News Update :
Home » , » Mengembangkan Kemitraan Global untuk Pembangunan

Mengembangkan Kemitraan Global untuk Pembangunan

Penulis : kumpulan karya tulis ilmiah on Sunday, January 19, 2014 | 9:33 AM

Mengembangkan Kemitraan Global untuk Pembangunan : Tujuan MDGs terakhir ini, terkait dengan kerjasama internasional, yaitu menelaah isu-isu seperti perdagangan, bantuan dan utang internasional. Namun, dalam kenyataan, sebagian besar target dan indikator ditujukan untuk negara-negara maju agar membantu negara-negara termiskin dalam mencapai tujuan-tujuan MDGs lainnya. 

Kenyataannya, beberapa negara berkembang di kawasan Asia Pasifik saat ini menawarkan bantuan kepada negara-negara berkembang lainnya. Dan Indonesia juga dapat mengupayakan berbagai cara untuk membantu negara-negara tetangganya yang masih miskin. Namun yang paling utama, kepentingan Indonesia yang sebenarnya adalah mencermati apa saja dampak kebijakan negara-negara yang lebih kaya pada Indonesia. Misalnya di bidang perdagangan, khususnya ekspor. Memroduksi barang untuk ekspor, akan menghasilkan lebih banyak lapangan pekerjaan dan membantu orang untuk keluar dari kemiskinan. Di masa lalu, sebagian besar ekspor Indonesia adalah bahan-bahan mentah seperti minyak bumi, kayu dan minyak kelapa sawit. Namun, sejak 1980-an, banyak usaha yang mulai menanamkan investasi dalam pabrik-pabrik yang membuat barang-barang manufaktur sederhana untuk diekspor, seperti pakaian dan alas kaki. Sekarang ini, lebih dari separuh ekspor Indonesia merupakan produk industri. Itulah caranya Indonesia bergabung dalam gelombang globalisasi mutakhir. 

Tidak semua globalisasi perlu didukung. Mereka yang menolak, berpendapat bahwa semua aliran barang dan uang internasional serta informasi, hanya memungkinkan negara-negara kaya untuk mengeksploitasi negara-negara miskin. Pihak lain berpendapat bahwa mereka harus menerima globalisasi, tetapi globalisasi dengan cara-cara yang benar. Artinya, harus dipastikan bahwa perdagangan internasional dilakukan seadil mungkin sehingga semua negara memiliki peluang yang sama. Perdagangan juga harus adil bagi para pekerja. Oleh karena itu, mereka yang diperkerjakan di industri-industri untuk ekspor harus memperoleh gaji dan kondisi kerja yang layak. Kenyataannya, Indonesia menunjukkan minatnya yang besar untuk meningkatkan perdagangan internasional, baik ekspor maupun impor. Hasilnya, ada yang beruntung, ada yang merugi. 

Perusahaan-perusahaan yang tidak mampu bersaing dengan produk impor berharga rendah. Beras, sebagai contoh. Impor beras murah dipastikan akan menurunkan harga beras di pasar Indonesia. Ini baik bagi mayoritas konsumen, tetapi pada saat yang sama dapat mengurangi penghasilan petani. 

Harus ada keputusan pemerintah seberapa “terbuka” sebaiknya perekonomian Indonesia. Terbuka sambil sedikit mengontrol impor, tidak otomatis merugikan perusahaan-perusahaan dalam negeri. Bahkan seringkali, hal ini dapat membuat mereka menjadi lebih efisien. Perusahaan-perusahaan tersebut akan terdorong untuk berkonsentrasi pada produk terbaiknya. Namun, bisa jadi, pemerintah masih ingin melindungi sejumlah industri dengan tarif dan langkah-langkah lain. Paling tidak untuk sementara. Mungkin pemerintah ingin melindungi industri kebutuhan dasar agar bisa bersaing di tingkat internasional. 

Hampir semua kebutuhan jasa masyarakat Indonesia, dilayani oleh pihak dalam negeri. Tetapi, ada juga yang dibeli dari perusahaan-perusahaan asing yang beroperasi di sini. Banyak juga perusahaan ingin berinvestasi di Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya dalam hal pelayanan listrik dan air. Sebagai contoh, Indonesia sudah memiliki dua pemasok air swasta di tingkat kotamadya di Jakarta. Dalam perundingan dengan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO), banyak negara meminta agar diberi lebih banyak peluang untuk menjual jasa kepada pihak asing. Banyak orang yang menentang hal ini. Mereka percaya bahwa layanan tertentu, seperti air atau sanitasi, harus disediakan oleh negara dan tidak boleh dijalankan oleh perusahaan-perusahaan swasta, baik asing maupun dalam negeri. Karena hal ini akan mengurangi akses penduduk miskin. 

Umumnya, perusahaan-perusahaan swasta hanya memusatkan pada pelanggan kaya dan mengabaikan pelangggan miskin. Sebaliknya, gabungan penyediaan layanan publik dan swasta dapat menghasilkan layanan yang lebih efisien. Bahkan penduduk miskin mungkin akan bersedia untuk membayar jika mereka merasa akan mendapatkan layanan yang baik. Pemerintah perlu memastikan akses bagi semua orang, tidak perduli siapa pun penyedia layanan tersebut. Seberapa terbuka pemerintah dalam perdagangan barang dan jasa sebagian besar merupakan pilihan pemerintah, namun masalah ini juga menjadi bagian perundingan dalam WTO. Perundingan-perundingan tersebut juga mencakup hal-hal tentang apakah pemerintah bisa menggunakan turunan obat “generik” yang murah untuk HIV dan penyakit-penyakit lain, atau apakah pemerintah harus membeli obat-obatan dengan harga mahal dari perusahaan-perusahaan internasional. 

Salah satu target yang menjadi bagian tujuan ke-8 MDGs adalah ”lebih jauh mengembangkan sistem perdagangan dan keuangan yang terbuka, berbasis peraturan, mudah diperkirakan, dan tidak disriminatif.” Singkat kata, ini berarti perdagangan yang berkeadilan dan WTO adalah tempat di mana masalah-masalah tersebut semestinya ditangani. Sayangnya, perundingan putaran terakhir, yang disebut “Putaran Doha (Doha Round)”, gagal terutama karena negara-negara maju ingin memberikan proteksi terlalu banyak pada petani mereka sendiri. Ke depan, perundingan-perundingan tersebut mungkin bisa berlanjut. Namun Indonesia, serta banyak negara-negara berkembang lainnya, yakin bahwa pemerintah sudah cukup banyak memberikan konsesi. Kini, gilirannya negara-negara kaya untuk merespon. Selain itu, negara-negara kaya didorong untuk memberikan bantuan luar negeri. Hal ini, sesuai dengan janji mereka untuk memberikan bantuan sebesar 0,7% dari total pendapatan nasional dalam bentuk “bantuan pembangunan resmi” (ODA; Official Development Assistance) untuk negara-negara miskin. 

Di masa lalu, banyak ”pengeluaran pembangunan” negeri ini, tergantung pada bantuan luar negeri, yang digunakan untuk membangun infrastruktur seperti jalan raya. Pemerintah biasanya menerima bantuan setara dengan 40% pengeluaran pembangunan. Bahkan, di tahun-tahun tertentu, bantuan yang di terima lebih besar dari angka tersebut. 

Penyandang dana terbesar adalah Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia dan Jepang. Kebanyakan bantuan tersebut dalam bentuk utang. Orang mungkin berpikir bantuan tersebut terutama digunakan untuk mengentaskan kemiskinan atau untuk meningkatkan kesehatan dan pendidikan. Ternyata tidak. Sebagian besar digunakan untuk pembangunan infrastruktur fisik seperti jalan, yang bisa mengentaskan kemiskinan, meskipun tidak langsung. Selama beberapa tahun terakhir, banyak bantuan yang digunakan untuk pembangunan kembali pascabencana, pasca tsunami dan gempa bumi di Yogyakarta. Untuk 2006-2007, misalnya, pemerintah dijanjikan memperoleh bantuan, baik berupa utang dan hibah, sebesar 5,4 milyar dollar. Kebanyakan penyandang dana memusatkan hibah mereka untuk negara-negara yang lebih miskin. Indonesia tidak masuk kualifikasi penerima hibah, kecuali ketika dilanda bencana. 

Pemerintah perlu mempertimbangkan beban utang. Pada 2007, pemerintah Indonesia memutuskan tidak lagi membutuhkan pertemuan tahunan para penyandang dana untuk Indonesia yang disebut Kelompok Konsultatif untuk Indonesia (Consultative Group on Indonesia). Pemerintah ingin lebih banyak memegang kendali dalam proses dan langsung berunding dengan para penyandang dana. Selain itu, pemerintah yakin harus lebih banyak menggalang dana dari pasar keuangan lewat penjualan obligasi ketimbang dari para penyandang dana. 

Baik utang yang berasal dari pinjaman maupun lewat penjualan obligasi, pemerintah harus membayar bunganya dan akhirnya harus siap untuk membayar kembali pokok utang. Kenyataannya, satu masalah besar dalam mencapai MDGs karena pengeluaran Indonesia saat ini, terlalu banyak dipakai untuk pembayaran kembali utang, sehingga tak cukup anggaran bagi kesehatan atau pendidikan. Pasca krisis moneter, terjadi peningkatan sangat tajam. Tetapi, kebanyakan dari utang tersebut bukan utang internasional melainkan utang dalam negeri berupa pinjaman dari lembaga-lembaga domestik, meskipun sebenarnya pemerintah tidak ”meminjam” uang tersebut dengan cara konvensional. 

Yang terjadi adalah bahwa setelah krisis ekonomi pada 1997, banyak bank di Indonesia yang mempunyai kredit macet pada perusahaan-perusahaan lokal berada dalam ambang kebangkrutan. Pemerintah sangat cemas bahwa sistem perbankan akan runtuh sehingga mereka campur tangan untuk menyelamatkan beberapa bank tersebut. Untuk melakukan itu, pemerintah menerbitkan obligasi pemerintah bernilai milyaran dolar dan memberikannya kepada bank-bank tersebut untuk digunakan sebagai modal. Ini artinya mereka menjadi sehat lagi. Biasanya, pemerintah menerbitkan obligasi dan kemudian menjualnya untuk mendapatkan dana. Namun, dalam hal ini mereka tidak mendapatkan uang sebagai gantinya. Yang pemerintah peroleh adalah bank-bank yang lebih sehat. Namun, pemerintah masih tetap terjebak dalam utang dan harus membayar bunga obligasi tersebut kepada bank atau siapa pun yang memilikinya. Biaya yang dipikul terbilang mahal. 

Saat ini, ’pelunasan’ utang mencapai sekitar 26% dari pengeluaran pemerintah. Memang pemerintah sekarang lebih banyak mengeluarkan dana untuk membayar bunga pinjaman daripada untuk pendidikan, atau kesehatan. Jadi orang dapat mengatakan bahwa pemerintah membayar ketidakmampuan para pemilik bank yang kaya dengan mengorbankan orang miskin. Namun, pemerintah berpendapat bahwa mereka tidak mempunyai pilihan. Runtuhnya sistem perbankan akan membuat segala sesuatu lebih buruk bagi siapapun, miskin atau kaya. Terlepas dari apakah keputusan tersebut benar atau salah, sekarang pemerintah harus menanggung akibatnya. Pada 2006, pemerintah masih berutang $144 milyar. 

Hampir separuh utang pemerintah merupakan utang dalam negeri, dari bank-bank yang menggunakannya sebagai modal. Sisanya, yaitu sekitar 67,7 milyar dollar, merupakan utang kepada lembaga-lembaga luar negeri. Sebagian diantaranya merupakan utang kepada para penyandang dana bilateral yang meminjamkan uang kepada Indonesia sebagai bagian dari program bantuan mereka atau untuk membantu Indonesia membeli sebagian ekspor mereka. Sisanya adalah utang kepada para penyandang dana “multilateral” seperti Bank Dunia (World Bank) atau Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank/ADB). 

Pemerintah Indonesia tak mungkin ”ngemplang” utang dalam negeri karena akan mengakibatkan tumbangnya banyak bank dalam negeri. Pemerintahpun tidak bisa begitu saja ”mogok” membayar utang internasional karena akan membuat Indonesia terputus dari pasar keuangan dunia dan mungkin akan memicu krisis keuangan baru. Namun, pemerintah bisa menawar. Pemerintah bisa meminta “penghapusan utang” kepada para penyandang dana multilateral dan bilateral. Pemerintah melakukannya beberapa dasawarsa lalu dan mereka menghapus sebagian utang Indonesia. Namun, saat ini, semuanya menjadi lebih sulit. Para penyandang dana internasional masih memberikan penghapusan utang, namun hanya kepada negara-negara yang sangat miskin. Saat ini, Indonesia adalah negara berpenghasilan menengah sehingga tidak masuk kategori layak memperoleh penghapusan utang. Ketika meminta penghapusan utang, kita juga harus mau dikaji oleh Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF). 

Dalam kenyataannya, pemerintah telah sengaja membayar semua utangnya kepada IMF agar Indonesia tidak harus mengikuti persyaratan IMF. Namun, masih ada hal-hal yang dapat Indonesia lakukan untuk mengurangi utang, paling tidak, sedikit. Salah satu pilihan adalah dengan mendorong para penyandang dana bilateral untuk melibatkan diri dalam pertukaran atau ”konversi utang” (debt swaps). 

Namun, sejumlah penyandang dana bilateral siap untuk menghapuskan sebagian utang pemerintah jika pemerintah membelanjakan jumlah yang sama untuk pembangunan. Jerman, misalnya, sepakat dengan Indonesia untuk menghapuskan utang bilateral bernilai sekitar 135 juta dollar AS jika pemerintah Indonesia menggunakan dana tersebut untuk proyek-proyek pendidikan dan lingkungan. Sayangnya, skema seperti itu biasanya hanya dalam jumlah kecil (jumlah keseluruhan utang kita kepada Jerman adalah 1,3 milyar dollar AS). Sekali lagi, aturan-aturan internasional tidak memungkinkan Indonesia untuk menukarkan utang dalam jumlah yang sangat besar. 



Bersama dengan negara-negara berkembang lainnya, Indonesia harus menyatakan bahwa tingkat utang yang tinggi menghambat pencapaian MDGs, jadi semestinya negara seperti Indonesia layak untuk mendapatkan semacam penghapusan utang. Kenyataannya, untuk banyak isu di Tujuan 8, baik tentang perdagangan, bantuan atau utang, pemerintah maupun masyarakat sipil harus melawan status quo di tingkat internasional. Pemerintah cukup bangga untuk melaporkan upaya-upaya pemerintah sendiri dalam mencapai tujuan-tujuan yang sudah di sepakati. Namun, negara-negara maju juga perlu memantau aktivitas-aktivitas mereka. Tujuan-Tujuan Pembangunan Milenium juga merupakan tanggung jawab internasional.
Share this article :

Post a Comment

 
Design Template by panjz-online | Support by creating website | Powered by Blogger