Sejak dua dekade terakhir, pelaksanaan reformasi administrasi publik makin nyata di berbagai negara termasuk Indonesia. Reformasi administrasi publik sangat diperlukan karena tantangan terhadap prinsip-prinsip administrasi klasik semakin berat (Caiden, 1991; Lenvine, Peters & Thompson, 1990). Doktrin Administrasi Publik Klasik (the Old Public Administration-OPA) yang sejak awal dimotori oleh Wilson pada tahun 1987 terus dikritik oleh para pakar, dan mulai ditinggalakan (Cooper, 1998; Hughes, 1994) karena tidak dapat mengakomodasi perubahan situasi dan kondisi masyarakat.
Keberhasilan NPM di negara-negara maju, mengakibatkan terjadinya promosi secara terus-menerus doktrin-doktrin NPM di negara-negara berkembang. Doktrin privatisasi, mengalihkan bentuk pelayanan yang selama ini ditangani oleh pemerintah dipindahkan ke tangan agen-agen swasta. Alasannya, lebih berorientasi pada kepentingan pelanggan, lebih merangsang perekonomian, dan pertumbuhan kesempatan kerja, meningkatkan efisiensi pelayanan karena lebih fleksibel menyesuaikan diri dengan pasar, meningkatkan efisiensi di departemen-departemen, mengurangi beban administrasi, dan pembiayaan terhadap pemerintah. Doktrin debirokratisasi, diyakini memiliki keunggulan karena lebih menjanjikan peningkatan kinerja dibandingkan dengan doktrin administrasi publik klasik. Menurut Jennings dan Haist (2002), yang ditekankan dalam NPM adalah pengukuran terhadap hasil bukan proses, dan perilaku sehingga sering disebut sebagai results-oriented government.
Promosi doktrin NPM di Indonesia dapat diamati dari kehadiran tentang NPM, misalnya karya-karya tentang administrasi pembangunan, reformasi administrasi atau birokrasi, dan good governance yang ditulis diantaranya oleh Kartasasmita (1997), Tjokroamidjojo (1994), Thoha (1999), Mardiasmo (2002), Dwiyanto (2003), dan lain-lain.
Pemerintah Indonesia mulai mengenal Reinventing Government sejak akhir tahun 1990-an. Implementasi yang paling nyata adalah pemberlakuan sistem pemerintahan yang desentralistis melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.
Otoritas terhadap berbagai urusan pemerintahan yang didesentralisasikan kepada pemerintah daerah lebih banyak jumlahnya daripada yang diatur oleh pemerintah pusat. Alasan utama pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah untuk menjalankan prinsip demokrasi, meningkatkan peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah melalui pemberian kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional.
Kemudian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 lebih menekankan pemberian kewenangan seluas-luasnya agar daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan untuk pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa dan pemberdayaan, dengan mengutamakan kesejahteraan masyarakat di daerah. Dalam menjalankan sistem pemerintahan yang desentralistis ini pemerintah daerah diserahi otoritas untuk menjalankan berbagai urusan. Pemerintah daerah dapat melakukan perencanaan dan pengendalian pembangunan, pemanfaatan dan pengawasan tata ruang, penyelenggaraan ketertiban umum. Pemerintah daerah juga menangani bidang kesehatan, penyelenggaraan pendidikan, penanggulangan masalah sosial, pelayanan bidang ketenagakerjaan, fasilitas pengembangan ketenagakerjaan, pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah, pengendalian lingkungan hidup, pelayanan pertanian kependudukan dan catatan sipil, pelayanan administrasi umum pemerintahan, pelayanan administrasi penanaman modal, pelayanan-pelayanan dasar lainnya, dan urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundangan. Smentara pemerintah pusat hanya menangani bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan agama.
Implementasi NPM dapat dilihat juga dari kewajiban melakukan penilaian kinerja pemerintah daerah melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 108 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pertanggungjawaban Kepala Daerah, PP Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah, dan kemudian dilanjutkan dengan PP Nomor 56 Tahun 2002 tentang Laporan Kinerja Penyelenggara Pemerintah Daerah dan PP Nomor 20 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah.
Selain itu, implementasi NPM dapat dilihat dengan diberlakukannya peraturan perundangan tentang privatisasi seperti Kepres Nomor 122 Tahun 2001 tentang Tim Kebijakan Privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Tujuannya untuk meningkatkan kinerja BUMN yang meliputi perbaikan struktur permodalan, meningkatkan profesionalisme dan efisiensi usaha, perubahan budaya perusahaan, memperluas partisipasi masyarakat dalam kepemilikan saham BUMN serta penciptaan nilai tambah perusahaan melalui penerapan prinsip good corporate governance yang didasarkan pada transparansi , akuntabilitas, dan kemandirian.
Keberhasilan NPM di negara-negara maju, mengakibatkan terjadinya promosi secara terus-menerus doktrin-doktrin NPM di negara-negara berkembang. Doktrin privatisasi, mengalihkan bentuk pelayanan yang selama ini ditangani oleh pemerintah dipindahkan ke tangan agen-agen swasta. Alasannya, lebih berorientasi pada kepentingan pelanggan, lebih merangsang perekonomian, dan pertumbuhan kesempatan kerja, meningkatkan efisiensi pelayanan karena lebih fleksibel menyesuaikan diri dengan pasar, meningkatkan efisiensi di departemen-departemen, mengurangi beban administrasi, dan pembiayaan terhadap pemerintah. Doktrin debirokratisasi, diyakini memiliki keunggulan karena lebih menjanjikan peningkatan kinerja dibandingkan dengan doktrin administrasi publik klasik. Menurut Jennings dan Haist (2002), yang ditekankan dalam NPM adalah pengukuran terhadap hasil bukan proses, dan perilaku sehingga sering disebut sebagai results-oriented government.
Promosi doktrin NPM di Indonesia dapat diamati dari kehadiran tentang NPM, misalnya karya-karya tentang administrasi pembangunan, reformasi administrasi atau birokrasi, dan good governance yang ditulis diantaranya oleh Kartasasmita (1997), Tjokroamidjojo (1994), Thoha (1999), Mardiasmo (2002), Dwiyanto (2003), dan lain-lain.
Pemerintah Indonesia mulai mengenal Reinventing Government sejak akhir tahun 1990-an. Implementasi yang paling nyata adalah pemberlakuan sistem pemerintahan yang desentralistis melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.
Otoritas terhadap berbagai urusan pemerintahan yang didesentralisasikan kepada pemerintah daerah lebih banyak jumlahnya daripada yang diatur oleh pemerintah pusat. Alasan utama pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah untuk menjalankan prinsip demokrasi, meningkatkan peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah melalui pemberian kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional.
Kemudian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 lebih menekankan pemberian kewenangan seluas-luasnya agar daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan untuk pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa dan pemberdayaan, dengan mengutamakan kesejahteraan masyarakat di daerah. Dalam menjalankan sistem pemerintahan yang desentralistis ini pemerintah daerah diserahi otoritas untuk menjalankan berbagai urusan. Pemerintah daerah dapat melakukan perencanaan dan pengendalian pembangunan, pemanfaatan dan pengawasan tata ruang, penyelenggaraan ketertiban umum. Pemerintah daerah juga menangani bidang kesehatan, penyelenggaraan pendidikan, penanggulangan masalah sosial, pelayanan bidang ketenagakerjaan, fasilitas pengembangan ketenagakerjaan, pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah, pengendalian lingkungan hidup, pelayanan pertanian kependudukan dan catatan sipil, pelayanan administrasi umum pemerintahan, pelayanan administrasi penanaman modal, pelayanan-pelayanan dasar lainnya, dan urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundangan. Smentara pemerintah pusat hanya menangani bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan agama.
Implementasi NPM dapat dilihat juga dari kewajiban melakukan penilaian kinerja pemerintah daerah melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 108 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pertanggungjawaban Kepala Daerah, PP Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah, dan kemudian dilanjutkan dengan PP Nomor 56 Tahun 2002 tentang Laporan Kinerja Penyelenggara Pemerintah Daerah dan PP Nomor 20 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah.
Selain itu, implementasi NPM dapat dilihat dengan diberlakukannya peraturan perundangan tentang privatisasi seperti Kepres Nomor 122 Tahun 2001 tentang Tim Kebijakan Privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Tujuannya untuk meningkatkan kinerja BUMN yang meliputi perbaikan struktur permodalan, meningkatkan profesionalisme dan efisiensi usaha, perubahan budaya perusahaan, memperluas partisipasi masyarakat dalam kepemilikan saham BUMN serta penciptaan nilai tambah perusahaan melalui penerapan prinsip good corporate governance yang didasarkan pada transparansi , akuntabilitas, dan kemandirian.
No comments:
Post a Comment