Mewujudkan Pendidikan Dasar Untuk Semua : Tampaknya, di bidang pendidikan, Indonesia lebih berhasil. Tujuan kedua MDGs ini adalah memastikan bahwa semua anak menerima pendidikan dasar. Mencermati angka partisipasi di sekolah dasar tercatat bahwa dengan angka 94,7% Indonesia hampir mewujudkan target memasukkan semua anak ke sekolah dasar. Meski dengan catatan bahwa ini adalah angka nasional dengan perbedaan antar daerah yang masih cukup tinggi, yaitu dari 96.0% untuk Kalimantan Tengah hingga 78,1% untuk Papua. Terlihat pula bahwa angka partisipasi di sekolah lanjutan pertama meningkat secara stabil.
Pemerintah harus berkutat agak lebih lama di sini. Dalam hal angka partisipasi di sekolah pemerintah memang cukup berhasil. Namun, tujuan kedua MDGs ini bukanlah sekadar semua anak bisa sekolah, tetapi memberikan mereka pendidikan dasar yang utuh. Kenyataannya, banyak anak yang tidak bisa bersekolah dengan lancar di sekolah dasar. Ada yang tidak naik kelas atau bahkan terpaksa berhenti. Saat ini misalnya, sekitar 9% anak harus mengulang di kelas 1 sekolah dasar. Sementara pada setiap jenjang kelas, sekitar 5% putus sekolah. Akibatnya, sekitar seperempat anak Indonesia tidak lulus dari sekolah dasar. Pada 2004/2005, hanya 77% bersekolah hingga kelas 6 dan pada akhir tahun tersebut, hanya 75% yang lulus.
Pemerintah dapat melihat bahwa proporsi anak yang lulus sekolah mengalami peningkatan. Namun, akhir-akhir ini, kecenderungan tersebut berubah. Jadi pemerintah hampir mencapai target meskipun masih perlu meningkatkan upaya untuk mencapai 100% pada 2015. Tingkat kelulusan sekolah dasarpun hanyalah langkah pertama. Bahkan anak-anak yang telah lulus bisa saja terhenti pendidikannya.
Ternyata, hanya 67% anak yang mendaftar ke sekolah lanjutan pertama. Ini merupakan tantangan yang besar mengingat pemerintah bertekad mencapai target yang lebih tinggi daripada target global MDGs. Target Indonesia adalah ”wajib belajar 9 tahun”, terdiri dari 6 tahun SD dan 3 tahun SMP, sementara target global MDGs yaitu pendidikan setara 6 tahun. Target waktu pencapaiannya adalah 2008-2009. Ini terbilang ambisius. Target pencapaiannya, membutuhkan loncatan besar. Pemerintah harus lebih giat dalam upaya mempertahankan anak-anak agar tetap bersekolah.
Sebagian karena orang tua memerlukan mereka untuk bekerja. Mungkin di lahan pertanian keluarga. Lainnya, karena tidak mampu membayar biaya sekolah. Sekitar sepertiga keluarga termiskin mengatakan bahwa mereka memiliki masalah untuk membayar uang sekolah dan biaya lainnya. Orang tua memang harus membayar dalam jumlah yang besar, baik untuk uang sekolah ataupun seragam, untuk transportasi, makanan, buku atau perlengkapan tambahan.
Di samping itu, sekolah juga dapat menimbulkan masalah jika tidak bisa memberikan sesuatu yang bernilai bagi anak-anak. Sekolah, misalnya, bisa saja tidak memiliki buku atau peralatan yang memadai. Sementara, bangunannya tidak layak digunakan. Kurang dari separuh sekolah dasar memiliki apa yang disebut oleh Kementerian Pendidikan Nasional “ruang kelas yang baik.” Faktor lainnya, anak bungsu dalam keluarga mungkin tidak disiapkan bersekolah.
Idealnya semua anak memperoleh pendidikan prasekolah agar terbiasa dengan lingkungan belajar yang baru. Dalam hal ini, pemerintah telah membuat banyak kemajuan. Hampir separuh anak usia prasekolah yang memperoleh pembelajaran dini dan sekitar separuhnya di Tempat Pendidikan Al-Qur’an (TPA). Sisanya, di taman kanak-kanak, kelompok bermain atau pusat penitipan anak. Semua kegiatan tersebut bisa tetap menstimulasi anak bersekolah dan mengembangkan otak mereka. Hal tersebut mempermudah mereka memulai sekolah dasar. Tentu saja, di semua jenjang sekolah, isu terpenting adalah kualitas pengajaran.
Sebenarnya di jenjang sekolah dasar, gurunya sudah cukup. Banyak SD di mana satu guru hanya untuk 19 murid. Meskipun demikian, mungkin saja mereka tidak berada di tempat yang tepat. Karena, banyak sekolah di daerah terpencil, masih kekurangan guru. Selain itu, para guru juga tidak meluangkan waktu yang cukup di ruang kelas. Jam kerja mereka juga pendek. Karena gaji rendah, mereka biasanya bekerja sampingan untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Pada 2004, sebuah survei di lebih dari 2.000 sekolah menemukan seperlima dari para guru tidak hadir. Artinya, lebih baik memiliki guru dalam jumlah lebih kecil tetapi dibayar lebih baik agar bisa meluangkan lebih banyak waktu di kelas. Hal tersebut semakin penting ketika anak-anak bertambah usia dan melanjutkan ke sekolah lanjutan pertama. Seperti diuraikan di atas, sekitar sepertiga anak-anak berhenti usai sekolah dasar. Sekali lagi, alasan utamanya mungkin terkait biaya. Mengirimkan anak ke sekolah lanjutan bahkan lebih mahal, apalagi jika mereka diminta bekerja menambah penghasilan keluarga. Seorang anak dari keluarga miskin memiliki kesempatan 20% lebih kecil untuk melanjutkan ke sekolah lanjutan pertama ketimbang seorang anak dari keluarga tidak miskin. Kenyataannya, terdapat perbedaan besar antar propinsi, terkait partisipasi di pendidikan lanjutan pertama. Di Nanggroe Aceh Darussalam, misalnya, angkanya 78%, sedangkan di Nusa Tenggara Timur hanya 43%.
Pemerintah dapat mengeluarkan anggaran lebih banyak sehingga orang tua murid tidak perlu menanggung biaya sekolah yang terlalu mahal. Sebelumnya, pemerintah kurang menyalurkan dana publik untuk pendidikan. Namun, beberapa tahun terakhir, alokasi untuk pendidikan termasuk untuk gaji guru, meningkat. Saat ini, jumlahnya sekitar 17% dari total pengeluaran pemerintah. Sebagai perbandingan, jumlah tersebut adalah separuh pengeluaran Malaysia. Pemerintah pun bertekad untuk tetap meningkatkan alokasi anggaran untuk pendidikan. Sebenarnya, Undang-Undang Dasar dan UU tentang Pendidikan Nasional mensyaratkan belanja negara yang cukup besar. Peraturan tersebut menyebutkan, pada tahun 2009 paling tidak 20% dari anggaran pusat maupun daerah, harus digunakan untuk pendidikan. Dan ini tidak termasuk gaji para guru, yang proporsinya lebih dari separuh anggaran saat ini. Tanpa gaji guru, proporsi tahun 2007 hanyalah sekitar 9%, sehingga untuk mencapai 20% perlu kenaikan yang luar biasa.
Pada tahun 2008 Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa pemerintah wajib memenuhi kewajiban memenuhi 20% alokasi APBN untuk pendidikan. Namun, selain pemerintah pusat, banyak hal tergantung pada pemerintah kabupaten. Saat ini, pemerintah kabupaten bertanggung jawab terhadap sekitar dua per tiga pengeluaran publik untuk pendidikan dan menggunakan hampir seluruhnya untuk gaji guru. Pemerintah pusat masih mengendalikan hampir seluruh dana untuk sekolah dan ruang kelas baru. Selain itu, pemerintah pusat juga memberikan beasiswa untuk membantu murid-murid paling miskin. Menyusul kenaikan harga bahan bakar pada 2005, pemerintah memulai program Bantuan Operasional Sekolah (BOS). BOS yang diberikan berjumlah 25 dollar per anak/tahun di jenjang sekolah dasar dan 35 dollar per anak/ tahun di sekolah lanjutan pertama (atau setara dengan Rp. 340.000)
Uang tersebut tidak diberikan kepada keluarga murid, tetapi untuk sekolah agar tidak menarik biaya dari para murid. Meskipun terdapat banyak masalah dalam memastikan bahwa dana BOS disalurkan ke sekolah-sekolah yang tepat, program BOS, yang mencakup seperempat dari pengeluaran pendidikan pada 2006, nampaknya dapat membawa perubahan yang berarti dalam hal pendanaan sekolah. Jadi dalam hal ini, tercapai kemajuan yang cukup baik. Selain itu, terkait gender, ada hal positif karena sekarang semakin banyak anak perempuan yang bersekolah. Coba kita telaah tujuan ketiga MDG berikut ini. Terdapat dua indikator yang relevan. Pertama, untuk tingkat partisipasi di sekolah dasar, Indonesia telah mencapai angka 94,7%. Berdasarkan kondisi ini, kita dapat mencapai target 100% pada 2015. Indikator kedua berkaitan dengan kelulusan, yaitu proporsi anak yang memulai kelas 1 dan berhasil mencapai kelas 5 sekolah dasar. Untuk Indonesia, proporsi tahun 2004/2005 adalah 82%. Namun, sekolah dasar berjenjang hingga kelas enam. Karena itu, untuk Indonesia lebih pas melihat pencapaian hingga kelas enam. Jumlahnya adalah 77% dengan kecenderungan terus meningkat. Artinya, pemerintah bisa mencapai target yang ditetapkan. Data kelulusan yang digunakan dalam artikel ini berasal dari Kementerian Pendidikan Nasional berdasarkan data pendaftaran sekolah. Berbeda dengan Susenas (2004), yang menghitung angka yang jauh lebih besar, yaitu sekitar 95%. Indikator ketiga untuk tujuan ini adalah angka melek huruf penduduk usia 15-24 tahun. Dalam hal ini, nampaknya kita cukup berhasil dengan pencapaian 99,4%. Meskipun demikian, kualitas melek huruf yang sesungguhnya mungkin tidak setinggi itu karena tes baca tulis yang diterapkan oleh Susenas terbilang sederhana.
Post a Comment