News Update :
Home » , » Mendorong Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan

Mendorong Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan

Penulis : kumpulan karya tulis ilmiah on Sunday, January 19, 2014 | 9:37 AM

Mendorong Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan : Ada baiknya pemerintah meluruskan satu hal; kesetaraan gender bukan melulu mengenai perempuan, tetapi mengenai perempuan dan laki-laki. Namun, karena target ini menekankan pada pemberdayaan perempuan, kita akan membahas lebih banyak mengenai hal ini dan isu terkait lainnya. Dalam banyak hal, perempuan di Indonesia telah mencapai kemajuan pesat, meskipun, masih cukup jauh dari pencapaian kesetaraan gender. Data tujuan ketiga MDGs menunjukkan hal tersebut dengan cukup jelas. Tujuan ini memiliki tiga target. Pertama, menyangkut pendidikan. Untuk hal ini, nampaknya pemerintah cukup berhasil. Namun, terkait target kedua dan ketiga, yaitu lapangan pekerjaan dan keterwakilan dalam parlemen, kesempatan yang dimiliki perempuan Indonesia masih kurang. 

Saat ini, semakin banyak anak perempuan yang bersekolah. Bahkan terjadi kemajuan yang cukup mengejutkan, yang menunjukkan rasio antara anak laki-laki dan perempuan di berbagai jenjang pendidikan. Pada sekolah dasar jumlah antara anak perempuan dan laki-laki terbilang seimbang, di mana rasio yang ditunjukkannya mendekati 100% sejak 1992. Sekarang di jenjang sekolah lanjutan pertama, garisnya berada diatas 100%, artinya terdapat lebih banyak anak perempuan dibandingkan anak laki-laki. 

Meskipun ada penurunan pada tahun lalu, anak perempuan sepertinya berada di depan pada sekolah lanjutan pertama. Ini mungkin karena kakak laki-laki mereka meninggalkan sekolah untuk bekerja. Biasanya terdapat lebih banyak kesempatan kerja bagi anak laki-laki daripada untuk anak perempuan. Namun, di sekolah menengah atas, situasinya kembali lebih seimbang. Cara lain mengukur kemajuan adalah dengan melihat berapa banyak anak putus sekolah. Kenyataannya, di sekolah dasar, jumlah anak putus sekolah antara anak laki-laki dan perempuan sama. Namun, di sekolah lanjutan, terlihat bahwa lebih sedikit anak perempuan yang putus sekolah. Hal tersebut, lagi-lagi mungkin karena anak laki-laki memiliki lebih banyak kesempatan kerja. Menariknya, baik keluarga miskin maupun kaya, sama giatnya menyekolahkan anak perempuan mereka ke sekolah dasar. 

Dalam hal ini, tampaknya tidak banyak perbedaan. Ketika anak tumbuh dewasa, keluarga miskin memiliki kesempatan lebih kecil untuk memasukkan anak mereka ke sekolah lanjutan, baik anak perempuan maupun laki-laki. Namun yang paling mengesankan, adalah apa yang terjadi di perguruan tinggi. Sepanjang sepuluh tahun terakhir, jumlah perempuan dengan cepat mengejar jumlah laki-laki dan sekarang berada di depan. Sekitar 15% remaja yang beranjak dewasa, baik laki-laki maupun perempuan, mendapatkan pendidikan tinggi. Kemajuan yang dicapai anak perempuan juga terlihat dalam hal tingkat melek huruf. Tahun 2006 tingkat melek huruf adalah 91,5% untuk lakilaki, namun hanya 88,4% untuk perempuan. Ini karena di masa lalu lebih sedikit anak perempuan yang bersekolah. Sekarang situasi sudah semakin setara. Untuk mereka yang berusia 15 hingga 24 tahun, tingkat melek huruf baik untuk laki-laki dan perempuan hampir mendekati 100%. 

Terkait kesempatan untuk masuk sekolah atau perguruan tinggi, ini terkesan benar. Namun, ketika anak perempuan bersekolah, banyak ketimpangan atau ketidaksetaraan yang harus dihadapi. Panutan pertama mereka adalah para guru. Di sekolah dasar, terdapat lebih banyak guru perempuan dibandingkan laki-laki. Namun, siapa yang memimpin? Jumlah laki-laki yang menjadi kepala sekolah, misalnya, empat kali lipat dibandingkan dengan perempuan. Anak perempuan juga akan melihat ketimpangan ketika mereka membuka buku teks. Sebuah buku teks utama sekolah dasar tentang kewiraan, misalnya, membahas tanggung jawab dalam keluarga. Buku tersebut menjelaskan bahwa aktivitas utama ayah adalah mencari nafkah sementara ibu bertanggung jawab atas pekerjaan rumah tangga. Dan ilustrasi tentang tanggung jawab anak-anak dengan gambar anak perempuan yang sedang mencuci dan menyeterika. 

Kesenjangan lainnya, anak perempuan sepertinya juga memilih bidang yang berbeda dari anak laki-laki. Hal ini tampak jelas pada murid yang mengambil sekolah kejuruan. Dari semua anak tersebut, anak perempuan jarang memilih sains (science) dan teknologi. Banyak yang memilih sekolah pariwisata. Namun, situasinya lebih seimbang bagi mereka yang mengambil sekolah lanjutan umum. Terdapat jumlah yang sama antara anak laki-laki dan perempuan yang mempelajari sains. Selain melihat bidang studi yang diambil, juga dapat ditelaah apa yang terjadi ketika anak perempuan putus sekolah untuk bekerja–dengan melihat berapa banyak yang bekerja di luar rumah atau di luar lahan pertanian. Target Pembangunan Milenium melihat hal ini dengan membandingkan jumlah laki-laki dan perempuan yang bekerja di “pekerjaan upahan non-pertanian”. Jika laki-laki dan perempuan dipekerjakan secara setara di jenis pekerjaan tersebut, perbandingannya haruslah 50%. Namun, kenyataannya dapat dilihat bahwa angka untuk perempuan hanyalah sekitar 33,5%. 

Pada tahun 1998, saat itu adalah puncak krisis ekonomi, ketika mungkin lebih banyak laki-laki yang tiba-tiba kehilangan pekerjaan dibandingkan perempuan. Setelah itu, situasi perempuan terus memburuk, dan hanya sedikit berubah selama beberapa tahun terakhir. Informasi lebih lanjut diperoleh dari berbagai survei tentang proporsi penduduk dewasa dalam angkatan kerja. Misalnya, pada tahun 2004, proporsi laki-laki adalah 86% namun perempuan hanya 49% 11. Selain kurang mendapatkan lapangan pekerjaan, perempuan juga cenderung mendapatkan pekerjaan tidak sebaik laki-laki. Di pabrik-pabrik industri tekstil, pakaian dan alas kaki, misalnya, banyak perempuan muda yang bekerja dengan upah rendah – seringkali dengan penyelia laki-laki. Demikian pula halnya di pemerintahan. Perempuan hanya menduduki 9,6% jabatan tinggi dalam birokrasi pemerintahan. Perempuan juga kurang terwakili di bidang politik. 

Ibu Megawati Soekarnoputri pernah menjadi Presiden RI, hal itu menunjukkan Indonesia lebih maju dibandingkan banyak negara lain. Namun, dalam jenjang jabatan politik di bawahnya, perempuan kurang terlihat. Hanya sedikit yang terpilih menjadi anggota parlemen. Demikian juga yang menjadi bupati atau gubernur. Indikator MDG untuk ini adalah proporsi perempuan yang menjadi anggota DPR. Angka rata-rata dunia untuk hal ini cukup rendah, yaitu sekitar 15%. Proporsi Indonesia bahkan lebih rendah, yaitu 13% (1992), 9% (2003), dan 11,3% (2005). 

Undang-Undang tahun 2003 tentang Pemilihan Umum mewajibkan Partai Politik untuk sedikitnya memiliki 30% calon perempuan. Tidak semua partai politik bisa mewujudkan hal tersebut. Bahkan umumnya menaruh perempuan di urutan terbawah dalam daftar calon legislatif (caleg), posisi di mana caleg tidak akan terpilih. Meskipun demikian, kewajiban tersebut ada dampaknya. Yang menarik, dalam Dewan Perwakilan Daerah (DPD), di mana para calon tidak mewakili partai politik, perempuan menduduki sepertiga dari kursi yang ada–dan lebih dari 30% perempuan yang mencalonkan diri, terpilih dalam pemilihan anggota DPD. Tampaknya, pemilih cukup mendukung terpilihnya perempuan. Masalahnya, bagaimana agar bisa menjadi calon salah satu partai politik besar. Perempuan juga kurang terwakili di tingkat daerah, terutama karena harus memikul tanggung jawab rumah tangga. Karena itu, terkait kesetaraan gender, secara menyeluruh kita telah cukup berhasil dalam pendidikan tetapi anak perempuan dan perempuan masih banyak menghadapi hambatan budaya dan ekonomi.
Share this article :

Post a Comment

 
Design Template by panjz-online | Support by creating website | Powered by Blogger