News Update :
Home » » TANTANGAN NASIONAL (NKRI) DALAM ERA REFORMASI

TANTANGAN NASIONAL (NKRI) DALAM ERA REFORMASI

Penulis : Unknown on Wednesday, August 7, 2013 | 5:51 AM

TANTANGAN NASIONAL (NKRI) DALAM ERA REFORMASI 
Praktek dan budaya era reformasi (dalam NKRI) merupakan budaya neo-liberalisme, yang memuja kebebasan (=liberalisme) atas nama demokrasi (demokrasi liberal) dan HAM (HAM individualisme yang bersumber dari ajaran filsafat Hukum Alam / Natural Law, yang menjiwai dan melandasi ideologi Barat : liberalisme-kapitalisme). Demikian pula praktek dan budaya ekonomi liberal yang bersumber dari ajaran kapitalisme (individualisme, materialisme). 

Praktek budaya demikian adalah bukti bahwa Pemerintahan era reformasi telah tergoda dan terlanda ideologi-neo-liberalisme dan neo-kapitalisme; sebagai supremasi neo-imperialisme. 

Jadi, sesungguhnya bangsa dan NKRI dalam era reformasi bukanlah menikmati “ keterbukaan dan kebebasan ”, melainkan tenggelam dibawah otoritas dan supremasi ideologi neo-liberalisme sebagai neo-imperialisme! 

Pemerintahan dan kelembagaan negara era reformasi, bersama berbagai komponen bangsa berkewajiban meningkatkan kewaspadaan nasional yang dapat mengancam integritas nasional dan NKRI. 



A. Praktek Budaya Neo-Liberalisme dalam Era Reformasi 

Tantangan nasional yang mendasar dan mendesak untuk dihadapi dan dipikirkan alternatif pemecahannya, terutama: 

1. Amandemen UUD 45 yang sarat mengandung kontroversial; baik filosofis-ideolofis bukan sebagai jabaran dasar negara Pancasila, juga secara konstitusional amandemen mengandung sarat kontroversial dan konflik kelembagaan. Berdasarkan analisis demikian berbagai kebijaksanaan negara dan strategi nasional, dan sudah tentu program nasional mengalami distorsi nilai ---dari ajaran filsafat Pancasila, menjadi praktek budaya kapitalisme-liberalisme dan neo-liberalisme--- terutama demokrasi liberal dan ekonomi liberal. 

2. Rakyat Indonesia mengalami degradasi wawasan nasional ---bahkan juga degradasi kepercayaan atas keunggulan dasar negara Pancasila, sebagai sistem ideologi nasional---. Karenanya, elite reformasi mulai pusat sampai daerah mempraktekkan budaya kapitalisme-liberalisme dan neo-liberalisme (praktek demokrasi liberal, multi partai dengan praktek sistem parlementer; bahkan juga budaya negara federal; dan ekonomi liberal). Jadi, rakyat dan bangsa Indonesia mengalami erosi jatidiri nasional dan ideologi nasional ! 

3. Elite reformasi dan kepemimpinan nasional, hanya mempraktekkan budaya demokrasi liberal atas nama HAM; yang aktual dalam tatanan dan fungsi pemerintahan negara (suprastruktur dan infrastruktur sosial politik) berwujud : praktek budaya oligarchy, plutocrachy.......bahkan sebagian rakyat mengembangkan budaya anarchisme !--- terutama dalam berbagai Pilkada yang bermuara konflik horisontal ---. 

4. Otonomi daerah sekarang cenderung mempraktekkan budaya negara federal; mulai otoritas Pemda yang makin liberal, sampai penguasaan kekayaan daerah (PAD) yang cenderung bersifat kapitalisme. Artinya, hak-hak rakyat warganegara di daerah itu terlupakan --- kekayaan daerah hanya dinikmati oleh elite Pemda --- bersama elite partai. 

Praktek Otoda yang cenderung mengejar peningkatan PAD, namun bukan untuk kesejahteraan rakyat, melainkan lebih untuk kepentingan elite dan pejabat. Praktek otoda cenderung menjadi budaya negara federal, mungkin lebih federal dari sistem di Negara aselinya. Perhatikan syarat calon : putera daerah aseli, PNS lokal sulit pindah antar kabupaten/kota. 

5. Pelaksanaan Pilkada 
Pilkada sebagai praktek demokrasi liberal, juga menghasilkan otoda dalam budaya politik federalisme, dilaksanakan: dengan biaya amat mahal + social cost juga mahal, dilengkapi dengan konflik horisontal sampai anarchisme. Pilkada dengan praktek demokrasi liberal, menghasilkan budaya demokrasi semu (demokrasi palsu). Bagaimana tidak semu ; bila peserta pilkada 3 – 5 paket calon; terpilih dengan jumlah suara sekitar 40%, 35%, 25%. Biasanya, yang terbanyak 40% ini dianggap terpilih sebagai mayoritas. Padahal norma mayoritas di negara demokrasi umumnya dengan norma 51%. (Pilkada menetapkan norma = 31 %! ) 

Sebaliknya, bila diadakan putaran kedua, akan sangat mahal !. Inilah demokrasi liberal yang lebih liberal dari yang berlaku di negara asalnya 

Negara demokrasi modern ditegakkan dengan asas : Majority ruler, minority rights dalam makna : Mayoritas memerintah, dengan kewajiban mengayomi minoritas !. 

Bandingkan bagaimana : Kehidupan multi partai dalam NKRI 

Sudah amat banyak partai politik supaya rakyat rukun bersatu, masih terjadi konflik internal. Bila parpol kita hargai sebagai upaya persatuan dan kesatuan warga masyarakat; atas nama demokrasi dan HAM kita juga menghargai hak individu atas nama golongan independen untuk tampil dalam pemilu ? Apakah ini budaya individualisme ? 

6. NKRI sebagai negara hukum, dalam praktek justru menjadi negara yang tidak menegakkan kebenaran dan keadilan berdasarkan Pancasila – UUD 45. Praktek dan “budaya” korupsi makin menggunung, mulai tingkat pusat sampai di berbagai daerah: Provinsi dan Kabupaten/Kota. Kekayaan negara dan kekayaan PAD bukan dimanfaatkan demi kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat, melainkan dinikmati oleh elite reformasi. Demikian pula NKRI sebagai negara hukum, keadilan dan supremasi hukum; termasuk HAM belum dapat ditegakkan sebagaimana harapan kita semua !. 

7. Ekonomi nasional dalam NKRI menerapkan ekonomi liberal, sebagaimana terbukti dalam praktek budaya ekonomi era reformasi. Perlu direnungkan bagaimana dampak ekonomi liberal yang dilaksanakan dengan Perpres No. 76 dan 77 th. 2007 tentang PMDN dan PMA yang Terbuka dan Tertutup; yang bermuara neo-imperialisme! (silahkan cermati dan hayati !) 

8. Tokoh-tokoh nasional, baik dari infrastruktur (orsospol), maupun dalam suprastruktur (lembaga legislatif dan eksekutif) hanya berkompetisi untuk merebut jabatan dan kepemimpinan yang menjanjikan (melalui pemilu dan pilkada). Berbagai rekayasa sosial politik diciptakan, mulai pemekaran daerah sampai usul amandemen UUD 45 tahap V, sekedar untuk mendapatkan legalitas dan otoritas kepemimpinan demi kekuasaan. Sementara kondisi nasional rakyat Indonesia, dengan angka kemiskinan dan pengangguran yang tetap menggunung belum ada konsepsi alternatif strategis pemecahannya; dilengkapi dengan krisis BBM dan tenaga listrik. Kondisi demikian dapat melahirkan konflik horisontal dan vertikal, bahkan anarchisme sebagai fenomena sosio-ekonomi-psikologis rakyat dalam wujud stress massal. 

9. Pemujaan demokrasi liberal atas nama kebebasan dan HAM telah mendorong bangkitnya primordialisme kesukuan dan kedaerahan. Mulai praktek otoda dengan budaya negara federal sampai semangat separatisme. Fenomena ini membuktikan degradasi nasional telah makin parah dan mengancam integritas mental ideologi Pancasila, integritas nasional dan integritas NKRI. 

10. Pemujaan kebebasan (neo-liberalisme) atas nama demokrasi dan HAM juga telah membangkitkan partai terlarang PKI. Mulai gerakan “pelurusan sejarah” ---terutama G.30S/PKI--- sampai bangkitnya neo-PKI sebagai KGB melalui PRD dan Papernas. Mereka semua melangkahi (baca: melecehkan Pancasila – UUD 45) dan rambu-rambu (= asas-asas konstitusional) yang telah berlaku sejak 1966, terutama : 
  • Bahwa filsafat dan ideologi Pancasila memancarkan integritas sebagai sistem filsafat dan ideologi theisme-religius. Artinya, warga negara RI senantiasa menegakkan moral dan budaya politik yang adil dan beradab yang dijiwai moral Pancasila yang menghadapi separatisme ideologi: marxisme-komunisme-atheisme. 
  • UUD Proklamasi seutuhnya memancarkan nilai dasar negara Pancasila : dalam Pembukaan, Batang Tubuh (hayati: Pasal 29) dan Penjelasan UUD 45. 
  • Tap MPRS No. XXV/MPRS/1966 dan dikukuhkan Tap MPR RI No. I/MPR/2003 Pasal 2 dan Pasal 4. 
  • Tap MPR RI No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa; dan 
  • Undang Undang No. 27 tahun 1999 tentang Keamanan Negara ( yang direvisi, terutama Pasal 107 a – 107 f ). 
(Perhatikan : Tantangan ideologis dan politik dalam skema 4 ). 

Bila NKRI sebagai negara Pancasila dan negara hukum membiarkan/tidak menindak gerakan separatisme ideologi dari kaum marxisme-komunisme-atheisme (neo-PKI, KGB, PRD, Papernas) berarti: 
a. Membiarkan identitas dan integritas sistem kenegaraan Pancasila – UUD 45 dilecehkan; dan atau dilangkahi yang bermuara : diruntuhkan..........! 

b. Membiarkan berbagai komponen rakyat bangkit membendung mereka; seperti: HMI, FPI, PMII dan berbagai organisasi keagamaan..... bermakna negara memberi kebebasan konflik horisontal dan anarchisme dalam NKRI ! 

Mutlak diperlukan kebijaksanaan negara dan strategi nasional menghadapi tantangan dimaksud, terutama dengan : 

Kebijaksanaan Negara, Strategi dan Program Nasional 
Memperhatikan tantangan dimaksud dan multi krisis nasional maka dipandang mendesak untuk menetapkan kebijaksanaan negara ---oleh kelembagaan negara yang berwenang : MPR – Presiden – DPR – DPD – MA dan MK--- secara sinergis dan mufakat; dan fungsional. 

1. Kebijaksanaan negara dimaksud, terutama memprioritaskan: 
  • Menegakkan budaya dan moral politik nasional berdasarkan filsafat dan ideologi negara Pancasila sebagaimana diamanatkan UUD Proklamasi 45. 
  • Menegakkan integritas kepemimpinan nasional demi integritas nasional supaya semua komponen bangsa, rakyat seutuhnya senantiasa rukun bersatu. 
  • Melaksanakan pendidikan dan pembudayaan dasar negara Pancasila secara melembaga. 
  • Membudayakan Asas-Asas Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional. 
  • Menegakkan dan membudayakan Sistem Hankamnas sebagai Sistem Hankamrata (sebagai konsekuensi sistem negara berkedaulatan rakyat / negara demokrasi). 
2. Strategi Nasional dan Program Nasional 
Mendesak adanya strategi nasional dan program nasional untuk pendidikan dan pembudayaan dasar negara Pancasila sebagai ideologi nasional. Strategi nasional yang diprioritaskan, terutama: 
  • Mengembangkan sistem nasional (sebagai dimaksud skema 2, terlampir). 
  • Mengembangkan budaya dan moral politik berdasarkan filsafat Pancasila, ideologi Pancasila dan UUD Proklamasi. 
  • Membina kelembagaan pengembangan dan pembudayaan : Filsafat Pancasila sebagai ideologi nasional (lintas departemen dan lembaga negara), dengan mendayagunakan lembaga-lembaga perguruan tinggi (PTN-PTS), termasuk Menkominfo berkewajiban untuk membudayakannya melalui media teknologi yang dimilikinya !. 
Supaya pemikiran mendasar ini cukup kaya, valid dan terpercaya maka diperlukan kelembagaan yang lebih representatif, dibawah otoritas kelembagaan negara. Alternatif kelembagaan dimaksud merupakan sinergis antar dan lintas (kelembagaan) departemental dan nondepartemental; terutama: 

Mendiknas; Mendagri; Menag; Wantannas; LIPI; Lemhannas; Meneg Pemuda dan Olah Raga (Menpora); dan Meneg Komunikasi dan Informasi (Menkominfo untuk melaksanakan sosialisasi, pembudayaan) secara nasional; serta didukung berbagai potensi dalam komponen-komponen kelembagaan keagamaan: MUI, DGI, MAWI dan sebagainya. 

Catatan: 
Kelembagaan demikian untuk menghindarkan pendapat atas pengalaman sejarah adanya BP-7 dan Team P-7 --yang dianggap di bawah otoritas tunggal Presiden---. Mengingat visi-misi PNP adalah bertujuan luhur demi nation and character building, seyogyanya thema makalah ini dapat dipertimbangkan untuk menjadi gagasan awal langkah strategis PNP secara nasional.
Share this article :

Post a Comment

 
Design Template by panjz-online | Support by creating website | Powered by Blogger