News Update :
Home » » Metode Penelitian Sosiologi Pendidikan (Teori Mikro)

Metode Penelitian Sosiologi Pendidikan (Teori Mikro)

Penulis : Unknown on Wednesday, August 7, 2013 | 4:45 AM

Metode Penelitian Sosiologi Pendidikan (Teori Mikro) 
1. Teori Fenomenologi 
Fenomenologi berasal dari bahasa Yunani dengan asal suku kata pahainomenon (gejala/fenomena). Adapun studi fenomenologi bertujuan untuk menggali kesadaran terdalam para subjek mengenai pengalaman beserta maknanya. Sedangkan pengertian fenomena dalam Studi Fenomenologi sendiri adalah pengalaman/peristiwa yang masuk ke dalam kesadaran subjek. Fenomenologi memiliki peran dan posisi dalam banyak konteks, diantaranya sebagai sebuah studi filsafat, sebagai sikap hidup dan sebagai sebuah metode penelitian.

Fokus Penelitian Fenomenologi 
Textural description: apa yang dialami subjek penelitian tentang sebuah fenomena. Structural description: bagaimana subjek mengalami dan memaknai pengalamannya. 

Teknik Pengumpulan Data Fenomenologi 
Teknik “utama” pengumpulan data: wawancara mendalam dengan subjek penelitian. Kelengkapan data dapat diperdalam dengan : observasi partisipan, penulusuran dokumen, dan lain-lain. 

Tahap-Tahap penelitian Fenomenologi 
  • Pra-penelitian 
  • Menetapkan subjek penelitian dan fenomena yang akan diteliti 
  • Menyusun pertanyaan penelitian pokok penelitian 
Proses Penelitian Fenomenologi 
Melakukan wawancara dengan subjek penelitian dan merekamnya. 

Analisis Data Fenomenologi 
a. Mentranskripsikan rekaman hasil wawancara ke dalam tulisan. 
b. Bracketing (epoche): membaca seluruh data (deskripsi) tanpa prakonsepsi. 
c. Tahap Horizonalization: menginventarisasi pernyataan-pernyataan penting yang relevan dengan topik. 
d. Tahap Cluster of Meaning: rincian pernyataan penting itu diformulasikan ke dalam makna, dan 
    dikelompokkan ke dalam tema-tema tertentu. (Textural description, Structural description) 
e. Tahap deskripsi esensi: mengintegrasikan tema-tema ke dalam deskripsi naratif. 

2. Teori Interaksi Simbolis 
Teori teraksionisme simbolik mewarisi tradisi dan posisi intelektual yang berkembang di Eropa pada abad 19 kemudian menyeberang ke Amerika terutama di Chicago. Namun sebagian pakar berpendapat, teori interaksi simbolik khusunya George Herbert Mead (1920-1930an), terlebih dahulu dikenal dalam lingkup sosiologi interpretatif yang berada di bawah payung teori tindakan sosial (action theory), yang dikemukakan oleh filosof sekaligus sosiolog besar Max Weber (1864-1920). 

Meskipun teori interaksi simbolik tidak sepenuhnya mengadopsi teori Weber namun pengaruh Weber cukup penting. Salah satu pandangan Weber yang dianggap relevan dengan pemikiran Mead, bahwa tindakan sosial bermakna jauh, berdasarkan makna subyektifnya yang diberikan individu-individu. Tindakan itu mempertimbangkan perilaku orang lain dan kerenanya diorientasikan dalam penampilan (Mulyana,2002). 

Dalam perkembangan selanjutnya teori interaksionisme simbolik ini dipengaruhi beberapa aliran diantaranya adalah mazhab Chicago, mazhab Iowa, pendekatan dramaturgis dan etnometodologi, diilhami pandangan filsafat, khususnya pragmatisme dan behaviorisme. 

Aliran pragmatisme yang dirumuskan oleh John Dewey, Wiiliam James, Charles Peirce dan Josiah Royce mempunyai beberapa pandangan : Pertama, realitas sejati tidak pernah ada di dunia nyata, melainkan secara aktif diciptakan ketika kita bertindak terhadap dunia. Kedua, manusia mengingat dan melandaskan pengetahuan mereka tentang dunia pada apa yang terbukti berguna bagi mereka. Ketiga, manusia mendefenisikan objek fisik dan objek sosial yang mereka temui berdasarkan kegunaannya bagi mereka, termasuk tujuan mereka. Keempat, bila kita ingin memahami orang yang melakukan tindakan (actor), kita harus berdasarkan pemahaman itu pada apa yang sebenarnya mereka lakukan di dunia. Sementara aliran behaviorisme yang dipelopori Watson berpendapat bahwa manusia harus dipahami berdasarkan apa yang mereka lakukan (Mulyana, 2001: 64). 

Jika ilmuwan lain seperti James Mark Baldwin, William James, Charles Horton Chooley , John Dewey, William I. Thomas dikenal sebagai perintis interaksionisme simbolik, maka G. H. Mead dikenal sebagai ilmuwan yang paling populer sebagai peletak dasar teori interaksionisme simbolik ini. 

Pada awalnya, Mead Mead memang tidak pernah menerbitkan gagasannya secara sistematis dalam sebuah buku. Para mahasiswanya lah yang setelah kematian Mead kemudian menerbitkan pemikiran Mead tersebut dalam sebuah buku berjudul Mind, Self, and Society. Herbert Blumer, sejawat Mead, kemudian mengembangkan dan menyebutnya sebagai teori interaksionisme simbolik. Sebuah terminologi yang ingin menggeambarkan apa yang dinyatakan oleh Mead bahwa “the most human and humanizing activity that people can engage in—talking to each other.” 

Asumsi Teori 
Ralph LaRossa dan Donald C.Reitzes (dalam West dan Turner, 2007: 96) mencatat tujuh asumsi yang mendasari teori interaksionisme simbolik, yang memperlihatkan tiga tema besar, yakni: (1) Pentingnya makna bagi perilaku manusia, (2) Pentingnya konsep mengenai diri, dan (3) Hubungan antara individu dan masyarakat. 

Tentang relevansi dan urgensi makna, Blumer (1969) memiliki asumsi bahwa: 
- Manusia bertindak terhadap manusia lainnya berdasarkan makna yang diberikan orang lain pada mereka. 
- Makna diciptakan dalam interaksi antarmanusia 
- Makna dimodifikasi dalam proses interpretif. 

Blumer mengemukakan tiga prinsip dasar interaksionisme simbolik yang berhubungan dengan meaning, language, dan thought. Premis ini kemudian mengarah pada kesimpulan tentang pembentukan diri seseorang (person’s self) dan sosialisasinya dalam komunitas (community) yang lebih besar. 
Meaning (Makna): Konstruksi Realitas Sosial 

Blumer mengawali teorinya dengan premis bahwa perilaku seseorang terhadap sebuah obyek atau orang lain ditentukan oleh makna yang dia pahami tentang obyek atau orang tersebut. 
Languange (Bahasa): The source of meaning 

Seseorang memperoleh makna atas sesuatu hal melalui interaksi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa makna adalah hasil interaksi sosial. Makna tidak melekat pada obyek, melainkan dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa. Bahasa adalah bentuk dari simbol. Oleh karena itulah teori ini kemudian disebut sebagai interaksionisme simbolik. 

Berdasarkan makna yang dipahaminya, seseorang kemudian dapat memberi nama yang berguna untuk membedakan satu obyek, sifat, atau tindakan dengan obyek, sifat, atau tindakan lainnya. Dengan demikian premis Blumer yang kedua adalah Manusia memiliki kemampuan untuk menamai sesuatu. Simbol, termasuk nama, adalah tanda yang arbitrer. Percakapan adalah sebuah media penciptaan makna dan pengembangan wacana. Pemberian nama secara simbolik adalah basis terbentuknya masyarakat. Para interaksionis meyakini bahwa upaya mengetahui sangat tergantung pada proses pemberian nama, sehingga dikatakan bahwa Interaksionisme simbolik adalah cara kita belajar menginterpretasikan dunia. 
Thought (Pemikiran): Process of taking the role of the other 

Premis ketiga Blumer adalah bahwa, “an individual’s interpretation of symbol is modified by his or her own thought processes.” Interaksionisme simbolik menjelaskan proses berpikir sebagai inner conversation, Mead menyebut aktivitas ini sebagai minding. Secara sederhana proses menjelaskan bahwa seseorang melakukan dialog dengan dirinya sendiri ketika berhadapan dengan sebuah situasi dan berusaha untuk memaknai situasi tersebut. Untuk bisa berpikir maka seseorang memerlukan bahasa dan harus mampu untuk berinteraksi secara simbolik. Bahasa adalah software untuk bisa mengaktifkan mind. 

Kontribusi terbesar Mead untuk memahami proses berpikir adalah pendapatnya yang menyatakan bahwa manusia memiliki kemampuan yang unik untuk memerankan orang lain (take the role of the other). Sebagai contoh, pada masa kecilnya, anak-anak sering bermain peran sebagai orang tuanya, berbicara dengan teman imajiner, dan secara terus menerus sering menirukan peran-peran orang lain. Pada saat dewasa seseorang akan meneruskan untuk menempatkan dirinya pada posisi orang lain dan bertindak sebagaimana orang itu akan bertindak. 

Penganut interaksionisme simbolik menyatakan bahwa self adalah fungsi dari bahasa. Tanpa pembicaraan tidak akan ada konsep diri, oleh karena itu untuk mengetahui siapa dirinya, seseorang harus menjadi anggota komunitas. Merujuk pada pendapat Mead self (diri) adalah proses mengkombinasikan I dan me. I adalah kekuatan spontan yang tidak dapat diprediksi. Ini adalah bagian dari diri yang tidak terorganisir. Sementara me adalah gambaran diri yang tampak dalam the looking-glass dari reaksi orang lain. 

Me tidak pernah dilahirkan. Me hanya dapat dibentuk melalui interaksi simbolik yang terus menerus—mulai dari keluarga, teman bermain, sekolah, dan seterusnya. Oleh karena itulah seseorang membutuhkan komunitas untuk mendapatkan konsep dirinya. Seseorang membutuhkan the generalized other, yaitu berbagai hal (orang, obyek, atau peristiwa) yang mengarahkan bagaimana kita berpikir dan berinteraksi dalam komunitas. Me adalah organized community dalam diri seorang individu. 

Interaksi simbolik pertama kali diperkenalkan oleh Herbert Blummer dalam lingkup sosiologi, sebenarnya ide ini telah dikemukakan oleh George Herbert 12 Mead (gurunya Blummer) yang kemudian di modifikasi oleh Blummer untuk tujuan tertentu. 

Menurut teoritisi interaksi simbolik, kehidupan sosial pada dasarnya adalah interaksi manusia dengan menggunakan simbol-simbol. Mereka tertarik pada cara manusia menggunakan simbol-simbol yang mempresentasikan apa yang mereka maksudkan untuk berkomunikasi dengan sesamanya, dan juga pengaruh yang ditimbulkan penafsiran atas simbol-simbol ini terhadap perilaku pihak-pihak yang terlibat dalam interaksi sosial. (Mulyana, 2003 : 71) 

Menurut teoritis interaksi simbolik, kehidupan sosial pada dasarnya adalah interaksi manusia dengan menggunakan symbol-simbol . Mereka tertarik pada cara manusia menggunakan symbol-simbol yang merepresentasikan apa yang mereka maksudkan untuk sesamanya, dan juga pengaruh yang ditimbulkan penafsiran atas simbol-simbol ini terhadap perilaku pihak-pihak yang terlibat dalam interaksi sosial. Penganut interaksi simbolik berpandangan, perilaku manusia pada dasarnya adalah produk dari interprestasi mereka atas dunia sekeliling mereka, jadi tidak mengakui bahwa perilaku itu dipelajari atau ditentukan, sebagaimana dianut teori behavioristik atau structural. Alih-alih, perilaku dipilih sebagai hal yang layak dilakukan berdasarkan cara individu mendefinisikan situasi yang ada.(Mulyana, 2003 :71) 

Manusia unik karena mereka memiliki kemampuan memanipulasi simbolsimbol berdasarkan kesadaran. Mead menekankan pentingnya komunikasi, khususnya melalui mekanisme isyarat vocal (bahasa), meskipun teorinya bersifat umum. Isyarat vokal yang potensial menjadi seperangkat symbol yang membentuk bahasa. Simbol adalah suatu rangsangan yang mengandung makna 

dan nilai yang dipelajari bagi manusia, dan respons manusia terhadap symbol adalah dalam pengertian makna dan nilainya alih-alih dalam pengertian stimulasi fisik dari alat-alat indranya. 

Dalam bukunya Deddy Mulyana, dengan judul Metodologi Penelitian Kualitatif suatu simbol disebut signifikan atau memiliki makna bila simbol itu membangkitkan pada individu yang menyampaikannya, respons yang sama seperti yang juga akan muncul pada individu yang dituju . 
Pendekatan interaksi simbolik yang dimaksud Blummer mengacu pada tiga premis utama, yaitu : 
  1. Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarakana makna-makna yang ada pada sesuatu itu bagi mereka. 
  2. Makna itu diperoleh dari hasil interaksi sosial yang dilakukan oleh orang lain, dan 
  3. Makna-makna tersebut disempurnakan di saat proses interaksi sosial sedang berlangsung. (Kuswarno, 2008 : 22)
Share this article :

Post a Comment

 
Design Template by panjz-online | Support by creating website | Powered by Blogger