News Update :
Home » » Degradasi Sumber Mata Air

Degradasi Sumber Mata Air

Penulis : kumpulan karya tulis ilmiah on Wednesday, October 30, 2013 | 12:03 AM

Degradasi Sumber Mata Air : Mata air di berbagai daerah di Indonesia semakin menyusut debitnya, termasuk di kawasan Gunung Ciremai. Ratusan ribu pelanggan air PDAM di Cirebon terancam tidak mendapatkan pasokan air bersih, setelah terjadi kerusakan lingkungan di kawasan Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan. Kerusakan lingkungan di kawasan Gunung Ciremai mengakibatkan kapasitas mata air terus menyusut. Di kawasan ini, dari sekitar 1500 mata air yang ada saat ini tinggal 52 buah mata air. Oleh karena itu, apabila tidak ada keseriusan melakukan konservasi atas kawasan yang menjadi sumber mata air tersebut, kemungkinan 20 tahun lagi warga Cirebon tidak bisa menikmati air bersih. 

Kerusakan lingkungan di kawasan Gunung Ciremai Kuningan dan Majalengka lebih disebabkan karena penggundulan hutan dan aktivitas galian C. Akibatnya, sumber mata air yang memasok air minum untuk warga Kota Cirebon dan sumber mata air untuk pelanggan PDAM terus mengalami penyusutan debit setiap tahunnya. Debit pada sumber mata air di kaki Gunung Ciremai saat ini telah menyusut hingga 20 persen akibat aktivitas galian C di kawasan hutan lindung, sehingga diperlukan perhatian serius untuk konservasi sumber mata air yang dimanfaatkan untuk ratusan ribu warga Cirebon itu. 

Pengguna air termasuk sejumlah perusahaan yang memanfaatkan mata air Gunung Ciremai seperti Indocement, PT Kereta Api dan Pertamina diharapkan dapat ebersinergi untuk bersama-sama melakukan konservasi sumber mata air. 

Hilangnya Sumber Mata Air dan “Desertification” 
Indonesia yang dahulu dikenal sebagai negara yang "gemah ripah loh jinawi, ijo royo-royo" sebentar lagi akan menjadi wilayah yang gersang, kering kerontang, tandus dan tidak produktif apabila tidak ada usaha konkrit dalam perbaikan pengelolaan sumberdaya air menurut ruang (spatial) dan waktu (temporal). Mengapa demikian? Argumentasinya sangat kuat, karena saat ini pemerintah, apalagi masyarakat terlihat tidak berdaya, masa bodoh, bahkan tidak merasa berkepentingan untuk mencegah apalagi memperbaiki pengelolaan sumberdaya air dan sumber mata air yang semakin memburuk ini. Indikatornya sangat jelas yaitu jumlah sumber mata air dan kemampuan pasokan airnya terus merosot tajam, sementara kebutuhan air antar sektor terus meningkat kuantitas, kualitas maupun kontinyuitasnya. Beruntung, di tengah suasana dan sikap apatis sebagian besar masyarakat dan pemerintah terhadap pengelolaan sumberdaya air, pemerintah secara khusus memberikan perhatian tentang fenomena penurunan jumlah sumber mata air dan kondisi lokasinya di daerah aliran sungai utama nasional. Mengapa penurunan jumlah mata air dan kemampuan pasokan air sampai mendapatkan perhatian dan penekanan pemerintah. Ancaman terjadinya gurun pasir (desertification) dan ambruknya perekonomian nasional adalah jawabannya. 

Desertification 
Meskipun pertanyaan itu membuat kalang kabut banyak pihak, namun harus jujur diakui bahwa perhatian pemerintah sangat penting untuk ditindaklanjuti (followup) agar masalah desertification dapat ditekan laju dan dampaknya. Signal klimatologis, hidrologis dan agronomis yang memicu terjadinya gurun (desert) di beberapa wilayah Indonesia sudah dapat dilihat langsung dan dirasakan dampaknya. Signal klimatologis terjadinya gurun pasir dapat dijelaskan melalui konsep neraca energi (energy balance). Berdasarkan konsep tersebut terlihat, bahwa energi yang diterima permukaan bumi pertama kali akan digunakan untuk menguapkan air tanah (soil water) dan lengas tanah (soil moisture) (LE), baru kemudian untuk memanaskan tanah (S) dan sisanya untuk memanaskan udara (A). Kandungan air tanah dan lengas tanah yang sangat rendah (energi untuk LE kecil) akan menyebabkan radiasi matahari (solar radiation) yang jatuh ke permukaan dalam bentuk radiasi netto sebagian besar akan digunakan untuk memanaskan tanah dan udara sehingga suhunya meningkat. Dalam kondisi ekstrem, akan berdampak terhadap pengurasan cadangan air tanah (water storage) dan meningkatkan konsumsi air tanaman melalui transpirasi. Menurunnya kemampuan pasokan air tanah dan meningkatnya laju transpirasi akan menyebabkan defisit air meningkat dan pemanasan permukaan tanah dan atmosfer tidak bisa dihindari. 

Pemanasan atmosfer dalam jangka panjang akan menurunkan kelembaban udara, sehingga dua syarat terjadinya kondensasi yaitu (suhu udara yang rendah dan kelembaban udara yang tinggi) menjadi tidak favorable. Inilah salah satu penjelasan mengapa Bogor yang sebelumnya dikenal sebagai kota hujan, sekarang tinggal kenangan. Diprediksi dalam jangka menengah kota-kota yang berhawa sejuk seperti: Malang, Tawangmangu, Brastagi dan lainnya akan mengalami hal serupa, apabila tidak dilakukan pencegahan secara dini. 

Sementara itu signal hidrologi sudah tidak terbantahkan, jumlah mata air yang terus merosot, demikian juga kemampuan pasokan airnya menunjukkan bahwa ada ketimpangan (gap) antara pemasukan (recharge) dan pengambilan (exploitation). Pengambilan air bumi (ground water) untuk keperluan minum dan industri serta irigasi yang overexploited akan menyebabkan cadangan air bumi merosot, sehingga debit mata air menurun tajam. Kondisi ini diperburuk dengan matinya tanaman utama pelindung mata air akibat penebangan yang tidak terkendali. Signal agronomi juga sangat signifikan terlihat di lapangan, karena berdasarkan pemantauan di lapangan terlihat bahwa ada penurunan jenis tanaman dan populasinya baik tahunan maupun musiman, akibat penurunan pasokan air, suhu udara yang terus meningkat dengan kelembaban udara yang terus menurun. Dalam budidaya pertanian implikasi signal agronomi terlihat dari menurunnya indek pertanaman (cropping intensity), luas areal tanam (area of planting) dan produktivitas (productivity). Itulah salah satu sebab mengapa upaya peningkatan produksi pangan nasional yang sangat sensitive terhadap ketersediaan air terkesan jalan di tempat dan tidak menyelesaikan masalah esensialnya. 

Dalam jangka panjang kondisi ini akan menurunkan kualitas, kuantitas dan kontinyuitas keragaman hayati (biodiversity) kita yang tidak ternilai harganya. 

Fenomena ini juga sekaligus meruntuhkan berlakunya “natural recorvery theory” yang menyatakan alam akan me-recovery dirinya sendiri apabila dalam jangka waktu tertentu tidak terganggu. Sementara itu, faktanya: intensitas, frekuensi dan durasi gangguan terhadap alam jauh melebihi kemampuan pemulihannya (recovery). Dalam jangka panjang meluasnya wilayah gurun menurut ruang dan waktu akan berdampak terhadap pertumbuhan perekonomian dan kinerja pembangunan nasional. Pertanyaan selanjutnya: bagaimana antisipasinya agar dampak yang ditimbulkan dapat diminimalkan? 
Penebangan Liar Ancam Sumber Mata Air Baumata 

”Sumber mata air Baumata, sekitar 12 km selatan Kupang, ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), terus mengalami penyusutan akibat kawasan hutan di bagian hulunya terus mengalami perusakan berupa aksi penebangan liar”. 

Jika musim kemarau tiba, debit air turun drastis sehingga tidak mampu mensuplai kebutuhan air minum bagi masyarakat dan sekitarnya secara total. Semuanya ini terjadi akibat adanya aksi perusakan hutan di daerah hulu yang menjadi daerah resapan air. 

Masyarakat desa di wilayah sumber mata air sudah lama memotong dan menebang kayu usia muda berdiameter antara 5-10 cm untuk dijual kepada para kontraktor sebagai tiang penyangga bangunan. Hampir semua ruas jalan dalam wilayah kecamatan, terlihat batangan pohon muda dengan ukuran panjang antara 4-6 meter, bertengger di sepanjang jalan tersebut. 

Satu batang (pohon ukuran kecil dengan diameter sekitar lima centimer, red), kami jual dengan harga sekitar Rp3.000. Jika ukurannya agak lebih besar (diameter sekitar 10 cm, red), kami jual dengan harga lebih dari Rp 4.000/batang. 

Para penjual kayu gelondongan usia muda itu mengaku bahwa setiap kali melewati pos penjagaan selalu dikenakan pungutan senilai Rp200/batang. Menurut pos jaga, "Setiap kendaraan yang lewat memuat kayu atau batangan kayu tetap dipungut retribusi sebesar Rp200/batang. 

PDAM mengakui bahwa sumber mata air yang memberi kontribusi terbesar bagi PDAM dalam melayani kebutuhan air minum bagi masyarakat Kota dan sekitarnya, terus mengalami ancaman. Jika musim kemarau tiba, debit air turun drastis sehingga tidak mampu melayani kebutuhan masyarakat secara total. 

Diharapkan masyarakat di sekitar sumber mata air untuk menghentikan kebiasaan menebang pohon di sekitar itu, karena akan mengganggu debit air pada musim kemarau. Kelestarian hutan di daerah hulu harus tetap dijaga guna menghindari kemerosotan ekosistem yang menjadi sumber resapan air. 

Penebangan Pohon : 
Sebanyak 119 Sumber Mata Air di Kulon Progo Terancam Hilang 
Sedikitnya 119 sumber mata air di daerah Kabupaten Kulon Progo dinyatakan dalam kondisi kritis dan terancam akan hilang. Hal ini diakibatkan makin berkurangnya jumlah areal hutan dan berubah fungsi lahan yang ada di sekitar sumber mata air tersebut. Hal ini diakui peneliti Badan Pengelola Daerah Aliran Sungai ((BPDAS) Yogyakarta, dalam kegiatan penyuluhan “Penyelamatan dan Pemanfaatan Air Bagi Kepentingan Masyarakat Banjaroya,” di Balai Desa Banjaroya. 

Tingkat kekritisan sumber mata air ini disebabkan semakin hilangnya tanaman keras pepohonan dalam radius 200 meter dari sumber mata air tersebut. Tanaman keras pepohonan berfungsi sebagai vegetasi penutup tanah yang berperan dalam menyimpan air. Kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya tanaman ini menyababkan kurangnya vegetasi pada suatu wilayah sehingga berdampak pada bencana banjir, kelangkaan mata air dan air sungai selama mujsim kemarau. 

Di Kulon Progo, ketergantungan masyarakat sekitar kepada sumber mata air ini cukup tinggi yang biasa digunakan memenuhi kebutuhan rumah tangga dan pertanian. Dari 119 sumber mata air ini, termasuk tiga diantaranya, sumber mata air Semawung, Tonogoro dan Semagung yang berada di lokasi Desa Banjarharjo, Kecamatan Kalibawang, Kabupaten Kulon Progo. 

Berkuranngnya sumber mata air ini dikarenakan menurunnya muka air tanah. Hasil penelitian yang dilakukan oleh para peneliti teknik geodesi dari UGM, menunjukkan bahwa menyusutnya muka air tanah di Yogyakarta berkisar 0,5 meter per tahun. Sedangkan, di Sleman, tingkat penyusustan sekitar 20-30 cm per tahun. 

Teknik yang dapat dilakukan untuk konservasi sumber daya alam dengan cara membuat tanah resapan, sumur resapan, biopori, dan kolam tampungan air hujan. Teknik-teknik ini sangat bagus untuk menampung air hujan dan menyimpannya dalam tanah. Sedikitnya 80 persen air hujan dapat disimpan di dalam tanah. Sebaliknya dengan dibuatnya sistem plaster pada jalan dan halaman, maka hanya 10 persen air yang tertampung, sisanya akan masuk ke sungai dan kembali ke laut. 
Share this article :

Post a Comment

 
Design Template by panjz-online | Support by creating website | Powered by Blogger