WANPRESTASI : Apabila siberhutang (debitur) tidak melakukan apa yang dijanjikan akan dilakukannya, maka dikatakan bahwa ia melakukan "wanprestasi". Ia adalah "alpa" atau "lalai" atau "bercidra-janji". Atau juga ia "melanggar perjanjian", yaitu apabila ia melakukan atau berbuat sesuatu yang tidak boleh dilakukannya. Perkataan "wanprestasi" berasal dari bahasa Belanda, yang berarti prestasi yang buruk.
Wanprestasi seorang debitur ada empat macam :
a. tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.
b. melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan.
c. melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat.
d. melakukan sesuatu yang menumt perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Terhadap kelalaian atau kealpaan siberhutang itu (atau pihak yang wajib melakukan sesuatu), diancamkan beberapa sanksi atau hukuman.
Hukuman atau akibat-akibat yang tidak enak bagi debitor yang lalai tadi ada empat macam, yaitu :
pertama : membayar keragian yang diderita oleh kreditor atau dengan singkat dinamakan ganti-rugi.
kedua : pembatalan perjanjian atau juga dinamakan "pemecahan" perjanjian.
ketiga : peralihan risiko.
keempat : membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di muka hakim.
Karena wanprestasi mempunyai akibat-akibat yang begito penting, maka harus ditetapkan lebih dahulu apakah siberhutang melakukan wanprestasi atau lalai, dan kalau hal itu disangkal olehnya, harus dibuktikan di muka hakim. Kadang-kadang juga tidak mudah untuk mengatakan bahwa seorang lalai atau alpa, karena seringkali juga tidak diperjanjikan dengan tepat kapan sesuatu pihak diwajibkan melakukan prestasi yang dijanjikan. Dalam jual-beli barang misalnya tidak ditetapkan kapan barangnya harus diantarkan ke rumah si pembeli, atau kapan si pembeli ini harus membayar uang harga barang tadi.
Mengenai perjanjian-perjanjian untuk menyerahkan suatu barang atau untuk melakukan suatu perbuatan, maka jika dalam perjanjian tidak ditetapkan bahwa siberhutang akan dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan, pelaksanaan prestasi harus lebih dahulu ditagih. Kepada debitor itu harus diperingatkan bahwa kreditor menghendaki pelaksanaan perjanjian.
Tentang bagaimana caranya memperingatkan seorang debitor agar supaya jika ia tidak memenuhi teguran itu, dapat dikatakan lalai, diberikan petonjuk oleh pasal 1238 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang berbunyi: "Si berhutang adalah lalai apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akte sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri ialah jika ini menetapkan bahwa si berhutang akan harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan".
Yang dimaksudkan dengan surat perintah itu ialah suatu peringatan resmi yaitu peringatan oleh seorang jurusita Pengadilan. Perkataan "akte sejenis itu" yang sebenarnya oleh Undang-undang dimaksudkan sebagai suatu peringatan tertolis, sekarang sudah lazim ditafsirkan sebagai suatu peringatan atau teguran yang juga boleh dilakukan secara lisan, asal cukup tegas menyatakan desakan si berpiutang supaya prestasi dilakukan dengan seketika atau dalam waktu yang singkat. Hanya tentu saja sebaiknya dilakukan dengan tertulis, dan seyogyanya dengan surat tercalat, agar supaya nanti di muka hakim tidak mudah dipungkiri oleh si berhutang.
Apabila seorang debitor sudah diperingatkan atau sudah dengan tegas ditagih janjinya, maka jika ia tetap tidak melakukan prestasinya, ia berada dalam keadaan lalai atau alpa dan terhadap dia dapat diperlakukan sanksi-sanksi yaitu ganti-rugi, pembatalan perjanjian dan peralihan resiko.
Ganti-rugi sering diperinci dalam tiga unsur : biaya, rugi dan bunga (dalam bahasa Belanda "kosten, schaden en interessen").
Yang dimaksud dengan biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh satu pihak. Istilah rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditur yang diakibatkan karena kelalaian sidebitur. Dan yang dimaksudkan dengan bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan (bahasa Belanda "winstderving"), yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditur.
Code.Civil (dalam bahasa Perancis) memerinci ganti-rugi itu dalam dua unsur yaitu "dommages et interest". "Dommages" meliputi apa yang kita namakan "biaya dan rugi" sebagaimana dibicarakan di atas, sedangkan "interest" adalah sama dengan "bunga" dalam arti kehilangan keuntungan.
Dalam soal penuntutan ganti-rugi oleh Undang-undang diberikan ketentuan-ketentuan tentang apa yang dapat dimasukkan dalam ganti-rugi tersebut. Boleh dikatakan, ketentuan tersebut merapakan pembatasan dari apa- yang boleh dituntut sebagai ganti-rugi. Dengan demikian seorang debitur yang alpa atau lalai, masih juga diperlindungi oleh Undang-undang terhadap kesewenangan si kreditur.
Pasal 1247 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menentukan : "Siberhutang hanya diwajibkan mengganti biaya rugi dan bunga yang nyata telah, atau sedianya hams dapat diduga sewaktu perjanjian dilahirkan, kecuali jika hal tidak dipenuhinya perjanjian itu disebabkan karena sesuatu tipu-daya yang dilakukan olehnya".
Pasal 1248 juga menyebutkan :"bahkan jika hal tidak dipenuhinya perjanjian itu disebabkan karena tipu-daya siberhutang, penggantian biaya, rugi dan bunga, sekedar mengenai kerugian yang diderita oleh si berpihutang dan keuntungan yang terhilang baginya, hanyalah terdiri atas apa yang merapakan akibat langsung dari terpenuhinya perjanjian".
Suatu pembatasan lagi dalam pembayaran ganti-rugi terdapat dalam peraturan mengenai "bunga moratoir". Apabila prestasi itu berupa membayar sejumlah uang, maka kerugian yang diderita oleh kreditur, apabila pembayaran itu terlambat, adalah berupa interest, rente atan "bunga". Perkataan "moratoir" berasal dari perkataan Latin "mora" yang berarti kealpaan atau kelalaian. Jadi, bunga moratoir berarti bunga yang hams dibayar (sebagai hukuman) karena debitur itu alpa atau lalai membayar hutangnya. Oleh suatu undang-undang yang dimuat dalam Lembaran Negara tahun 1848 NO. 22 bunga tersebut ditetapkan 6 (enam) prosen setahun, dan menurut pasal 1250 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, selainnya bahwa bunga yang dapat dituntut itu tidak boleh melebihi prosenan yang ditetapkan dalam undang-undang tersebut, juga ditentukan bahwa bunga tersebut baru dihitung sejak dituntutnya kepada Pengadilan, jadi sejak dimasukkannya surat gugat.
Mengenai pembatalan perjanjian atau juga dinamakan "pemecahan" perjanjian, sebagai sanksi kedua atas kelalaian seorang debitur, mungkin ada orang yang tidak dapat melihat sifatnya pembatalan atau pemecahan tersebut sebagai suatu hukuman. Dikiranya sidebitur malahan merasa lega dengan dibatalkannya perjanjian karena ia dibebaskan dari kewajibannya melakukan prestasi. Memang adakalanya pembatalan itu dirasakan sebagai suatu pembebasan, tetapi betapa beratnya pembatalan itu dirasakan dapat dibayangkan jika kita memikirkan nasibnya seorang penjahit yang mendapat pesanan untuk membikin pakaian seragam untuk satu batalyon prajurit, kalau kontraknya dibatalkan pada waktu ia sudah memotongi bahan pakaian beratus-ratus meter.
Pembatalan perjanjian bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan. Kalau sampai pihak sudah menerima sesuatu dari pihak yang lain, baik uang maupun barang, maka itu harus dikembalikan. Masalah pembatalan perjanjian karena kelalaian atau wanprestasi dari pihak debitur ini, dalam Kitab undang-undang Hukum Perdata menemukan pengaturannya dalam pasal 1266, ialah pasal yang terdapat dalam bagian kelima dari Bab I dari Buku m, ialah suatu bagian yang mengatur tentang "perikatan bersyarat".
Kelalaian atau wanprestasi tidak secara otomatis membuat batal atau membatalkan suatu perjanjian seperti halnya dengan suatu "syarat batal". Dalam pasal 1266 juga terdapat lanjutan sebagai berikut: "Syarat batal dianggap selamanya dicantumkan dalam perjanjian-perjanjian yang bertimbal balik manakala salah satu pihak tidak memenuhi keajibannya. Dalam hal demikian perjanjian tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim.
Dalam halnya perjanjian dibatalakan, maka kedua belah pihak dibawa dalam keadaan sebelum perjanjian diadakan. Dikatakan bahwa pembatalan itu berlaku surut sampai pada detik dilahirkannya perjanjian. Apa yang sudah terlanjur diterima oleh satu pihak harus dikembalikan kepada pihak yang lainnya.
Peralihan risiko sebagai sanksi ketiga atas kelalaian seorang debitur disebutkan dalam pasal 1237 ay at 2 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak, yang menimpa barang yang menjadi obyek perjanjian.
Menurut pasal 1460 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, maka risiko dalam jual-beli barang tertentu dipikulkan kepada si pembeli, meskipun barangnya belum diserahkan. Kalau si penjual itu terlambat menyerahkan barangnya, maka kelalaian ini diancam dengan mengalihkan risiko tadi dari si pembeli kepada penjual.
Tentang pembayaran ongkos biaya perkara sebagai sanksi keempat bagi seorang debitur yang lalai adalah tersimpul dalam suatu peraturan Hukum Acara, bahwa pihak yang dikalahkan diwajibkan membayar biaya perkara (pasal 181 ayat 1 H.I.R.). Seorang debitur yang lalai tentu akan dikalahkan kalau sampai terjadi suatu perkara di muka hakim.
Menurut pasal 1267, pihak kreditur dapat menuntut terhadap si debitur yang lalai itu : pemenuhan perjanjian atau pembatalan disertai penggantian biaya, rugi dan bunga (disingkat "ganti-rugi"). Dengan sendirinya ia juga dapat menentukan pemenuhan perjanjian disertai ganti-rugi.
Sebagai kesimpulan dapat ditetapkan bahwa kreditur dapat memilih antara tuntutan-tuntutan sebagai berikut :
1. pemenuhan perjanjian
2. pemenuhan perjanjian disertai ganti-rugi
3. ganti-rugi saja
4. pembatalan perjanjian
5. pembatalan disertai ganti-rugi.
Post a Comment