News Update :
Home » » Ciri-Ciri Hukum yang Responsif

Ciri-Ciri Hukum yang Responsif

Penulis : kumpulan karya tulis ilmiah on Friday, October 11, 2013 | 3:42 AM

Ciri-Ciri Hukum yang Responsif 
Dalam paham Nonet dan Selznick, hukum yang responsif itu adalah hukum yang siap mengadopsi paradigma baru dan meninggalkan paradigma lama. Artinya, hukum tidak lagi dilihat sebagai entitas yang berdiri sendiri melainkan dia harus mampu berinteraksi dengan entitas lain dengan tujuan pokok untuk mengadopsi kepentingan-kepentingan yang ada di dalam masyarakat. Atas dasar tersebut tidaklah heran jika hukum bisa berinteraksi dengan politik, dan Hukum yang demikian akan lebih mampu memahami atau menginterpretasi ketidaktaatan dan ketidakteraturan yang terjadi di masyarakat. Dengan demikian, di dalam hukum yang responsif terbuka lebar ruang dialog dan wacana serta adanya pluralistik gagasan sebagai sebuah realitas. Karena itu hukum yang responsif tidak lagi selalu mendasarkan pertimbangannya pada pertimbangan juridis melainkan mencoba melihat sebuah persoalan dari berbagai perspektif dalam rangka untuk mengejar apa yang disebut ”keadilan substantif”. Oleh karena itu, para hakim di dalam menjalankan tugas keprofesiannya tentang cara pandang untuk menyikapi hukum adalah sebagai berikut : “The law, like the traveller, must be ready for the morrow, it must have a principle”. 
Salah satu tokoh penganut realism hukum ( legal realism ) yang bernama Jerome Frank mengatakan, pencarian hukum responsif telah menjadi kegiatan teori hukum modern yang terus-menerus dilakukan. Lebih lanjut Jerome Frank mengatakan, tujuan utama penganut realisme hukum ( legal realism ) adalah untuk membuat hukum "menjadi lebih responsif terhadap kebutuhan sosial. ”Untuk mencapai tujuan ini, mereka mendorong perluasan ”bidang-bidang yang memiliki keterkaitan secara hukum”,[9] agar pola pikir atau nalar hukum dapat mencakup pengetahuan di dalam konteks sosial dan memiliki pengaruh terhadap tindakan resmi para aparat hukum.

Untuk memudahkan pemahaman ketiga jenis kategori hukum berikut implementasinya dapat dilihat dalam tabel berikut ini :
Tabel 1
Tiga kategori Hukum menurut Nonet dan Selznick[10]

H. Represif
H. Otonom
H. Responsif

Tujuan
Aturan
Legitimasi
Kewenangan

Legitimasi
Perlindungan sosial
Kejujuran Prosedur
Keadilan Substansif

Aturan
mendetail tapi lemah
Elaborasi, mengikat pembuat dan diatur kuat melekat pada kewenangan hukum
Disubkordinasi pada prinsip dan kebijakan

Nalar
Daya ikatnya bagi pembuat aturan Adhoc, Articular
Terikat aturan
Memperluas kemampuan kognitif

Diskresi
Membantu untuk hal-hal yang khusus oportunis
Delegasi menyempit
Meluas namun tetap berpegang pada tujuan

Pemaksaan
Meluas, lemah
Batasannya
Terkontrol oleh hukum
Mencari alternatif, insentif, sistem mempertahankan diri terhadap kewajiban

Moralitas
Moralitas komunal, moralisme hukum
Moralitas konstittis
Moralitas masyarakat, moralitas atas kerjasama

Harapan patuh
Tak bersyarat
Titik tolak aturan
Tak patuh ditentukan dalam  kaitannya dengan pelanggaran substansif


Tabel ini memperlihatkan dengan jelas kecenderungan hukum yang lebih akomodatif kepentingan masyarakat adalah hukum yang responsif. Akan tetapi ada persoalan mendasar yang perlu mendapat perhatian dari pihak penegak hukum, yaitu apakah penegak hukum mempunyai kemampuan yang memadai untuk menjalankan hukum yang responsif seperti itu ? Karena di sana dituntut beberapa kualifikasi yang esensial yaitu pertama, mulai bekerja dengan paradigma baru dimana penegak hukum tidak hanya tunduk pada basis-­basis hukum sebagai landasan berpikirnya, tetapi juga berusaha sejauh mungkin menggunakan pisau analisis non-hukum. Akibatnya, interaksi hukum dengan politik tidak bisa dihindari lagi.
Kedua, kebenaran atau keadilan tak pernah bisa dicapai hanya dengan perspektif tunggal karena hal itu hanya mengingkari kebenaran dan keadilan itu sendiri. Untuk itu diperlukan aparat hukum yang berwawasan luas, yang rasional, kritis.

4. Ciri-Ciri Hukum Progresif
Dalam konsep hukum progresif, hukum tidak untuk kepentingan sendiri, melainkan untuk suatu tujuan yang berada di luar dirinya. Oleh karena itu, hukum progresif meninggalkan tradisi analytical jurisprudence atau rechtsdog-matiek. Tradisi atau aliran ini hanya melihat ke dalam hukum dan menyibukkan diri dengan membicarakan dan melakukan analisis kedalam, khususnya hukum sebagai suatu bangunan peraturan yang dinilai sebagai sistematis dan logis. Dunia di luar seperti manusia, masyarakat, kesejahteraan, ditepiskan­nya.
Dengan tradisi analytical jurisprudence atau rechtdogmatiek, hukum progresif ingin secara sadar menempatkan kehadirannya dalam hubungan erat dengan manusia dan masyarakat. Meminjam istilah Nonet & Selznick, hukum progresif memiliki tipe responsif. Dalam tipe yang demikian itu, hukum akan selalu dikaitkan pada tujuan-tujuan di luar narasi tekstual hukum itu sendiri. Nonet dan Selznick menyebutnya sebagai “tire souvereignity of purpose”. Lebih lanjut mereka mengatakan:
“This a distinctive feature of responsive law is the search of implicit values in rules and policies... a more “flexible” interpretation that sees rules as bound to specific problems and contexts, and undertakes to identify the values at stake in procedural protection." Dengan mengatakan itu mereka sekaligus juga mengritik doktrin "due process of law”.

Apa yang dipikirkan oleh Nonet dan Selznick sebetulnya bisa dikembalikan kepada pertentangan antara analytical jusrisprudence di satu pihak dan sociological jurisprudence di lain pihak. Analytical jurisprudence berkutat di dalam sistem hukum positif dan ini dekat dengan tipe hukum otonom pada Nonet. Baik aliran analitis maupun Nonet melalui tipe hukum responsifnya menolak otonomi hukum yang bersifat final dan tak dapat digugat.

Hukum progresif berbagi faham dengan Legal Realism dan Freirechtslehre karena hukum tidak dilihat dari kacamata hukum itu sendiri, melainkan dilihat dan dinilai dari tujuan sosial yang ingin dicapainya serta akibat-akibat yang timbul dari bekerjanya hukum. Dalam aliran realisme, pemahaman orang mengenai hukum melampaui peraturan atau teks-teks dokumen dan "looking towards last things, consequencies, fruits". Realisme memalingkan mukanya, "from abstraction, verbal solutions, bad apriori reasons, fixed principles, closed systems, and pretended absolutes and origins". Sebaliknya ia menghadapkan mukanya kepada "completeness, adequacy, facts, actions and powers".

Karena kehadiran hukum dikaitkan pada tujuan sosialnya, maka hukum progresif juga dekat dengan sociological jurisprudence dari Roscoe Pound”. Pound menolak studi hukum sebagai studi tentang peraturan-­peraturan, melainkan keluar dari situ dan melihat efek dari hukum dan bekerjanya hukum. Dikatakan oleh Pound :
“... to enable and to compel law making, and also interpretation and application of legal rules, to make more account, and more intelligent account, of the social facts upon which law must proceed and to which it is to be applied...".

Hukum progresif juga bisa dilacak mundur sampai ke aliran yang dikenal sebagai Interessenjurisprudenz di Jerman sekitar dekade awal abad kedua puluh. Aliran ini mengatakan bahwa, hakim tidak bisa dibiarkan untuk hanya konstruksi dalam membuat putusan. Cara demikian ini akan menjauhkan hukum dari kebutuhan hidup yang nyata. Mengutip pendapat Heck, “... The legislator wants protection of interests ... The legislator can realise his so & intention and satisfy the needs of life only if the judge is more that slot-machine functioning according to the law of logical mechanics ... The primacy of logic is thus replaced by the primacy of an examination and valuation of life 
Kedekatan hukum progresif pada teori-teori hukum alam terletak pada kepeduliannya terhadap hal-hal yang oleh Han Keisen disebut sebagai "meta-juridical". Teori hukum alam mengutamakan "the search for justice" daripada lainnya, seperti dilakukan oleh aliran analitis. Hukum progresif mendahulukan kepentingan manusia yang lebih besar daripada menafsirkan hukum dari sudut ”logika dan peraturan”.

Barangkali ada juga yang mempertanyakan tentang hubungan antara hukum progresif dengan Critical Legal Studies ( CLS ) yang muncul tahun 1977 di Amerika Serikat. Memang keduanya mengandung substansi kritik sehingga muncul pertanyaan tersebut bisa dipahami. CLS muncul karena ketidakpuasan terhadap penyelenggaraan hukum di negeri itu. Buku-buku seperti "With Justice for None" dan 'Trials Withouth Truth" bisa mewakili ketidakpuasan tersebut. CLS langsung menusuk jantung pikiran hukum Amerika yang dominan, yaitu suatu sistem hukum liberal yang dikisarkan pada pikiran politik liberal dikatakan oleh seorang penstudi :
“... a group of legal scholars has generated an body of literature that challenges some of the most cherished ideals of modem Western legal and political trough… The major theoretical aim of the movement is to provide a critique of liberal legal and political philosophy, and at the total point of the critique, lies the concept of the rule of law.

Pikiran liberal yang merangkul rule of law itu sebetulnya bertentangan dengan lain prinsip esensial dalam alam pikiran politik liberal. Dikatakan, bahwa "Law can not perform the liberal task of constraining power and protecting people from intolerance and oppression, so even I the rule of law did exist, it could not accomplish its liberal goals." Hukum progresif juga menggandeng kritik terhadap sistem hukum yang liberal itu, karena hukum Indonesia juga turut mewarisi sistem tersebut. Namun tujuan hukum Progresif tidak hanya terpusat pada kritik terhadap sistem yang liberal. Ini terutama terletak pada konsep ”progresif” dan ”progresivisme” dalam hukum progresif, sebagaimana akan diuraikan di bawah.

Apabila hukum itu bertumpu pada ”peraturan dan perilaku”, maka hukum progresif lebih menempatkan faktor perilaku di atas peraturan. Dengan demikian, faktor dan kontribusi manusia dianggap lebih menentukan daripada peraturan yang ada. Faktor manusia ini adalah simbol dari unsur-unsur greget ( compassion, empathy, sincerety, edication, commitment, dare dan determination ). Ini mengingatkan kepada ucapan Taverne, “Berikan pada saya jaksa dan hakim yang baik, maka dengan peraturan yang burukpun saya bisa membuat putusan yang baik”. Mantan Hakim Agung, Bismar Siregar, sering mengatakan bahwa “keadilan ada di atas hukum” dan oleh karena itu ia selalu memutus berdasar hati-nurani terlebih dahulu dan baru kemudian dicarikan peraturannya, oleh karena hakim harus memutus berdasarkan hukum. Mengutamakan faktor manusia daripada hukum, membawa untuk memahami hukum sebagai suatu proses dan proyek. Hal itu berkali-kali dikemukakan dengan mengatakan bahwa hukum itu selalu dalam proses membangun dirinya. Karl Renner merumuskan hal tersebut dengan sangat bagus pada waktu mengatakan, "The development of the law gradually works out what is socially reasonable".

Hukum progresif berbagi pendapat yang sama dengan pikiran-pikiran yang dikemukakan di atas. Ia tidak bergerak pada arah legalistik positivistik, tetapi lebih tidak mutlak digerakkan oleh perundang-undangan, tetapi lebih pada azas sosiologis. Hukum tidak mutlak digerakkan oleh hukum positif atau hukum perundang-undangan, tetapi bergerak pada azas non-formal. Bukti-bukti untuk itu merupakan peluang untuk menjalankan hukum progresif.
Hukum progresif bisa merupakan koreksi terhadap kelemahan sistem hukum modern yang sarat dengan birokrasi dan prosedur, sehingga sangat berpotensi meminggirkan kebenaran dan keadilan. Hukum progresif tidak berpendapat bahwa ketertiban ( order ) hanya bekerja melalui institusi-institusi kenegaraan, melainkan menerima dan mengakui kontribusi institusi-institusi yang bukan negara. Ketertiban juga didukung oleh bekerjanya institusi bukan-negara tersebut.
Share this article :

Post a Comment

 
Design Template by panjz-online | Support by creating website | Powered by Blogger