Pemulihan Ekonomi Tergantung Penyelesaian Agenda Politik : PELAKSANAAN agenda politik secara aman, lancar, tertib dan sesuai dengan aspirasi sebagian besar rakyat merupakan keharusan, apabila diinginkan ekonomi akan segera pulih. Sebaliknya, bila kerusuhan sosial terus meningkat dan pemilu tidak dapat dilaksanakan, maka pemulihan ekonomi sulit diharapkan dalam waktu cepat.
Laksamana Sukardi menilai, kondisi perekonomian di tahun 1999 berada dalam situasi yang kritis. Artinya perekonomian nasional berada di persimpangan jalan antara kemungkinan terjadi recovery dan kehancuran. Peluangnya separuh-separuh.
Investor bersikap menunggu, apakah pemilu akan berjalan jujur dan adil, serta demokratis. Kedua hal itu menjadi syarat pembentukan pemerintahan yang bisa dipercaya rakyat. Apabila demikian, maka dengan cepat ekonomi Indonesia akan pulih, karena investor pasti akan datang kembali ke Indonesia.
Oleh karena itu, keinginan seluruh rakyat Indonesia yang menghendaki agar pemilu berlangsung jujur, adil, transparan, serta demokratis harus benar-benar dilaksanakan dan tidak bisa ditawar-tawar lagi. Menurut dia, masuknya aliran modal asing sebagai jalan terbaik dalam pemulihan ekonomi hanya bisa terjadi kalau ada pemerintahan yang bersih, didukung rakyat, adanya kepastian hukum dan sistem peradilan yang independen.
Suksesnya pemilu dan Sidang Umum di tahun 1999 tidak serta merta terjadi begitu saja. Mulai saat ini harus dipersiapkan. Namun bayangan kegagalan masih berkecamuk, mengingat intensitas kekerasan dan kejadian perampokan dan penjarahan yang membuat masyarakat merasa tidak aman masih sering terjadi.
MELIHAT pentingnya faktor penyelesaian politik, rencana pegelaran dialog nasional sangat penting. Melalui dialog nasional tersebut, diharapkan tokoh-tokoh yang terlibat menyamakan persepsi bahwa pemilu harus berhasil dan sesuai aspirasi rakyat.
Kita sama-sama menghendaki, pemerintahan yang demokratis dan didukung rakyat. Pemerintah sekarang berani mengakui, bahwa dirinya bersifat transisi dan hanya mempersiapkan pemerintahan yang akan datang. Sebaliknya tokoh-tokoh nasional juga harus berani mengakui pemerintahan yang sekarang.
Selain masalah politik, pembenahan sektor ekonomi terutama moneter juga sangat penting, apabila kita mengharapkan pemulihan ekonomi. Dua persoalan mendasar yang harus diselesaikan, yaitu restrukturisasi perbankan dan utang luar negeri.
Pertama, restrukturisasi perbankan harus berhasil. Rencana rekapitalisasi kemungkinan besar tidak akan berhasil. Oleh karena itu, pemerintah harus berani melakukan penutupan bank-bank yang memang tidak solvent, dengan demikian hanya tinggal sedikit bank yang kuat dan profesional.
Sebelum mengatasi perbankan swasta, bank-bank BUMN harus juga selesai. Apabila persoalan bank ini tidak diselesaikan, maka tidak akan ada kegiatan ekonomi, karena tidak ada kodal kerja dan perdagangan.
Kedua, masalah utang luar negeri pemerintah dan swasta. Seberapa jauh masalah utang LN ini bisa diselesaikan. Sebab, mengakhiri krisis perbankan kepercayaan dunia internasional terhadap pemerintah tergantung dari penyelesaian utang tersebut. Bila default, maka kredibilitas turun dan investor enggan masuk ke Indonesia.
Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia, Haryadi B Sukamdani mengatakan, sebagai pengusaha pihaknya memang harus optimis. Tetapi kalau melihat di lapangan terutama perkembangan politik yang ada, maka yang ada hanya rasa waswas dan gamang. Sebab pemilu masih jauh, tetapi intensitas kekerasan sudah cukup tinggi, apalagi nanti kalau mendekati kampanye dan pemilu.
Oleh karena itu sikap para pengusaha di tahun 1999 ini sudah pasti akan menunggu. Investasi tidak akan ada. Yang terjadi, para pengusaha hanya meningkatkan volume dan penjualan dari yang sudah ada. Pengusaha tidak mungkin mengandalkan pasar domestik, tetapi luar negeri.
Kalau penyelesaian politiknya baik, masyarakat mendukung pemerintahan yang baru, maka ekonomi akan cepat sekali kembalinya. Yang dikhawatirkan ialah kalau terjadi gejolak sosial akibat kegagalan pemilu yang tidak menampung aspirasi rakyat.
Dengan pertimbangan-pertimbangan seperti itu, dunia usaha melihat kondisi perekonomian nasional di tahun 1999 ibarat seseorang yang sedang mengendarai mobil di tengah "kabut tebal". Kabut tebal (situasi sosial politik-Red) menyebabkan pengendara (baca: pengusaha) tidak bisa memandang jauh ke depan. Atas dasar pertimbangan keselamatan, maka pengendara itu tidak punya pilihan lain kecuali menghentikan perjalanannya dan menunggu sampai kabut itu berlalu.
Itu berarti, pemerintah sejak sekarang harus bisa menyelesaikan semua persoalan ekonomi dan politik yang di dalam negeri. Transparan, tegas, jelas, dan cepat diperlukan. Jangan sampai malah menimbulkan kebingungan dan ketidakjelasan.
Sistem ekonomi Indonesia pada masa Orde Baru bersifat “birokrat otortarian” yang ditandai dengan pemusatan kekuasaan dan partisipasi dalam membuat keputusan-keputusan nasional hamper sepenuhnya berada di tangan penguasa bekerjasama dengan kelompok militer dan kaum teknokrat.
Kebijaksanaan ekonomi yang selama ini diterapkan yang hanya mendasarkan pada pertumbuhan dan mengabaikan prinsip nilai kesejahteraan bersama seluruh bangsa, dalam kenyataannnya hanya menyentuh kesejahteraan sekelompok kecil orang bahkan pengusaha. Krisis ekonomi yang terjadi di dunia dan melanda Indonesia mengakibatkan ekonomi Indonesia terpuruk sehingga kepailitan yang diderita oleh para pengusaha harus di tanggung oleh rakyat.
Dalam kenyataannnya sector ekonomi yang justru mampu bertahan pada masa krisis dewasa ini adalah ekonomi kerakyatan yaitu ekonomi yang berbasis pada usaha rakyat. Langkah yang strategis dalam upaya melakukan reformasi ekonomi yang berbasis pada ekonomi rakyat yang berdasarkan nilai-nilai Pancasila yang mengutamakan kesejahteraan seluruh bangsa adalah sebagai berikut : “Keamanan pangan dan mengembalikan kepercayaan yaitu dilakukan dengan program “social safety net” yang lebih dikenal dengan program Jaring Pengaman Sosial (JPS). Untuk mengembalikan kepercayaan rakyat terhadap pemerintah maka pemerintah harus secara konsisten menghapus KKN serta mengadili oknum-oknum yang melakukan pelanggaran. Ini akan memberikan kepercayaan dan kepastian usaha”.
DAFTAR PUSTAKA
- Kaelan. 2004. Pendidikan Pancasila. PARADIGMA. Yogyakarta
- Darmodiharjo, Dardji. 1977. Orientasi Singkat Pancasila. Universitas Brawijaya. Malang.
- Suruji, Andi dkk. 21 Desember 1998. Rubrik UTAMA dan Rubrik OPINI. Harian KOMPAS
- Sri Sumantri M, Refleksi HAM di Indonesia, hal 1-4
- Harian Pagi Fajar Makassar, 08 Apr 2006
Post a Comment