Pages - Menu

Sunday, January 19, 2014

Memerangi HIV dan AIDS, Malaria serta Penyakit Lainnya

Memerangi HIV dan AIDS, Malaria serta Penyakit Lainnya : Tujuan keenam dalam MDGs menangani berbagai penyakit menular paling berbahaya. Pada urutan teratas adalah Human Immunodeficiency Virus (HIV), yaitu virus penyebab Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS)–terutama karena penyakit ini dapat membawa dampak yang menghancurkan, bukan hanya terhadap kesehatan masyarakat namun juga terhadap negara secara keseluruhan. Indonesia beruntung bahwa HIV belum mencapai kondisi seperti yang terjadi di Afrika dan beberapa negara Asia Tenggara. Jumlah penduduk Indonesia yang hidup dengan virus HIV diperkirakan antara 172.000 dan 219.000, sebagian besar adalah laki-laki19. Jumlah itu merupakan 0,1% dari jumlah penduduk. Menurut Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPA), sejak 1987 sampai Juni 2008, tercatat 12.686 kasus AIDS – 2.479 diantaranya telah meninggal. 

HIV masih menjadi ancaman utama, seperti yang dapat kita amati terjadi di tempat lain. Di negara-negara lain, penularan awalnya menyebar dengan cepat di antara dua kelompok beresiko tinggi, yaitu para pengguna Narkotika, Psikotropika dan Zat Aditif Lainnya (napza) suntik (penasun) dan pekerja seks. Dari sana HIV menyebar ke penduduk lainnya sehingga menyebabkan ”epidemi yang menyebar ke populasi umum (generalised epidemy)”. Di Indonesia, penularan memang masih terkonsentasi pada dua kelompok tersebut, namun di beberapa wilayah sudah terlihat kecenderungan bahwa epidemi ini akan menyebar ke populasi umum, yaitu penyebaran dari pengguna napza suntik ke pasangan seksnya. Bahkan di Papua-dianggap sudah memasuki kondisi generalised epidemic. Epidemi yang lebih luas lagi sebenarnya sangatlah mungkin untuk dicegah, karena penularan HIV tidaklah semudah penularan virus lain, misalnya influenza. 

HIV tidak menyebar melalui sentuhan. Seseorang tidak akan positif tertular HIV hanya dengan hidup bersama atau bekerja bersama seseorang yang hidup dengan HIV. Virus HIV tidak menular melalui sentuhan, bahkan ciuman dengan orang yang tertular HIV. Dalam kenyataannya, stigma tentang HIV muncul karena orang tidak memahami bagaimana cara penularannya dari satu orang ke orang lain. 

Resiko terbesar adalah melalui kontak langsung dengan darah yang tertular atau melalui hubungan seks tanpa pelindung. Para pengguna narkoba beresiko tinggi karena mereka sering tukar menukar jarum, sehingga memungkinkan penularan dari sisa darah pada alat suntik yang baru digunakan dari satu orang ke orang lain. Di Indonesia terdapat sekitar setengah juta penasun dan sekitar setengah dari mereka diperkirakan telah tertular. Kelompok utama beresiko tinggi lainnya adalah pekerja seks (PS–dulu: Pekerja Seks Komersial, PSK). Di Indonesia terdapat sekitar 200.000 PSK perempuan. Di Jakarta, misalnya, sekitar 6% dari para pekerja tersebut diperkirakan telah tertular. Hal ini berarti para pengguna jasa PSK pun termasuk ke dalam kelompok resiko tinggi. Laki-laki yang berhubungan seks secara tidak aman dengan laki-laki juga beresiko tinggi. Selain itu, para ibu hamil yang terinfeksi HIV juga dapat menularkannya ke anak yang baru mereka lahirkan, melalui pemberian air susu ibu (ASI) kepada bayinya. Walaupun di kebanyakan wilayah Indonesia HIV belum menyebar ke populasi umum, namun tanpa penanganan yang tepat ia dapat menyebar dengan sangat cepat. Memang, dalam beberapa hal Indonesia sangat rentan terhadap epidemi yang meluas. 


Salah satu masalah paling penting adalah rendahnya penggunaan kondom. Hanya sekitar 1,3% pasangan yang menggunakan kondom sebagai alat keluarga berencana. Bahkan, di antara para PSK, hanya sekitar setengah dari mereka yang menggunakan kondom. Oleh sebab itu, HIV berpotensi menyebar dengan cepat–dari para pengguna narkoba suntik dan para PSK, kepada para pelanggan pekerja seks dan kemudian kepada penduduk. Ini dapat terjadi dengan cukup cepat. Tanah Papua (Papua dan Papua Barat) telah menunjukkan betapa cepatnya virus tersebut menyebar. Di Papua saat ini sudah terjadi epidemi yang menyebar ke masyarakat luas, di mana 2,5% penduduk di dua propinsi Papua hidup dengan HIV. Di Tanah Papua hanya sedikit orang yang menggunakan napza jarum suntik, namun lebih banyak orang yang menggunakan jasa PSK dan juga pada tingkat hubungan seks pranikah yang lebih tinggi. Seperti yang terjadi di Papua, ini menggambarkan Indonesia menghadapi resiko penyebaran HIV yang lebih cepat melalui penularan seksual. Menurut Kementrian Kesehatan, pada tahun 2010 jumlah penduduk yang tertular HIV diperkirakan mencapai setengah juta orang, bahkan satu juta, bila tidak ada tindakan efektif. 

Prioritas pertama, masyarakat harus mengetahui semua fakta. Kebanyakan orang sadar tentang penyakit tersebut tetapi memiliki pandangan yang keliru. Banyak PSK, misalnya, mengaku bisa mengetahui pelanggannya tertular atau tidak hanya dengan melihat pelanggan tersebut. Padahal faktanya adalah tidak dapat mengetahui seseorang terinfeksi HIV secara fisik jika memang belum muncul gejala penyakit ketika sistem kekebalan tubuh mereka sudah menurun (tahapan AIDS). Masyarakat juga perlu mengetahui bagaimana penularan terjadi serta cara melindungi diri sendiri. Sebuah survei terhadap para remaja yang beranjak dewasa yang dilakukan selama 2002-2003, misalnya, menunjukkan bahwa 40% tidak mengetahui bagaimana menghindari infeksi HIV. Selain itu, kesadaran saja tidak cukup. Seseorang yang telah memiliki informasi dasar (sekitar 66%; 61% wanita dan 71% pria—dari mereka dalam usia reproduktif, SDKI 2007) mungkin tidak akan mengubah perilaku mereka. Banyak orang mungkin terlalu malu untuk membeli atau membawa-bawa kondom. Atau, lebih memilih berhubungan seks tanpa kondom karena alasan tidak nyaman. Masih cukup banyak laki-laki yang telah berhubungan seks dengan PSK tanpa kondom, kemudian dengan tanpa rasa bersalah ataupun khawatir, melakukan hubungan seks, juga tanpa kondom, dengan istrinya di rumah. 

Boleh jadi tanpa sepengetahuannya. Hanya sekitar satu dari dua puluh orang yang tertular HIV telah melakukan tes. Oleh sebab itu, menjadi penting bahwa siapa pun seharusnya berkesempatan menjalani tes serta memperoleh konseling yang tepat. Jika seseorang mengetahui bahwa mereka positif terinfeksi HIV, mereka harus mengurangi kemungkinan menularkannya kepada pasangan. Dan meskipun belum dapat disembuhkan, saat ini ada obat-obatan yang disebut antiretroviral yang dapat membantu mengendalikan laju penyakit tersebut. Seyogyanya antiretroviral gratis, namun dalam prakteknya ada biaya pendaftaran dan biaya-biaya lain, dan saat ini antiretroviral hanya tersedia di rumah sakit kota besar. Namun, alasan lain mengapa orang enggan untuk menjalani tes atau pengobatan adalah karena stigma yang melekat pada HIV dan AIDS. Ini terutama karena kekurangtahuan. Bahkan sebagian dokter dan perawat, kelihatannya, tidak mengetahui fakta-fakta dasar HIV dan AIDS serta enggan untuk merawat orang yang terkena HIV. Jika pemerintah ingin mencegah meluasnya epidemi, perlu membahas penyakit tersebut secara terbuka dan jujur serta mengambil langkah-langkah praktis, meskipun kelihatannya akan banyak ditentang. 

Banyak yang berpendapat, perlu membagikan kondom gratis di kawasan pekerja seks atau jarum suntik gratis kepada para pengguna narkoba. Sementara yang lain menentang hal ini karena seakan membiarkan atau mendorong perilaku tak bermoral atau berbahaya. Namun, HIV dan AIDS menghadapkan pemerintah pada pilihan keras dan sulit. Selain kelompok beresiko tinggi, pemerintah juga harus beranggapan bahwa pada akhirnya semua orang beresiko dan berarti pendekatan yang digunakan pun akan berbeda. Memang komunikasi perlu ditingkatkan antara yang mendukung dan menolak pendekatan penurunan dampak buruk, bahwa mereka memiliki kelompok sasaran masing-masing, tanpa menghujat atau merendahkan kelompok lain. Jadi setiap orang perlu untuk mengambil langkah perlindungan yang diperlukan. Beruntung bahwa pemerintah sekarang memiliki Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) yang aktif sehingga dapat membantu pemerintah mewujudkan tujuan ini. 

Target MDGs untuk HIV dan AIDS adalah menghentikan laju penyebaran serta membalikkan kecenderungannya pada 2015. Saat ini, kita belum dapat mengatakan telah melakukan dua hal tersebut karena di hampir semua daerah di Indonesia keadaannya tidak terkendalikan. Pemerintah bisa saja mencapai target ini, namun untuk itu diperlukan satu upaya besar-besaran dan terkoordinasi dengan baik di tingkat nasional. Masalah utama pemerintah saat ini adalah rendahnya kesadaran tentang isu-isu HIV dan AIDS serta terbatasnya layanan untuk menjalankan tes dan pengobatan. Selain itu, kurangnya pengalaman pemerintah untuk menanganinya dan anggapan bahwa ini hanyalah masalah kelompok resiko tinggi ataupun mereka yang sudah tertular. Stigma yang masih kuat menganggap bahwa HIV hanya akan menular pada orang-orang tidak bermoral. Menjadi sebuah tantangan untuk mengajak semua pihak merasakan ini sebagai masalah yang perlu dihadapi bersama. Kondisi ini dapat terlihat secara jelas jika dibandingkan dengan respon terhadap penyakitpenyakit lain seperti malaria dan Tuberculosis (TBC), dimana lebih mudah melibatkan masyarakat karena tidak ada stigma dan diskriminasi terhadap penyakit-penyakit tersebut. 

Dibandingkan HIV dan AIDS,TBC sudah ada lebih lama, dan saat ini, berdampak pada lebih banyak orang yaitu sekitar 582.000. Angka penduduk yang “BTA (Batang Tahan Asam) positif” TBC diukur per 100.000 orang. Angka ini bervariasi, mulai dari 64 di Jawa dan Bali, hingga 160 di Sumatera dan 210 di propinsi-propinsi bagian Timur. Setiap tahun sekitar 100.000 orang meninggal karena TBC, yang merupakan penyebab kematian ketiga terbesar. TBC, yang utamanya menggerogoti paru-paru, sangat menular. Setiap tahun satu orang dapat menulari sekitar 10-15 orang dengan melepas bakteri TBC ke udara yang dapat dihirup oleh orang lain. 

Memang demikian, tetapi tidak seburuk itu. Pertama, karena kebanyakan orang yang terinfeksi tidak segera menunjukkan gejala-gejala aktif. Yang paling mungkin menderita adalah mereka yang sistem kekebalannya melemah, jadi ada keterkaitan yang kuat antara virus HIV yang dampak utamanya adalah melemahkan sistem kekebalan. Kedua, TBC dapat disembuhkan. Strategi standar penyembuhan TBC adalah apa yang disebut strategi penyembuhan jangka pendek dengan pengawasan langsung (Directly-Observed Treatment Short-course/DOTS). Penyembuhan ini mencakup pemberian tiga atau empat obat dosis tinggi selama enam bulan. Indonesia telah menggunakan DOTS sejak 1995. Saat ini pemerintah mendeteksi lebih dari tiga perempat kasus, di mana tingkat penyembuhan sekitar 91%. 

Seringkali karena orang berhenti meminum obat ketika mereka merasa lebih sehat. Namun ini tidak berarti bahwa mereka sudah sembuh. Untuk sembuh total, mereka harus menjalani proses penuh. Berhenti meminum obat tidak baik untuk mereka dan untuk orang lain, karena hal itu akan mendorong timbulnya turunan (strain) TBC yang kebal terhadap obat-obatan yang ada saat ini. Ini adalah kasus di mana pengobatan yang tidak tuntas lebih buruk daripada tidak diobati. Namun kebanyakan orang, yaitu 91%, betul-betul sembuh dan berkat DOTS pemerintah telah memenuhi target MDGs untuk membalikkan kecenderungan penyebaran penyakit tersebut. Di Jawa dan Bali, misalnya, sejak 1990 prevalensi penyakit TBC telah berkurang setengahnya, meskipun di tempat lain penurunan tersebut terjadi lebih lambat. 

TBC masih merupakan masalah sangat besar. Lebih dari setengah juta penduduk masih terinfeksi setiap tahun. Tantangan utamanya adalah memperluas program DOTS - yang saat ini lebih banyak dikonsentrasikan di pusat-pusat kesehatan—dengan melibatkan lebih banyak komunitas, LSM dan pihak lain. Juga penting untuk memastikan bahwa kita tetap menyimpan pasokan obat-obatan yang diperlukan dan bahwa pasien terus menjalani proses penyembuhan secara penuh. Secara khusus, kita harus lebih banyak menjangkau daerah-daerah terpencil. Pelayanan di daerah-daerah terpencil sulit untuk hampir semua penyakit, bukan hanya TBC tetapi juga malaria. 

Malaria memang menurunkan kesehatan, khususnya anak-anak dan ibu-ibu hamil. Malaria membuat mereka lebih rentan terhadap penyakit lain, dan memiliki dampak ekonomi yang sangat besar. Malaria dapat membuat orang tidak bisa bekerja—yang diperkirakan menimbulkan kerugian sekitar 60 juta dollar karena hilangnya pendapatan. Hampir separuh dari penduduk Indonesia, atau sekitar 90 juta orang, tinggal di daerah-daerah dengan nyamuk pembawa malaria. Dan setiap tahun, ditemukan 18 juta kasus malaria (Kemenkes, 2005). 

Pemerintah tidak punya informasi yang cukup untuk bisa memberikan gambaran yang lengkap. Kebanyakan orang yang menderita malaria tidak melaporkannya. Hanya sekitar 20% orang yang mencari pengobatan, dan survei terperinci hanya di daerah-daerah yang paling parah terkena dampak, biasanya di berbagai kabupaten kawasan Timur. Di Jawa dan Bali, prevalensi malaria sudah turun mencapai tingkat yang cukup rendah. Sebaliknya, di kabupaten-kabupaten Indonesia bagian Timur serta sejumlah tempat lain terjadi peningkatan jumlah kasus malaria. Namun demikian ini mungkin saja terjadi karena adanya survei-survei yang lebih baik. Secara menyeluruh, di Indonesia, pemerintah dapat mengatakan bahwa kita sudah membalikkan kecenderungannya, jadi pemerintah tepat sasaran untuk mencapai tujuan MDGs. 

Di kabupaten-kabupaten di Indonesia bagian Timur, yang menjadi tugas utama adalah mencegah infeksi, dimulai dengan nyamuk Anopheles yang membawa parasit. Pertama, pemerintah harus mengurangi jumlah tempat-tempat di mana nyamuk dapat berkembang biak—biasanya di sungai-sungai dan anak-anak sungai yang tidak beriak selama musim kemarau atau di cekungan-cekungan air hujan di hutan-hutan selama musim hujan. Kemudian, seseorang perlu melindungi diri sendiri dari nyamuk dengan menyemprot rumah dengan insektisida atau dengan menggunakan kelambu yang sudah dicelup insektisida, khususnya untuk anak-anak. 


Sebagian dana berasal dari anggaran kesehatan, ditambah dukungan dari Dana Global (Global Fund) untuk AIDS, TBC dan Malaria. Namun, kebanyakan orang harus membayar untuk melindungi diri mereka sendiri. Seperti yang dapat anda bayangkan, yang paling parah terkena adalah keluarga termiskin. Mereka tinggal di rumah-rumah dengan standar buruk dan tidak mampu membeli kelambu. Termasuk penduduk miskin yang karena ingin mendapatkan lahan lebih luas, berpindah ke pinggiran hutan. Begitu pula bila terjadi bencana alam, seperti tsunami di Aceh, banyak yang mengungsi ke tempat-tempat yang membuat mereka lebih mudah terserang. Bagi semua kelompok ini, prioritas utama adalah pencegahan. Namun mereka juga perlu untuk memperoleh pengobatan. Sekarang ini, pengobatan utama adalah dengan terapi kombinasi obat artemisin (artemisin combination therapy), yang sangat efektif. Kenyataannya, di tempat-tempat di mana kasusnya lebih sedikit, terapi pengobatan juga menjadi sebuah bentuk pencegahan yang penting. 

Jika tidak ada manusia yang terinfeksi, nyamuk tidak dapat membawa parasit. Ini memutus siklus infeksi. Jadi tahap akhir dalam perjuangan melawan malaria adalah pemberantasan. Daripada menunggu pasien mendatangi pusat-pusat kesehatan, atau para pekerja kesehatan pergi berkeliling mencari kasus dan mengobatinya. Seperti halnya dengan penyakit-penyakit menular lainnya, dalam hal malaria pemerintah dapat mencapai kemajuan yang cukup besar, yaitu dengan menciptakan lingkungan alam dan manusia yang lebih sehat. Ini membawa pemerintah ke tujuan ketujuh.


DAFTAR PUSTAKA
Usman, S. Akhmadi, and D Surydarma, 2004. When Teachers are Absent: Where do They Go and What is the Impact on Students? Jakarta, SMERU.
Vanzetti, D. McGuire, D. and Prabowo, 2005. Trade Policy at the Crossroads: the Indonesian Story, Geneva, UNCTAD.
World Bank, 2007. Spending for Development: Making the Most of Indonesia’s New Opportunities. Indonesia Public Expenditure Review 2007, Jakarta, World Bank.
World Bank, Making the New Indonesia Work for the Poor, 2006, Jakarta
World Bank, 2007. Spending for Development: Making the Most of Indonesia’s New Opportunities. Indonesia Public Expenditure Review 2007, Jakarta, World Bank.
WHO, 2004. The Millennium Development Goals for Health: A review of the indicators, Jakarta, World Health Organization.
World Bank, 2007. Strategic Options for Forest Assistance in Indonesia. Jakarta, World Bank.

No comments:

Post a Comment