Memberantas Kemiskinan dan Kelaparan Ekstrem : Seandainya tidak ada orang miskin, hampir semua masalah kita praktis terselesaikan. Tujuan pertama dalam MDGs adalah mengurangi jumlah penduduk miskin. Tujuan pertama ini, memang merupakan tujuan paling penting. Namun, jangan melihatnya sebagai hal yang terpisah dari tujuan MDGs yang lain. Pada dasarnya, semua tujuan berkaitan satu sama lain.
Ada berbagai cara untuk mengatasi kemiskinan secara langsung, misalnya menciptakan lapangan kerja yang lebih baik, atau menyediakan jaring pengaman sosial bagi penduduk termiskin. Namun, sebelumnya perlu mengetahui jumlah penduduk miskin lebih dulu. Biro Pusat Statistik (BPS) menghitung berapa biaya 32 keperluan dasar, mulai dari pakaian, rumah, hingga tiket bis. Pada 2008, misalnya, BPS menyimpulkan bahwa untuk bisa membayar semua itu, seseorang memerlukan Rp. 182.636 per bulan. Jika pengeluaran Anda kurang dari jumlah tersebut, berarti Anda berada di bawah “garis kemiskinan.” BPS melakukan survei sosial ekonomi nasional (Susenas) terhadap sampel rumah tangga. Pada 2008, sekitar 35 juta penduduk Indonesia berada di bawah garis kemiskinan. Namun, itu merupakan jumlah nasional. Situasinya berbeda-beda, dari satu daerah ke daerah lain. Hidup di perkotaan, umumnya membutuhkan biaya yang lebih tinggi dibandingkan di perdesaan.
Tinggal di sebuah kota besar, seseorang juga punya kemungkinan untuk mendapat penghasilan lebih besar. Untuk 2008, sebagai tahun paling akhir yang memiliki informasi per propinsi, angka kemiskinan untuk Jakarta hanya sekitar 4,3%, tetapi di Papua angkanya sekitar 37.1%. Selain itu, masih banyak variasi di setiap propinsi dan kabupaten. Pada 2008, angka kemiskinan nasional adalah 15,4%, atau terdapat hampir 35 juta penduduk miskin. Berdasarkan angka tersebut, artinya pencapaian MDGs Indonesia tidak mengalami kemajuan berarti. Untuk kemiskinan, target yang dipatok adalah 7,5% berdasarkan separuh angka kemiskinan tahun 1990 yang berjumlah 15,1%. Sebenarnya, kondisi saat ini bahkan lebih parah. Meski angkanya cukup tinggi, tetapi kecenderungannya menurun. Menyusul krisis moneter pada 1998, terjadi kenaikan tajam angka kemiskinan menjadi 24,2%. Sejak itu, angka kemiskinan terus turun untuk kemudian naik pada 2006, kemungkinan akibat melonjaknya harga-harga bahan makanan dan bahan bakar minyak.
Bukan hal yang mudah untuk dilakukan. Pemerintah mungkin akan terhibur mengetahui bahwa menggunakan ukuran kemiskinan yang lain, wajah Indonesia terlihat lebih baik. Garis kemiskinan nasional yang dirumuskan oleh BPS didasarkan pada jenis pangan yang dikonsumsi, serta berbagai produk lain yang biasanya dibeli masyarakat. Namun, tentu saja, garis kemiskinan nasional ini mempersulit perbandingannya dengan negara-negara lain.
Mungkin saja pemerintah tidak merasa perlu membandingkan, tetapi ada saja yang melakukannya. Mereka menggunakan ”garis kemiskinan internasional” yang ditetapkan pada angka 1 dollar AS per hari. Pada pertengahan 2008, nilai rata-rata satu dollar setara dengan sekitar Rp. 9.400. Dengan demikian, anda mungkin mengira bahwa garis kemiskinan untuk Indonesia sekitar Rp. 288.000 per bulan. Namun, di sini, ada dua kerumitan yaitu:
1. Pertama, nilai dollar di sebuah negara bisa lebih tinggi dibandingkan nilainya di negara lain. Menyewa rumah, misalnya, lebih murah di Bandung dibandingkan di New York. Selain itu, nilai dollar sendiri berubah dari waktu ke waktu.
2. Kedua, dalam kenyataannya, nilai dollar saat ini jauh berkurang dibandingkan nilainya beberapa tahun lalu. Jadi jika Anda ingin menggunakan 1 dollar per hari sebagai patokan angka kemiskinan, anda perlu mempertimbangkan dua hal tersebut.
Bank Dunia telah menjelaskan hal tersebut. Jika ingin membuat orang lain terkesan, seseorang dapat mengatakan bahwa ini adalah “garis kemiskinan 1 dollar per orang/hari, sebanding daya beli dollar tahun 1993”. Jika tidak, seseorang cukup melihat hasilnya. Pada 2006, disimpulkan bahwa garis kemiskinan 1 dollar per hari di Indonesia setara dengan Rp. 97.000 per bulan, atau kurang dari separuh garis kemiskinan nasional versi BPS. Berdasarkan angka kemiskinan sekitar 20,6% pada 1990 dan 7,5% pada 2006. Artinya, menggunakan garis kemiskinan ini Indonesia telah mencapai sasaran MDGs – meskipun belum ada peningkatan.
Garis kemiskinan tersebut kurang pas diterapkan pada kondisi Indonesia. Karena yang ditunjukkan hanyalah apa yang terjadi pada penduduk termiskin. Hal ini memang penting dan sangat menggembirakan bahwa pemerintah telah mengentaskan kemiskinan ekstrem. Meskipun demikian, bagi Indonesia yang dikategorikan PBB sebagai negara berpenghasilan menengah, garis kemiskinan yang lebih pas mungkin 2 dollar per hari, atau sekitar Rp 195.000 per bulan. Menggunakan ukuran ini, maka hampir separuh penduduk Indonesia masih berada di bawah garis kemiskinan.
Ternyata, banyak dari kita masih hidup di sekitar garis kemiskinan. Hanya perlu sedikit menaikkan garis tersebut maka akan banyak orang yang berada di bawahnya dan tergolong miskin. Sebenarnya, hal ini sangat rentan, misalnya ketika kehilangan pekerjaan atau ketika harga hasil panen beranjak turun. Seseorang bisa tiba-tiba berada di bawah garis kemiskinan akibat meningkatnya pengeluaran karena melonjaknya harga bahan pokok, atau transportasi. Kenaikan tajam angka kemiskinan pada 1998, misalnya, terjadi karena dua hal. Pertama, akibat banyak orang kehilangan pekerjaan. Kedua, karena terjadi lonjakan harga beras. Semua itu, menimbulkan “pergerakan”, ada yang jatuh miskin, lainnya terbebas dari kemiskinan. Artinya, meskipun kemiskinan menunjukkan angka yang sama dari tahun ke tahun, angka itu tidak mengacu pada orang-orang yang sama.
Karena yang dibahas disini hanyalah “kemiskinan yang diukur dari penghasilan (income poverty)”, sementara harga-harga bisa berubah secara tiba-tiba. Meskipun miskin, boleh jadi seseorang tidak merasa sedang jatuh atau sebaliknya terbebas dari kemiskinan dari waktu ke waktu. Lebih realistis, seseorang merasa miskin karena banyak alasan selain pendapatan, misalnya rumah yang buruk dan kumuh, kekurangan air bersih, pendidikan atau informasi. Itulah sebabnya kemiskinan kadang-kadang disebut “memiliki banyak dimensi”.
Namun, pemerintah juga perlu memikirkan tentang isu-isu lain ketika membahas pengurangan kemiskinan akibat kurangnya penghasilan. Ketika menginginkan generasi muda berpenghasilan lebih baik, pemerintah harus memberikan mereka pendidikan yang lebih baik. Namun, pemerintah juga bisa langsung berpikir tentang penghasilan masyarakat, dimulai dengan lapangan pekerjaan dan upah. Secara keseluruhan, pemerintah perlu mempertimbangkan dan memastikan tumbuhnya ekonomi yang bermanfaat pada daerah dan penduduk termiskin. Pemerintah harus memberi perhatian lebih pada kawasan perdesaan karena sekitar dua pertiga dari rumah tangga miskin bekerja di sektor pertanian. Contohnya, membantu petani meningkatkan penghasilan dengan cara beralih ke tanaman berharga jual lebih, atau dengan memperbaiki sistem irigasi dan akses jalan.
Saat ini, pekerja sektor informal jumlahnya sangat banyak. Seseorang sering merasa kesulitan memenuhi kebutuhan hidupnya. Karena itu, seharusnya pemerintah mempunyai tujuan baru mengenai pekerjaan yang layak dan produktif untuk semua. Tidak semua pekerjaan dapat membawa seseorang keluar dari kemiskinan.Yang dibutuhkan adalah pekerjaan yang layak.
Jenis pekerjaan yang produktif dan memberikan penghasilan yang cukup adalah pekerjaan yang layak. Lebih dari itu, pekerjaan seyogyanya membuat keluarga lebih kuat secara ekonomi, memiliki suasana kerja yang sehat dan memungkinkan seseorang untuk turut serta mengambil keputusan yang mempengaruhi kehidupan dan penghidupannya. Sederhananya, pekerjaan yang layak akan mengeluarkan seseorang dari kemiskinan.
Pemerintah juga harus memikirkan bagaimana cara membantu kaum termiskin dengan memberikan subsidi bidang kesehatan dan pendidikan, atau dalam beberapa kasus, memberikan uang tunai. Skema terakhir pernah dilakukan ketika harga bahan bakar naik dan pemerintah melaksanakan program Bantuan Langsung Tunai (BLT) untuk membantu masyarakat miskin. Saat ini, pemerintah sedang melaksanakan program Keluarga Harapan untuk membantu anggota keluarga miskin membayar pengeluaran terkait pendidikan dan kesehatan. Namun, dalam jangka waktu panjang, solusi terbaik menanggulangi kemiskinan adalah pertumbuhan ekonomi dan pendapatan–terutama bagi kaum miskin.
Sebenarnya, banyak sekali yang bisa pemerintah lakukan untuk memperbaiki berbagai persoalan dengan cepat. Salah satunya ialah terkait dengan makanan. Karena, ada satu ukuran penting MDGs tentang kemiskinan terkait gizi, yaitu apakah masyarakat mengkonsumsi makanan berkecukupan. Jika tidak, mereka tergolong ”kekurangan gizi”. Tidak semua anak Indonesia memperoleh asupan makanan yang layak. Dengan asupan makanan yang tepat dan dalam jumlah mencukupi, anak-anak akan mempunyai berat badan pada kisaran yang sama. Jadi ketika menimbang anak, Anda dapat memeriksa apakah “berat badannya sesuai usia” atau tidak. Jika lebih rendah, berarti mereka “kekurangan gizi”. Memang ada cara lain mengukur kekurangan gizi, tetapi ini merupakan cara paling lazim.
Jika rutin membawa anak ke Posyandu, si anak bisa ditimbang disana. Untuk mendapatkan gambaran nasional, pada Susenas 2006 dilakukan penimbangan sejumlah anak sebagai sampel. Hasilnya mencemaskan, karena lebih dari seperempat anak-anak Indonesia kekurangan gizi. Mencermati situasi tersebut, kenyataannya belum membaik sepanjang beberapa tahun terakhir. Target kedua MDGs adalah mengurangi jumlah anak-anak yang kekurangan gizi hingga separuhnya. Pada 1990, angka kekurangan gizi pada anak-anak sekitar 35,5%, jadi harus ditekan menjadi sekitar 17,8%. Melihat kecenderungan sejak 1990, tampaknya tidak terlalu sulit mencapai target tersebut. Sayangnya, beberapa tahun terakhir sejak 2000, angkanya naik kembali.
Memang terasa aneh. Logikanya, ketika orang memiliki lebih banyak uang, seharusnya mereka memiliki makanan yang cukup – apalagi anak-anak hanya makan dalam porsi yang kecil. Persoalannya, banyak bayi yang tidak mendapatkan makanan tepat dalam jumlah yang cukup. Awalnya, pilihan ideal adalah memberikan Air Susu Ibu (ASI) eksklusif hingga usia bayi sekitar 6 bulan. Sayangnya, di Indonesia, setelah sekitar empat bulan, jumlah bayi yang memperoleh ASI eksklusif kurang dari seperempatnya. Masih banyak masalah lain, seperti kesehatan ibu. Biasanya, ibu yang kekurangan gizi cenderung melahirkan bayi yang juga kekurangan gizi. Pada dasarnya, persoalannya bukan karena minimnya penghasilan.
Penyebabnya, lebih karena kurangnya perhatian. Mungkin juga terkait kemiskinan. Bisa saja ibu yang miskin kurang memiliki informasi tentang perawatan anak atau hanya memiliki sedikit waktu untuk mengurus bayi. Namun, yang membesarkan hati, dengan sedikit perubahan perilaku di rumah dapat dengan cepat menurunkan angka kekurangan gizi. Bukan hanya pada anak. Salah satu indikator kemiskinan lain dalam MDGs, melihat apakah seluruh penduduk cukup makan. Dengan menggunakan kriteria FAO dalam mengukur kebutuhan konsumsi minimum, maka hanya 6% dari penduduk Indonesia yang konsumsi hariannya kurang dari standar. Di masa lalu, standar yang digunakan untuk mengukur kecukupan konsumsi ini sedikit terlalu tinggi, sehingga terindikasi bahwa hampir 70% penduduk Indonesia tidak mengkonsumsi cukup makanan. Proporsi penduduk tersebut juga relatif tidak berubah sejak 1990.
Post a Comment