News Update :
Home » » RESPON IMUN PADA FILARIASIS

RESPON IMUN PADA FILARIASIS

Penulis : kumpulan karya tulis ilmiah on Wednesday, October 30, 2013 | 12:21 AM

RESPON IMUN PADA FILARIASISPada filariasis sistim imun yang berperan adalah sistim seluler dan humoral, kedua sistim ini berjalan dan saling berkoordinasi karena pengaruh sitokin. Respon imun filariasis yang humoral maupun seluler terhadap mikrofilaria terlihat lebih baik pada kelompok amikrofilaremik dibandingkan kelompok mikrofilaremik 

RESPON SELULER 
Respon imun seluler filariasis telah banyak dipelajari. Peran sel limfosit pada respon seluler sangat penting. Hilangnya mikrofilaria di peredaran darah dan di organ-organ tempat parasit tinggal disebabkan oleh peristiwa ADCC (Antibody Dependent Cell Cytotoxicity). Secara in vitro telah dibuktikan bahwa bila terdapat antibodi spesifik yang menempel di permukaan badan mikrofilaria, sel-sel limfosit terangsang untuk menempel di permukaan badan mikrofilaria, disusul matinya mikrofilaria. 

Proses ini diperkirakan merupakan mekanisme pertahanan pada filariasis. Kegagalan respon seluler dapat terjadi pada penyakit yang telah berjalan lama (menahun); parasit berhasil hidup dan mempertahankan diri di dalam tubuh hospes. Dalam usaha beradaptasi diri, parasit mengeluarkan antigen yang dapat mempengaruhi respon imun, dan ratio jumlah sel limfosit supresor (CD8+) dan sel limfosit helper (CD4+) berubah. Sel CD4+ yang jumlahnya rendah mengakibatkan produksi antibodi spesifik rendah. 

RESPON IMUNOGLOBULIN 
Penelitian respon humoral pada filariasis, menunjukkan bahwa secara kuantitatif penduduk daerah endemis yang amikrofilaremik pada umumnya mempunyai kandungan IgG anti filaria yang lebih tinggi dibandingkan dengan penduduk yang mikrofilaremik. Secara kualitatif gambaran yang ditunjukkan lebih kompleks; yaitu pada penderita filariasis bancrofti yang mikrofilaremik, IgG anti filaria yang ada mengenal komponen protein cacing dewasa terutama pada berat molekul < 80 Kd; pada penderita elefantiasis terutama pada berat molekul 180 Kd - 20 Kd pada penderita tropical eosinophilia (TPE) komponen protein yang dikenal berat molekul 200 Kd - 25 Kd. Pada penderita filariasis malayi IgG anti filaria dari penduduk yang amikrofilaremik dengan gej ala klinis mengenal komponen protein mikrofilaria malayi pada berat molekul 125 Kd secara mencolok, sedangkan penduduk amikrofilaremik tanpa gejala klinis IgG yang ada mengenal komponen 75 Kd dan 25 Kd. 

Empat macam subkelas IgG mempunyai struktur bentuk, fungsi dan derajat partisipasi pada respon imun yang masing-masing sangat berbeda; hal ini memberi indikasi bahwa perbedaan tipe respon imun yang terjadi pada perjalanan penyakit filariasis ditentukan oleh masing-masing subkelas IgG yang berperan. Secara kuantitatif kadar IgG 1 pada penderita elephantiasis lebih tinggi dibandingkan pada penderita yang mikrofilaremik. Secara kualitatif pola pengenalan yang ditunjukkan sangat berbeda. Komponen protein cacing dewasa B. malayi yang dikenal oleh IgGl dan IgG3 dari penderita elephantiasis adalah berat molekul > 68 Kd, sedangkan pada penderita yang mikrofilaremik komponen protein yang dikenal < 68 Kd. 

IgG3 mempunyai kemampuan mengikat komplemen paling besar di antara subkelas yang lain. Bila terjadi ikatan IgG3 dengan antigen baik spesifik atau nonspesifik dapat menyebabkan teraktivasinya sistim komplemen dengan serangkaian reaksi, hal ini dapat menyebabkan rusaknya antigen tersebut. Hasil ini menimbulkan dugaan bahwa peran IgG3 pada filariasis adalah sebagai imunoprotektor. Tentunya hal ini perlu didukung oleh penelitian lebih lanjut. 

Peran IgG2 pada filariasis masih sangat diragukan, mengingat kemampuan IgG2 untuk mengikat komplemen sangat rendah, di samping ternyata IgG2 juga mempunyai kemampuan kuat mengikat polisakharida. Respon IgG4 banyak dikaitkan dengan respon IgE. Bila kadar IgG4 tinggi dalam darah, hal ini dapat sebagai indikator keadaan infeksi yang aktif dan ditemukannya mikrofilaria di dalam darah. Biasanya keadaan ini disertai dengan rendahnya kemampuan respon seluler. Pola pengenalan IgG4 terhadap komponen protein cacing filaria banyak dikaitkan dengan IgE. Komponen protein cacing filaria dewasa maupun mikrofilaria yang dikenal oleh IgG4 juga dikenal oleh IgE. 

Seperti diketahui, di permukaan sel basophil dan sel mast terdapat reseptor untuk IgE. Bila ikatan IgE dan sel basophil atau sel mast banyak beredar dalam darah, kemudian bertemu dengan antigen spesifikmaka akan terjadi robekan permukaan sel-sel tersebut dan terjadi pembebasan histamin. Bila IgG4 hadir dalam jumlah banyak di dalam darah akan terjadi dua kemungkinan; pertama kompetisi antara IgE dan IgG4 dalam mengikat antigen; bila terjadi ikatan antigen-IgG4 maka ikatan antigen-IgE-sel basophil tidak terjadi sehingga tidak ada pembebasan histamin dan reaksi alergi, kemungkinan ke dua bila IgG4 setelah mengikat antigen kemudian menempel pada reseptor di permukaan sel basophil atau sel mast sehingga IgE tidak dapat menempel pada permukan sel sehingga pembebasan histamin tidak terjadi. 

Pada filariasis konsentrasi IgE umumnya tinggi. Konsentrasi tertinggi terdapat pada penderita TPE (8630 µg/ml), penderita elephantiasis dan kelompok tanpa gejala klinis baik yang mikrofilaremik maupun amikrofilaremik mempunyai kandungan IgE dua kali normal. Meskipun semua bentuk klinis filariasis mempunyai kadar IgE tinggi, gejala alergi hanya terjadi padaTPE saja; hal ini karena adanya faktor bloking oleh IgG4. 

PERAN SITOKIN 
Fungsi sitokin pada filariasis masih belum banyak diketahui. Pada dasarnya sitokin adalah suatu protein yang diproduksi oleh sel limfosit T dan memegang peran penting pada pengaturan respon imun penyakit. Penelitian tentang respon imun pada infeksi parasit menunjukkan bahwa sel CD+4 dan CD+8 adalah sel limfosit yang berperan sebagai mediator sistim proteksi dan imunopatologik. Berdasarkan sitokin yang dihasilkan dalam kaitannya dengan respon imun, sel CD+4 dibagi menjadi dua kelompok sel : Thl dan Th2. Sitokin penting yang diproduksi oleh sel Thl adalah IL-2 (Interleukin-2) dan IFN gama (Interferon gama). IL-2 terutamaberperan dalam proses diferensiasi sel limfosit sitotoksik (CTL), dan sel B. IFN gama berperan terutama untuk mekanisme pertahanan, yaitu: proses aktivasi makrofag, meningkatkan proses killing intraseluler, meningkatkan proses ADCC (AntibodyDependent Cell Cytotoxicity), menstimulasi proliferasi sel B, meningkatkan produksi IgG2 oleh sel B dan menetralkan efek IL-4 pada sel B. 

Sitokin yang diproduksi oleh sel Th2 adalah: IL-4, IL-5 dan IL-6; IL-4 terutama berperan sebagai faktor perkembangan dan aktivasi sel B, perkembangan sel mast, meningkatkan produksi IgE dan MHC kelas II dari sel B. IL-5 berperan pada perkembangan sel B untuk berproliferasi, meningkatkan produksi IgA. Peran IL-6 adalah menstimulasi proliferasi sel-sel plasmasitoma dan hibridoma, timosit dan sel-sel hemipoetik progenitor, stimulasi sel B untuk memproduksi antibodi. 

Dikemukakan 4 macam kemungkinan mekanisme respon imun; 
Mekanisme pertama dalam respon imun hanya melibatkan sel Th l saja, karena sel Th2 tidak berperan dalam sekresi sitokin maka terjadi sekresi IFN gama, IL-2 dan LT yang berlebih, akibatnya terjadi inaktivasi sel B, tidak ada sekresi antibodi, aktivasi makrofag, respon DTH kuat dan supresi sel Th2, keadaan ini mengakibatkan parasit-parasit intrasel dapat terbunuh dengan efektif. 

Mekanisme kedua, bila terjadi respon sel Th1 yang kuat tetapi disertai dengan sedikit respon sel Th2, pengaruh IFNgama, IL-2 dan LT berkurang karena adanya pengaruh IL-4, IL-5 dan IL-6 yang diproduksi oleh sel Th2. Terjadi aktivasi sel B dan produksi antibodi, respon DTH tidak sekuat pada mekanisme pertama. 

Mekanisme ketiga, yaitu bila terjadi respon sel Th2 yang kuat, tetapi sedikit respon sel Th1. Terjadi sekresi IL-4, IL-5 mungkin masih terjadi, mungkin juga tidak banyak dilakukan, tetapi umumnya belum didapatkan jawaban yang memuaskan. Penelitian yang dilakukan oleh Freedman dan kawan-kawan menunjukkan bukti bahwa pada filariasis komponen utama yang terlibat dalam respon imun adalah sel-sel endothelium yang terdapat pada dinding pembuluh vaskuler maupun limfatik, di bawah pengaruh sitokin. Dalam penelitiannya ditunjukkan IFN gama yang tinggi, filariasis menunjukkan bahwa penderita tanpa filaremik mmpunyai kadar IFN gama 238 pg, hal ini menunjukkan bahwa bila terdapat kandungan ini akan menstimulasi sel-sel endothel untuk mengkspresikan MHC kelas I pada permukaan selnya. Hal ini akan mengakibatkan bertambahnya kepekaan anti filaria CTL (sel imfosit sitotoksik), terutama di lokasi radang di mana didapatan juga agen parasitnya. Bertambahnya aktivitas CTL spesifik akan meningkatkan pula mekanisme ADCC, yang akan menyebabkan aktivitas killing dari limfosit lebih efektif. 

Mekanisme keempat, bila respon imun hanya melibatkan sel Th2 saja, pada mekanisme ini terjadi sekresi dan IL-6 yang cukup, dapat menyebabkan sekresi antibodi lebih baik dibandingkan dengan yang terjadi pada mekanisme 1 dan 2. Produksi IgG2a, IgG 1 karena pengaruh IL-4, IgE tidak mencolok karena masih ada pengaruh IFN gama. Penelitian respon sitokin pada filariasis, antibodi dalam konsentrasi yang tinggi, tidak terjadi aktivasi DTH. Karena terdapat IL-4 dalam jumlah banyak maka terjadi sekresi IgE dalam jumlah banyak, makrofag juga teraktivasi tetapi tidak sama dengan keadaan bila respon imun karena pengaruh sel Thl, adanya IL-5 menyebabkan aktivasi fungsi eosinophil, dengan demikian gambaran klinis yang timbul adalah gejala alergi. 

DIAGNOSIS 
1. Diagnosis Klinik 
Ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan klinik. Diagnosis klinik penting dalam menentukan angka kesakitan akut dan menahun (Acute and Chronic Disease Rate). 

Pada keadaan amikrofilaremik, gejala klinis yang mendukung dalam diagnosis filariasis adalah gejala dan pengalaman limfadenitis retrograd, limfadenitis berulang dan gejala menahun. 

2. Diagnosis Parasitologik 
Ditemukan mikrofilaria pada pemeriksaan darah jari pada malam hari. Pemeriksaan dapat dilakukan slang hari, 30 menit setelah diberi dietilkarbamasin 100 mg. Dari mikrofilaria secara morfologis dapat ditentukan species cacing filaria. 

Pada keadaan amikrofilaremia seperti pada keadaan prepaten, inkubasi, amikrofilaremia dengan gejala menahun, occult filariasis, maka deteksi antibodi dan/atau antigen dengan cara immunodiagnosis diharapkan dapat menunjang diagnosis. 

Adanya antibodi tidak menunjukkan korelasi positif dengan mikrofilaremi, tidak membedakan infeksi dini dan infeksi lama. Deteksi antigen merupakan deteksi metabolit, ekskresi dan sekresi parasit tersebut, sehingga lebih mendekati diagnosis parasitologik, antibodi monokional terhadap O.gibsoni menunjukkan korelasi yang cukup baik dengan mikrofilaremia W. bancrofti di Papua New Guinea. 

3. Diagnosis Epidemiologik 
Endemisitas filariasis suatu daerah ditentukan dengan menentukan microfilarial rate (mf rate), Acute Disease Rate (ADR) dan Chronic Disease Rate (CDR) dengan memeriksa sedikitnya 10% dari jumlah penduduk. 

Pendekatan praktis untuk menentukan daerah endemis filariasis dapat melalui penemuan penderita elefantiasis. 

Dengan ditemukannya satu penderita elefantiasis di antara 1000 penduduk, dapat diperkirakan ada 10 penderita klinis akut dan 100 yang mikrofilaremik. 

PENGOBATAN 
Dietilkarbamasin adalah satu-satunya obat filariasis yang ampuh baik untuk filariasis bancrofti maupun malayi, bersifat makrofilarisidal dan mikrofilarisidal. Obat ini ampuh, aman dan murah, tidak ada resistensi obat, tetapi memberikan reaksi samping sistemik dan lokal yang bersifat sementara dan mudah diatasi dengan obat simtomatik. Dietilkarbamasin tidak dapatdipakai untuk khemoprofilaksis. 

Pengobatan diberikan oral sesudah makan malam, diserap cepat mencapai konsentrasi puncak dalam darah dalam 3 jam, dan diekskresi melalui air kemih. Dietilkarbamasin tidak diberikanpada anak berumur kurang dari 2 tabula, ibu hamil/menyusui, dan penderita sakit berat atau dalam keadaan lemah. 

Pada filariasis bancrofti, Dietilkarbamasin diberikan selama 12 hari sebanyak 6 mg/kg berat badan, sedangkan untuk filariasis malayi diberikan 5 mg/kg berat badan selama 10 hari. Pada occult filariasis dipakai dosis 5 mg/kg BB selama 2­3 minggu. 

Pengobatan sangat baik hasilnya pada penderita dengan mikrofilaremia, gejala akut, limfedema, chyluria dan elephantiasis dini. Sering diperlukan pengobatan lebih dari 1 kali untuk mendapatkan penyembuhan sempurna. Elephantiasis dan hydrocele memerlukan penanganan ahli bedah. 

Reaksi samping Dietilkarbamasin sistemik berupa demam, sakit kepala, sakit pada otot dan persendian, mual, muntah,menggigil, urtikaria, gejala asma bronkial sedangkan gejala lokal berupa limfadenitis, limfangitis, abses, ulkus, funikulitis, epididimitis, orchitis dan limfedema. Reaksi samping sistemik terjadi beberapa jam setelah dosis pertama, hilang spontan setelah 2­5 hari dan lebih sering terjadi pada penderita mikrofilaremik.
Share this article :

Post a Comment

 
Design Template by panjz-online | Support by creating website | Powered by Blogger