Beberapa pertimbangan perlunya perubahan Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 : Dengan melihat hasil evaluasi terhadap Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan pelaksanaannya telah mendorong perlunya penyempurnaan Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999, baik ditinjau dari perspektif Konsep, Instrumen, maupun Inplementasi.
Adapun beberapa pertimbangan yang melatar - belakangi mengapa Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 perlu dirubah atau diganti, terutama menyangkut perundang - undangan normatif, diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Dari perspektif perundang-undangan.
- UUD 1945 telah diamandemen, terutama pasal-pasal yang terkait langsung dengan Sistem Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, yaitu: Pasal - pasal 1, 5, 18, 18A, 18B, 20, 21, 22D, 23E ayat 24 ayat (1), 31 ayat (1), 33 dan 34.
- Beberapa Ketetapan MPR yang berkaitan dengan pemerintahan daerah, yaitu: (1) Ketetapan MPR No. XV?MPR/1988; (2) Ketetapan MPR No. IV/MPR/1999; (3) Ketetapan MPR No. IV/MPR/2000; (4) Ketetapan MPR No. VI/MPR?2002; (5) Ketetapan MPR No. I/MPR/2003; (6) Keputusan MPR No. 5/MPR/2003.
- Perlunya penyerasian dan penyelarasan dengan Undang - undang lainnya, yang erat kaitannya dengan penyelenggaraan sistem pemerintahan daerah, diantaranya: (1) Undang – Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; (2) Undang – Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; (3) Undang – Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD; (4) Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden; (5) Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara; (6) Undang – Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang - undangan; (7) Undang – Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara; (8) Undang – Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.
b. Dari perspektif Konsep.
Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 telah memberi kuasa kepada Pemerintah untuk mengatur tindak lanjut kebijakan desentralisasi, namun tanpa diberikan rambu - rambu yang jelas, sehingga menimbulkan peluang munculnya kebijakan yang tidak mendorong otonomi daerah. Penyusunan pengaturan perundang - undnagan sebagai tindak lanjut penyesuaian dengan Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 belum dapat dilakukan sepenuhnya, sehingga banyak daerah mengambil prakarsa sendiri dalam membuat peraturan daerah dengan wewenang yang diberikan TAP MPR No. IV/2000. Dalam pada itu, belum sinkronnya berbagai peraturan perundang - undangan, baik yang diterbitkan Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah, sehingga sering menimbulkan penafsiran yang berbeda.
c. Dari perspektif Instrumen.
Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 memberi kuasa kepada pemerintah untuk mengatur tindak lanjut kebijakan desentralisasi tanpa diberikan rambu - rambu, sehingga menimbulkan peluang munculnya kebijakan yang tidak mendorong terselenggaranya otonomi daerah secara transparan atau terdapat peraturan organik yang menyimpang dari esensi UU pokoknya;
- Penyusunan peraturan perundang - undangan sebagai tindak lanjut penyesuaian dengan Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 belum dapat dilakukan sepenuhnya, sehingga daerah berprakarsa membuat pengaturan sendiri dengan wewenang yang diberikan Tap MPR IV/2000;
- Belum harmonisnya berbagai peraturan perundang - undangan, baik yang diterbitkan pemerintah maupun daerah, sehingga sering menimbulkan konflik dan penafsiran yang berbeda.
d. Dari perspektif Implementasi.
Dalam pengelolaan kewenangan sering memunculkan friksi, ovelapping, redundent dan conflict of interest antar tingkat pemerintahan, sehingga cendurung mengurangi dan mengganggu pelayanan umum. Karena pemberian otonomi yang luas yang tidak terkendali, pembentukan lembaga pemerintahan daerah sering kurang memperhatikan atau kurang berorientasi kepada peningkatan pelayanan masyarakat, sehingga terjadi pembengkakan struktur yang tidak effisien. Sistem pengelolaan kepegawaian yang didasarkan kepada separated system menimbulkan ekses - ekses ethnosentrisme dan terbatasnya mobilitas pegawai dalam pengembangan karier; penetapan APBD lebih banyak berorientasi kepada menutup untuk keperluan aparat daerah dan DPRD daripada untuk keperluan pelayanan publik.
Dalam pada itu, hubungan kemitra - sejajaran antara DPRD dan Kepala Daerah, secara operasional kurang berjalan dengan baik, karena dalam prakteknya DPRD sering mendominasi Kepala Daerah, misalnya dalam Laporan Pertanggungjawaban Kepala Daerah kepada DPRD sering dipergunakan sebagai ajang politik untuk menjatuhkan Kepala Daerah dan bukan untuk menilai performance Kepala Daerah menurut ukuran Renstra, atau bahkan sering dijadikan ajang “politik uang” dalam penerimaan atau penolakan LPJ tersebut. Kerjasama antara DPRD dan Kepala Daerah yang mestinya diarahkan untuk kepentingan kesejahteraan rakyat, dalam praktek sering dijadikan sebagai praktek “kolusi” atau pertentangan kepentingan yang berlarut - larut yang sudah barang tentu akan menimbulkan “ketidak stabilan” dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, yang pada gilirannya membawa dampak penurunan terhadap pelayanan masyarakat.
Timbulnya kebijakan sektoral di daerah yang tidak sejalan dengan semangat otonomi daerah, akibat belum memadainya pedoman yang diperlukan dan adanya berbagai perundang - undangan sektoral yang belum disesuaikan, sebagai tindak lanjut Pasal 112 dan 133 Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999, adalah juga yang mendorong perlunya penyempurnaan Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999.
e. Pengaruh Lingkungan strategis.
Disamping itu, yang menjadi pertimbangan lainnya adalah pengaruh lingkungan strategis, seperti globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas menuntut efisiensi dan daya saing masyarakat, bangsa dan negara yang lebih tinggi, sehingga memerlukan arahan yang jelas sebagai kebijakan pemerintah yang perlu dituangkan dalam undang - undang. Demikian pula, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat merupakan tantangan untuk menyesuaikan sistem dan prosedur manajemen pemerintahan daerah, misalnya peletakan dasar sistem informasi manajemen dalam segala bidang.
f. Demokratisasi dan Hak Asasi Manusia.
Pertimbangan lain, bahwa perkembangan tuntutan demokratisasi dan Hak Azasi Manusia (HAM) yang semakin menonjol dalam berbagai aspek kehidupan, memerlukan landasan peran serta dan mekanisme penyaluran aspirasi masyarakat, serta perlunya kepastian hukum terhadap persamaan kedudukan seluruh warga negara.
Post a Comment