PELAKSANAAN
SISTEM PEMERINTAHAN NEGARA RI serta KELEBIHAN dan KEKURANGANNYA
1. SISTEM PEMERINTAHAN NEGARA YG DIANUT OLEH UUD 1945 (terlalu banyak delegasi untuk mengatur HAM dalam UU organik)
Sebagai contoh
untuk
pasal yang sangat penting dalam HAM, pasal 28 UUD 1945 yang menyerahkan
pada UU (UU dibuat oleh Presiden dan DPR) untuk menetapkan lebih lanjut tentang
kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pikiran denga lisan dan
tulisan.
Dengan
adanya UU Kepartaian dan GOLKAR, UU no.3 tahun 1985, negara pernah
melakukan kontrol dan supervisi terhadap partai politik. Kebebasan membuat
partai politik dilarang. Warga negara hanya boleh memilih satu dari tiga kekuatan formal
yang diakui negara. Negara sewaktu-waktu dapat membubarkan atau membekukan partai
politik.
Kasus yang terjadi partai politik juga berlaku pada
Organisasi Massa, dengan adanya UU no. 8 tahun 1985 tentang Organisasi
Kemasyarakatan. Adanya keketentuan bahwa ORMAS harus berasas Pancasila.
Seharusnya pasal-pasal yang telah memuat HAM harus diatur
dengan klausul yang bersifat pernyataan, dan tanpa mendelegasikan (menyerahkan)
pengaturan lebih anjutnya kepada UU organik maupun peraturan perundang-undangan
lainnya.
Maka UU yang bersifat melanggar
HAM seperti UU Kepartaian tahun 1985, UU Ormas dan UU Pokok Pers tidak akan
dapat dilahirkan kembali di masa yang akan datang.
Dalam Sidang Istimewa MPR tahun
1998, telah ditetapkan Ketetapan MPR no. XVII/MPR/1998 tentang HAM, yang
memuat Pandangan dan Sikap Bangsa Indonesia terhadap HAM dan Piagam HAM. Piagam
HAM tersebut terdiri dari 44 pasal dan terlihat cukup mengandung pernyataan HAM
ytn dibutuhkan untuk menjamin pelaksanaan HAM di Indonesia.
2. KEKUASAAN PEMERINTAHAN
Disini ditekankan bahwa
pembagian kekuasaan pemerintahan dapat dibagi dua, yaitu pembagian kekuasaan
secara vertikal, yang biasanya disebut dengan bentuk negara, dan pembagian
kekuasaan secara horisontal, yang dalam hal ini diarahkan pada sistem
pemerintahan.
PEMBAGIAN KEKUASAAN PEMERINTAHAN SECARA VERTIKAL HANS KELSEN
KEKUASAAN PEMERINTAHAN SECARA HORIZONTAL SUSUNAN DAN KEDUDUKAN DPR YANG DIATUR DENGAN UU SUSUNAN DAN KEDUDUKAN DPR DIATUR DALAM KETETAPAN MPR MASALAH KEKUASAAN KEHAKIMAN DIATUR LEBIH LANJUT DALAM
Ketentuan mengenai pembagian
kekuasaan negara secara vertikal dimuat dalam Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 18
UUD 1945. Pasal 1 ayat (1) menyatakan bentuk negera Indonesia sebagai negara
Kesatuan.
Pembagian kekuasaan secar vertikal merupakan pembagian
kekuasaan secara teritorial, yaitu persoalan integrasi dari golongan-golongan
yang berada di dalam suatu wilayah.
Membagi bentuk-bentuk organisasi negara yang berkaitan
dengan pembagian teritorial menjadi dua, yaitu SENTRALISASI dan
DESENTRALISASI.
Sentralisasi mengandung
arti bahwa semua norma yang berlaku bagi seluruh teritorial yang
dijangkauannya; ini berarti bahwa semua norma nya memiliki bidang validitas
teritorial yang sama.
Desentralisasi terdiri
dari norma-norma yang memiliki bidang viliditas teritorial yang berbeda. Selanjutnya
KELSEN berpendapat bahwa hanya derajat desentralisasi itulah yang
membedakan negara kesatuan dengan negara federal.
Maka dianutnya bentuk negara kesatuab oleh UUD 1945
bukanlah kesalahan konseptual. Munculnya implikasi negatif bukan disebabkan
oleh bentuk negara kesatuan, melainkan demokratisnya penyelenggaraan konsep
negara kesatuan tersebut di tataran pelaksanaan.
Oleh karena itu Pasal 1 ayat (1)
UUD 1945 tetap relevan untuk dipertahankan, dengan catatan bahwa asas
desentralisasi ini harus disebutkan secara eksplisit berikut batasan-batasan
pokok yang menutup peluang reduksi pada tingkat peraturan pelaksanaannya.
Kekuasaan pemerintahan disini
diartikan sebagai kekuasaan lembaga penyelenggara pemerintahan yang menjalankan
fungsinya dalam hubungan nya dengan cabang-cabang kekuasaan negara lainnya
dalam rangka pembagian kekuasaan secara horizontal.
Pasal 4 UUD 1945 menyebutkan secara eksplisit
bahwa kekuasaan pemerintah an RI dipegang oleh Presiden dengan dibantu oleh
seorang wakil presiden.
Kekuasaan
pemerintahan dalam arti luas menurut VAN
VOLLENHOVEN, terdiri atas 4 (empat) fungsi :
1. Ketataprajaan
(bestuur)
2. Pengaturan
(regeling)
3. Keamanan/Kepolisian
(politie)
4. Pengadilan
(rechtsspraak)
dimana fungsi yang terakhir ini kemudian
dipisahkan karena adanya negara
berdasar atas hukum (rechtsstaat)
Dalam
kenyataannya, pemerintahan di Indonesia memegang kekuasaan yang amat besar.
Masalah-masalah yang menimbulkan kondisi seperti ini dengan mengacu pada sistem
pemerintahan yang dianut UUD 1945, yaitu sistem presidensial adalah –lebih
kurang- sebagai berikut :
UUD 1945 TIDAK MENGATUR DENGAN CUKUP MENGENAI
BATAS KEWENANGAN PRESIDEN
Untuk
hampir seluruh kewenangannya yang dimuat dalam BAB III UUD 1945, presiden tidak
mendapatkan adanya mekanisme kontrol dari lembaga lainnya.
MUCHSAN mencatat bahwa dalam kenyataannya telah memunculkan sistem
kediktatoran. Pada pemerintahan Soekarno, kekuasaan
dijalankan dengan menggunakan konsep demokrasi terpimpin. Selanjutnya, selama
32 tahun pemerintahan Soeharto, UUD 1945 memberikan kekuasaan yang amat besar
kepada presiden, baik sebagai kepala negara maupun sebagai kepala pemerintahan.
Padahal sebenarnya UUD 1945 tidak menyebutkan secara eksplisit mengenai HAK
PREROGATIF (hak istimewa yang bersifat mandiri dan mutlak).
Akan
tetapi setelah amandemen keempat UUD
1945, kewenangan presiden yang menyangkut “HAK PREROGATIF” sudah cukup dibatasi
melalui kontrol DPR atas beberapa hak presiden seperti memberikan amnesti dn
abolisi serta menyatakan perang.
Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK), yang mengawasi pemerintahan dalam bidang keuangan
negara, dalam perkembangannya kewenangannya telah dipersempit. Pasal 23 E ayat (2) UUD 1945 menyatakan
:”hasil pemeriksaan keuangan negara diserahkan kepada DPR, DPD, DPRD, sesuai
dengan kewenangannya”. Dan dilanjutkan
ayat (3) bahwa “Hasil pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti oleh lembaga
perwakilan dan /atau badan sesuai dengan UU”.
UU
yang dihasilkan adalah UU no. 5 tahun
1973 tentang Badan Pemeriksa Keuangan. Dalam UU ini, kewenangan BPK
dibatasi menjadi tugas pemeriksaan hanya terhadap hal-hal yang sudah dilakukan
atau sudah terjadi dan yang telah disusun pertanggungjawabannya (POS-AUDIT).
Dalam ketentuan pengangkatan anggota BPK dinyatakan bahwa ketua, wakil ketua
dan anggota BPK diangkat oleh Presiden atas usul DPR.
Kemudian
untuk melakukan pengawasan terhadap masalah keuangan internal pemerintah,
dibentuk Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP), melalui KEPRES no. 31
tahun 1983 tentang BPKP.
Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa presiden memegang kekuasaan
pemerintahan menurut UUD. Batasan wewenang dan tanggung jawab kekuasaan ini
tidak diatur lebih lanjut dlm UUD & peraturan per-UU-an. Kekuasaan yang
dimaksud adalah kekuasaan eksekutif. Kekuasaan yang mengenai pelaksanaan UU dan
menyelenggarakan kemauan negara. Dalam negara demokrasi, kemauan negara itu
dinyatakan melalui pembentukan UU.
C.F. STRONG menyatakan bahwa kekuasaan
pemerintahan meliputi :
1. Kekuasaan
Diplomatik (hubungan dengan luar negeri)
2. Administrasi
Pemerintahan
3. Kekuasaan
Militer (pengaturan angkatan bersenjata dan pernyataan perang)
4. Kekuasaan
Kehakiman (pengampunan thd pelaku kejahatan)
5. Kekuasaan
Legislatif (perumusan dan pemberlakuan UU)
KEKUASAAN MENGANGKAT DAN MEMBERHENTIKAN
MENTERI-MENTERI
Kekuasan
mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri didasarkan pada pasal 17 ayat (2)
UUD 1945. Pelaksanaan kekuasaan tersebut dalam praktik kenegaraan selama ini
diserahkan secara mutlak kepada presiden.
Di
Amerika Serikat dan Filipina yang menganut sistem presidensial, pembentukan
departemendan pengangkatan menteri-menteri harus mendapatkan persetujuan
majelis atau salah satu organnya (Di Amerika Serikat adalah Senat, di Filipina
adalah Komisi Pengangkatan).
Untuk
mengantisipasi hal tersebut, maka mendatang pembentukan departemen pemerintahan
dan pengangkatan serta pemberhentian menteri-menteri yang mengepalai departemen
tersebut sudah selayaknya dilakukan secara terbuka dan dapat dipertanggung
jawabkan.
KEKUASAAN MENGANGKAT DAN MEMBERHENTIKAN KEPALA
LEMBAGA PEMERINTAHAN NON DEPARTEMEN (LPND)
Dasar
pemikiran pembentukan LPND adalah diperlukannya lembaga-lembaga yang dapat
menyelenggarakan fungsi-fungsi tertentu di luar lingkup departemen yang ada
atau fungsi-fungsi yang memerlukan penangan khusus agar dalam pelaksanannya
dapat berjalan dengan efektif dan efisien.
Diantaranya adalah :
1. Badan Urusan Logistik
(BULOG)
2. Biro Pusat Statistik
(BPS)
3. Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI)
4. Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT)
5. Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS)
Beberapa
jabatan kepala LPND disatukan dengan jabatan menteri departemen atau menteri
negara, yang dalam hal penentuannya diserahkan sepenuhnya kepada presiden.
Oleh
karena itu untuk mendukung penciptaan kondisi yang teratur dalam mekanisme
pelaksanaannya, pembentukan dan penghapusan LPND harus dilakukan melalui mekanisme HEARING (dengar pendapat)
lebih dahulu di DPR, begitu pula pengangkatan & pemberhentian
kepala-kepala lembaga tersebut harus melewati “PENGUJIAN” terlebih dahulu
melalui HEARING di DPR, yang pelaksanaannya sebaiknya dilakukan bersamaan
dengan pengangkatan menteri, Jaksa Agung, Gubernur BI & Panglima TNI.
KEKUASAAN MENGANGKAT DAN MEMBERHENTIKAN
PANGLIMA TNI, KEPALA STAF ANGKATAN DARAT (KASAD), ANGKATAN LAUT (AL), ANGKATAN
UDARA (AU), DAN KEPOLISIN RI (KAPOLRI).
Diusulkan
pengangkatan jabatan tinggi di TNI harus juga melewati HEARING di DPR sebelum
presiden mengambil keputusan. Khusus untuk jabatan Panglima TNI dilakukan
bersamaan dengan pengangkatan menteri, Gubernur BI, Jaksa Agung serta Kepala
LPND.
KONSTITUSI MENGATUR BAHWA BPK MERUPAKAN
SATU-SATUNYA LEMBAGA PEMERIKSA KEUANGAN NEGARA BERFUNGSI MELAKUKAN SEGALA
BENTUK PENGAWASAN ATAS KEKAYAAN NEGARA DENGAN KEWENANGAN YANG LUAS UNTUK
MENGAWASI SEGALA KEKAYAAN NEGARA, BAIK YANG TERCANTUM DALAM APBN MAUPUN YANG
ADA DI LUAR APBN.
Ketentuan
mengenai BPK tercantum dalam Pasal 23 E ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa
BPK diadakan untuk memeriksa tanggung jawab tentang keuangan ngr & hasil
pemeriksaan itu diberitahukan kepad DPR, DPD, dan DPRD.
Pasal 23 G ayat (2) UUD 1945 juga meyatakan bahwa peraturan mengenai BPK ditetapkan
dengan UU. Sementara badan pembuat UU adalah DPR bersama pemerintah, yang
seharusnya menjadi objek pengawasan BPK.
Pada
saat ini pertanggung jawaban keuangan yang dilakukan pemerintah baru pada tahap
keluar dan masuknya uang negara. Belum sampai pada
pertanggung jawaban keuangan
negara dalam arti OUT PUT dan OUT COME nya untuk kemudian diatur tingkat
efisiensi dan efektivitasnya.”
Kenyataan yang terjadi selama
ini, badan yang bisa masuk kedalam pemeriksaan keuangan secara teknis pada
lembaga-lembaga pemerintah maupun BUMN adalah BPKP. Jadi tugas pengawasan
keuangan selama ini tidak terintegrasi,
Selain BPK, BPKP, masih ada lembaga lainnya, diantaranya adalah :
1. Inspektorat
Jenderal Pembangunan (Irjenbang)
2. Inspektorat
jenderal (Itjen) Departemen
3. Inspektorat
Wilayah Propinsi (Itwilprop)
4. Inspektorat
Wilayah Kabupaten (Itwilkab), dll.
Untuk
dapat memaksimalkan fungsi EKSAMINATIF BPK, konstitusi mengatur lebih lanjut
mengenai BPK agar kewenangannya tidak dapat direduksi pada tingkat
pelaksanaannya. Hal yang seharusnya diatur dalam Konstitusi adalah ;
BPK
MERUPAKAN SATU-SATUNYA LEMBAGA PEMERIKSA KEUANGAN NEGARA BERFUNGSI MELAKUKAN
SEGALA BENTUK PENGAWASAN ATAS KEKAYAAN NEGARA DGN KEWENANGAN YG LUAS UNTUK
MENGAWASI SEGALA KEKAYAAN NEGARA, BAIK YG TERCANTUM DLM APBN MAUPUN YG ADA DI
LUAR APBN.
3. KEKUASAAN PARLEMEN
MIRIAM BUDIARDJO mengemukakan adanya 2 (dua) tugas parlemen,
yaitu:
a. membuat undang-undang
serta kebijakan (policy), dan
b.
mengontrol pemerintah.
Untuk bidang perumusan kebijakan
(policy making) dan di bidang legislasi, Budiardjo menyatakan bahwa efektivitas
suatu parlemen dapat diukur antara lain dari jumlah serta bobot dari masalah
dan RUU yang dibicarakan serta diputuskan oleh parlemen.
Untuk bidang pengawasan,
efektivitas parlemen antara lain dapat diukur dari tingkat penggunaan hak-hak
mereka dalam mengawasi pemerintah.
Mengingat
angota DPR dipilih melalui Pemilu yang diatur dengan UU Pemilu dan Peserta
Pemilu adalah partai-partai politik yang eksistensinya diatur dengan UU
Kepartaian, maka Pemerintah dapat memasukkan pengaruhnya mulai dari UU Pemilu
dan UU Kepartaian ini. Dari UU yang demikian, akan sulit menciptakan DPR yang
steril dari pengaruh kekuasaan pemerintah.
Kondisi
sangat terpengaruhnya DPR oleh pemerintah (presiden) memang tidak akan terjadi
jika presiden dan DPR berada pada posisi tidak saling terpengaruh atau berada
pada posisi yang seimbang. Klausul UU Kepartaian dan UU Pemilu serta UU Susunan
dan Kedudukan MPR/DPR yang “cukup” demokratis membuktikan hal itu.
Oleh
karena itu, pengaturan susuna kedudukan DPR tidak boleh didelegasi kan kepada
UU, melainkan dibuat dalam bentuk Ketetapan MPR. Tap MPR merupakan sebuah
produk hokum yang proses pembuatannya terlepas dari campur tangan pemerintah
dan lebih memiliki legitimasi untuk dapat mengatur hal-hal yang berkaitan
dengan fungsi DPR sebagai lembaga pembuat UU dan pengawas pemerintahan karena
kedudukannya sebagai institusi kedaulatan rakyat. Terhadap pengaturan Pemilu
dan Kepartaian, mengingat dua hal ini berhubungan langsung dengan susunan
keanggotaan DPR, maka hal-hal yang pokok harus juga diatur dalam Ketetapan MPR.
4. KEKUASAAN
KEHAKIMAN
Masih
dianggap perlu untuk menjamin bahwa masing-masing kekuasaan tidak akan
melampaui batas kekuasaannya. Oleh karena itu dibuat suatu system untuk membendung kecenderungan itu yaitu
system CHECK and BALANCE. Dalam
system ini setiap cabang kekuasaan dapat mengawasi dan mengimbangi cabang
kekuasaan lainnya.
Dengan
adanya system ini, kekuasaan kehakiman, dalam hal ini Mahkamah Agung dapat
melakukan pengawasan terhadap eksekutif dan legislative melalui mekanisme JUDICIAL
REVIEW. Keberadaan fungsi penegakan hokum dan system CHECK and BALANCE
ini mensyaratkan kekuasaan kehakiman harus mandiri.
UU ORGANIK
Kekuasaan
Kehakiman dalam UUD 1945 diatur dalam Pasal 24 dan 25. Pasal 24 ayat (2) Uud
1945 mengatur bahwa “ kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan Badan Peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan :
Peradilan
Umum Peradilan Militer
Peradilan Agama Peradilan Tata Usaha Negara,
Dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi
Berikutnya Pasal 24 A ayat (1) menyebutkan “Mahkamah Agung
berwenang
1. Mengadili pada tingkat
Kasasi,
2. Menguji peraturan
perundang-undangan di bawah UU terhadap UU
3. Mempunyai wewenang
lainnya yang diberikan UU.
Ayat (5) Pasal ini menyebutkan bahwa “ Susunan,
kedudukan, keanggotaan, dan hukuman
acara Mahkamah Agung serta badan peradilan dibawahnya diatur dengan UU.
Dalam penjelasan Pasal 24 dan 25 UUD 1945 dinyatakan bahwa
kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari
pengaruh kekuasaan pemerintah.
Namum demikian dengan
didelegasikannya pengaturan lebih lanjut kepada UU saja telah membuka peluang
bagi eksekutif untuk mempengaruhinya.
UU
yg telah dbuat untuk melaksanakan instruksi pasal 24 & 25 UUD 1945 adalah:
1. UU no.14 th.1970 ttg
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
2. UU no.14 th 1985 ttg
Mahkamah Agung
Di dalam UU no. 14 /1970 diatur bahwa pelaksanaan kekuasaan kehakiman dilakukan
oleh 2 (dua) lembaga, yaitu MA yang mempunyai tugas pokok menerima,
memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan
kepadanya dan melakukan pengawasan terhadap perbuatan pengadilan, serta
Departemen yang bersangkutan, yang memegang kewenangan dalam organisasi,
administrasi dan keuangan.
Adanya dua badan tersebut dalam
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dianggap menjadi penghalang bagi independensi
kekuasaan kehakiman. Dalam perkembangannya, UU ini telah diubah oleh RUU
tentang Perubahan UU no. 14 th. 1970 yang telah dietujui oleh DPR. RUU tersebut
pada pokoknya mengatur bahwa seluruh kewenangan di bidang kekuasaan yudisial
ada di bawah MA, termasuk masalah organisatoris, administrasi, dan finansial.
Kemerdekaan lembaga-lembaga
peradilan sangat penting untuk menjamin kepastian hukum. Dualisme peradilan
merupakan salah satu sebab utama ketergantungan badan peradilan pada eksekutif.
Hal yang cukup menggembirakan adalah
terbentuknya MAHKAMAH KONSTITUSI (berdasar amanat Pasal 24 C UUD 1945).
Dengan begitu diharapkan pekerjaab MA akan lebih terfikus pada penegakan hokum
di Indonesia. MK dapat mengganti peran MA dalam JUDICIAL REVIEW, menguji
UU terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara, memutuskan
pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan yang terkait dengan pemilu.
Post a Comment