Pendekatan Demokratisasi dan Desentralisasi (Otonomi Daerah) dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara
1. Pendekatan Demokratisasi
Demokratisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan akan terlaksana apabila dalam pemerintahan sudah terjadi paradigma ke arah high trust society (Fukuyama, 1995). Kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah sebagai penyelenggara negara yang sudah meningkat tinggi akan menghasilkan terjadinya proses demokratis, sehingga memungkinkan terjadinya good governance.
Bentuk penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis itu digambarkan sebagai bentuk yang terdiri atas posisi jabatan yang akan ditempati oleh kelompok jabatan yang bersifat politis yang berasal dari kekuatan partai politik, dan jabatan yang berasal dari pegawai karier pemerintah. Apabila hal ini terjadi maka tidak akan terjadi perubahan-perubahan kebijakan yang begitu cepat, walaupun pejabat dalam organisasi tersebut berubah. Walaupun para pejabat yang menduduki jabatan tertentu sudah berakhir masa jabatannya, maka penyelenggaraan pemerintahan akan tetap stabil, berjalan, dan profesional.
Dalam demokratisasi penyelenggaraan pemerintahan diharapkan akan terjadi proses di mana pejabat yang bersifat politis yang sekaligus sebagai wakil rakyat akan ikut menentukan kebijakan departemen pemerintah yang akan berlangsung selama lima tahun ke depan. Jabatan ini akan ikut menentukan proses pembuatan kebijakan departemen sekaligus juga ikut mengontrol seberapa jauh kebijakan yang dibuat itu dilaksakan oleh penyelenggara pemerintahan. Sebaliknya, setiap pejabat politik itu bisa langsung dikontrol oleh rakyat pemilihnya. Jabatan politis ini juga ikut bertanggung jawab terhadap rakyat atas keberhasilan kebijakan yang dibuatnya.
Proses pertanggungjawaban itu tidak hanya dilakukan oleh pejabat yang melaksanakan kebijakan politik dan melayani rakyat, akan tetapi pejabat politik harus juga bertanggung jawab kepada rakyat yang mempercayainya di departemen. Rakyat harus mempunyai akses aktif terhadap kontrol, baik kepada jabatan politik yang mewakilinya maupun kepada jabatan sebagai pelayanan masyarakat.
Kontrol kepada penyelenggara pemerintahan dilakukan dari pelbagai jurusan tidak hanya membatasi dari jalur birokrasi sendiri, akan tetapi bisa melalui jalur politik. Akses rakyat kepada kontrol penyelenggara pemerintahan ini dibuka dengan seluas-luasnya. Dengan adanya kontrol terhadap penyelenggara pemerintahan oleh masyarakat, itu akan menuntut para penyelenggara pemerintahan untuk mencapai tujuan yang ideal dalam pelaksanaannya. Hal tersebut akan diperlihatkan dengan tergambarnya struktur organisasi dan pembagian kerja/tugas yang sesuai dengan tugasnya masing-masing.
2. Pendekatan Desentralisasi (Otonomi Daerah) Seringkali masalah pendekatan penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan prinsip-prinsip sentralisasi dan desentralisasi berhubungan dengan tingkat perkembangan bangsa dan negara-negara baru merdeka. Pada permulaan kemerdekaan, pembinaan bangsa dalam arti membina kesatuan bangsa dari afinitas-afinitas kedaerahan, kesukuan, penggolongan politik dan lain-lain, terasa lebih penting, sehingga tercermin dalam kebijaksanaan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan yang sentralistis. Dalam tingkat lebih lanjut dimana perkembangan pembinaan bangsa sudah lebih matang, maka keperluan perluasan kegiatan pembangunan seringkali menumbuhkan kebutuhan akan desentralisasi.
Konsep desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan terasa semakin sangat dipentingkan di tengah-tengah pembangunan bangsa di negara-negara berkembang. Hal ini bersamaan dengan terlihatnya berbagai kelemahan yang tampak dengan jelas dalam kontrol sentral. Namun demikian pada umumnya bentuk desentralisasi yang diinginkan tetap hendaknya dijaga dalam rangka kesatuan politik, kulturil, ekonomi, dan bahkan administratif suatu negara. Hal ini sejalan dengan pendapat Maryanov (dalam LP3ES, 1994: 81-82), bahwa desentralisasi bertujuan antara lain: (1) mengurangi beban pemerintah pusat, dan campur tangan tentang masalah-masalah kecil pada tingkat lokal. Demikian pula memberi peluang untuk koordinasi pelaksanaan pada tingkat lokal, (2) meningkatkan pengertian rakyat serta dukungan mereka dalam kegiatan usaha pembangunan sosial ekonomi. Demikian pula pada tingkat lokal, dapat merasakan keuntungan dari kontribusi kegiatan yang mereka lakukan, (3) penyusunan program-program untuk perbaikan sosial ekonomi pada tingkat lokal sehingga dapat lebih realistis, (4) melatih rakyat untuk bisa mengatur urusannya sendiri (self government), dan (5) pembinaan kesatuan nasional.
Ada dua bentuk desentralisasi (Coralie Bryant, 1979: 213-214), yaitu desentralisasi yang bersifat administratif dan desentralisasi yang bersifat politik. Desentralisasi administratif biasanya disebut dekonsentrasi dan berarti delegasi wewenang pelaksanaan kepada tingkat-tingkat lokal. Para pejabat tingkat lokal bekerja dalam batas rencana dan sumber-sumber anggaran, namun mereka memiliki elemen kebijaksanaan dan kekuasaan (diskresi) serta tanggung jawab tertentu dalam hal sifat-hakikat jasa dan pelayanan pada tingkat lokal. Diskresi mereka dapat bervariasi mulai dari peraturan-peraturan proforma sampai keputusan-keputusan yang lebih substansial. Desentralisasi politik atau devolusi berarti bahwa wewenang pembuatan keputusan dan kontrol tertentu terhadap sumber-sumber daya diberikan pada pejabat-pejabat regional dan lokal.
Dewasa ini masalah desentralisasi dihubungkan dengan usaha perencanaan pembangunan daerah. Dengan ini diusahakan supaya perencanaan nasional memberi perhatian pada pertimbangan regional. Dan penyelenggaraan suatu kegiatan usaha disesuaikan dengan lokasinya yang paling baik. Dengan demikian diusahakan supaya potensi-potensi regional dapat dimanfaatkan, sehingga perkembangan antar daerah berjalan lebih wajar. Kegiatan-kegiatan usaha yang lebih menyangkut kepentingan masyarakat daerah dapat seluruhnya atau sampai tingkat tertentu, ditentukan dan diselenggarakan oleh pemerintah daerah sendiri. Tetapi hal ini dalam rangka suatu perencanaan pembangunan daerah perlu diusahakan secara konsisten dan komplementer dengan usaha-usaha nasional di daerah tersebut.
Daftar Bacaan
1. Pendekatan Demokratisasi
Demokratisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan akan terlaksana apabila dalam pemerintahan sudah terjadi paradigma ke arah high trust society (Fukuyama, 1995). Kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah sebagai penyelenggara negara yang sudah meningkat tinggi akan menghasilkan terjadinya proses demokratis, sehingga memungkinkan terjadinya good governance.
Bentuk penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis itu digambarkan sebagai bentuk yang terdiri atas posisi jabatan yang akan ditempati oleh kelompok jabatan yang bersifat politis yang berasal dari kekuatan partai politik, dan jabatan yang berasal dari pegawai karier pemerintah. Apabila hal ini terjadi maka tidak akan terjadi perubahan-perubahan kebijakan yang begitu cepat, walaupun pejabat dalam organisasi tersebut berubah. Walaupun para pejabat yang menduduki jabatan tertentu sudah berakhir masa jabatannya, maka penyelenggaraan pemerintahan akan tetap stabil, berjalan, dan profesional.
Dalam demokratisasi penyelenggaraan pemerintahan diharapkan akan terjadi proses di mana pejabat yang bersifat politis yang sekaligus sebagai wakil rakyat akan ikut menentukan kebijakan departemen pemerintah yang akan berlangsung selama lima tahun ke depan. Jabatan ini akan ikut menentukan proses pembuatan kebijakan departemen sekaligus juga ikut mengontrol seberapa jauh kebijakan yang dibuat itu dilaksakan oleh penyelenggara pemerintahan. Sebaliknya, setiap pejabat politik itu bisa langsung dikontrol oleh rakyat pemilihnya. Jabatan politis ini juga ikut bertanggung jawab terhadap rakyat atas keberhasilan kebijakan yang dibuatnya.
Proses pertanggungjawaban itu tidak hanya dilakukan oleh pejabat yang melaksanakan kebijakan politik dan melayani rakyat, akan tetapi pejabat politik harus juga bertanggung jawab kepada rakyat yang mempercayainya di departemen. Rakyat harus mempunyai akses aktif terhadap kontrol, baik kepada jabatan politik yang mewakilinya maupun kepada jabatan sebagai pelayanan masyarakat.
Kontrol kepada penyelenggara pemerintahan dilakukan dari pelbagai jurusan tidak hanya membatasi dari jalur birokrasi sendiri, akan tetapi bisa melalui jalur politik. Akses rakyat kepada kontrol penyelenggara pemerintahan ini dibuka dengan seluas-luasnya. Dengan adanya kontrol terhadap penyelenggara pemerintahan oleh masyarakat, itu akan menuntut para penyelenggara pemerintahan untuk mencapai tujuan yang ideal dalam pelaksanaannya. Hal tersebut akan diperlihatkan dengan tergambarnya struktur organisasi dan pembagian kerja/tugas yang sesuai dengan tugasnya masing-masing.
2. Pendekatan Desentralisasi (Otonomi Daerah) Seringkali masalah pendekatan penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan prinsip-prinsip sentralisasi dan desentralisasi berhubungan dengan tingkat perkembangan bangsa dan negara-negara baru merdeka. Pada permulaan kemerdekaan, pembinaan bangsa dalam arti membina kesatuan bangsa dari afinitas-afinitas kedaerahan, kesukuan, penggolongan politik dan lain-lain, terasa lebih penting, sehingga tercermin dalam kebijaksanaan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan yang sentralistis. Dalam tingkat lebih lanjut dimana perkembangan pembinaan bangsa sudah lebih matang, maka keperluan perluasan kegiatan pembangunan seringkali menumbuhkan kebutuhan akan desentralisasi.
Konsep desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan terasa semakin sangat dipentingkan di tengah-tengah pembangunan bangsa di negara-negara berkembang. Hal ini bersamaan dengan terlihatnya berbagai kelemahan yang tampak dengan jelas dalam kontrol sentral. Namun demikian pada umumnya bentuk desentralisasi yang diinginkan tetap hendaknya dijaga dalam rangka kesatuan politik, kulturil, ekonomi, dan bahkan administratif suatu negara. Hal ini sejalan dengan pendapat Maryanov (dalam LP3ES, 1994: 81-82), bahwa desentralisasi bertujuan antara lain: (1) mengurangi beban pemerintah pusat, dan campur tangan tentang masalah-masalah kecil pada tingkat lokal. Demikian pula memberi peluang untuk koordinasi pelaksanaan pada tingkat lokal, (2) meningkatkan pengertian rakyat serta dukungan mereka dalam kegiatan usaha pembangunan sosial ekonomi. Demikian pula pada tingkat lokal, dapat merasakan keuntungan dari kontribusi kegiatan yang mereka lakukan, (3) penyusunan program-program untuk perbaikan sosial ekonomi pada tingkat lokal sehingga dapat lebih realistis, (4) melatih rakyat untuk bisa mengatur urusannya sendiri (self government), dan (5) pembinaan kesatuan nasional.
Ada dua bentuk desentralisasi (Coralie Bryant, 1979: 213-214), yaitu desentralisasi yang bersifat administratif dan desentralisasi yang bersifat politik. Desentralisasi administratif biasanya disebut dekonsentrasi dan berarti delegasi wewenang pelaksanaan kepada tingkat-tingkat lokal. Para pejabat tingkat lokal bekerja dalam batas rencana dan sumber-sumber anggaran, namun mereka memiliki elemen kebijaksanaan dan kekuasaan (diskresi) serta tanggung jawab tertentu dalam hal sifat-hakikat jasa dan pelayanan pada tingkat lokal. Diskresi mereka dapat bervariasi mulai dari peraturan-peraturan proforma sampai keputusan-keputusan yang lebih substansial. Desentralisasi politik atau devolusi berarti bahwa wewenang pembuatan keputusan dan kontrol tertentu terhadap sumber-sumber daya diberikan pada pejabat-pejabat regional dan lokal.
Dewasa ini masalah desentralisasi dihubungkan dengan usaha perencanaan pembangunan daerah. Dengan ini diusahakan supaya perencanaan nasional memberi perhatian pada pertimbangan regional. Dan penyelenggaraan suatu kegiatan usaha disesuaikan dengan lokasinya yang paling baik. Dengan demikian diusahakan supaya potensi-potensi regional dapat dimanfaatkan, sehingga perkembangan antar daerah berjalan lebih wajar. Kegiatan-kegiatan usaha yang lebih menyangkut kepentingan masyarakat daerah dapat seluruhnya atau sampai tingkat tertentu, ditentukan dan diselenggarakan oleh pemerintah daerah sendiri. Tetapi hal ini dalam rangka suatu perencanaan pembangunan daerah perlu diusahakan secara konsisten dan komplementer dengan usaha-usaha nasional di daerah tersebut.
Daftar Bacaan
Kartiwa,
Asep. 2004. Membangun Birokrasi Pemerintah Daerah yang Profesional Menuju
Terwujudnya Good Governance. UNPAD. Bandung
Levine,
C.H., B.G. Peters and F.J. Thompson. 1990. Public
Administration: Challenges, Choices, Concequences. Illinois: Scott, Foresman.
LP3ES. 1994.
Administrasi Pembangunan. PT.
Pustaka. Yogyakarta.
Mahfud, MD. 2000. Demokrasi
dan Konstitusi di Indonesia: Studi
Tentang Interaksi Politik dan Kehidupan Ketatanegaraan. Jakarta: Rineka Cipta.
Nogi, S. Hessel. 2000. Analisis Kebijakan Publik Kontemporer. Yogyakarta:
Lukman Offset.
N. Dunn, William. Public Policy Analisys: An Introduction.
London:
Prentice-Hall Inc.
No comments:
Post a Comment