News Update :
Home » , » Harga yang Adil dalam Sejarah Pemikiran Barat

Harga yang Adil dalam Sejarah Pemikiran Barat

Penulis : kumpulan karya tulis ilmiah on Wednesday, January 15, 2014 | 7:30 AM

Harga yang Adil dalam Sejarah Pemikiran Barat : Harga yang adil ternyata juga mendapat perhatian dari banyak pemikir dunia di manapun. Namun, ternyata para sarjana muslim ternyata telah jauh mendahului para pemikir Barat dalam menganalisis harga dan mekanisme pasar. Schumpeter (1972, h. 305) menyatakan bahwa hingga sebelum pertengahan abad ke 18 tidak terdapat laporan yang jelas tentang pemikiran harga dan mekanisme pasar di Barat. Bahkan, kontribusi pemikir-pemikir yang sangat cemerlang, seperti Barbon, Petty, Locke, maupun Pufendort juga belum memberikan titik terang tentang mekanisme harga, apalagi para pemikir era Yunani kuno, misalnya Aristoteles dan Plato. Kalaupun dapat ditemukan pemikiran tentang harga pada masa-masa itu, namun pendekatan yang digunakan adalah etika dan hukum, bukan pendekatan ekonomi. 

Penulis Jerman Rudolf Kaulla menyatakan, “Konsep tentang justum pretium (harga yang adil) mula-mula dilaksanakan di Roma, dengan latar belakang pentingnya menem­patkan aturan khusus untuk memberi petunjuk dalam kasus-kasus yang dihadapi hakim, di mana dengan tatanan itu dia menetapkan nilai dari sebuah barang dagangan atau jasa. Pernyataan ini hanya menggambarkan sebagian dari bagaimana cara harga dibentuk dengan pertimbangan etika dan hukum. Pada masa itu etika merupakan bagian dari filsafat sehingga doktrin tentang harga juga bagian dari sistem filsafat itu. Dalam operasionalnya, penciptaan harga harus memanfaatkan otoritas penguasa melalui pendekatan hukum. Untuk mencapai harga yang adil maka penguasa pada akhirnya seringkali mengeluarkan kebijakan penetapan harga. Harga dibentuk lebih dengan pertimbangan keadilan daripada pertimbangan ekonomi.

Ilmuwan pada abad pertengahan yang pemikirannya tentang harga banyak menjadi pijakan pemikiran di masa berikutnya adalah St Thomas Aquinas. Tanpa secara eksplisit menjelaskan definisi harga yang adil Aquinas menyatakan, “sangat berdosa mempraktekkan penipuan terhadap tujuan penjualan sesuatu melebihi dari harga yang adil, karena itu sama dengan mencurangi tetangganya agar menderita kerugian. Aquinas mengutip pernyataan Cicero: “seluruh muslihat, tentu saja, tidak bisa dieliminasi dari perjanjian, hingga penjual tak bisa memaksa seseorang untuk menawar dengan harga lebih tinggi. Juga, tak bisa pembeli memaksa untuk membeli dengan harga yang lebih rendah”. Ia juga menyatakan, “harga yang adil itu akan menjadi salah satu hal yang tak hanya dimasukkan dalam perhitungan nilai barang yang dijual, juga bisa mendatangkan kerugian bagi penjual. Dan juga, suatu barang bisa dibolehkan secara hukum dijual lebih tinggi ketimbang nilainya sendiri, meskipun nilainya tak lebih dibanding harga dari pemiliknya”. Dari beberapa per­nyataan ini nampak jelas pendekatan etika dan hukum yang digunakan oleh Aquinas dalam menganalisis harga.

Sebenarnya, juga terdapat ilmuwan yang telah menganalisis harga dari sisi ekonomi sebelum Aquinas, yaitu Albertus Magnus (1193-1280). Ia berpendapat, “dua barang dagangan sama dalam nilainya dan nilai tukarnya akan menjadi adil bila dalam produksinya menunjukkan persamaan biaya buruh dan pengeluaran lainnya”. Sayang, Magnus tidak memberi definisi yang rinci tentang biaya ini, kecuali hanya menekankan pada evaluasi atau conditio atau status sosial : adil, sebagai hasil kerja perorangan tergantung pada kelasnya, jadi pada nilai dari jasa-jasanya (Islahi, 1997, h. 89). 

Pendapat yang lebih jelas berasal dari pemikir Inggris, Dun Scotus (1265-1308). Menurutnya, harga itu harus meliputi biaya yang dikeluarkan oleh pedagang dalam pembelian, pengangkutan, penyimpanan dan kompensasinya untuk industri, buruh dan biaya yang terkandung dalam barang dagangan itu sampai ke pasar. Dalam pandangan Scotus, harga yang adil adalah salah satu faktor yang mendorong seseorang mampu memenuhi kebutuhan keluarganya secara layak. Ini berarti harga harus meliputi biaya dan keuntungan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pedagang itu. Sayang, ia hanya memfokuskan pada sisi pedagang –yaitu biaya- tanpa mem­­pertimbangkan dari penilaian sisi pembeli. Samuel Von Pufendort (1632-1694) seorang ilmuwan Swedia, yang menurut Schumpeter merupakan pemikir paling terkemuka dalam masalah ini. Namun, pemikirannya tentang mekanisme harga relatif tidak memadai jika dibandingkan dengan pemikiran Ibnu Taimiyyah yang notabene hidup kurang lebih 300 tahun sebelumnya. Penjelasannya lebih condong berhubungan dengan teori kuantitas uang daripada teori mekanisme harga, sebagaimana dikutip oleh Schumpeter, “Membedakan nilai dalam penggunaan dan dalam per­tu­karan (pretium eminens), ia (Pufendort) menyebutkan bahwa yang terakhir ditentukan oleh kelangkaan atau keberlimpahan barang dan uang secara relatif. Harga pasar kemudian cenderung menuju pada biaya-biaya yang secara normal harus diadakan dalam produksi”. Penghargaan terhadap teori kuantitas uang sendiri sebenarnya banyak diberikan kepada ilmuwan Perancis Jean Bodin (1530-1596) atas karyanya Reply to the Paradoxes of M Maletroit (Speigel, H.W, 1971, h. 89)

Beberapa pemikir Barat lain yang menggunakan analisis permintaan dan pena­waran dalam menjelaskan perubahan harga antara lain: John Nider (1380-1438), Navarrus (1493-1586), Luis Molina (1536-1600), dan Lessius (1554-1632). Pemikiran mereka memang tidak banyak diulas oleh Schumpeter, tetapi bisa dicermati melalui penjelasan Gordon (1979, h. 232-269) dalam bukunya Economic Analysis before Adam Smith. Beberapa di antaranya sebagai berikut:
Tentang Nider 

“Bahkan, dengan semakin banyaknya orang yang memiliki kebutuhan terhadap suatu komoditas dan keinginan untuk memilikinya, sementara ketersediaan komoditas tersebut lebih sedikit, maka lebih mungkin diperkirakan dan dijual (komoditas tersebut -penulis) pada harga yang lebih tinggi”

Tentang Navarous:
“Navaraus adalah seorang penentang penetapan harga yang tetap, yang menya­takan bahwa jika barang-barang berlimpah maka fiksasi tidak diperlukan dan ketika barang langka, maka sistem ini (fiksasi-penulis) akan membuat kesejahteraan masyarakat lebih berbahaya… Suatu penekanan baru adalah memperhatikan determinan-determinan penawaran dan gagasan tentang pasar harus dipertajam”
Tentang Molina

“Jika, sebagai contoh, barang-barang ditawarkan secara eceran dalam jumlah yang kecil maka penjual akan menawarkan harga yang lebih tinggi dibandingkan dengan cara borongan. Milina merupaka ilmuwan scholastik pertama yang menggunakan kata persaingan (competition).
Tentang Lessius 

“Tidak hanya variasi dalam kondisi penawaran yang mempengaruhi pembuatan harga, tetapi juga banyak faktor lain. Di antara berbagai faktor yang diang­gapnya relevan antara lain: “…. Barang itu sendiri dan kelangkaan atau keberlimpahannya, kebutuhan terhadap barang itu dan kegunaannya, penjual dan tenaga kerjanya, biaya-biaya, risiko-risiko yang diderita dalam memperoleh barang-barang itu (dalam tranportasi dan pendistribusiannya), cara pejualannya- apakah ditawarkan secara bebas atau dengan permintaan, jumlah konsumennya banyak atau sedikit, dan apakan uangnya langka atau berlimpah”.

Harga yang adil dan berbagai cara pembentukannya tetap mendapat perhatian besar hingga kini. Para pemikir klasik banyak memberi perhatian atas harga yang adil ini. Adam Smith, yang disebut bapak ilmu ekonomi, barangkali adalah pemikir yang paling baik dalam penjelasannya tentang harga dari sisi ekonomi. Ia mengedepankan analisisnya tentang kekuatan permintaan dan penawaran dalam pembentukan harga yang alamiah (natural price). Menurutnya kekuatan tarik menarik kekuatan pasar secara bebas akan menghasilkan harga yang paling adil, baik bagi produsen maupun konsumen. Namun, sejalan dengan kritik terhadap berbagai kelemahan mekanisme pasar, tetap muncul sebuah pertanyaan besar apakah harga pasar ini benar-benar merupakan harga yang adil?
Share this article :

Post a Comment

 
Design Template by panjz-online | Support by creating website | Powered by Blogger