Keadaan perbankan masa sebelum deregulasi:
a. Tidak adanya peraturan perundangan yang mengatur secara jelas tentang perbankan di Indonesia (UU
No.13 Th.‘68)
b. Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) pada bank-bank tertentu
c. Bank banyak menanggung program-program pemerintah
d. Instrumen pasar uang yang terbatas
e. Jumlah bank swasta yang relatif sedikit
f. Sulitnya pendirian bank baru
g. Persaingan antar bank yang tidak ketat
h. Posisi tawar-menawar bank relatif lebih kuat daripada nasabah
i. Prosedur berhubungan dengan bank yang rumit
j. Bank bukan merupakan alternatif utama bagi masyarakat luas untuk menyimpan dan meminjam dana
k. Mobilisasi dana lewat perbankan yang sangat rendah
1.Deregulasi 1 juni 1983
Memberikan keleluasaan kepada semua bank untuk menyerahkan tingkat suku bunga kepada mekanisme pasar.
2. Deregulasi Oktober 1988
Memberi keringanan persyaratan bagi bank-bank yang ingin meningkatkan statusnya menjadi bank devisa, membuka kemungkinan pendirian bank campuran (kerjasama dengan bank asing) dan memberi kesempatan bagi bank asing untuk membuka kantor cabang pembantu di kota-kota tertentu.
3.Deregulasi 25 Maret 1989 (penyempurnaan Pakto’88)
Memberi kesempatan yang lebih luas bagi bank untuk melakukan penyertaan dana pada lembaga-lembaga lain serta memberikan kredit investasi jangka menengah dan panjang.
4. Deregulasi Januari 1990
untuk membatasi jumlah kredit likuiditas Bank Indonesia dan mengharuskan bank-bank membagi 20 persen dari kreditnya kepada kredit usaha kecil (KUK)
5. Deregulasi 25 Pebruari 1991
Pakfeb ini ditentukan tingkat kesehatan bank yang menyangkut kecukupan modal (CAR), pembatasan pemberian kredit yang tidak didukung oleh dana masyarakat (LDR), persyaratan kepemilikan dan kepengurusan, ketentuan legal lending limit dan pembentukan cadangan untuk menutupi resiko.
6. Deregulasi 29 Mei 1993
Pakmei ditujukan untuk mendorong kelancaran ekspansi kredit perbankan dengan memberikan ruang gerak yang lebih luas kepada perbankan.
Kondisi Setelah Deregulasi
Kebijakan Deregulasi yang terkait dengan dunia perbankan:
a. Paket 1 Juni 1983
b. Bank Indonesia sejak 1984 mengeluarkan SBI
c. Bank Indonesia sejak 1985 mengeluarkan ketentuan perdagangan SBPU dan fasilitas diskonto oleh BI
d. Paket 27 Oktober 1988
e. Paket 20 Desember 1988
f. Paket 25 Maret 1989
g. Paket 29 Januari 1990
h. Paket 28 Februari 1991
i. UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
j. Paket 29 Mei 1993 tentang penyempurnaan aturan kesehatan bank
Ciri perbankan setelah deregulasi :
a. Peraturan yang memberikan kepastian hukum
b. Jumlah bank swasta bertambah banyak
c. Tingkat persaingan bank yang semakin kuat
d. Sertifikat Bank Indonesia dan Surat Berharga Pasar Uang (SBPU)
e. Kepercayaan masyarakat terhadap bank meningkat
f. Mobilisasi dana sektor perbankan yang semakin besar
Kondisi Saat Krisis Ekonomi
Ciri Kondisi perbankan saat krisis
a. Tingkat kepercayaan masyarakat dalam dan luar negeri terhadap perbankan di Indonesia menurun
drastic
b. Sebagian besar bank dalam keadaan tidak sehat
c. Adanya spread negative
d. Munculnya penggunaan peraturan yang baru
e. Jumlah bank menurun
Kondisi Pasca Krisis Ekonomi
a. Selesainya penyusunan Arsitektur Perbankan Indonesia (API)
b. Serangkaian rencana dan komitmen pemerintah, DPR, dan Bank Indonesia untuk membentuk atau
menyusun:
1. Lembaga penjamin simpanan
2. Lembaga pengawas perbankan yang independen
3. Otoritas jasa keuangan
c. Kinerja perbankan yang lebih baik, yang mengarah kepada praktik:
1. Manajemen pengelolaan risiko yang lebih baik
2. Struktur perbankan nasional yang lebih baik
3. Penerapan prinsip kehati-hatian (prudential banking) yang konsisten.
DEREGULASI perbankan sudah digulirkan sejak 14 tahun yang lalu. Kesan bongkar pasang itu tak terhindarkan.Bahkan, dari dampak yang kini terasa yaitu goyahnya sejumlah bank swasta, sangat terasa bahwa aturan-aturan perbankan Indonesia memang tak didasari pengalaman negara-negara lain yang sudah lebih lama mengatur tentang bank.
Deregulasi perbankan yang dikeluarkan pada 1 Juni 1983 mencatat beberapa hal. Di antaranya: memberikan keleluasaan kepada bank-bank untuk menentukan suku bunga deposito. Kemudian dihapusnya campur tangan Bank Indonesia terhadap penyaluran kredit. Deregulasi ini juga yang pertama memperkenalkan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan Surat Berharga Pasar Uang (SPBU). Aturan ini dimaksudkan untuk merangsang minat berusaha di bidang perbankan Indonesia di masa mendatang Lima tahun kemudian ada Paket Kebijakan 27 Oktober 1988 (Pakto 88) yang terkenal itu. Pakto 88 boleh dibilang adalah aturan paling liberal sepanjang sejarah Republik Indonesia di bidang perbankan.
Contohnya, hanya dengan modal Rp 10 milyar maka seorang pengusaha bisa membuka bank baru. Dan kepada bank-bank asing lama dan yang baru masuk pun diijinkan membuka cabangnya di enam kota. Bahkan bentuk patungan antar bank asing dengan bank swasta nasional diijinkan. Dengan demikian, secara terang-terangan monopoli dana BUMN oleh bank-bank milik negara dihapuskan. Bahkan, beberapa bank kemudian menjadi bank devisa karena persyaratan untuk mendapat predikat itu dilonggarkan. Dengan berbagai kemudahan Pakto 88, meledaklah jumlah bank di Indonesia. Banyaknya jumlah bank membuat kompetisi pencarian tenaga kerja, mobilisasi dana deposito dan tabungan jugase makin sengit.
Ujung-ujungnya, karena bank terus dipacu untuk mencari untung, sisi keamanan penyaluran dana terabaikan, dan akhirnya kredit macet menggunung. Kondisi ini kemudian memunculkan Paket Februari
1991(Paktri) yang mendorong dimulainya proses globalisasi perbankan.
Salah satu tugasnya adalah berupaya untuk mengatur pembatasan dan pemberatan persyaratan perbankan dengan mengharuskan dipenuhinya persyaratan modal minimal 8 % dari kekayaan. Yang diharapkan dalam paket itu adalah akan adanya peningkatan kualitas perbankan Indonesia. Dengan mewajibkan bank-bank memenuhi aturan penilaian kesehatan bank yang mempergunakan formula kriteria tertentu, tampaknya paket itu tidak bisa menghindari kesan sebagai produk aturan yang diwarnai trauma atas terjadinya kasus kolapsnya bank Perbankan Asia, Bank Duta, dan Bank Umum Majapahit.
Setelah itu, lahir UU Perbankan baru bernomor 7 tahun 1992 yang disahkan oleh Presiden Soeharto pada 25 Maret 1992. Undang Undang itu merupakan penyempurnaan UU Nomor 14 tahun 1967. Intinya, UU itu menggarisbawahi soal peniadaan pemisahan perbankan berdasarkan kepemilikan. Kalau UU yang lama secara tegas menjelaskan soal pemilikan bank/pemerintah, pemerintah daerah, swasta nasional, dan asing. Mengenai perizinan, pada UU lama persyaratan mendirikan bank baru ditekankan pada permodalan dan pemilikan. Pada UU yang baru, persyaratannya meliputi berbagai unsur seperti susunan organisasi, permodalan, kepemilikan, keahlian di bidang perbankan, kelayakan kerja, dan hal-hal lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan berdasarkan pertimbangan Bank Indonesia.
Untuk mengurangi sebagian kendala yang dihadapi perbankan dalam melakukan ekspansi kredit dan koreksi terhadap Paktri yang begitu mengekang bank, pemerintah mengeluarkan Paket 29 Mei 1993 (Pakmei).
Dengan Pakmei itu, pemerintah berharap mengucurkan kredit, sehingga dunia usaha tidak lesu lagi dan industri otomotif bisa bergairah kembali. Disebutkan dalam Pakmei ini pencapaian CAR (capital adiquacy ratio)– atau perimbangan antara modal sendiri dan aset – sesuai dengan ketentuan adalah 8 persen. Kemudian penyempurnaan lain pada paket itu adalah ketentuan loan to deposit ratio (LDR).
Aturan yang terakhir diluncurkan adalah Peraturan Pemerintah (PP) No. 68 tahun 1996 yang ditanda tangani Presiden RI pada 3 Desember 1996. Belajar dari pengalaman Bank Summa, PP ini sangat menguntungkan para nasabah karena nasabah bank akan tahu persis rapor banknya. Dengan begitu, mereka bisa bersiap-siap jika suatu saat banknya sedang goyah atau bahkan nyaris pailit.
Post a Comment