News Update :
Home » , » Memastikan Kelestarian Lingkungan

Memastikan Kelestarian Lingkungan

Penulis : kumpulan karya tulis ilmiah on Sunday, January 19, 2014 | 9:31 AM

Memastikan Kelestarian Lingkungan : Pembangunan di Indonesia telah banyak mengorbankan lingkungan alam. Pemerintah menebang pohon, merusak lahan, membanjiri sungai-sungai dan jalur air serta atmosfer dengan lebih banyak polutan. Tujuan MDGs ketujuh adalah untuk menghalangi kerusakan ini. Tujuan ini menelaah seberapa besar wilayah Indonesia yang tertutup oleh pohon. Ini penting bagi Indonesia karena Indonesia memiliki sejumlah hutan yang paling kaya dan paling beragam di dunia. Namun, tidak untuk jangka waktu yang terlalu lama lagi. Selama periode 1997-2000, pemerintah kehilangan 3,5 juta ha hutan per tahun25, atau seluas propinsi Kalimantan Selatan. 

Namun demikian, menurut Kementrian Kehutanan, Indonesia memiliki 127 juta hektar “kawasan hutan”, yaitu sekitar dua pertiga luas wilayah. Kawasan ini dibagi menjadi berbagai kategori dengan tingkat perlindungan yang berbeda. Kawasan yang paling terlindungi adalah ”kawasan konservasi” dan ”hutan lindung”. Kawasan dengan tingkat perlindungan lebih rendah adalah dua jenis ”hutan produksi” yang digunakan untuk mendapatkan kayu atau hasil hutan lainnya—tetapi dengan keharusan penanaman kembali. Yang paling rentan adalah kawasan yang digolongkan “hutan konversi”, yang sesuai namanya bisa digunakan untuk tujuan-tujuan lain. 

Dua pertiga wilayah Indonesia adalah kawasan hutan. Citra satelit menunjukkan bahwa pada 2005, sepertiga dari ”kawasan hutan” tersebut hanya memiliki sedikit populasi pohon. Wilayah yang sebenarnya berhutan hanyalah sekitar 94 juta hektar, atau sekitar 50% wilayah Indonesia. Saat ini kawasan hutan hanya tersisa sedikit pohon dalam dua perlima area hutan produksi. Sebaliknya, citra satelit juga menunjukkan bahwa sebagian dari lahan yang tidak diperuntukkan sebagai hutan pada kenyataannya adalah hutan. 

Salah satu masalah utama adalah penebangan liar. Kayu sangat berharga sehingga banyak perusahaan siap mencurinya, kadang-kadang lewat kolusi dengan pejabat setempat. Kenyataannya, separuh kayu Indonesia diperkirakan dihasilkan lewat pembalakan liar. Dalam beberapa kasus, lahan juga dibuka untuk tujuan-tujuan lain seperti perkebunan kelapa sawit. Selain itu, sebagian komunitas pedesaan yang kekurangan lahan juga telah merambah hutan lebih jauh. Situasinya semakin rumit ketika pemerintah daerah mempunyai definisi peruntukan lahan yang bertentangan dengan defenisi nasional. 

Semua ini menimbulkan masalah besar bagi penduduk yang menggantungkan penghidupan pada hutan, khususnya sekitar 10 juta penduduk miskin, termasuk kelompok masyarakat adat. Penggundulan hutan juga seringkali disertai dengan kebakaran hutan yang menimbulkan masalah kesehatan yang serius selain memproduksi gas rumah kaca yang dilepaskan dalam jumlah besar ke atmosfer. Penggundulan hutan juga mengurangi keragaman hayati kita. Seperti yang sudah anda bayangkan, untuk indikator MDGs ini, Indonesia masih jauh dari target. 

Di tingkat nasional, pemerintah mempunyai niat yang benar. Pemerintah telah berikrar untuk melindungi lingkungan. Namun pemerintah memiliki pengelolaan yang buruk dan kesulitan dalam menegakkan peraturan. Pemerintah harus berbuat lebih banyak untuk memberantas kejahatan dan korupsi di bidang kehutanan. Yang juga perlu dilakukan adalah pengalihan pengendalian hutan kepada komunitas setempat sehingga mereka bisa hidup dari hutan dan mendapatkan insentif untuk mengelola dan melindungi hutan tersebut. Namun Indonesia juga memiliki banyak sumber daya alam lain yang dengannya penduduk miskin bisa bertahan hidup, khususnya lautan yang menjadi lapangan pekerjaan bagi 3 juta orang. Kenyataannya, sumber daya kelautan di Indonesia juga telah terkena dampak penggundulan hutan. 

Penggundulan hutan dan kerusakan lahan menyebabkan erosi berupa pengikisan lapisan tanah oleh air hujan. Tanah tersebut mengalir bersama sungai ke laut sehingga menghancurkan terumbu karang. Laut kita pun menghadapi resiko polusi lainnya, khususnya tumpahan minyak. Sementara itu, di daratan kita dihadapkan pada polusi limbah beracun, kimia dan pestisida—begitu pula polusi udara, khususnya yang berasal dari industri dan semburan asap kendaraan bermotor. Secara keseluruhan, lingkungan hidup Indonesia telah cukup tercemar. MDGs tidak memiliki indikator untuk polusi, namun memonitor seberapa besar penggunaan energi kita, karena banyak dari energi tersebut merupakan hasil industrialisasi yang biasanya ikut berperan mengkonsumsi lebih banyak energi. 

Tinggal satu tujuan MDGs lagi yang akan dibahas. Tentu saja energi yang sedang kita bahas ini tidak berasal dari makanan namun dari berbagai jenis bahan bakar. Konsumsi minyak bumi, Indonesia berada di titik yang rendah pada 1998 menyusul krisis ekonomi. Sejak itu, “intensitas energi” pemerintah meningkat terus hingga saat ini mencapai 95,3 kg setara minyak per 1,000 $ (Kem. ESDM, 2006). Namun demikian, menggunakan lebih banyak energi tidak serta-merta berarti lebih banyak pencemaran, khususnya jika kita beralih menggunakan bahan bakar yang lebih bersih. Dalam kenyataannya, salah satu indikator MDG lainnya jelas mencerminkan hal ini. Indikator tersebut melihat pada proporsi penduduk yang menggunakan bahan bakar padat. Ini artinya menggunakan kayu atau batubara, misalnya, dan bukan menggunakan minyak tanah, atau LPG (Liquified Pertoleum Gas). Memang proporsi penduduk yang menggunakan bahan bakar padat sudah turun secara tajam, dari 70,2% pada 1989 menjadi 47,5% pada 2004. 

Bahan bakar padat biasanya lebih kotor karena menghasilkan uap dan asap. Ini beresiko jika digunakan di rumah, khususnya bagi perempuan dan anak-anak karena bisa terkena dampak buruknya. Tentu saja pemerintah juga perlu mengkhawatirkan emisi bahan bakar lain yaitu “gas rumah kaca”, khususnya CO2 yang naik ke lapisan atas atmosfer dan memanaskan planet ini. 

Kebanyakan gas rumah kaca berasal dari negara-negara kaya, dan negara-negara maju paling banyak menghasilkan emisi industri. Namun banyak negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, juga menghasilkan banyak karbon dioksida (CO2). Pada tahun 2000 setiap orang mengeluarkan rata-rata 1,15 metrik ton karbon dioksida ke atmosfer. Lebih dari separuhnya berasal dari industri, rumah tangga atau transportasi, sementara sisanya berasal dari kehutanan dan pertanian. Pada tahun 2005, tingkat emisi naik menjadi 1,34 metrik ton. Namun, angka-angka tersebut bisa menjadi sangat besar bila memasukkan kebakaran hutan dan kehancuran lahan gambut. 

Gambut adalah satu kandungan bahan-bahan organik yang membusuk. Di Indonesia memiliki banyak hutan rawa di mana pembusukan tanaman berjalan sangat lambat. Selama ribuan tahun, bahan-bahan tersebut menjadi satu lapisan gambut yang tebal, bermeter-meter ke dalam tanah dan menyimpan milyaran ton karbon dioksida. Ketika rawa dikeringkan atau gambut terbakar, banyak dari karbon dioksida tersebut lepas ke atmosfer. Sejumlah LSM berpendapat bahwa kerusakan lahan gambut dengan cepat mengubah Indonesia menjadi salah satu penghasil emisi karbon dioksida terbesar di dunia. 

Pada saat ini, pemerintah tidak memiliki angka yang pasti. Pemerintah sedang mengkaji isu tersebut dan akan memberikan perkiraan tentang apa yang sedang terjadi. Apa pun cakupan kerusakanannya, jelas bahwa kerusakan hutan bukan saja merusak lingkungan, tetapi juga menyumbang pada pemanasan global. Namun ini bukan satu-satunya emisi yang harus di khawatirkan. 

Kenyataan yang sesungguhnya mungkin tidak terlalu dramatis. Ini merujuk pada penggunaan bahan-bahan yang mengurangi “lapisan ozon”. Ozon membentuk satu lapisan perisai yang melindungi bumi dari radiasi matahari yang merusak. Namun, lapisan ozon dapat hilang oleh bahan-bahan seperti chlorofiuorocarbons (CFC) yang telah digunakan dalam produk penyemprot aerosol dan lemari pendingin. Indonesia tidak dapat menghasilkan bahan-bahan kimia ini, namun kita menggunakannya, sehingga tugas pertama adalah mengurangi impor bahan-bahan tersebut dan berhenti menggunakan persediaan yang ada. 

Selama periode 1992-2002, dengan bantuan internasional Indonesia telah berhasil menghapuskan 3.696 ton bahan-bahan perusak lapisan ozon. Sebaliknya, pemerintah masih mengimpor secara ilegal bahan-bahan tersebut. Meskipun di satu sisi, pemerintah makin mengurangi penggunaan sejumlah bahan yang merusak, pada saat yang sama pemerintah menggunakan bahan-bahan lainnya lebih banyak lagi. Seringkali masalahnya terletak pada perusahaan-perusahaan yang lebih kecil. Seperti halnya regulasi tentang hutan, pemerintah memiliki regulasi berkaitan dengan bahan-bahan tersebut, namun pemerintah juga kesulitan untuk menjalankannya. 

Dari hutan dan gas, sekarang saatnya untuk beralih ke cairan dan khususnya air minum. Tujuan MDG ketujuh antara lain menetapkan target untuk menurunkan separuh dari proporsi penduduk yang tidak memiliki “akses yang berkelanjutan terhadap air minum yang aman.” 

Jika seseorang mempunyai pendapatan rutin, seseorang dapat membeli air kemasan. Indonesia merupakan konsumen air kemasan terbesar ke delapan di dunia dengan konsumsi lebih dari 7 milyar liter per tahun pada 2004 dan dengan penjualan yang semakin meningkat pesat. Namun demikian, sangatlah sulit untuk dapat memahami bagaimana masyarakat mendapatkan akses dengan cara-cara seperti itu. Dan MDGs tidak menganggap air kemasan sebagai sumber yang berkelanjutan bagi kebanyakan orang. Jadi untuk itu indikator yang digunakan adalah proporsi penduduk yang memiliki akses berkelanjutan terhadap satu ”sumber air yang terlindungi (improved water source)”. 

Itu bisa saja sebuah sumur, misalnya, yang sudah diberi pembatas atau memiliki pagar atau tutup untuk melindunginya dari kontaminasi hewan. Atau bisa saja air sungai yang telah disaring oleh perusahaan air untuk menghilangkan hampir semua sumber kontaminasi dan kemudian menyalurkannya melalui pipa. Air seperti itu dapat dikatagorikan sebagai “air yang bersih” meskipun tidak bisa disebut air minum yang aman. Bahkan ada berbagai standar yang berbeda tentang “kebersihan” air. Satu standar, mensyaratkan bahwa sumber air paling tidak harus berjarak minimal 10 meter dari tempat yang digunakan untuk pembuangan tinja. 

Dengan menggunakan standar tersebut, Susenas telah memberikan perkiraan. Angka rata-rata nasional untuk Indonesia adalah 52,1%, meskipun angka ini bervariasi dari 34% di Sulawesi Barat hingga 78% di Jakarta. Kecenderungan terkini di tingkat nasional menunjukkan bahwa satu peningkatan yang perlahan namun pasti. Untuk mengurangi separuh proporsi penduduk yang tidak memiliki akses pada 2015 berarti harus mencapai angka sekitar 80%. 

Dengan kemajuan yang dicapai hingga saat ini, nampaknya pemerintah hampir memenuhi target. Namun, dalam kenyataannya, untuk dapat mencapai target minimal “air bersih” akan sulit. Penyebabnya berbeda-beda antara kawasan perkotaan dengan perdesaan. Di kawasan perdesaan sistem yang telah terpasang mencapai 50%, tetapi tidak terpelihara dengan baik. Artinya, angka 50% pun bisa jadi hanya perkiraan optimistis karena mencakup sistem yang tidak bekerja dengan baik. 

Di komunitas-komunitas yang menyebar, sistem yang didanai publik seringkali bersumber pada sumur atau mata air. Namun, setelah sistem dipasang, mungkin tidak jelas siapa yang bertanggung jawab untuk memeliharanya. Atau mungkin tenaga ahli yang awalnya ditugaskan untuk pemeliharaan sudah pindah. Di perdesaan, pendekatan yang lebih baik bermula dari kebutuhan. 

“Berdasar kebutuhan” artinya komunitas harus memutuskan untuk diri mereka sendiri apa yang mereka inginkan dan meminta bantuan dalam merencanakan dan membangun pasokan air mereka. Karena mereka akan membayar bahan-bahan atau perlengkapan yang digunakan, di masa mendatang mereka harus diberikan insentif untuk memelihara sistem mereka tersebut. Pendekatan ini berjalan baik namun bisa makan waktu lama. Sebaliknya, situasi di kota-kota besar dan kecil berbeda. Di pedesaan harus lebih jelas siapa yang menjalankan sistem. 

Tanggung jawab keseluruhan dipegang oleh pemerintah daerah. Namun, tugas mereka menjadi lebih sulit karena tidak efisiennya perusahaan daerah air minum (PDAM) yang menyediakan air baik melalui jaringan pipa ke rumah tangga-rumah tangga atau kepada penduduk secara umum melalui hidran air. PDAM tidak efisien antara lain karena mereka tidak punya biaya untuk melakukan investasi. Biasanya mereka tidak diijinkan untuk menaikkan harga sesuai dengan kebutuhan mereka dan sering menyalurkan air dengan harga di bawah semestinya. Beberapa bupati juga menganggap PDAM sebagai satu sumber pemasukan yang mudah. Tidak mengherankan jika banyak PDAM yang mempunyai banyak utang. Selain itu, banyak dari infrastruktur yang rusak. Di Jakarta, misalnya, sekitar separuh dari air PDAM bocor keluar dari pipa-pipa bawah tanah. Penduduk yang mendapat akses ke jaringan pipa adalah penduduk yang beruntung. Saat ini sekitar sepertiga dari rumah tangga di perkotaan mendapatkan akses jaringan pipa air ke rumah mereka dan jumlahnya tidak bertambah dengan cepat. Antara 1990 dan 2005, cakupan air pipa hanya meningkat 3%. 

Kebanyakan dari mereka, tergantung pada hidran air, menggunakan air sumur atau air sungai. Yang paling tidak beruntung adalah komunitas termiskin yang tidak mampu membayar pemasangan jaringan pipa air, yang juga dipastikan tidak akan menjangkau mereka yang hidup di permukiman kumuh. Ini berarti pada akhirnya mereka harus membayar dari pedagang keliling dengan harga 10 hingga 20 kali lipat dibandingkan harga yang harus dibayar bila mendapatkan pasokan air dari jaringan pipa air minum. 

Jelas, pemerintah harus lebih banyak menanamkan investasi untuk pemasokan air. Namun, pemerintah juga membutuhkan sistem pendanaan yang layak yaitu dengan mendapat pemasukan dari penduduk yang lebih kaya sementara memberikan subsidi yang tepat sasaran kepada yang miskin. Pasokan air yang terlindungi juga harus disertai dengan sistem sanitasi yang lebih baik karena dua hal tersebut saling berkaitan, seringkali bahkan sangat dekat. 

Sebagian besar karena sistem sanitasi yang buruk mencemari pasokan air. Seperti yang sudah diperkirakan, ada satu target MDGs untuk sanitasi. Target tersebut adalah untuk mengurangi separuh proporsi penduduk yang tidak memiliki akses ke sanitasi yang aman. 

Seseorang dapat memiliki sebuah toilet sistem guyur (flush) di rumah yang terhubungkan dengan saluran pembuangan utama. Namun, hanya sedikit saja yang bisa memilikinya. Kebanyakan orang tergantung pada jamban dengan tangki septik atau bisa juga menggunakan toilet umum. “Sanitasi yang tidak aman”, yang ditanyakan, dapat berupa penggunaan kolam, sawah, sungai atau pantai. Seseorang mungkin terkejut mengetahui bahwa Indonesia telah memenuhi target sanitasi. Pada 1990, proporsi rumah tangga yang memilki sanitasi yang aman sekitar 30%. Jadi target untuk tahun 2015 adalah 65%. Pada 2006, rata-ratanya adalah 69,3%. 

Sayangnya, banyak sistem tersebut di bawah standar. Banyak sistem yang didasarkan pada tangki septik yang sering bocor dan mencemari air tanah. Jadi meskipun sistem tersebut mungkin lebih aman bagi para pengguna toilet, mereka sangat tidak aman untuk pasokan air. Seseorang mungkin sadar bahwa pada 1990 pemerintah memulai dengan tingkat yang rendah sehingga target yang ditetapkan tidak terlalu tinggi. Nampaknya, pemerintah mungkin cukup berhasil namun bisa jadi itu hanya ilusi. Pemerintah perlu menanamkan investasi lebih banyak. 

Satu perkiraan menyebutkan bahwa selama sepuluh tahun ke depan, biaya keseluruhan mencapai sekitar $10 milyar. Investasi tersebut diharapkan berasal dari rumah tangga maupun pemerintah dan harus dipergunakan dengan sebaik-baiknya. Hasilnya akan terjadi penghematan biaya yang besar, mulai dari berkurangnya biaya pengobatan hingga penghematan waktu untuk tidak perlu mengantri di toilet umum. Sejumlah ahli ekonomi memperkirakan bahwa, untuk setiap rupiah yang diinvestasikan oleh pemerintah dapat menghasilkan keuntungan sepuluh kali lipat. 

Di pedesaan, orang biasanya memulai dengan sesuatu yang sederhana, misalnya sebuah jamban cemplung dan kemudian berganti menjadi jamban dengan tangki septik. Di kawasan perkotaan, situasinya lebih sulit karena lebih terbatasnya ruang. Penduduk termiskin pada awalnya paling tidak akan terus menggunakan toilet umum. Dalam jangka lebih panjang pemerintah perlu mencari cara untuk menyediakan sistem saluran air limbah umum sehingga semakin banyak orang dapat mengaksesnya. Seperti halnya pasokan air, peningkatan tidak akan terjadi tanpa keterlibatan masyarakat. Orang harus menyadari betapa pentingnya sanitasi yang baik dan merencanakan bersama sistem mereka sendiri. Sementara, pemerintah dapat memberikan dukungan. Namun demikian, menanamkan investasi dalam satu sistem sanitasi mungkin akan sama maknanya dengan investasi untuk memiliki rumah. 

Membuat satu sistem sanitasi yang baik akan menambah nilai rumah itu sendiri. Ini juga akan membawa pemerintah lebih dekat ke target terakhir dalam tujuan ini yang berkaitan dengan perumahan, dan khususnya dengan peningkatan hidup para penghuni kawasan kumuh. Setidaknya, Indonesia telah mengalami banyak kemajuan. Sekitar 15 tahun lalu, hanya 20% dari rumah tangga mempunyai kepemilikan tanah yang sah. Sekarang hampir semua orang memiliki hak milik yang sah berkat kampanye besar-besaran dari Badan Pertanahan Nasional untuk meningkatkan kepemilikan lahan. Dan seperti yang sudah dikatakan orang, seseorang juga cenderung untuk memiliki rumah sendiri. Paling tidak empat per lima dari orang memiliki atau menyewa rumah. 

Antara 1999 dan 2004, lahan yang digunakan untuk kawasan kumuh meningkat dari 47.000 menjadi 54.000 hektar. Secara keseluruhan, sekitar 15 juta rumah masuk kategori di bawah standar. Masalah utamanya, semakin banyak manusia berdesakan di kota-kota, yaitu 42% penduduk negeri ini. Kementrian Pekerjaan Umum memperkirakan bahwa pemerintah memiliki tunggakan pembangunan sebanyak 6 juta rumah dan memerlukan 1 juta rumah baru setiap tahunnya. Untuk sebagian besar orang, yang menjadi masalah adalah kemiskinan. Seseorang hanya dapat membangun sebuah rumah apabila orang tersebut memiliki tabungan yang memadai atau dapat meminjam dari keluarga atau teman-teman. Hanya sedikit orang yang dapat memperoleh pinjaman dari bank. Untuk itu orang perlu pekerjaan tetap, yang hanya dimiliki oleh seperempat dari bangsa Indonesia. 

Namun, jika seseorang bisa mendapatkan dana yang diperlukan, orang tersebut mestinya mampu membangun rumah di tempat yang memiliki layanan seperti air, listrik dan sanitasi. Untuk itu, diperlukan investasi publik, yang seringkali mengandalkan pada pinjaman luar negeri. Tujuan MDGs yang terakhir melihat ke luar Indonesia untuk menelaah bagaimana hubungan pemerintah dengan dunia luar.
Share this article :

Post a Comment

 
Design Template by panjz-online | Support by creating website | Powered by Blogger