oleh KPUD.

Pertama, belum semua penerimaan dan pengeluaran tercatat dalam rekening khusus di bank yang sudah dilaporkan kepada KPU. Yang terjadi adalah sumbangan disampaikan kepada bendahara untuk kemudian digunakan atau langsung digunakan secara operasional tanpa melalui pencatatan bendahara. Akibatnya Rekening Khusus Dana Kampanye Pemilu di bank saja belum mampu menggambarkan seluruh transaksi dan kegiatan kampanye peserta pemilu. Berdasarkan pengalaman ini, KPUD perlu menegaskan dalam peraturan bahwa semua penerimaan dan pengeluaran harus tercatat dalam rekening khusus.

Kedua, pasangan calon dan/atau tim kampanye pasangan calon ternyata sudah menerima sumbangan dari berbagai pihak dan/atau mengeluarkan uang untuk keperluan pencalonan jauh sebelum pasangan calon didaftarkan kepada KPU sebagaimana diidentifikasi di atas. Ketika KPU meminta pasangan calon melaporkan saldo awal dalam Rekening Khusus Dana Kampanye ternyata yang dilaporkan hanya dana minimal untuk membuka rekening. Dana yang sudah diterima dan digunakan sebelum pembukaan rekening khusus tidak dimasukkan ke dalam rekening khusus. Berdasarkan pengalaman ini, KPUD perlu membuat pengaturan yang tak hanya mewajibkan pasangan calon/tim kampanye mencatat transaksi tersebut dalam rekening khusus, yaitu dengan mencatatnya sebagai saldo awal, tetapi juga melaporkan seluruh transaksi sebelum pendaftaran pasangan calon dalam laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye pilkada.

Ketiga, pasangan calon/tim kampanye pasangan calon belum disiplin mencatat dan melaporkan sumbangan pihak ketiga, yaitu mereka yang melaksanakan sejumlah kegiatan kampanye (mengeluarkan dana) bagi pasangan calon tersebut dengan uang sendiri dan/ atau menggunakan sumbangan pihak lain. Sumbangan yang diterima dalam bentuk nonkas (in kind) juga belum dicatat dan dilaporkan oleh tim kampanye. KPUD perlu menegaskan ketentuan ini ketika melakukan sosialisasi kepada tim kampanye pasangan calon pemilihan kepala daerah.

Keempat, menurut ketentuan laporan penerimaan dan pengeluaran pasangan calon merupakan laporan konsolidasi. Dari laporan kantor akuntan publik (KAP), terlihat belum semua penerimaan kas dan nonkas tim kampanye daerah dicatat dan dilaporkan. KPUD perlu mempertimbangkan pembuatan peraturan yang juga mewajibkan tim kampanye daerah (tingkat kabupaten dan tingkat kecamatan untuk pemilihan gubernur serta tingkat kecamatan untuk pemilihan bupati/wali kota) mencatat dan melaporkan semua penerimaan dan pengeluaran, baik kas maupun nonkas, sehingga termasuk yang akan diaudit oleh KAP.

Kelima, tidak semua sumbangan dapat dikategorikan ke dalam tiga kategori sumber sumbangan menurut undang- undang, yaitu partai politik/gabungan partai politik yang mencalonkan, pasangan calon, dan perseorangan dan badan hukum swasta. Bila sekelompok orang melakukan kegiatan usaha mencari dana dengan menjual barang tertentu dan hasilnya disumbangkan kepada pasangan calon tertentu, sedangkan sekelompok orang tersebut tidak mempunyai hubungan atau perjanjian apa pun dengan pasangan calon, ke dalam kategori apakah sumbangan ini dimasukkan. Sumbangan ini jelas tidak dapat dimasukkan ke dalam kategori sumbangan perseorangan karena melibatkan sekelompok orang. Sumbangan ini juga tidak dapat dimasukkan ke dalam kategori sumbangan badan hukum swasta karena sekelompok orang tersebut tidak membentuk badan usaha. Apabila pasangan calon/ tim kampanye dapat melakukan kegiatan usaha mencari dana, KPUD perlu mempertimbangkan hal berikut. Bila jenis usaha tersebut berupa penjualan barang, sebaiknya sumbangan ini dikelompokkan sebagai sumbangan dunia usaha walaupun tanpa status badan hukum. Bila jenis usaha tersebut berupa penggalangan sumbangan dari sejumlah orang, sumbangan ini harus dikategorikan sebagai sumbangan perseorangan.

Keenam, karena waktu yang tersedia untuk proses pelaksanaan audit hanya 15 hari, maka pengecekan yang dilakukan KAP terhadap semua bentuk sumbangan, terutama penyumbang individual dan badan hukum swasta hanya secara acak dengan kuesioner sehingga kurang menyeluruh dan mendalam. Oleh karena itu, apabila memungkinkan, KPUD perlu mempertimbangkan waktu yang lebih memadai bagi KAP untuk melakukan audit. Keterbatasan waktu yang tersedia dapat pula diatasi dengan meminta lembaga pemantau, yang khusus memantau dana kampanye pilkada, dan panwas, menyerahkan hasil pemantauan dana kampanye pilkada untuk digunakan sebagai bahan audit oleh KAP.

Ketujuh, KAP perlu diberi kewenangan melakukan audit investigation bila terjadi kesenjangan pengeluaran dan penerimaan dari laporan pasangan calon.

Dari segi penegakan hukum, berdasarkan hasil audit KAP terhadap laporan pasangan calon, KPUD berwenang mengenakan sanksi pembatalan calon apabila pasangan calon/tim kampanye terbukti: (a) menerima sumbangan/ bantuan lain dari pihak negara, swasta, LSM, dan warga asing, (b) menerima sumbangan/bantuan lain dari pihak yang tidak jelas identitasnya, dan (c) menerima sumbangan/bantuan lain dari pemerintah, BUMN, dan BUMD. Selain itu, apabila pengadilan menyatakan pasangan calon/ tim kampanye terbukti memberikan atau menjanjikan uang atau materi lainnya untuk memengaruhi pemilih, KPUD juga harus mendiskualifikasi pasangan calon tersebut. Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi, kewenangan membatalkan calon seperti ini yang semula berada pada DPRD kini dialihkan kepada KPUD karena KPUD-lah yang menetapkan calon.

Akan tetapi, UU No 32 Tahun 2004 dan PP No 6 Tahun 2005 ternyata tidak memberikan sanksi bagi penyumbang atau penerima sumbangan dana kampanye yang melebihi jumlah maksimal yang ditetapkan dalam UU No 32 Tahun 2004. Bila kekosongan hukum ini tidak segera diatasi, misalnya, mengaturnya dalam peraturan pemerintah pengganti undang- undang (perpu) yang kini tengah disiapkan oleh pemerintah, tidak saja tidak ada gunanya menetapkan batas maksimal sumbangan dalam UU, tetapi juga akan memperlakukan pasangan calon lain dan para pemilih secara tidak adil.

Banyaknya aturan yang belum lengkap mengenai dana kampanye mengakibatkan sulitnya sumber dana kampanye dilacak KPUD. Apalagi, di dalam Peraturan Pemerintah No 6/2005 tidak memberikan sanksi kepada calon kepala daerah yang tidak memberikan laporan sumber dana kampanye kepada KPUD. Pasal 65 Ayat 6 PP No 6/2005 menyebutkan, sumbangan dana kampanye dilaporkan dan disampaikan pasangan calon kepada KPUD setelah diaudit kantor akuntan publik dalam waktu satu hari sebelum masa kampanye dimulai dan satu hari sesudah masa kampanye berakhir. 
Share this article :

Post a Comment

 
Design Template by panjz-online | Support by creating website | Powered by Blogger