News Update :
Home » , » PELAKSANAAN SISTEM PEMERINTAHAN NEGARA RI serta KELEBIHAN dan KEKURANGANNYA

PELAKSANAAN SISTEM PEMERINTAHAN NEGARA RI serta KELEBIHAN dan KEKURANGANNYA

Penulis : kumpulan karya tulis ilmiah on Saturday, November 23, 2013 | 3:34 AM

PELAKSANAAN SISTEM PEMERINTAHAN NEGARA RI serta KELEBIHAN dan KEKURANGANNYA

1. SISTEM PEMERINTAHAN NEGARA YG DIANUT OLEH UUD 1945 (terlalu banyak delegasi untuk mengatur HAM dalam UU organik)


Sebagai contoh
untuk pasal yang sangat penting dalam HAM, pasal 28 UUD 1945 yang menyerahkan pada UU (UU dibuat oleh Presiden dan DPR) untuk menetapkan lebih lanjut tentang kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pikiran denga lisan dan tulisan.

Dengan adanya UU Kepartaian dan GOLKAR, UU no.3 tahun 1985, negara pernah melakukan kontrol dan supervisi terhadap partai politik. Kebebasan membuat partai politik dilarang. Warga negara hanya boleh memilih satu dari tiga kekuatan formal yang diakui negara. Negara sewaktu-waktu dapat membubarkan atau membekukan partai politik.

Kasus yang terjadi partai politik juga berlaku pada Organisasi Massa, dengan adanya UU no. 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Adanya keketentuan bahwa ORMAS harus berasas Pancasila.

Seharusnya pasal-pasal yang telah memuat HAM harus diatur dengan klausul yang bersifat pernyataan, dan tanpa mendelegasikan (menyerahkan) pengaturan lebih anjutnya kepada UU organik maupun peraturan perundang-undangan lainnya.

Maka UU yang bersifat melanggar HAM seperti UU Kepartaian tahun 1985, UU Ormas dan UU Pokok Pers tidak akan dapat dilahirkan kembali di masa yang akan datang.

Dalam Sidang Istimewa MPR tahun 1998, telah ditetapkan Ketetapan MPR no. XVII/MPR/1998 tentang HAM, yang memuat Pandangan dan Sikap Bangsa Indonesia terhadap HAM dan Piagam HAM. Piagam HAM tersebut terdiri dari 44 pasal dan terlihat cukup mengandung pernyataan HAM ytn dibutuhkan untuk menjamin pelaksanaan HAM di Indonesia.    

2.   KEKUASAAN PEMERINTAHAN
Disini ditekankan bahwa pembagian kekuasaan pemerintahan dapat dibagi dua, yaitu pembagian kekuasaan secara vertikal, yang biasanya disebut dengan bentuk negara, dan pembagian kekuasaan secara horisontal, yang dalam hal ini diarahkan pada sistem pemerintahan.


PEMBAGIAN KEKUASAAN PEMERINTAHAN SECARA VERTIKAL HANS KELSEN 
KEKUASAAN PEMERINTAHAN SECARA HORIZONTAL SUSUNAN DAN KEDUDUKAN DPR YANG DIATUR DENGAN UU SUSUNAN DAN KEDUDUKAN DPR DIATUR DALAM KETETAPAN MPR MASALAH KEKUASAAN KEHAKIMAN DIATUR LEBIH LANJUT DALAM

Ketentuan mengenai pembagian kekuasaan negara secara vertikal dimuat dalam Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 18 UUD 1945. Pasal 1 ayat (1) menyatakan bentuk negera Indonesia sebagai negara Kesatuan.
Pembagian kekuasaan secar vertikal merupakan pembagian kekuasaan secara teritorial, yaitu persoalan integrasi dari golongan-golongan yang berada di dalam suatu wilayah.

Membagi bentuk-bentuk organisasi negara yang berkaitan dengan pembagian teritorial menjadi dua, yaitu SENTRALISASI dan DESENTRALISASI.
Sentralisasi mengandung arti bahwa semua norma yang berlaku bagi seluruh teritorial yang dijangkauannya; ini berarti bahwa semua norma nya memiliki bidang validitas teritorial yang sama.
Desentralisasi terdiri dari norma-norma yang memiliki bidang viliditas teritorial yang berbeda. Selanjutnya KELSEN berpendapat bahwa hanya derajat desentralisasi itulah yang membedakan negara kesatuan dengan negara federal.
Maka dianutnya bentuk negara kesatuab oleh UUD 1945 bukanlah kesalahan konseptual. Munculnya implikasi negatif bukan disebabkan oleh bentuk negara kesatuan, melainkan demokratisnya penyelenggaraan konsep negara kesatuan tersebut di tataran pelaksanaan.
Oleh karena itu Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 tetap relevan untuk dipertahankan, dengan catatan bahwa asas desentralisasi ini harus disebutkan secara eksplisit berikut batasan-batasan pokok yang menutup peluang reduksi pada tingkat peraturan pelaksanaannya.

Kekuasaan pemerintahan disini diartikan sebagai kekuasaan lembaga penyelenggara pemerintahan yang menjalankan fungsinya dalam hubungan nya dengan cabang-cabang kekuasaan negara lainnya dalam rangka pembagian kekuasaan secara horizontal.
Pasal 4 UUD 1945 menyebutkan secara eksplisit bahwa kekuasaan pemerintah an RI dipegang oleh Presiden dengan dibantu oleh seorang wakil presiden.

Kekuasaan pemerintahan dalam arti luas menurut VAN VOLLENHOVEN, terdiri atas 4 (empat) fungsi :
1.   Ketataprajaan (bestuur)
2.   Pengaturan (regeling)
3.   Keamanan/Kepolisian (politie)
4.   Pengadilan (rechtsspraak)
     
dimana fungsi yang terakhir ini kemudian dipisahkan karena adanya negara
berdasar atas hukum (rechtsstaat)

Dalam kenyataannya, pemerintahan di Indonesia memegang kekuasaan yang amat besar. Masalah-masalah yang menimbulkan kondisi seperti ini dengan mengacu pada sistem pemerintahan yang dianut UUD 1945, yaitu sistem presidensial adalah –lebih kurang- sebagai berikut :

UUD 1945 TIDAK MENGATUR DENGAN CUKUP MENGENAI BATAS KEWENANGAN PRESIDEN 
Untuk hampir seluruh kewenangannya yang dimuat dalam BAB III UUD 1945, presiden tidak mendapatkan adanya mekanisme kontrol dari lembaga lainnya.
MUCHSAN mencatat bahwa dalam kenyataannya telah memunculkan sistem kediktatoran. Pada pemerintahan Soekarno, kekuasaan dijalankan dengan menggunakan konsep demokrasi terpimpin. Selanjutnya, selama 32 tahun pemerintahan Soeharto, UUD 1945 memberikan kekuasaan yang amat besar kepada presiden, baik sebagai kepala negara maupun sebagai kepala pemerintahan. Padahal sebenarnya UUD 1945 tidak menyebutkan secara eksplisit mengenai HAK PREROGATIF (hak istimewa yang bersifat mandiri dan mutlak).
Akan tetapi setelah amandemen keempat UUD 1945, kewenangan presiden yang menyangkut “HAK PREROGATIF” sudah cukup dibatasi melalui kontrol DPR atas beberapa hak presiden seperti memberikan amnesti dn abolisi serta menyatakan perang.

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), yang mengawasi pemerintahan dalam bidang keuangan negara, dalam perkembangannya kewenangannya telah dipersempit. Pasal 23 E ayat (2) UUD 1945 menyatakan :”hasil pemeriksaan keuangan negara diserahkan kepada DPR, DPD, DPRD, sesuai dengan kewenangannya”. Dan dilanjutkan ayat (3) bahwa “Hasil pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti oleh lembaga perwakilan dan /atau badan sesuai dengan UU”.
UU yang dihasilkan adalah UU no. 5 tahun 1973 tentang Badan Pemeriksa Keuangan. Dalam UU ini, kewenangan BPK dibatasi menjadi tugas pemeriksaan hanya terhadap hal-hal yang sudah dilakukan atau sudah terjadi dan yang telah disusun pertanggungjawabannya (POS-AUDIT). Dalam ketentuan pengangkatan anggota BPK dinyatakan bahwa ketua, wakil ketua dan anggota BPK diangkat oleh Presiden atas usul DPR.


Kemudian untuk melakukan pengawasan terhadap masalah keuangan internal pemerintah, dibentuk Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP), melalui KEPRES no. 31 tahun 1983 tentang BPKP.
Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa presiden memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD. Batasan wewenang dan tanggung jawab kekuasaan ini tidak diatur lebih lanjut dlm UUD & peraturan per-UU-an. Kekuasaan yang dimaksud adalah kekuasaan eksekutif. Kekuasaan yang mengenai pelaksanaan UU dan menyelenggarakan kemauan negara. Dalam negara demokrasi, kemauan negara itu dinyatakan melalui pembentukan UU.

C.F. STRONG menyatakan bahwa kekuasaan pemerintahan meliputi :
1.   Kekuasaan Diplomatik (hubungan dengan luar negeri)
2.   Administrasi Pemerintahan
3.   Kekuasaan Militer (pengaturan angkatan bersenjata dan pernyataan perang)
4.   Kekuasaan Kehakiman (pengampunan thd pelaku kejahatan)
5.   Kekuasaan Legislatif (perumusan dan pemberlakuan UU)

KEKUASAAN MENGANGKAT DAN MEMBERHENTIKAN
MENTERI-MENTERI
Kekuasan mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri didasarkan pada pasal 17 ayat (2) UUD 1945. Pelaksanaan kekuasaan tersebut dalam praktik kenegaraan selama ini diserahkan secara mutlak kepada presiden.
Di Amerika Serikat dan Filipina yang menganut sistem presidensial, pembentukan departemendan pengangkatan menteri-menteri harus mendapatkan persetujuan majelis atau salah satu organnya (Di Amerika Serikat adalah Senat, di Filipina adalah Komisi Pengangkatan).
Untuk mengantisipasi hal tersebut, maka mendatang pembentukan departemen pemerintahan dan pengangkatan serta pemberhentian menteri-menteri yang mengepalai departemen tersebut sudah selayaknya dilakukan secara terbuka dan dapat dipertanggung jawabkan.

KEKUASAAN MENGANGKAT DAN MEMBERHENTIKAN KEPALA LEMBAGA PEMERINTAHAN NON DEPARTEMEN (LPND)
Dasar pemikiran pembentukan LPND adalah diperlukannya lembaga-lembaga yang dapat menyelenggarakan fungsi-fungsi tertentu di luar lingkup departemen yang ada atau fungsi-fungsi yang memerlukan penangan khusus agar dalam pelaksanannya dapat berjalan dengan efektif dan efisien.
  
Diantaranya adalah :
1.   Badan Urusan Logistik (BULOG)
2.   Biro Pusat Statistik (BPS)
3.   Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
4.   Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT)
5.   Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS)
Beberapa jabatan kepala LPND disatukan dengan jabatan menteri departemen atau menteri negara, yang dalam hal penentuannya diserahkan sepenuhnya kepada presiden.
Oleh karena itu untuk mendukung penciptaan kondisi yang teratur dalam mekanisme pelaksanaannya, pembentukan dan penghapusan LPND harus dilakukan melalui mekanisme HEARING (dengar pendapat) lebih dahulu di DPR, begitu pula pengangkatan & pemberhentian kepala-kepala lembaga tersebut harus melewati “PENGUJIAN” terlebih dahulu melalui HEARING di DPR, yang pelaksanaannya sebaiknya dilakukan bersamaan dengan pengangkatan menteri, Jaksa Agung, Gubernur BI & Panglima TNI.
 
KEKUASAAN MENGANGKAT DAN MEMBERHENTIKAN PANGLIMA TNI, KEPALA STAF ANGKATAN DARAT (KASAD), ANGKATAN LAUT (AL), ANGKATAN UDARA (AU), DAN KEPOLISIN RI (KAPOLRI).
Diusulkan pengangkatan jabatan tinggi di TNI harus juga melewati HEARING di DPR sebelum presiden mengambil keputusan. Khusus untuk jabatan Panglima TNI dilakukan bersamaan dengan pengangkatan menteri, Gubernur BI, Jaksa Agung serta Kepala LPND.

KONSTITUSI MENGATUR BAHWA BPK MERUPAKAN SATU-SATUNYA LEMBAGA PEMERIKSA KEUANGAN NEGARA BERFUNGSI MELAKUKAN SEGALA BENTUK PENGAWASAN ATAS KEKAYAAN NEGARA DENGAN KEWENANGAN YANG LUAS UNTUK MENGAWASI SEGALA KEKAYAAN NEGARA, BAIK YANG TERCANTUM DALAM APBN MAUPUN YANG ADA DI LUAR APBN.
Ketentuan mengenai BPK tercantum dalam Pasal 23 E ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa BPK diadakan untuk memeriksa tanggung jawab tentang keuangan ngr & hasil pemeriksaan itu diberitahukan kepad DPR, DPD, dan DPRD.
Pasal 23 G ayat (2) UUD 1945 juga meyatakan bahwa peraturan mengenai BPK ditetapkan dengan UU. Sementara badan pembuat UU adalah DPR bersama pemerintah, yang seharusnya menjadi objek pengawasan BPK.
Pada saat ini pertanggung jawaban keuangan yang dilakukan pemerintah baru pada tahap keluar dan masuknya uang negara. Belum sampai pada

pertanggung jawaban keuangan negara dalam arti OUT PUT dan OUT COME nya untuk kemudian diatur tingkat efisiensi dan efektivitasnya.”
Kenyataan yang terjadi selama ini, badan yang bisa masuk kedalam pemeriksaan keuangan secara teknis pada lembaga-lembaga pemerintah maupun BUMN adalah BPKP. Jadi tugas pengawasan keuangan selama ini tidak terintegrasi,

Selain BPK, BPKP, masih ada lembaga lainnya, diantaranya adalah :
1.   Inspektorat Jenderal Pembangunan (Irjenbang)
2.   Inspektorat jenderal (Itjen) Departemen
3.   Inspektorat Wilayah Propinsi (Itwilprop)
4.   Inspektorat Wilayah Kabupaten (Itwilkab), dll.
Untuk dapat memaksimalkan fungsi EKSAMINATIF BPK, konstitusi mengatur lebih lanjut mengenai BPK agar kewenangannya tidak dapat direduksi pada tingkat pelaksanaannya. Hal yang seharusnya diatur dalam Konstitusi adalah ;   
BPK MERUPAKAN SATU-SATUNYA LEMBAGA PEMERIKSA KEUANGAN NEGARA BERFUNGSI MELAKUKAN SEGALA BENTUK PENGAWASAN ATAS KEKAYAAN NEGARA DGN KEWENANGAN YG LUAS UNTUK MENGAWASI SEGALA KEKAYAAN NEGARA, BAIK YG TERCANTUM DLM APBN MAUPUN YG ADA DI LUAR APBN.

3.   KEKUASAAN PARLEMEN
MIRIAM BUDIARDJO mengemukakan adanya 2 (dua) tugas parlemen, yaitu:
a.   membuat undang-undang serta kebijakan (policy), dan
b.     mengontrol pemerintah.

Untuk bidang perumusan kebijakan (policy making) dan di bidang legislasi, Budiardjo menyatakan bahwa efektivitas suatu parlemen dapat diukur antara lain dari jumlah serta bobot dari masalah dan RUU yang dibicarakan serta diputuskan oleh parlemen.
Untuk bidang pengawasan, efektivitas parlemen antara lain dapat diukur dari tingkat penggunaan hak-hak mereka dalam mengawasi pemerintah.

Mengingat angota DPR dipilih melalui Pemilu yang diatur dengan UU Pemilu dan Peserta Pemilu adalah partai-partai politik yang eksistensinya diatur dengan UU Kepartaian, maka Pemerintah dapat memasukkan pengaruhnya mulai dari UU Pemilu dan UU Kepartaian ini. Dari UU yang demikian, akan sulit menciptakan DPR yang steril dari pengaruh kekuasaan pemerintah.

Kondisi sangat terpengaruhnya DPR oleh pemerintah (presiden) memang tidak akan terjadi jika presiden dan DPR berada pada posisi tidak saling terpengaruh atau berada pada posisi yang seimbang. Klausul UU Kepartaian dan UU Pemilu serta UU Susunan dan Kedudukan MPR/DPR yang “cukup” demokratis membuktikan hal itu.
Oleh karena itu, pengaturan susuna kedudukan DPR tidak boleh didelegasi kan kepada UU, melainkan dibuat dalam bentuk Ketetapan MPR. Tap MPR merupakan sebuah produk hokum yang proses pembuatannya terlepas dari campur tangan pemerintah dan lebih memiliki legitimasi untuk dapat mengatur hal-hal yang berkaitan dengan fungsi DPR sebagai lembaga pembuat UU dan pengawas pemerintahan karena kedudukannya sebagai institusi kedaulatan rakyat. Terhadap pengaturan Pemilu dan Kepartaian, mengingat dua hal ini berhubungan langsung dengan susunan keanggotaan DPR, maka hal-hal yang pokok harus juga diatur dalam Ketetapan MPR.

4.   KEKUASAAN KEHAKIMAN       
Masih dianggap perlu untuk menjamin bahwa masing-masing kekuasaan tidak akan melampaui batas kekuasaannya. Oleh karena itu dibuat suatu system  untuk membendung kecenderungan itu yaitu system CHECK and BALANCE. Dalam system ini setiap cabang kekuasaan dapat mengawasi dan mengimbangi cabang kekuasaan lainnya.
Dengan adanya system ini, kekuasaan kehakiman, dalam hal ini Mahkamah Agung dapat melakukan pengawasan terhadap eksekutif dan legislative melalui mekanisme JUDICIAL REVIEW. Keberadaan fungsi penegakan hokum dan system CHECK and BALANCE ini mensyaratkan kekuasaan kehakiman harus mandiri.

UU ORGANIK      
Kekuasaan Kehakiman dalam UUD 1945 diatur dalam Pasal 24 dan 25. Pasal 24 ayat (2) Uud 1945 mengatur bahwa “ kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan :
      Peradilan Umum               Peradilan Militer
      Peradilan Agama              Peradilan Tata Usaha Negara,
Dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi

Berikutnya Pasal 24 A ayat (1) menyebutkan “Mahkamah Agung
berwenang

1.   Mengadili pada tingkat Kasasi,
2.   Menguji peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU
3.   Mempunyai wewenang lainnya yang diberikan UU.

Ayat (5) Pasal ini menyebutkan bahwa “ Susunan, kedudukan, keanggotaan, dan hukuman  acara Mahkamah Agung serta badan peradilan dibawahnya diatur dengan UU.

Dalam penjelasan Pasal 24 dan 25 UUD 1945 dinyatakan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah.

Namum demikian dengan didelegasikannya pengaturan lebih lanjut kepada UU saja telah membuka peluang bagi eksekutif untuk mempengaruhinya.
UU yg telah dbuat untuk melaksanakan instruksi pasal 24 & 25 UUD 1945 adalah:
1.   UU no.14 th.1970 ttg Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
2.   UU no.14 th 1985 ttg Mahkamah Agung
Di dalam UU no. 14 /1970 diatur bahwa  pelaksanaan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh 2 (dua) lembaga, yaitu MA yang mempunyai tugas pokok menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya dan melakukan pengawasan terhadap perbuatan pengadilan, serta Departemen yang bersangkutan, yang memegang kewenangan dalam organisasi, administrasi dan keuangan.
Adanya dua badan tersebut dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dianggap menjadi penghalang bagi independensi kekuasaan kehakiman. Dalam perkembangannya, UU ini telah diubah oleh RUU tentang Perubahan UU no. 14 th. 1970 yang telah dietujui oleh DPR. RUU tersebut pada pokoknya mengatur bahwa seluruh kewenangan di bidang kekuasaan yudisial ada di bawah MA, termasuk masalah organisatoris, administrasi, dan finansial.

Kemerdekaan lembaga-lembaga peradilan sangat penting untuk menjamin kepastian hukum. Dualisme peradilan merupakan salah satu sebab utama ketergantungan badan peradilan pada eksekutif.

Hal yang cukup menggembirakan adalah terbentuknya MAHKAMAH KONSTITUSI (berdasar amanat Pasal 24 C UUD 1945). Dengan begitu diharapkan pekerjaab MA akan lebih terfikus pada penegakan hokum di Indonesia. MK dapat mengganti peran MA dalam JUDICIAL REVIEW, menguji UU terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara, memutuskan pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan yang terkait dengan pemilu.
Share this article :

Post a Comment

 
Design Template by panjz-online | Support by creating website | Powered by Blogger