News Update :
Home » » PERMASALAHAN PANCASILA DAN SARA

PERMASALAHAN PANCASILA DAN SARA

Penulis : kumpulan karya tulis ilmiah on Wednesday, November 20, 2013 | 1:34 AM

Permasalahan Isu SARA : Realitas budaya nusantara yang plural berdasarkan kemajemukan komunitas etnis yang hidup di atas pulau atau gugusan pulau yang dipisahkan oleh lautan menunjukkan berbagai macam perbedaan. Perbedaan peta geografis dan etnis-kultural inilah yang berpotensi sebagai sumber dari berbagai jenis konflik yang timbul secara alamiah atau yang dengan sengaja direkayasa menjadi konflik. Jenis konflik ditimbulkan, antara lain, oleh isu SARA dan oleh adanya ketegangan antara keinginan untuk mempertahankan diri sebagai komunitas lokal pada satu sisi, dan pada sisi lain lemahnya perekat keadilan yang seharusnya dapat merekat seluruh komunitas agar dapat mempersatukan diri sebagai sebuah bangsa dengan makna dalam ungkapan bhinneka tunggal ika sebagai jatidiri. 

Secara alamiah timbul konflik pada sebagian komunitas nusantara yang ingin mempertahankan identitas komunalnya dalam konteks etnis-kultural, termasuk SARA, menghadapi nasionalisme melalui arus transformasi politik yang ingin membangun sebuah masyarakat baru, yaitu masyarakat bangsa dari seluruh komunitas nusantara yang hidup di dalam bekas wilayah jajahan Hindia Belanda yang heterogenik. Berdasarkan keinginan alamiah inilah pula, maka ada elite yang ingin daerahnya merdeka sebagai negara atau merdeka di dalam status negara federal setelah proklamasi 17 Agustus 1945. 

Di antara konflik yang paling meresahkan ialah konflik yang bersumber dari isu SARA dan isu yang ditimbulkan oleh kecenderungan kuat sebagian warga dan kelompok komunitas nusantara yang menolak persatuan Indonesia (NKRI) atau tak menginginkan terbangunnya masyarakat baru yang bernama bangsa Indonesia. Konflik di dalam membangun sebuah masyarakat bangsa yang utuh, aman, dan damai ditimbulkan oleh transformasi politik yang diwujudkan melalui pembangunan bangsa secara tak adil atau yang menyimpang dari tujuan nasional sebagai manifestasi dari kepentingan bersama. 

Secara fenomenal dapat disimak bahwa sebagian kerusuhan dan pemberontakan di sejumlah daerah bermuatan bibit konflik yang berisu SARA atau berisu separatisme. Sebagian pemberontakan yang bernuansa separatisme disebabkan oleh kesenjangan dari proses pembangunan dan hasilnya antara pusat dan daerah. Keadilan yang tidak dapat atau kurang dinikmati, baik di dalam partisipasi pembangunan, maupun di dalam penikmatan hasil pembangunan antara pusat dan daerah, telah melahirkan kesenjangan yang mengundang konflik dan ketegangan yang berkembang menjadi pemberontakan. 

Pemadaman pemberontakan terhadap gerakan separatis di sejumlah daerah, seperti RMS, PRRI/Permesta, Daud Beureu di Aceh, Kartosuwiryo di Jabar, Kahar Muzakkar di Sulsel, dan gerakan OPM, secara militer atau secara represif tidak menyelesaikan akar persoalan. Selama keadilan yang menjadi substansi utama yang dapat merekat segenap masyarakat plural di atas bumi nusantara gagal diwujudkan, selama itu potensi konflik akan tetap mengancam, termasuk ancaman politik yang bernuansa separatisme. 

Berbagai kerusuhan yang bernuansa SARA selama ini dan api pemberontakan di tahun 50-an dan sesudahnya beraroma separatisme sudah berhasil dipadamkan. Namun, bara apinya mungkin saja masih tersisa. Lanjutan tindakan pemulihan kehidupan masyarakat melalui pembangunan yang berkeadilan dan berkeseimbangan adalah jawaban jitu untuk benar-benar memadamkan seluruh sumber api kerusuhan dan pemberontakan dalam berbagai bentuknya. Terwujudnya keadilan akan menyempitkan kesenjangan sebagai lahan subur bagi tumbuh dan berkembangnya potensi konflik, baik yang bernuansa SARA, maupun yang bermuatan isu separatisme.

Isu-isu SARA yang saat ini sedang menjadi perbincangan di kalangan publik tentang maraknya paham-paham sesat yang sangat meresahkan bahkan sampai kasus penistaan agama yang dilakukan oleh salah satu ormas agama tertentu tehadap agama lain sangat mengganggu ketentraman kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Bila kita bertolak dari dasar Negara kita yaitu Pancasila sebagai Pandangan hidup bangsa Indonesia khususnya sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa telah dijelaskan secara gamblang bahwa setiap warganegara Indonesia diwajibkan memeluk agama yang telah ada untuk diyakini. Dalam pengertian inilah maka Negara menegaskan dalam Pokok Pikiran ke – IV UUD 1945 bahwa “Negara berdasar atas Ketuhanan yang Maha Esa atas dasar Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”. Pada proses reformasi dewasa ini di beberapa wilayah Negara Indonesia terjadi konflik sosial yang bersumber pada masalah SARA khususnya masalah agama. Hal ini menunjukkan kemunduran bangsa Indonesia kearah kehidupan beragama yang tidak berkemanusiaan dan betapa melemahnya toleransi kehidupan beragama yang berdasarkan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Bila kita mengerti dan memahami apa yang telah dijabarkan dalam butir-butir Pancasila tentunya kasus-kasus konflik social yang menjurus pada SARA tentunya dapat kita hindari. Dengan semangat saling menghormati perbedaan keyakinan, toleransi beragama dan tenggang rasa tentu kita bisa mewujudkan suasana kehidupan yang harmonis dan penuh kerukunan menuju Indonesia yang Merdeka seutuh-utuhnya.
Share this article :

Post a Comment

 
Design Template by panjz-online | Support by creating website | Powered by Blogger