SAAT DAN LAHIRNYA PERJANJIAN : Menurut azas konsensualitas, suatu perjanjian dilahirkan pada detik tercapainya sepakat atau persetujuan antara kedua belah pihak mengenai hal-hal yang pokok dari apa yang menjadi obyek perjanjian. Sepakat adalah suatu persesuaian paham dan kehendak antara dua pihak tersebut. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu adalah juga yang dikehendaki oleh pihak yang lainnya, meskipun tidak sejurusan tetapi secara bertimbal balik. Kedua kehendak itu bertemu satu sama lain.
Dengan demikian maka untuk mengetahui apakah telah dilahirkan suatu perjanjian dan bilamanakah perjanjian itu dilahirkan, harus dipastikan apakah telah tercapai sepakat tersebut dan bilamana tercapainya sepakat itu.
Menurut ajaran yang paling tua, harus dipegang teguh tentang adanya suatu persesuain kehendak antara kedua belah pihak. Apabila kedua kehendak itu berselisih, tak dapatlah dilahirkan suatu perjanjian. Dalam suatu masyarakat kecil dan sederhana, dimana kedua belah pihak itu berjumpa atau hadir sendiri dan pembicaraan diadakan secara lisan, ukuran tersebut masih dapat dipakai, tetapi dalam suatu masyarakat yang sudah ramai dan modern, ukuran tersebut tak dapat dipertahankan lagi. Sejak orang memakai surat menyurat dan telegram (kawat) dalam menyelenggarakan urusan-urusannya, maka ukuran dan syarat bahwa untuk tercapainya suatu perjanjian diharuskan adanya persesuaian kehendak, terpaksa ditinggalkan. Sebab, sudah sering terjadi, bahwa apa yang ditulis dalam surat, atau yang diberitahukan lewat telegram, karena sesuatu kesalahan, berlainan atau berbeda dari apa yang dikehendaki oleh orang yang menggunakan surat menyurat atau telegram tadi. Berhubungan dengan kesulitan-kesulitan yang timbul itu, orang mulai mengalihkan perhatiannya pada apa yang dinyatakan. Yang terpenting bukan lagi kehendak, tetapi apa yang dinyatakan oleh seorang, sebab pernyataan inilah yang dapat dipakai sebagai pegangan untuk orang lain. Jadi, apabila ada suatu perselisihan antara apa yang dinyatakan oleh suatu pihak, maka pernyataan itulah yang menentukan. Sepakat yang diperlukan untuk melahirkan suatu perjanjian dianggap telah tercapai apabila pernyataan yang dikeluarkan oleh suatu pihak diterima oleh pihak lain. Dalam menerima atau menangkap suatu pernyataan diperlukan suatu pengetahuan tentang istilah-istilah yang lazim dipakai dalam sesuatu kalangan, di suatu tempat dan pada suatu waktu tertentu. Suatu contoh: kalau sekarang (dalam tahun 1963) seorang menawarkan mobilnya dengan menyebut harga "satu setengah'" maka setiap orang harus mengerti bahwa yang dimaksudkan itu adalah satu setengah juta dan bukannya satu setengah ribu. Suatu pernyataan yang dikeluarkan (diucapkan) secara bersenda gurau tidak boleh dipegang untuk dijadikan dasar bagi suatu perjanjian. Lagi pula, apabila suatu pernyataan nyata-nyata atau mungkin sekali keliru, juga tidak boleh kita memegangnya bagi pembentukan suatu sepakat yang kita jadikan sebagai dasar bagi suatau perjanjian yang mengikat. Misalnya, si pemilik mobil tersebut di atas memasang suatu iklan dan disitu secara keliru ditulisakn satu setengah ribu (yang dimaksudkan satu setengah juta). Setiap orang yang berpikiran sehat harus mengerti bahwa dalam iklan tersebut tentu ada suatu kekeliruan atau orang yang memasang iklan tersebut adalah orang yang tidak sehat pikirannya. Bagaimanapun, pernyataan yang dipasang dalam iklan tadi menimbulkan kesangsian tentang kebenarannya. Teranglah bahwa kita tidak boleh menerima penawaran tersebut dan berdasarkan jual beli yang telah tercipta menuntut penyerahan mobil tersebut dengan pembayaran harga yang ditulis dalam iklan itu. Tetapi, seandainya ditulis satu seperempat juta, maka iklan tadi tidak akan menimbulkan kesangsian. Mungkin para pembaca iklan menganggap harga itu agak murah, tetapi belum termasuk hal yang aneh.
Sebagai kesimpulan dapat ditetapkan suatu norma, bahwa yang dapat dipakai sebagai pedoman ialah pernyataan yang sepatutnya dapat dianggap melahirkan maksud dari orang yang hendak mengikatkan dirinya.
Terkenal adalah suatu perkara yang pernah dimajukan di muka hakim di Jerman Barat (Koln) pada tahun 1856, di mana duduknya perkara adalah sebagai berikut : sebuah Firma Oppenheim & Co telah mengirim kawat kepada seorang komisioner dalam urusan-urusan surat-surat Sero bernama Weiler, untuk membeli sejumlah sural sero. Dalam pengiriman kawat terselip suatu kekeliruan, sehingga Weiler menerima sural kawat yang berbunyi menyuruh menjual sejumlah sural sero tersebut. Weiler memenuhi perintah tersebut. Ketika ia menuntut pemenuhan dari Oppenheim tentang apa yang diperintahkan dalam surat kawat tersebut, temyatalah adanya kesalahan tadi. Oppenheim menuntut juga supaya transaksinya dipenuhi. Dalam pada itu kurs dari surat-surat sero tadi sudah demikian meningkatnya hingga penyerahan surat-surat sero itu kepada Oppenheim berarti suatu kerugian yang tidak sedikit bagi pihak Weiler. Pihak Weiler ini berpendirian bahwa dari isinya surat kawat tadi ia tidak dapat mengetahui adanya kesalahan tersebut dan karenanya telah terjadi suatu perintah kepadanya untuk menjual surat-surat sero. Pengadilan (yang menganut ajaran tentang "persesuaian kehendak") memutuskan bahwa tidak ada terjadi suatu perintah untuk menjual karena suatu pihak bermaksud menyuruh membeli sedangkan pihak yang lain mengira menerima suatu perintah untuk menjual. Namun demikian, Pengadilan membebankan suatu ganti-rugi kepada pihak Oppenheim, karena dialah yang telah mempergunakan suatu alat penghubung yang begitu tidak pasti. Akibat-akibat penggunaan alat penghubung yang tidak pasti itu dipikulkan kepada Oppenheim. Menurut ukuran yang telah kita simpulkan di atas, yang boleh dikatakan sekarang ini lazim dipakai, adalah seadilnya jika dianggap bahwa telah dilahirkan suatu perjanjian antara Weiler dan Oppenheim, karena penawaran yang telah diterima oleh Weiler dalam surat kawat itu tidak menimbulkan dugaan tentang adanya kekeliruan.
Karena suatu perjanjian dilahirkan pada detik tercapainya sepakat, maka perjanjian itu lahir pada detik diterimanya suatu penawaran (offerte). Apabila seorang melakukan suatu penawaran (offerte), dan penawaran itu diterima oleh orang lain secara tertulis, artinya orang lain ini menulis surat bahwa ia menerima penawaran itu, pada detik manakah lahirnya perjanjian itu. Apakah pada detik dikirimnya surat ataukah pada detik diterimanya surat itu oleh pihak yang melakukan penawaran ?
Menurut ajaran yang lazim dianut sekarang, perjanjian harus dianggap dilahirkan pada saat dimana pihak yang melakukan penawaran (offerte) menerima jawaban yang termaktub dalam surat tersebut, sebab detik itulah dapat dianggap sebagai detik lahirnya sepakat. Bahwasanya mungkin ia tidak membaca surat-surat yang diterimanya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Karena perjanjian sudah dilahirkan maka tak dapat lagi ia ditarik kembali jika tidak seizin pihak lawan. Saat atau detik lahirnya suatu perjanjian adalah penting untuk diketahui dan ditetapkan, berhubung ada kalanya terjadi suatu perobahan Undang-undang atau peraturan, yang mempengaruhi nasibnya perjanjian tersebut, misalnya pelaksanaannya. Ataupun perlu untuk menetapkan beralihnya "resiko" dalam jual-beli.
Juga tempat tinggal (domisili) pihak yang mengadakan penawaran (offerte) itu berlaku sebagai tempat lahirnya atau ditutupnya perjanjian. Tempat inipun penting untuk menetapkan hukum manakah yang akan berlaku, yaitu apabila kedua belah pihak berada di tempat yang berlainan di dalam negeri untuk menetapkan bertempat tinggal di negara yang berlainan ataupun, apabila mereka adat kebiasaan dari tempat atau daerah manakah yang akan berlaku.
Post a Comment