News Update :
Home » » PERMASALAHAN PANCASILA DAN HAK ASASI MANUSIA (HAM)

PERMASALAHAN PANCASILA DAN HAK ASASI MANUSIA (HAM)

Penulis : kumpulan karya tulis ilmiah on Wednesday, November 20, 2013 | 1:38 AM

Hak Asasi Manusia (HAM) : Masalah HAM menjadi salah satu pusat perhatian manusia sejagat, sejak pertengahan abad kedua puluh. Hingga kini, ia tetap menjadi isu aktual dalam berbagai peristiwa sosial, politik dan ekonomi, di tingkat nasional maupun internasional.

Menurut konsiderans UU Hak Asasi Manusia No. 39 tahun 1999 bahwa yang dimaksud dengan hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan sebagai mahkluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-NYA yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Disamping itu menurut UU No. 39 ttahun 1999 tersebut juga menentukan Hak Asasi Manusia adalah hak-hak dasar atau hak-hak pokok yang dibawa manusia sejak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Hak Asasi ini menjadi dasar daripada hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang lain. 

Hak Asasi tidak dapat dituntut pelaksanaannya secara mutlak karena penuntutan pelaksanaan hak asasi secara mutlak berarti melanggar hak asasi yang sama dari orang lain.

Menurut sejarahnya asal mula hak asasi manusia ialah dari Eropa Barat yaitu Inggris. Tonggak pertama kemenangan hak asasi manusia ialah pada tahun 1215 dengan lahirnya Magna Charta. Perkembangan berikutnya ialah adanya revolusi Amerika 1776 dan revolusi Perancis 1789. Dua revolusi dalam abad ke XVIII ini besar sekali pengaruhnya pada perkembangan hak asasi manusia.

Hak Asasi Manusia yang kemudian disingkat HAM adalah permasalahan yang selama dua atau tiga tahun terakhir menjadi bahan perbincangan masyarakat. Banyak contoh kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia. Pelanggaran HAM pada saat pelaksanaan jajak pendapat Referendum Timor Timur. Kasus Daerah Operasi Militer (DOM) di daerah Serambi Mekkah Aceh yang banyak menelan korban jiwa dari pihak masyarakat sipil dan disinyalir banyak di lakukan oleh oknum-oknum tentara yang notabene adalah para aparat-aparat Negara sampai dengan kasus sengketa tanah yang melibatkan salah satu unsur alat pertahanan negara yaitu tentara dalam hal ini Marinir dengan warga Alas Tlogo Pasuruan. Hal ini sangat bertentangan dengan apa yang terkandung dalam nilai-nilai Pancasila. Banyak tokoh yang dinyatakan sebagai tersangka tapi pada kenyataannya para pelaku masih bebas berkeliaran sementara keluarga korban menanti kepastian hukum tentang apa yang dialaminya. Tapi perlu kita ketahui sebenarnya kesalahan maupun pelanggaran itu juga tidak sepenuhnya dilakukan oleh para oknum tentara. Masyarakat sipil mempunyai hak untuk hidup tentara pun demikian. UU No. 39 tahun 1999 juga menentukan Kewajiban Dasar Manusia yaitu seperangkat kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan tidak memungkinkan terlaksana dan tegaknya hak asasi manusia. Seperti yang tertuang dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 28i ayat 5 (amandemen ke 2) yang berbunyi “Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip Negara hukum yang demokratis maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan”. Pasal 28j ayat 1 dan 2 (amandemen ke 2) yang intinya setiap manusia wajib menghormati hak asasi manusia dan wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Jadi dalam masalah ini kita perlu secara cermat menanggapi kasus-kasus seperti ini karena permasalahan yang demikian sangatlah kompleks dan sangat rentan terhadap perpecahan atau ancaman diintegrasi bangsa. 

Hak Asasi Manusia: Makna dan Historisitas. 
Dari membandingkan beberapa definisi tentang hak, ia dapat dimaknai sebagai sesuatu nilai yang diinginkan seseorang untuk melindungi dirinya, agar ia dapat memelihara dan meningkatkan kehidupannya dan mengembangkan kepribadiannya. Hak itu mengimplisitkan kewajiban, karena pada umumnya seseorang berbicara tentang hak manakala ia mempunyai tuntutan yang harus dipenuhi pihak lain. Dalam pergaulan masyarakat, adalah mustahil membicarakan tanpa secara langsung mengaitkan hak itu dengan kewajiban orang atau pihak lain. 

Dari sejumlah hak-hak manusia itu ada yang dinilai asasi. Dalam kata asasi terkandung makna bahwa subjek yang memiliki hak semacam itu adalah manusia secara keseluruhan, tanpa membedakan status, suku, adat istiadat, agama, ras, atau warna kulit, bahkan tanpa mengenal kenisbian relevansi menurut waktu dan tempat. Dengan demikian, hak asasi manusia haruslah sedemikian penting, mendasar, diakui oleh semua peradaban, dan mutlak pemenuhannya. 

Kesadaran akan hak asasi dalam peradaban Barat timbul pada abad ke-17 dan ke 18 Masehi sebagai reaksi terhadap keabsolutan raja-raja kaum feodal terhadap rakyat yang mereka perintah atau manusia yang mereka pekerjakan. Sebagaimana dapat diketahui dalam sejarah, masayarakat manusia pada zaman dahulu terdiri dari dua lapisan besar : lapisan atas, minoritas, yang mempunyai hak-hak; dan lapisan bawah, yang tidak mempunyai hak-hak tetapi hanya mempunyai kewajiban-kewajiban, sehingga mereka diperlakukan sewenang-sewenang oleh lapisan atas. Kesadaran itu memicu upaya-upaya perumusan dan pendeklerasian HAM, menurut catatan sejarah HAM berkembang melalalui beberapa tahap. Hal ini terutama dapat dilihat dalam sejarah ketatanegaraan di Inggris dan Prancis. Yaitu ditandainya dengan keberhasilan rakyat Inggris memperoleh hak tertentu dari raja dan pemerintahan Inggris yang dituangkan dalam berbagai piagam seperti: Petition Of Rights tahun 1628, Habeas Corpus Act tahun 1679 dan Bill Of Rights tahun 1689 serta dikeluarkannya Declaration des D du Citoyen tahun 1789 di Prancis. Selain dua negara di atas, Bill Of Rights juga terjadi di negara bagian Virginia tahun 1776, deklarasi kemerdekaan 13 Negara Bagian Amerika Serikat tahun 1789.

Setelah berakhirnya perang dunia I dan II dibentuk PBB dan dikeluarkan pernyataan HAM internasional : Universal Declaration of Human Rights pada tanggal 10 Desember 1948, dan disusul dengan Covenant on Civil and Political Rights tahun 1966 dan Covenant on Economic, Social and Cultur Rights tahun 1966 dan Optional Protocol to he Covenant on Civil and Political Rights tahun 1966. Kempat dokumen HAM internasional sering disebut sebagai The International Bill Of Human Rights.

Dokumen-dokumen tersebut merupakan instrumen normatif HAM internasional yang harus dihormati dan dipatuhi oleh setiap negara anggota PBB. Bahkan dalam Covenant on Civil and Political Rights dimuat beberapa HAM yang penerapannya tidak dapat diperkecualikan meskipun dalam keadaan sabagai luar biasa. Apapun kedaaannya hak-hak yang dianggap sebagai intisari dari HAM harus tetap dihormati.

Adanya pengakuan dan perlindungan kedudukan pribadi dalam instrumen HAM tersebut menunjukkan adanya kemajuan dalam nilai dan norma yang mendasari hubungan antar negara. HAM yang dulu lebih merupakan urusan dalam negri masing-masing negara telah bergeser menjadi nilai dan hubungan internasional, yaitu dibuktikan dengan adanya persetujuan semua negara, setidak-tidaknya negara-negara anggota PBB terhadap deklarasi, konvensi dan konvenan HAM internasional.

Deklarasi PBB tersebut dapat diklasifakasikan dalam tiga katagori:
  1. Hak sipil dan hak ploitik, hak persamaan /kemerdekaan sejak lahir (pasal 1), hak untuk hidup (pasal 3), hak untuk memperoleh keadilan didepan hukum (pasal 6-8), hak untuk memperoleh perlakuan yang manusiawi (tidak sewenang-wenang) dalam penyelesain tertib sosial (pasal 5, dan 9-11), hak untuk bebas bergerak, mencari suaka ke negara lain, dan menetapkan suatu kewarganegaraan (pasal 13-15), hak untuk menikah dan membangun keluarga (pasal 16), hak untuk bebas berpikir, berkesadaran dan beragama (pasal 18-19), dan hak untuk berkumpul dan berserikat (pasal 20-21).
  2. Hak eknomi dan sosial (pasal 22- 28) antara lain; hak untuk bekerja dan memeperoleh upah yang layak, hak untuk beristirahat dan berkreasi, hak untuk mendapat liburan periodik dengan (tetap) mendapat upah, hak untuk menikmati standar hidup yang cukup, termasuk perumahan dan pelayanan medis, hak untuk memperoleh jaminan sosial, hak untuk memperoleh pendidikan, dan hak untuk berperan serta dalam kegiatan kebudayaan.
  3. Dan hak kolektif mencakup hak semua bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri, hak semua ras dan suku bangsa untuk bebas dari segala bentuk diskrimainasi, hak masyarakat untuk bebas dari neo-kolonialisme (pasal 28-30).
Hak-hak asasi manusia di atas, walaupun merupakan dekalarasi PBB dimana seluruh bangsa dari pelbagai penjuru dunia terlibat, namun harus diakui berasal dari buah pemikiran dan anak peradaban barat. 

Pengaturan HAM di Indonesia dapat dilihat dari berbagai peraturan perundang-undangan, khususnya dalam pembukaan dan batang tubuh Undang-undang Dasar 1945 serta peraturan perundangan lain diluar UUD 1945, misalnya HAM yang berhubungan dengan proses peradilan dalam UU No. 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP dan sebagainya. Sedangkan konsepsi HAM bangsa Indonesia dapat dilihat dalam ketetapan MPR No. II/MPR/1998 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan tercantum dalam Bidang Pembangunan Hukum yang menyatakan bahwa :

"HAM sebagai anugrah Tuhan Yang Maha Esa adalah hak-hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia dan Meliputi : hak untuk hidup layak, hak memeluk agama dan beribadat menurut agama masing-masing, hak untuk berkeluarga dan memperoleh keturunan melalui perkawinan yang sah, hak untuk mengembangkan diri termasuk memperoleh pendidikan, hak untuk berusaha, hak milik perseorangan, hak memperoleh kepastian hukum dan persamaan kedudukan dalam hukum, keadilan dan rasa aman, hak mengeluarkan pendapat, berserikat dan berkumpul." 

Dari latar historis beberapa perumusan dan dekalarasi HAM (yaitu: perlindungan terhadap kebebasn individu di depan kekuasan raja, kaum feodal atau negara yang domina atau tersentaralisasi), dan kesadaran ontologis tentang struktur deklarasi PBB, serta kesadaran historis tentang peradaban yang melahirkannya, dapatlah diidentifikasi karektaristik utama HAM. Perspektif Barat dalam melihat HAM dapat disebut bersifat antrhoposentris, dengan pengertian bahwa manusia dipandang sebagai ukuran bagi segala sesuatu karena ia adalah pusat atau ttitik tolak dari semua pemikiran dan perbuatan. Produk dari perspektif antrhoposentris ini tidak lain adalah individu yang otonom.

Hak dapat dimaknai sebagai suatu nilai yang diinginkan seseorang untuk melindungi dirinya, agar ia dapat ia memelihara dan meningkatkan kehidupannya dan mengembangkan kepribadiannya. Ketika diberi imbuhan asasi, maka ia sedemikian penting, mendasar, diakui oleh semua peradaban, dan mutlak pemenuhannya.

Setelah melalui proses yang panjang, kesadaran akan hak asasi manusia mengglobal sejak 10 Desember 1948 dengan ditetapkannya oleh PBB Deklarasi tentang Hak Asasi Manusia. Deklarasi PBB ini, juga deklarasi-deklarasi sebelumnya, dirancang untuk melindungi kebebasan individu di depan kekuasaan raja, kaum feodal, atau negara yang cenderung dominan dan terdesentralisasi. Karena itu, deklarasi-deklarasi tersebut, yang nota bene anak peradaban Barat, melihat hak-hak asasi manusia dalam perspektif anthroposentris.

Dalam hal pelaksanaan hak-hak asasi manusia dalam Pancasila yang perlu mendapat perhatian kita adalah bahwa disamping hak-hak asasi, wajib-wajib asasi harus kita penuhi terlebih dahulu dengan penuh rasa tanggungjawab. Hak-hak asasi manusia dilaksanakan dalam rangka hak-hak serta kewajiban warga Negara.
Share this article :

Post a Comment

 
Design Template by panjz-online | Support by creating website | Powered by Blogger