Realisasi Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999. Realisasi Undang - Undang Nomor 22 Tahun 1999 tidak serta merta berjalan mulus seperti yang diharapkan, melainkan terdapat benturan - benturan baik yuridis, politik, maupun psikologis serta sosio - kultural yang menghambat jalannya pelaksanaan otonomi daerah.
Pelaksanaan kebijakan desentralisasi berdasarkan Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 telah berlangsung sejak Januari 2001 dengan tahapan-tahapan yang prosesnya sudah ditetapkan secara makro, yaitu: Pertama, Tahapan inisisasi yang dilakukan selama tahun 2001; Kedua, Tahapan instalasi, yang diproyeksikan akan berlangsung dalam tahun 2002-2003; ketiga, Tahapan konsolidasi, yang diproyeksikan tahun 2004–2007, dan terakhir Keempat, Tahapan stabilisasi, dimana setelah tahun 2007 diharapkan lay-out atau bentangan daerah otonom secara lebih nyata dapat dilihat di seluruh wilayah daerah otonom di Indonesia.
Amanat UU 22/1999 menyebutkan bahwa selama dua tahun diproyeksikan persiapan segala peraturan perundangan organik Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999, sehingga secara efektif pelaksanaan otonomi daerah menurut semangat Undang Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 akan dimulai pada Mei 2001. Namun, mengingat kebijakan tentang tahun fiskal yang baru, yaitu mulai Januari sampai Desember, maka pelaksanaan otonomi daerah secara formal menurut Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 dimulai Januari 2001.
Dengan melihat hasil evaluasi seperti itu, walaupun secara teoritis pada dasarnya implementasi otonomi daerah seharusnya sudah dapat berlangsung di daerah, namun dalam praktiknya, masih timbul persoalan - persoalan yang mengemuka di lapangan, antara lain:
(1) Menyangkut pengaturan prinsip-prinsip dasar dan distribusi kewenangan diantara tingkat - tingkat pemerintahan, dimana Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 tidak secara tegas mengatur kewenangan Propinsi dan Kabupaten/ Kota, dan Departemen - departemen Sektoral.
(2) Ketentuan yang menyatakan tidak adanya hubungan hierarki antara Propinsi dan Kabupaten/Kota, hampir selama k.l. 4 tahun berjalan dalam praktik memunculkan hubungan yang kurang harmonis antara Gubernur dan Bupati/Walikota di beberapa kasus tertentu. Kedudukan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah kurang berfungsi, karena ketidak tegasan meletakkan fungsi dan kewenangan Gubernur dalam Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999, baik dalam rangka dekonsentrasi, maupun selaku Wakil Pemerintah.
(3) Hubungan DPRD dengan Kepala Daerah yang sering menimbulkan ketegangan, karena Laporan Pertanggungjawaban Akhir Tahun Angggaran hanya dilihat semata - mata sebagai wahana untuk menjatuhkan Kepala Daerah, atau sebagai ruang yang potensial untuk mengadakan kolusi antara DPRD dengan Kepala Daerah, sesuai kehendaknya masing - masing.
(4) Demikian pula, dengan diletakannya otonomi daerah pada Daerah Kabupaten/ Kota dan diberikan otonomi yang luas sebagaimana dinyatakan dalam pasal 7 Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999, dapat ditafsirkan bahwa semua kewenangan pemerintahan diluar yang dikecualikan, dipandang sepenuhnya menjadi kewenangan daerah, tanpa melihat sifat dan coraknya serta ruang lingkup urusan pemerintahan di Daerah.
(5) Belum sinkronnya peraturan perundang - undangan Sektoral yang belum disesuaikan dengan Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999, menambah rumitnya hubungan kewenangan antara pusat dan daerah. Inilah salah satu alasan yang menjadi kritikan Remy Proud’homme (1998: 2) yang antara lain menyatakan bahwa memberikan desentralisasi yang luas kepada daerah “can increase disparities”, disamping menyebutkan bahwa decentralization can undermine efficiency, jeopardize stability and might be accompanied by more corruption.
Persoalan tersebut muncul, disamping karena penafsiran terhadap pasal-pasal Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 tersebut diartikan secara “letterlijk” dan dengan berbagai persepsi yang bermacam - macam, juga karena Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 diluncurkan dan diberlakukan begitu saja, tanpa ada sosialisasi dan diseminasi terlebih dahulu, tanpa ada guide - lines dan rambu - rambu yang mestinya jadi acuan bagi pelaksanaan UU tersebut, baik bagi perangkat pemerintah daerah maupun bagi perangkat pemerintah pusat. Padahal Presiden menurut UUD (Pasal 5, ayat 2) mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan PP tentang mulai diberlakukannya suatu Undang - Undang, sebelum peraturan pelaksananaan (peraturan organik) dikeluarkan, sehingga PP tersebut merupakan “umbrella” yang memuat guide - lines sebagai acuan, baik dalam hal menafsirkan sesuatu pasal maupun rambu - rambu bagi pelaksanaan secara operasional di lapangan. Sebab, banyak penjelasan Pasal - pasal dalam Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang tidak jelas, meskipun dalam penjelasannya disebutkan “cukup jelas”.
(6) Isu lain yang menonjol adalah menyangkut kedudukan dan peran Gubernur, baik sebagai Kepala Daerah Otonom Propinsi, maupun dan terutama dalam kedudukannya sebagai Wakil Pemerintah dalam kaitannya dengan pelaksanaan asas dekonsentrasi tidak jelas dan tidak secara eksplisit menggambarkan lingkup dekonsentrasi di Propinsi. Walaupun Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 menyatakan secara eksplisit bahwa Daerah Propinsi berkedudukan juga sebagai Wilayah Administrasi, namun tidak jelas apakah dengan demikian kedudukan Gubernur juga sebagai Kepala Wilayah, atau dalam kedudukan selaku Wakil Pemerintah apakah Gubernur juga sebagai Kepala Wilayah? Dalam penjelasan Pasal 2 ayat (2) Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 hanya menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Wilayah Administrasi adalah “daerah administrasi” menurut Undang - Undang Dasar 1945. Di dalam UUD 1945, penjelasan Pasal 18 (lama), bahwa Daerah - daerah itu bersifat autonom (Streek en locale rechtsgemeenschappen) atau bersifat administrative belaka. Lazimnya “daerah administrasi” yang menganut “Split model” yang dikepalai oleh seorang Kepala Wilayah.
(7) Demikian pula kewenangan dekonsentrasi bagi instansi vertikal tidak dengan tegas dinyatakan bahwa instansi vertikal adalah perangkat Departemen dan/atau Lembaga Pemerintah Non - Departemen (LPND) yang mempunyai tugas dan kewenangan khusus (Sektoral/ Teknis; dekonsentrasi fungsional) di wilayah dalam yurisdiksi tertentu sebagai “lingkungan kerjanya”, dan tidak hanya berkoordinasi dengan Gubernur, melainkan kedudukannya berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Gubernur selaku wakil pemerintah (dalam konteks “Integrated Perfectoral System”).
Dalam kedudukan sebagai “Wakil Pemerintah” menurut Undang - Undang yang baru, yaitu Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004, tugas dan wewenang Gubernur lebih tegas, walaupun hanya terbatas kepada 3 (tiga) hal sebagai berikut:
- Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/ kota;
- Koordinasi penyelenggaraan urusan Pemerintah di daerah provinsi dan kabupaten/ kota;
- Koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan di daerah provinsi dan kabupaten/ kota.
Tugas - tugas “dekonsentrasi” sebagaimana termaksud dalam Pasal 63 Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan PP 39 Tahun 2003 sama sekali tidak disinggung lagi dalam Undang – Undang yang baru (Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004).
Menyangkut penyelenggaraan dekonsentrasi, menurut pasal 63 Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 pelaksanaannya dilakukan oleh dinas - dinas daerah propinsi. Ketentuan itu tidak tepat dan menimbulkan masalah serta bertentangan dengan konsep dekonsentrasi itu sendiri, sebab kalau kewenangan pemerintah pusat dilaksanakan oleh perangkat daerah otonom adalah tugas pembantuan, dan bukan dekonsentrasi. Dalam pada itu, dinas - dinas daerah propinsi berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Gubernur selaku Kepala Daerah Otonom Propinsi, yang selanjutnya pelaksanaan tugas - tugas tersebut dipertanggungjawabkan kepada DPRD, sedangkan tugas - tugas dekonsentrasi tidak dipertanggungjawabkan kepada DPRD, melainkan dipertanggung - jawabkan oleh Gubernur sebagai Wakil Pemerintah kepada Presiden, sehingga akan timbul tumpang - tindih pertanggungjawaban kepada Presiden dan DPRD. Dalam hubungan dengan penyelenggaraan dekonsentrasi, meskipun PP 39/2001 tentang penyelenggaraan dekonsentrasi merupakan tindak lanjut dan peraturan organik dari Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999, terutama Pasal 8 ayat (2), Pasal 9 ayat (3) dan Pasal 12, namun disana - sini masih menimbulkan kerancuan untuk dapat secara otomatis dijalankan oleh Gubernur selaku Wakil Pemerintah, terutama menyangkut “Tata Cara Pelimpahan Wewenang dan Penyelenggaraan Kewenangan”, misalnya saja disebutkan bahwa pelimpahan sebagian kewenangan kepada Gubernur “mesti ditetapkan dengan Keputusan Presiden”, yang semestinya melekat pada Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999. Mudah - mudahan peraturan pelaksanaan Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 nanti, akan mengadakan penyesuaian terhadap kelemah - kelamahan yang terdapat dalam Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999.
Demikian pula, ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa daerah-daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota masing-masing berdiri sendiri dan tidak mempunyai hubungan hierarkhi satu sama lain, yang ternyata membawa dampak politis - psikologis yang tidak menguntungkan menyangkut hubungan antara Gubernur dan Bupati/ Walikota, dalam Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 tidak tercantum lagi, sehinga penyelenggaraan manajemen pemerintahan di daerah akan lebih efektif dan efisien, yang pada gilirannya fungsi dan peranan Gubernur yang diharapkan akan menjadi koordinator, penyeimbang, penyelaras, dan pemersatu bangsa, benar - benar secara operasional dapat diselenggarakan secara baik.
Sebagai Wakil Pemerintah di Daerah dalam konteks “Integrated Prefectoral System”, Gubernur memang seharusnya mempunyai kewenangan untuk mengkoordinasikan, mengawasi, melakukan supervisi dan memfasilitasi, agar Daerah mampu menjalankan otonominya secara optimal. Sebab, dengan tidak adanya ketegasan pengaturan mengenai tugas dan kewenangan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah, terutama dalam menjalankan “Tutelage Power”, yaitu menjalankan kewenangan Pusat untuk menjaga dan memelihara agar kebijakan dan jalannya penyelenggaraan pemerintahan Daerah Kabupaten/ Kota tidak menyimpang dan tidak bertentangan dengan kepentingan umum, kepentingan nasional ataupun peraturan perundang - undangan yang lebih tinggi, maka dikhawatirkan akan menimbulkan permasalahan yang kompleks dalam kaitan dengan mensinergikan kepentingan antar tingkat pemerintahan sebagai suatu kesatuan sistem dalam Negara Kesatuan RI, yang pada gilirannya bukan saja akan mengganggu penyelenggaraan prinsip - prinsip manajemen pemerintahan yang efektif, melainkan juga akan merapuhkan persatuan dan kesatuan bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Post a Comment