Saat ini, good governance merupakan isu yang mengemuka dalam pengelolaan administrasi publik. Good Governance adalah koordinasi bahkan sinergi kepengelolaan yang baik antara governance di sektor publik (pemerintahan) dengan governance di sektor masyarakat, terutama swasta, sehingga dapat dihasilkan transaksional output melalui mekanisme pasar yang paling ekonomis dari kegiatan masyarakat. Oleh karena itu, dalam good governance tidak saja dituntut suatu birokrasi publik yang efisien dan efektif, melainkan juga private sector governance yang efisien dan kompetitif.
Carl J. Bellone (1980: 285) menyebutkan bahwa birokrasi adalah: an organizational structure characterized by hierarchical arrangement of office, merit-based selection, impartial application of written rules and regulations, and some centralization of authority. Birokrasi merupakan karakteristik struktur organisasi (pemerintahan) yang memiliki urutan hierarki. Berdasarkan hierarki tersebut di dalamnya terdapat posisi-posisi atau jabatan yang mempunyai kewajiban dan tugas pekerjaannya masing-masing dalam mencapai tujuan. Dalam menjalankan tugas pekerjaannya selalu berpatokan pada nilai-nilai hukum dan peraturan yang berlaku. Dalam birokrasi juga mengatur tentang pembagian kekuasaan (otoritas) dalam menjalankan roda pemerintahan.
Pada sisi lain, birokrasi pemerintah sering diartikan sebagai “officialdom” atau kerajaan pejabat (Thoha, 2003: 68); sebuah kerajaan (raja) di dalamnya memiliki yuridiksi yang jelas dan pasti. Dalam yuridiksi tersebut, seseorang mempunyai tugas dan tanggung jawab resmi (official duties) yang memperjelas batas-batas kewenangan pekerjaannya. Mereka bekerja dalam tatanan pola hierarki sebagai perwujudan dari tingkatan otoritas dan kekuasaannya.
Dalam aplikasinya penerapan birokrasi tidak berjalan mulus sebagaimana teorinya. Di dalamnya terdapat banyak rintangan-rintangan, sehingga birokrasi hanya sebagai kedok untuk menutupi kepentingan-kepentingan aparatur yang berperilaku menyimpang. Indonesia misalnya, semakin sulit untuk mewujudkan good governance, yang terjadi selama ini governance sektor publik yang intervensinya justru mengeroposkan governance di sektor swasta. Sejak pertengahan tahun 80-an, dengan apa yang disebut “crony capitalism” (Miftah Thoha, 1999: 67) atau transaksi ekonomi KKKN (Kolusi, Korupsi, Kronisme, dan Nepotisme).
Administrasi negara di Indonesia pada saat ini lebih tepat dikatakan sebagai alat untuk menegakkan kekuasaan negara bukan kekuasaan rakyat. Itulah sebabnya realitas administrasi negara saat ini lebih banyak sebagai gambaran atau lukisan dari pada realitanya. Sehingga diperlukan pemikiran-pemikiran baru yang dapat meluruskan kembali ke arah pelaksanaan administrasi negara yang ideal menuju good governance.
Birokrasi pemerintah yang dipandang perlu untuk dibangun kembali guna menuju pemerintahan yang adil, bersih, berwibawa, dan demokratis (good governance). Sehingga permasalahan-permasalahan yang perlu dikaji kembali sebagai jalan pemecahannya antara lain:
1. Evaluasi diri terhadap kondisi birokrasi pemerintah Indonesia saat ini.
2. Adanya perubahan paradigma birokrasi pemerintah ke arah yang lebih ideal.
3. Repositioning birokrasi pemerintah.
4. Memiliki aparatur pemerintah yang memiliki komitmen terhadap nilai-nilai, sehingga terjadinya demokratisasi birokrasi.
5. Peranan pemerintah dan masyarakat dalam membangun birokrasi.
Diharapkan dengan adanya perubahan paradigma pemerintah ke arah birokrasi yang ideal, didukung aparatur pemerintah yang menjunjung tinggi nilai-nilai dan berperilaku positif, adanya komunikasi yang baik antara pemerintah dengan masyarakat, dan ikut berperan di dalamnya, maka good governance dapat diwujudkan.
1. Kondisi Birokrasi Pemerintah Saat Ini
Kehidupan dan tumbuh kembangnya birokrasi pemerintah di Indonesia sangat ditentukan oleh percaturan politik terlebih lagi ketika sehabis dilaksanakan pemilihan umum. Oleh karena itu birokrasi pemerintah sangat ditentukan oleh kehidupan politik dan pemilunya. Sejalan dengan pendapat Carl J. Bellone (1946: 34-35) bahwa ilmu pengetahuan politis adalah induk dari administrasi pemerintahan. Bahkan di kalangan akademisi beranggapan bahwa administrasi pemerintahan lebih dari sekedar ilmu pengetahuan politis. Kehidupan modern telah mendorong birokrasi menjadi alat yang unggul dalam mengatur proses pemerintahan. Kekuasaan birokratis telah menjadikan lembaga pemerintahan memiliki kapasitas yang luar biasa dan menjadi sentral untuk mengarahkan energi politis. Sebagai akibatnya, pemerintahan birokratis lebih dari partai politik.
Partai politik didirikan tidak memiliki keinginan lain, kecuali untuk bisa memerintah negara. Upaya untuk memerintah itu menurut paham demokrasi dibatasi oleh waktu tertentu dan harus dilakukan melalui cara pemilihan umum yang dijalankan secara demokratis, jujur, adil, bebas, rahasia, dan konstitusional. Pemerintah partai politik ini akan membawahi dan memerintah birokrasi pemerintah yang eksistensinya tidak memalui pemilihan umum, melainkan melalui jalur karier yang dibinanya dengan cara-cara merit. Agar supaya profesionalisme birokrasi tidak terganggu dengan silih bergantinya partai politik, para birokratnya tidak dibenarkan untuk memihak.
Selain itu administrasi negara digambarkan pula sebagai upaya yang lebih concern terhadap “pelaksanaan suatu konstitusi ketimbang membuatnya” (Miftah Thoha, 1999: 46). Ungkapan ini menjelaskan bahwa administrasi negara lebih populer disebut mengutamakan melaksanakan kebijakan ketimbang membuatnya. Proses pembuatan kebijakan publik domain dari wilayah politik. Di wilayah ini partai politik berkiprah menentukan visi politik ke arah mana pemerintahan negara ini dikendalikan. Sedangkan visi politik itu bagaimana mewujudkan diserahkan kepada ahlinya yakni kepada birokrasi pemerintah. Upaya birokrasi melaksanakan kebijakan publik tersebut merupakan wilayah dan domain administrasi negara.
Birokrasi pemerintah saat ini mencerminkan birokrasi besar yang menekankan pada kewenangan yang tidak didukung dengan aparatur yang profesional dengan kompetensi yang sesuai dengan bidang fungsi yang dilaksanakan. Disamping itu Asep Kartiwa (2004: 7) menyatakan bahwa birokrasi pemerintahan kita belum didukung dengan sistem kepegawaian yang didasarkan pada sistem merit, dalam kondisi swasta belum dapat menciptakan lapangan kerja. Pada masa krisis ini birokrasi pemerintah menanggung beban yang cukup banyak. Sehingga aparatur yang profesional dan memahami paradigma sesuai dengan konsep birokrasi ideal menjadi kebutuhan yang mendesak.
2. Perubahan Paradigma Birokrasi Pemerintah
Pembaharuan dan penyempurnaan birokrasi telah menjadi perhatian serius di negara-negara berkembang, termasuk negara Indonesia. Bahkan di negara-negara maju sekalipun, masih merasakan kekurangpuasan peran birokrasi pemerintah, sehingga terus berupaya untuk mencari identitas baru bagi birokrasinya.
Para pakar administrasi selalu mengamati adanya alur pikir baru yang ditunjang dengan seperangkat teori yang melahirkan paradigma baru dalam dunia ilmu administrasi negara. Paradigma baru yang memandang birokrasi sebagai organisasi pemerintahan tidak lagi semata-mata hanya melakukan tugas-tugas pemerintahan akan barang-barang publik (public goods), tetapi juga melakukan dorongan dan motivator bagi tumbuh kembangnya peran serta masyarakat.
Pertumbuhan ciri birokrasi tradisional ke arah birokrasi modern menjadi suatu kenyataan yang bersifat implikatif. Seiring dengan berbagai kemajuan dan munculnya kebutuhan aparatur birokrasi yang profesional, mengakibatkan kebutuhan akan pelayanan juga semakin kompleks, serta menuntut kualitas pelayanan yang semakin baik. Birokrasi yang berada di tengah-tengah masyarakat tersebut tidak dapat tinggal diam, tetapi harus lebih mampu memberikan berbagai pelayanan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Carl J. Bellone (1980: 35) menyebutkan bahwa sejak Thomas Kuhn menerbitkan Struktur Ilmiah, sarjana-sarjana ilmu sosial bergerak cepat untuk menemukan paradigma baru dalam bidang administrasi pemerintahan modern. Ada lima model teori administrasi pemerintahan yang diambil untuk menuju perubahan yang lebih baik berdasarkan pengalaman empiris, yaitu: 1) Model birokratis klasik, yang mempunyai dua komponen basis dasar. Yang pertama adalah struktur atau perancangan suatu organisasi, dan yang kedua adalah pembagian tugas dan pekerjaan yang didesain secara organisatoris; 2) Model neo-birokratis, adalah suatu produk dari era prilaku. Nilai-nilai untuk dicapai biasanya serupa dengan model birokratis klasik, karenanya dalam model neo-birokratis adanya “tujuan”. Model birokratis ini menekankan struktur, kendali, dan prinsip-prinsip administrasi. Unit analisis pada umumnya kelompok kerja, agen, departemen, atau keseluruhan pemerintah. Nilai-nilai untuk dicapai adalah efektivitas, efisiensi, atau ekonomi. Dalam model neo-birokratis, keputusan adalah unit analisa yang umum, dan proses pengambilan keputusan menjadi fokusnya; 3) Model kelembagaan, dalam model kelembagaan ini lebih ditekankan pada bagaimana cara mendisain efisien, efektif, atau organisasi produktif. Dalam model birokrasi kelembagaan tidak hanya mengutamakan rasionalitas, tetapi juga menggantungkan pada nilai-nilai. Keputusan yang diambil birokrasi merupakan tawaran dan kompromi kelompok yang berminat dan menggerakkan pemerintahan secara berangsur-angsur ke arah sasaran hasil. Model ini sungguh-sungguh menjalankan pemerintahan secara demokratis; 4) Model Hubungan antar manusia, model ini merupakan reaksi terhadap model birokratis klasik dan neo-birokratis. Penekanannya pada kendali, struktur, efisiensi, ekonomi, rasionalitas, dan pergerakan hubungan antar manusia. Dalam pergerakan hubungan antar manusia mencerminkan nilai-nilai yang mendasarinya. Nilai-nilai ini meliputi pekerja dan keikutsertaan klien dalam pengambilan keputusan yang dapat mengurangi perbedaan status dan kompetisi hubungan antar pribadi, serta menekankan pada proses keterbukaan, kejujuran, perwujudan diri, dan kepuasan masyarakat, dan 5) Model administrasi pemerintahan baru, dalam model ini birokrat harus mulai bersikap bahwa nilai-nilai yang berbeda perlu mendominasi. Dengan perbedaan tersebut akan membantu perkembangan organisasi demokratis didesentralisasi yang mendistribusikan jabatan dalam pemerintahan yang sesuai. Sasaran hasil dari administrasi pemerintahan baru adalah untuk mengorganisasi, menguraikan, atau membuat organisasi mata-mata yang berfungsi memberi penilaian.
Pendapat di atas sejalan dengan pendapat Weber sebagai tokoh yang memperkenalkan birokrasi. Weber memandang birokrasi rasional atau ideal sebagai unsur pokok dalam rasionalisasi dunia modern, yang baginya jauh lebih penting dari seluruh proses sosial. Diantara yang lain-lain, proses ini mencakup ketepatan dan kejelasan yang dikembangkan dalam prinsip memimpin organisasi sosial. Menurut Weber dalam (Miftah Thoha, 2002: 16-17) menyatakan birokrasi ideal yang rasional itu singkatnya dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut: Pertama, individu pejabat secara personal bebas, akan tetapi dibatasi oleh jabatannya manakala ia menjalankan tugas-tugas atau kepentingan individual dalam jabatannya untuk keperluan dan kepentingan pribadinya termasuk keluarganya; Kedua, jabatan-jabatan itu disusun dalam tingkatan hierarki dari atas ke bawah dan kesamping. Konsekuensinya ada pejabat atasan dan bawahan dan ada pula yang menyandang kekuasaan lebih besar dan ada yang lebih kecil; Ketiga, tugas dan fungsi masing-masing jabatan dalam hierarki itu secara spesifik berbeda satu sama lainnya; Keempat, setiap pejabat mempunyai kontrak jabatan yang harus dijalankan. Uraian tugas (job description) masing-masing pejabat merupakan domain yang menjadi wewenang dan tanggung jawab yang harus dijalankan sesuai dengan kontrak; Kelima, setiap pejabat diseleksi atas dasar kualifikasi profesionalitasnya, yang idealnya dilakukan melalui ujian kompetitif; Keenam, setiap pejabat mempunyai gaji termasuk hak untuk menerima pensioun sesuai dengan tingkatan hierarki jabatan yang disandangnya. Setiap pejabat bisa memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya dan jabatannya sesuai dengan keinginannya dan kontraknya dapat diakhiri dalam keadaan tertentu; Ketujuh, terdapat struktur pengembangan karier yang jelas dengan promosi berdasarkan senioritas dan merit sesuao dengan pertimbangan yang objektif; Kedelapan, setiap pejabat sama sekali tidak dibenarkan menjalankan jabatannya dan resources intansinya untuk kepentingan pribadi dan keluarganya; Kesembilan, setiap pejabat berada di bawah pengendalian dan pengawasan suatu sistem yang dijalankan secara disiplin.
Sejalan dengan konsep birokrasi ideal di atas, penyelenggaraan birokasi pemerintah Indonesia harus terjadi perubahan paradigma menuju good governance, antara lain:
a. Perubahan paradigma dari orientasi manajemen pemerintahan yang sarwa negara menjadi berorientasi ke pasar (market). Selama ini manajemen pemerintahan mengikuti paradigma yang lebih mengutamakan kepentingan negara. Semuanya bisa ditentukan oleh negara. Kepentingan negara menjadi pertimbangan pertama dan utama dalam mengatasi segala macam persoalan yang timbul. Orientasi manajemen pemerintahan diarahkan kepada pasar. Aspirasi masyarakat menjadi lebih penting artinya untuk menjadi bahan pertimbangan pemerintah.
b. Perubahan paradigma dan orientasi manajemen pemerintahan yang otoritarian menjadi berorientasi kepada egalitarian dan demokrasi. Kecenderungan orientasi yang mementingkan aspirasi negara bisa melahirkan sistem yang bersifat otoritarian. Pendekatan kekuasaan yang terkonsentrasi pada satu orang cenderung mengabaikan kepentingan rakyat banyak. Paradigma semacam ini telah banyak ditinggalkan dan diganti dengan paradigma yang mengutamakan peranan dan kedaulatan rakyat. Kedaulatan rakyat menjadi pertimbangan pertama dan utama jika menginginkan tatanan pemerintahan yang demokratis.
c. Perubahan paradigma dari sentralisasi kekuasaan menjadi desentralisasi kewenangan. Selama ini kekuasaan pemerintahan lebih condong dilakukan secara sentral, seperti yang diuraikan dimuka. Kegiatan mulai dari perumusan kebijaksanaan dilakukan secara terpusat dan dilakukan oleh aparat pemerintah pusat.
d. Perubahan manajemen pemerintahan yang hanya menekankan pada batas-batas dan aturan yang berlaku untuk satu negara tertentu, mengalami perubahan ke arah boundaryless organization (Ashkenas et al, 1995). Seringkali dikemukakan bahwa sekarang ini merupakan jamannya tata manajemen pemerintahan yang cenderung dipengaruhi oleh tata aturan global. Keadaan seperti ini akan membawa akibat bahwa tata aturan yang hanya menekankan pada aturan nasional saja kurang menguntungkan dalam percaturan global.
e. Perubahan dari paradigma dari tatanan administrasi negara yang berorientasi pada paperwork menjadi tatanan administrasi negara yang paperless (Osborn, 1992). Tata birokrasi pemerintahan seperti ini membutuhkan kompetensi sumber daya aparatur yang memahami dan mengetrapkan information technology (Lucas, 1996). Kompetensi inilah yang seharusnya banyak diwujudkan dalam pendidikan dan pelatihan profesional bagi pegawai-pegawai pemerintah.
f. Perubahan paradigma dari a low trust society ke arah high trust society (Fukuyama, 1995). Di dalam masyarakat yang rendah tingkat kepercayaannya tidak bakal terjadi suasana demokrasi. Birokrasi pemerintah yang hidup dalam masyarakat seperti ini, akan melahirkan cara-cara kerja yang tidak demokratis, membatasi ruang gerak, menjauhkan birokrasi dari interaksi dengan masyarakat, dan membelenggu organisasi dengan serangkaian aturan-aturan birokrasi. Sebaliknya paradigma baru yang menekankan terhadap kepercayaan sehingga melahirkan suatu masyarakat yang tinggi tingkat kepercayaannya akan mampu membuat birokrasi lebih demokratis. Birokrasi seperti ini akan menciptakan suasana kerja yang lebih fleksibel dan berbasiskan pada orientasi kelompok kerja dengan lebih memberikan tanggung jawab yang besar pada tataran organisasi yang paling bawah. Birokrasi pemerintah seperti ini akan memperlakukan para pegawainya sebagai orang dewasa yang bisa dipercaya untuk memberikan konstribusi pelayanan kepada masyarakat.
Daftar Bacaan
Carl J. Bellone (1980: 285) menyebutkan bahwa birokrasi adalah: an organizational structure characterized by hierarchical arrangement of office, merit-based selection, impartial application of written rules and regulations, and some centralization of authority. Birokrasi merupakan karakteristik struktur organisasi (pemerintahan) yang memiliki urutan hierarki. Berdasarkan hierarki tersebut di dalamnya terdapat posisi-posisi atau jabatan yang mempunyai kewajiban dan tugas pekerjaannya masing-masing dalam mencapai tujuan. Dalam menjalankan tugas pekerjaannya selalu berpatokan pada nilai-nilai hukum dan peraturan yang berlaku. Dalam birokrasi juga mengatur tentang pembagian kekuasaan (otoritas) dalam menjalankan roda pemerintahan.
Pada sisi lain, birokrasi pemerintah sering diartikan sebagai “officialdom” atau kerajaan pejabat (Thoha, 2003: 68); sebuah kerajaan (raja) di dalamnya memiliki yuridiksi yang jelas dan pasti. Dalam yuridiksi tersebut, seseorang mempunyai tugas dan tanggung jawab resmi (official duties) yang memperjelas batas-batas kewenangan pekerjaannya. Mereka bekerja dalam tatanan pola hierarki sebagai perwujudan dari tingkatan otoritas dan kekuasaannya.
Dalam aplikasinya penerapan birokrasi tidak berjalan mulus sebagaimana teorinya. Di dalamnya terdapat banyak rintangan-rintangan, sehingga birokrasi hanya sebagai kedok untuk menutupi kepentingan-kepentingan aparatur yang berperilaku menyimpang. Indonesia misalnya, semakin sulit untuk mewujudkan good governance, yang terjadi selama ini governance sektor publik yang intervensinya justru mengeroposkan governance di sektor swasta. Sejak pertengahan tahun 80-an, dengan apa yang disebut “crony capitalism” (Miftah Thoha, 1999: 67) atau transaksi ekonomi KKKN (Kolusi, Korupsi, Kronisme, dan Nepotisme).
Administrasi negara di Indonesia pada saat ini lebih tepat dikatakan sebagai alat untuk menegakkan kekuasaan negara bukan kekuasaan rakyat. Itulah sebabnya realitas administrasi negara saat ini lebih banyak sebagai gambaran atau lukisan dari pada realitanya. Sehingga diperlukan pemikiran-pemikiran baru yang dapat meluruskan kembali ke arah pelaksanaan administrasi negara yang ideal menuju good governance.
Birokrasi pemerintah yang dipandang perlu untuk dibangun kembali guna menuju pemerintahan yang adil, bersih, berwibawa, dan demokratis (good governance). Sehingga permasalahan-permasalahan yang perlu dikaji kembali sebagai jalan pemecahannya antara lain:
1. Evaluasi diri terhadap kondisi birokrasi pemerintah Indonesia saat ini.
2. Adanya perubahan paradigma birokrasi pemerintah ke arah yang lebih ideal.
3. Repositioning birokrasi pemerintah.
4. Memiliki aparatur pemerintah yang memiliki komitmen terhadap nilai-nilai, sehingga terjadinya demokratisasi birokrasi.
5. Peranan pemerintah dan masyarakat dalam membangun birokrasi.
Diharapkan dengan adanya perubahan paradigma pemerintah ke arah birokrasi yang ideal, didukung aparatur pemerintah yang menjunjung tinggi nilai-nilai dan berperilaku positif, adanya komunikasi yang baik antara pemerintah dengan masyarakat, dan ikut berperan di dalamnya, maka good governance dapat diwujudkan.
1. Kondisi Birokrasi Pemerintah Saat Ini
Kehidupan dan tumbuh kembangnya birokrasi pemerintah di Indonesia sangat ditentukan oleh percaturan politik terlebih lagi ketika sehabis dilaksanakan pemilihan umum. Oleh karena itu birokrasi pemerintah sangat ditentukan oleh kehidupan politik dan pemilunya. Sejalan dengan pendapat Carl J. Bellone (1946: 34-35) bahwa ilmu pengetahuan politis adalah induk dari administrasi pemerintahan. Bahkan di kalangan akademisi beranggapan bahwa administrasi pemerintahan lebih dari sekedar ilmu pengetahuan politis. Kehidupan modern telah mendorong birokrasi menjadi alat yang unggul dalam mengatur proses pemerintahan. Kekuasaan birokratis telah menjadikan lembaga pemerintahan memiliki kapasitas yang luar biasa dan menjadi sentral untuk mengarahkan energi politis. Sebagai akibatnya, pemerintahan birokratis lebih dari partai politik.
Partai politik didirikan tidak memiliki keinginan lain, kecuali untuk bisa memerintah negara. Upaya untuk memerintah itu menurut paham demokrasi dibatasi oleh waktu tertentu dan harus dilakukan melalui cara pemilihan umum yang dijalankan secara demokratis, jujur, adil, bebas, rahasia, dan konstitusional. Pemerintah partai politik ini akan membawahi dan memerintah birokrasi pemerintah yang eksistensinya tidak memalui pemilihan umum, melainkan melalui jalur karier yang dibinanya dengan cara-cara merit. Agar supaya profesionalisme birokrasi tidak terganggu dengan silih bergantinya partai politik, para birokratnya tidak dibenarkan untuk memihak.
Selain itu administrasi negara digambarkan pula sebagai upaya yang lebih concern terhadap “pelaksanaan suatu konstitusi ketimbang membuatnya” (Miftah Thoha, 1999: 46). Ungkapan ini menjelaskan bahwa administrasi negara lebih populer disebut mengutamakan melaksanakan kebijakan ketimbang membuatnya. Proses pembuatan kebijakan publik domain dari wilayah politik. Di wilayah ini partai politik berkiprah menentukan visi politik ke arah mana pemerintahan negara ini dikendalikan. Sedangkan visi politik itu bagaimana mewujudkan diserahkan kepada ahlinya yakni kepada birokrasi pemerintah. Upaya birokrasi melaksanakan kebijakan publik tersebut merupakan wilayah dan domain administrasi negara.
Birokrasi pemerintah saat ini mencerminkan birokrasi besar yang menekankan pada kewenangan yang tidak didukung dengan aparatur yang profesional dengan kompetensi yang sesuai dengan bidang fungsi yang dilaksanakan. Disamping itu Asep Kartiwa (2004: 7) menyatakan bahwa birokrasi pemerintahan kita belum didukung dengan sistem kepegawaian yang didasarkan pada sistem merit, dalam kondisi swasta belum dapat menciptakan lapangan kerja. Pada masa krisis ini birokrasi pemerintah menanggung beban yang cukup banyak. Sehingga aparatur yang profesional dan memahami paradigma sesuai dengan konsep birokrasi ideal menjadi kebutuhan yang mendesak.
2. Perubahan Paradigma Birokrasi Pemerintah
Pembaharuan dan penyempurnaan birokrasi telah menjadi perhatian serius di negara-negara berkembang, termasuk negara Indonesia. Bahkan di negara-negara maju sekalipun, masih merasakan kekurangpuasan peran birokrasi pemerintah, sehingga terus berupaya untuk mencari identitas baru bagi birokrasinya.
Para pakar administrasi selalu mengamati adanya alur pikir baru yang ditunjang dengan seperangkat teori yang melahirkan paradigma baru dalam dunia ilmu administrasi negara. Paradigma baru yang memandang birokrasi sebagai organisasi pemerintahan tidak lagi semata-mata hanya melakukan tugas-tugas pemerintahan akan barang-barang publik (public goods), tetapi juga melakukan dorongan dan motivator bagi tumbuh kembangnya peran serta masyarakat.
Pertumbuhan ciri birokrasi tradisional ke arah birokrasi modern menjadi suatu kenyataan yang bersifat implikatif. Seiring dengan berbagai kemajuan dan munculnya kebutuhan aparatur birokrasi yang profesional, mengakibatkan kebutuhan akan pelayanan juga semakin kompleks, serta menuntut kualitas pelayanan yang semakin baik. Birokrasi yang berada di tengah-tengah masyarakat tersebut tidak dapat tinggal diam, tetapi harus lebih mampu memberikan berbagai pelayanan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Carl J. Bellone (1980: 35) menyebutkan bahwa sejak Thomas Kuhn menerbitkan Struktur Ilmiah, sarjana-sarjana ilmu sosial bergerak cepat untuk menemukan paradigma baru dalam bidang administrasi pemerintahan modern. Ada lima model teori administrasi pemerintahan yang diambil untuk menuju perubahan yang lebih baik berdasarkan pengalaman empiris, yaitu: 1) Model birokratis klasik, yang mempunyai dua komponen basis dasar. Yang pertama adalah struktur atau perancangan suatu organisasi, dan yang kedua adalah pembagian tugas dan pekerjaan yang didesain secara organisatoris; 2) Model neo-birokratis, adalah suatu produk dari era prilaku. Nilai-nilai untuk dicapai biasanya serupa dengan model birokratis klasik, karenanya dalam model neo-birokratis adanya “tujuan”. Model birokratis ini menekankan struktur, kendali, dan prinsip-prinsip administrasi. Unit analisis pada umumnya kelompok kerja, agen, departemen, atau keseluruhan pemerintah. Nilai-nilai untuk dicapai adalah efektivitas, efisiensi, atau ekonomi. Dalam model neo-birokratis, keputusan adalah unit analisa yang umum, dan proses pengambilan keputusan menjadi fokusnya; 3) Model kelembagaan, dalam model kelembagaan ini lebih ditekankan pada bagaimana cara mendisain efisien, efektif, atau organisasi produktif. Dalam model birokrasi kelembagaan tidak hanya mengutamakan rasionalitas, tetapi juga menggantungkan pada nilai-nilai. Keputusan yang diambil birokrasi merupakan tawaran dan kompromi kelompok yang berminat dan menggerakkan pemerintahan secara berangsur-angsur ke arah sasaran hasil. Model ini sungguh-sungguh menjalankan pemerintahan secara demokratis; 4) Model Hubungan antar manusia, model ini merupakan reaksi terhadap model birokratis klasik dan neo-birokratis. Penekanannya pada kendali, struktur, efisiensi, ekonomi, rasionalitas, dan pergerakan hubungan antar manusia. Dalam pergerakan hubungan antar manusia mencerminkan nilai-nilai yang mendasarinya. Nilai-nilai ini meliputi pekerja dan keikutsertaan klien dalam pengambilan keputusan yang dapat mengurangi perbedaan status dan kompetisi hubungan antar pribadi, serta menekankan pada proses keterbukaan, kejujuran, perwujudan diri, dan kepuasan masyarakat, dan 5) Model administrasi pemerintahan baru, dalam model ini birokrat harus mulai bersikap bahwa nilai-nilai yang berbeda perlu mendominasi. Dengan perbedaan tersebut akan membantu perkembangan organisasi demokratis didesentralisasi yang mendistribusikan jabatan dalam pemerintahan yang sesuai. Sasaran hasil dari administrasi pemerintahan baru adalah untuk mengorganisasi, menguraikan, atau membuat organisasi mata-mata yang berfungsi memberi penilaian.
Pendapat di atas sejalan dengan pendapat Weber sebagai tokoh yang memperkenalkan birokrasi. Weber memandang birokrasi rasional atau ideal sebagai unsur pokok dalam rasionalisasi dunia modern, yang baginya jauh lebih penting dari seluruh proses sosial. Diantara yang lain-lain, proses ini mencakup ketepatan dan kejelasan yang dikembangkan dalam prinsip memimpin organisasi sosial. Menurut Weber dalam (Miftah Thoha, 2002: 16-17) menyatakan birokrasi ideal yang rasional itu singkatnya dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut: Pertama, individu pejabat secara personal bebas, akan tetapi dibatasi oleh jabatannya manakala ia menjalankan tugas-tugas atau kepentingan individual dalam jabatannya untuk keperluan dan kepentingan pribadinya termasuk keluarganya; Kedua, jabatan-jabatan itu disusun dalam tingkatan hierarki dari atas ke bawah dan kesamping. Konsekuensinya ada pejabat atasan dan bawahan dan ada pula yang menyandang kekuasaan lebih besar dan ada yang lebih kecil; Ketiga, tugas dan fungsi masing-masing jabatan dalam hierarki itu secara spesifik berbeda satu sama lainnya; Keempat, setiap pejabat mempunyai kontrak jabatan yang harus dijalankan. Uraian tugas (job description) masing-masing pejabat merupakan domain yang menjadi wewenang dan tanggung jawab yang harus dijalankan sesuai dengan kontrak; Kelima, setiap pejabat diseleksi atas dasar kualifikasi profesionalitasnya, yang idealnya dilakukan melalui ujian kompetitif; Keenam, setiap pejabat mempunyai gaji termasuk hak untuk menerima pensioun sesuai dengan tingkatan hierarki jabatan yang disandangnya. Setiap pejabat bisa memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya dan jabatannya sesuai dengan keinginannya dan kontraknya dapat diakhiri dalam keadaan tertentu; Ketujuh, terdapat struktur pengembangan karier yang jelas dengan promosi berdasarkan senioritas dan merit sesuao dengan pertimbangan yang objektif; Kedelapan, setiap pejabat sama sekali tidak dibenarkan menjalankan jabatannya dan resources intansinya untuk kepentingan pribadi dan keluarganya; Kesembilan, setiap pejabat berada di bawah pengendalian dan pengawasan suatu sistem yang dijalankan secara disiplin.
Sejalan dengan konsep birokrasi ideal di atas, penyelenggaraan birokasi pemerintah Indonesia harus terjadi perubahan paradigma menuju good governance, antara lain:
a. Perubahan paradigma dari orientasi manajemen pemerintahan yang sarwa negara menjadi berorientasi ke pasar (market). Selama ini manajemen pemerintahan mengikuti paradigma yang lebih mengutamakan kepentingan negara. Semuanya bisa ditentukan oleh negara. Kepentingan negara menjadi pertimbangan pertama dan utama dalam mengatasi segala macam persoalan yang timbul. Orientasi manajemen pemerintahan diarahkan kepada pasar. Aspirasi masyarakat menjadi lebih penting artinya untuk menjadi bahan pertimbangan pemerintah.
b. Perubahan paradigma dan orientasi manajemen pemerintahan yang otoritarian menjadi berorientasi kepada egalitarian dan demokrasi. Kecenderungan orientasi yang mementingkan aspirasi negara bisa melahirkan sistem yang bersifat otoritarian. Pendekatan kekuasaan yang terkonsentrasi pada satu orang cenderung mengabaikan kepentingan rakyat banyak. Paradigma semacam ini telah banyak ditinggalkan dan diganti dengan paradigma yang mengutamakan peranan dan kedaulatan rakyat. Kedaulatan rakyat menjadi pertimbangan pertama dan utama jika menginginkan tatanan pemerintahan yang demokratis.
c. Perubahan paradigma dari sentralisasi kekuasaan menjadi desentralisasi kewenangan. Selama ini kekuasaan pemerintahan lebih condong dilakukan secara sentral, seperti yang diuraikan dimuka. Kegiatan mulai dari perumusan kebijaksanaan dilakukan secara terpusat dan dilakukan oleh aparat pemerintah pusat.
d. Perubahan manajemen pemerintahan yang hanya menekankan pada batas-batas dan aturan yang berlaku untuk satu negara tertentu, mengalami perubahan ke arah boundaryless organization (Ashkenas et al, 1995). Seringkali dikemukakan bahwa sekarang ini merupakan jamannya tata manajemen pemerintahan yang cenderung dipengaruhi oleh tata aturan global. Keadaan seperti ini akan membawa akibat bahwa tata aturan yang hanya menekankan pada aturan nasional saja kurang menguntungkan dalam percaturan global.
e. Perubahan dari paradigma dari tatanan administrasi negara yang berorientasi pada paperwork menjadi tatanan administrasi negara yang paperless (Osborn, 1992). Tata birokrasi pemerintahan seperti ini membutuhkan kompetensi sumber daya aparatur yang memahami dan mengetrapkan information technology (Lucas, 1996). Kompetensi inilah yang seharusnya banyak diwujudkan dalam pendidikan dan pelatihan profesional bagi pegawai-pegawai pemerintah.
f. Perubahan paradigma dari a low trust society ke arah high trust society (Fukuyama, 1995). Di dalam masyarakat yang rendah tingkat kepercayaannya tidak bakal terjadi suasana demokrasi. Birokrasi pemerintah yang hidup dalam masyarakat seperti ini, akan melahirkan cara-cara kerja yang tidak demokratis, membatasi ruang gerak, menjauhkan birokrasi dari interaksi dengan masyarakat, dan membelenggu organisasi dengan serangkaian aturan-aturan birokrasi. Sebaliknya paradigma baru yang menekankan terhadap kepercayaan sehingga melahirkan suatu masyarakat yang tinggi tingkat kepercayaannya akan mampu membuat birokrasi lebih demokratis. Birokrasi seperti ini akan menciptakan suasana kerja yang lebih fleksibel dan berbasiskan pada orientasi kelompok kerja dengan lebih memberikan tanggung jawab yang besar pada tataran organisasi yang paling bawah. Birokrasi pemerintah seperti ini akan memperlakukan para pegawainya sebagai orang dewasa yang bisa dipercaya untuk memberikan konstribusi pelayanan kepada masyarakat.
Daftar Bacaan
Bellone,
Carl. K.1980. Organization Theory and The
New Public Administrator. Boston:
Allyn and Bacou.
Bryant, C.
dan White, L.G. 1989. Manajemen
Pembangunan untuk Negara Berkembang. LP3ES. Yogyakarta.
Caiden, G.E.
1991. Administrative Reform Comes of
Ages. Berlin:
Water de Gruyter.
Cooper, P.J.
1998. Public Administration for The
Twenty-first Century. Orlando,
Florida: Harcourt Brace.
Fukuyama,
Francis. 2004. State Building, Governance and World Order in The Twenty
First, Profile Books Limited.
No comments:
Post a Comment