PELAKSANAAN SUATU PERJANJIAN : Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada orang lain, atau di mana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu.
Menilik macam-macamnya hal yang dijanjikan untuk dilaksanakan itu, perjanjian-perjanjian dibagi dalam tiga macam, yaitu :
1. perjanjian untuk memberikan menyerahkan suatu barang.
2. perjanjian untuk berbuat sesuatu.
3. perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu.
Hal yang harus dilaksanakan itu dinamakan "prestasi".
Perjanjian dari macam pertama adalah misalnya : jual-beli, tukar-menukar, menghibahkan atau pemberian, sewa-menyewa, pinjam-pakai. Perjanjian dari macam kedua : perjanjian untuk membuat suatu lukisan, perjanjian perburuhan, perjanjian untuk membuat garansi, dan lainnya. Perjanjian dari macam yang ketiga adalah misalnya : perjanjian untuk tidak mendirikan tembok, perjanjian untuk tidak mendirikan suatu perusahaan yang sejenis dengan kepunyaan orang lain dan sebagainya.
Suatu persoalan dalam Hukum Perjanjian ialah persoalan, apakah, jika si berhutang atau si debitur tidak menepati janjinya, si berpiutang atau kreditur dapat mewujudkan sendiri prestasi yang dijanjikan itu artinya apakah si berpiutang dapat dikuasakan oleh hakim untuk mewujudkan atau merealisasikan sendiri apa yang menjadi haknya menurut perjanjian. Jika yang demikian itu mungkin, maka dikatakan bahwa perjanjian tadi dapat dieksekusikan secara riil. Meskipun selalu ada kemungkinan untuk mendapat suatu ganti rugi tetapi apabila seorang mendapat yang dijanjikan maka itu adalah yang paling memuaskan. Suatu ganti rugi seolah-olah hanyalah suatu "pengarem-arem "saja. Maka dari itu juga apa yang dijanjikan itu dinamakan "prestasi primair", sedangkan ganti rugi dinamakan "prestasi subsidair". Barang yang subsidair adalah barang yang menjadi ganti rugi suatu barang lain yang lebih berharga !
Kitab Undang-undang Hukum Perdata memberikan sekedar petunjuk dalam penjawaban persoalan tersebut di atas ialah persoalan apakah suatu perjanjian mungkin dieksekusi (dilaksanakan) secara nil itu. Petunjuk itu kita dapatkan dalam pasal-pasal 1240 dan 1241. Pasal-pasal ini adalah mengenai perjanjian-perjanjian yang di atas kita sebutkan sebagai tergolong dalam macam kedua dan macam ketiga, yaitu perjanjian perjanjian untuk berbuat sesuatu (melakukan suatu perbuatan) dan perjanjian-perjanjian untuk tidak melakukan sesuatu (tidak melakukan suatu perbuatan). Mengenai perjanjian-perjanjian macam inilah disebutkan bahwa eksekusi riil itu mungkin dilaksanakan. Pasal 1240 menyebutkan tentang perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu bahwa si berpiutang atau kreditur adalah berhak menuntut penghapusan segala sesuatu yang telah dibuat berlawanan dengan perjanjian dan bolehlah ia minta supaya dikuasakan oleh hakim untuk menyuruh menghapuskan segala sesuatu yang telah dibuat tadi atas biaya si berhutang, dengan tidak mengurangi haknya untuk menuntut ganti rugi jika ada alasan untuk itu. Dan pasal 1241 menerangkan tentang perjanjian untuk melakukan sesuatu, bahwa apabila perjanjian tidak dilaksanakan artinya si berhutang tidak menepati janjinya, maka si berpiutang boleh juga dikuasakan supaya dia sendirilah yang mengusahakan pelaksanaannya atas biaya si berhutang. Mengenai perjanjian untuk tidak melakukan suatu perbuatan, memang dalam perjanjian semacam itu, bila dilanggar, dapat secara mudah hasil dari perbuatan yang melanggar perjanjian itu dihapuskan atau ditiadakan. Tembok yang didirikan secara melanggar perjanjian, dapat dirobohkan, perusahaan yang dibuka atau didirikan melanggar perjanjian, dapat ditutup. Pihak yang berkepentingan (kreditur) tentunya juga dapat meminta kepada Pengadilan, supaya ditetapkan sejumlah "uang paksa" untuk mendorong si debitur supaya ia meniadakan lagi apa yang sudah diperbuat itu. Dan juga ia dapat meminta supaya orang yang melanggar perjanjian itu dihukum untuk membayar sejumlah uang sebagai ganti-rugi, tetapi sudah barang tentu tiada sesuatu yang lebih memuaskan baginya dari pada penghukuman si pelanggar perjanjian itu untuk meniadakan segala apa yang telah diperbuat itu.
Perjanjian untuk berbuat sesuatu (melakukan suatu perbuatan) juga secara mudah dapat dijalankan secara riil, asal saja bagi si berpiutang (kreditur) tidak penting oleh siapa perbuatan itu akan dilakukan, misalnya membuat sebuah garasi, yang dengan mudah dapat dilakukan oleh orang lain. Kalau yang hams dibuat itu sebuah lukisan, sudah barang tentu perbuatan itu tidak dapat dilakukan oleh- orang lain selainnya pelukis yang menjanjikan membuat lukisan itu. Karena itu raaka perjanjian untuk melakukan suatu perbuatan yang bersifat sangat pribadi, tidak dapat dilaksanakan secara riil, apabila pihak yang menyanggupi melakukan perbuatan tersebut tidak menetapi janjinya.
Mengenai perjanjian dari macam yang pertama, yaitu perjanjian untuk memberikan (menyerahkan) suatu barang, tidak terdapat sesuatu petunjuk dalam undang-undang.
Mengenai barang yang tak tertentu (artinya barang yang sudah disetujui atau dipilih), dapat dikatakan bahwa para ahli hukum yurisprudensi adalah sependapat bahwa eksekusi riil itu dapat dilakukan, misalnya jual-beli. Suatu barang bergerak yang tertentu, jika mengenai barang yang tak tertentu maka eksekusi riil tak mungkin dilakukan.
Mengenai barang tak bergerak ada dua pendapat. Yurisprudensi pada waktu sekarang dapat dikatakan masih menganut pendirian bahwa eksekusi riil tidak mungkin dilakukan. Pendirian itu didasarkan pada dua alasan. Pertama : untuk menyerahkan hak milik atas suatu benda tak bergerak diperlukan suatu akte transport yang merupakan suatu akte bilateral, yang haras diselenggarakan oleh dua pihak dan karena itu tidak mungkin diganti dengan suatu fonis atau putusan hakim. Kedua : ada alasan a contrario, yaitu dalam pasal 1171 ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ditetapkan (mengenai hipotik), bahwa, barang siapa yang berdasarkan undang-undang atau perjanjian diwajibkan memberikan hipotek, dapat dipaksa untuk itu dengan putusan hakim yang mempunyai kekuatan yang sama seolah-olah ia telah memberikan persetujuannya untuk hipotek itu, dan yang dengan terang akan menunjuk benda-benda atas mana akan dilakukan pembukuan. Dikatakan, bahwa oleh karena untuk hipotek ada peraturan yang memungkinkan eksekusi riil terhadap seorang yang wajib memberikan hipotek tetapi bercindra-janji, sedangkan dalam halnya seorang yang wajib menyerahkan hak milik atas suatu benda tak bergerak tidak ada aturannya, bahwa untuk yang terakhir ini tiada suatu kemungkinan untuk melaksanakan suatu eksekusi riil.
Untuk melaksanakan suatu perjanjian, lebih dahulu harus ditetapkan secara tegas dan cermat apa saja isinya perjanjian perjanjian tersebut, atau juga dengan perkataan lain : apa saja hak dan kewajiban masing-masing pihak. Biasanya orang mengadakan suatu perjanjian dengan tidak mengatur atau menetapkan secara teliti hak dan kewajiban mereka. Mereka itu hanya menetapkan hal-hal yang pokok dan penting saja. Dalam jual beli misalnya hanya ditetapkan tentang barang mana yang dibeli jenisnya, jumlahnya, harganya. Tidak ditetapkan tentang : tempat penyerahan barang, biaya penghantaran, tempat dan waktu pembayaran, bagaimana kalau barang musnah di perjalanan dan lain sebagainya.
Menurut pasal 1339 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan dalam perjanjian, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifatnya perjanjian diharuskan (diwajibkan) oleh kepatutan, kebiasaan dan undang-undang. Dengan demikian maka setiap perjanjian diperlengkapi dengan aturan-aturan yang terdapat dalam undang-undang, yang terdapat pula dalam adat kebiasaan (di suatu tempat dan di suatu kalangan tertentu), sedangkan kewajiban-kewajiban yang diharuskan oleh kepatutan(norma-norma kepatutan) harus diindahkan.
Kita melihat dalam pasal 1339 tersebut, bahwa adat kebiasaan telah ditunjuk sebagai sumber norma-norma yang di sampingnya undang-undang, ikut menentukan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari kedua belah pihak dalam suatu perjanjian. Suatu persoalan disini adalah apabila terdapat suatu adat kebiasaan yang berlainan atau menyimpang dari undang-undang, apakah peraturan undang-undang itu masih berlaku ataukah ia sudah disingkirkan oleh adat-kebiasaan tersebut. Jawabnya ialah bahwa suatu pasal(peraturan) undang-undang, meskipun sudah ada suatu adat kebiasaan yang menyimpang, masih tetap berlaku dan barang siapa pada suatu hari menunjuk pada peraturan undang-undang tersebut, harus dibenarkan dan tidak boleh dipersalahkan.
Lain halnya adalah dengan apa yang lazim dinamakan "standard-clausula". Ini adalah yang oleh pasal 1347 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dimaksudkan dengan "hal-hal yang menurut kebiasaan diperjanjikan". Menurut pasal tersebut maka hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan itu dianggap secara diam-diam dimasukkan dalam perjanjian, meskipun tidak dengan tegas dinyatakan. Oleh karena dianggap sebagai diperjanjikan atau sebagai bagian dari perjanjian sendiri, maka "hal yang menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan itu dapat menyingkirkan suatu pasal undang-undang yang merupakan hukum pelengkap.
Apabila sesuatu hal tidak diatur dalam undang-undang dan juga belum ada kebiasaan tentang hal itu, karena mungkin belum atau tidak begitu banyak dihadapi dalam praktek, maka harus diciptakan suatu penyelesaian dengan berpedoman pada "kepatutan".
Sebagai kesimpulan dari apa yang dibicarakan di atas dapat ditetapkan bahwa ada tiga sumber norma-norma yang ikut mengisi suatu perjanjian, yaitu : Undang-undang, kebiasaan dan kepatutan.
Menurut pasal 1338 ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum P,erdata maka semua perjanjian itu harus dilaksanakan "dengan itikat baik"(dalam bahasa Belanda "tegoeder trouw", dalam bahasa Inggris "in good faith", dalam bahasa Perancis "de bonne foi"). Norma ini merupakan salah satu sendi yang terpenting dari Hukum Perjanjian. Yang dimaksudkan adalah, bahwa pelaksanaan itu hams berjalan dengan mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Jadi, yang dimaksud adalah ukuran-ukuran obyektif untuk menilai pelaksanaan tadi. "Pelaksanaan perjanjian hams berjalan di atas rel yang benar".
Dalam pasal 1338 (3) itu Hakim diberikan kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan suatu perjanjian, jangan sampai pelaksanaan itu melanggar kepatutan atau keadilan. Ini berarti, bahwa Hakim itu berkuasa untuk. menyimpang dari isi perjanjian menumt hurufnya, manakala pelaksanaan menurut humf itu akan bertentangan dengan itikad baik. Kalau ayat kesatu dari pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dapat kita pandang sebagai suatu syarat atau tuntutan kepastian hukum (yaitu bahwa janji itu mengikat), maka ayat ketiga ini hams kita pandang sebagai suatu tuntutan keadilan. Memang, selalu Hukum itu mengejar dua tujuan : menjamin kepastian (ketertiban) dan memenuhi tuntutan keadilan. Kepastian Hukum menghendaki supaya apa yang dijanjikan hams dipenuhi (ditepati). Namun, dalam menuntut dipenuhinyajanji itu, janganlah orang meninggalkan norma-norma keadilan atau kepatutan. "Berlakulah adil dalam menuntut pemenuhan janji itu"!
Di samping kepastian tentang mengikatnya suatu janji dalam keadaan normal, ada suatu perjagaan untuk mencegah pelaksanaan yang akan memperkosa rasa keadilan. Dan kekuasaan mencegah ekses-ekses ini diletakkan di tangan hakim, yang jika perlu, juga berwenang untuk menghapuskan sama sekali suatu kewajiban kontraktuil.
Persoalan apakah suatu pelaksanaan perjanjian bertentangan dengan itikad baik atau tidak, adalah suatu persoalan yuridis atau persoalan hukum, yang tunduk pada peninjauan oleh Pengadilan Kasasi (Mahkamah Agung).
Suatu perjanjian terdiri atas serangkaian perkataan-perkataan. Untuk menetapkan isi sesuatu perjanjian, perlu terlebih dahulu ditetapkan dengan cermat apa yang dimaksud oleh para pihak dengan mengucapkan atau menulis perkataan-perkataan tersebut. Perbuatan ini dinamakan "menafsirkan" perjanjian. Menafsirkan, sebagai menempatkan "duduknya perkara" atau menetapkan fakta-fakta, tidak termasuk persoalan yuridis (persoalan hukum) yang tunduk pada pemeriksaan kasasi, sehingga hanya dapat dipersoalkan sampai di muka Pengadilan Banding (Pengadilan Tinggi), dan tidak lagi di muka Pengadilan Kasasi (Mahkamah Agung).
Dalam hal penafsiran perjanjian ini pedoman utama ialah : kata-kata suatu perjanjian jelas, maka tidaklah diperkenankan untuk menyimpang daripadanya dengan jalan penafsiran. Contohnya : Kalau dalam perjanjian ditulis, bahwa satu pihak akan memberikan seekor sapi, maka tidak boleh itu ditafsirkan sebagai seekor kuda.
Pedoman-pedoman lain yang penting dalam menafsirkan suatu perjanjian adalah :
- Jika kata-kata suatu perjanjian dapat diberikan berbagai macam penafsiran, maka hams dipilihnya menyelidiki maksud kedua belah pihak yang membuat perjanjian itu dari pada memegang teguh arti kata-kata menumt humf.
- Jika sesuatu janji dapat diberikan dua macam pengertian, maka hams dipilihnya pengertian yang sedemikian yang memungkinkan janji itu dilaksanakan dari pada memberikan pengertian yang tidak memungkinkan suatu pelaksanaan.
- Jika kata-kata dapat diberikan dua macam pengertian, maka hams dipilih pengertian yang paling selaras dengan sifat perjanjian.
- Apa yang meragukan harus ditafsirkan menumt apa yang menjadi kebiasaan di.negeri atau di tempat dimana perjanjian telah diadakan.
- Semua janji hams diartikan dalam hubungan satu sama lain, tiap janji hams ditafsirkan dalam rangka perjanjian seluruhnya.
- Jika ada keragu-raguan, maka suatu perjanjian hams ditafsirkan atas kemgian orang yang telah meminta diperjanjikannya sesuatu hal dan, untuk keuntungan orang yang telah mengikatkan dirinya untuk itu.
Post a Comment