Definisi Jamur : Mikologi berasal dari bahasa Yunani mykes=jamur dan logos=ilmu. Menurut Alexopoulos et al. (1996) dalam Gandjar (2006), sebenarnya istilah mikologi kurang tepat. Istilah yang tepat adalah mycetology, karena mykes berdasarkan tatabahasa Yunani adalah myceto. Fungi dalam bahasa Latin juga berarti jamur. Jamur merupakan mikroorganisme eukaryotik dengan tingkat biologisnya yang lebih tinggi dibandingkan dengan bakteri. Habitat hidupnya terutama di alam seperti air dan tanah sebagai jamur saprofit. Kehidupan jamur memerlukan suasana lingkungan dengan kelembapan yang tinggi. Meskipun demikian jamur dapat menyesuaikan diri terhadap lingkungan, sehingga jamur dapat hidup di gurun pasir yang kering dan panas (Kumala, 2006).
Morfologi dan Struktur Jamur
Menurut Brooks dkk (2005), jamur tumbuh dalam dua bentuk dasar, sebagai yeast/ragi dan molds. Pertumbuhan dalam bentuk mold adalah dengan produksi koloni filamentosa multiseluler. Koloni ini mengandung tubulus silindris yang bercabang yang disebut hifa, diameternya bervariasi dari 2-10 μm. Massa hifa yang jalin-menjalin dan berakumulasi selama pertumbuhan aktif adalah miselium. Beberapa hifa terbagi menjadi sel-sel oleh dinding pemisah atau septa, yang secara khas terbentuk pada interval yang teratur selama pertumbuhan hifa. Hifa yang menembus medium penyangga dan mengabsorbsi bahan-bahan makanan adalah hifa vegetatif atau hifa substrat. Sebaliknya, hifa aerial menyembul di atas permukaan miselium dan biasanya membawa struktur reproduktif dari mold.
Ragi adalah sel tunggal, biasanya berbentuk bulat atau elips dan diameternya bervariasi dari 3-15 μm. Kebanyakan ragi bereproduksi melalui pertunasan. Beberapa spesies menghasilkan tunas yang mempunyai ciri khas gagal melepaskan diri dan menjadi memanjang; kesinambungan dari proses pertunasan kemudian menghasilkan suatu sel ragi panjang yang disebut pseudohifa (Brooks dkk, 2005).
Semua jamur mempunyai dinding sel kaku yang penting untuk menentukan bentuknya. Dinding-dinding sel sebagian besar terbentuk oleh lapisan karbohidrat, rantai-rantai panjang polisakarida, juga glikoprotein dan lipid. Selama infeksi, dinding sel jamur mempunyai sifat-sifat patobiologi yang penting. Komponen permukaan dinding memperantai penempelan jamur pada sel inang. Beberapa ragi dan mold memberi melanin pada dinding sel, memberikan pigmen coklat atau hitam. Jamur yang demikian adalah dematiaceous. Dalam beberapa penelitian, melanin berhubungan dengan virulensi (Brooks dkk, 2005).
Menurut Brooks dkk (2005), jamur tumbuh dalam dua bentuk dasar, sebagai yeast/ragi dan molds. Pertumbuhan dalam bentuk mold adalah dengan produksi koloni filamentosa multiseluler. Koloni ini mengandung tubulus silindris yang bercabang yang disebut hifa, diameternya bervariasi dari 2-10 μm. Massa hifa yang jalin-menjalin dan berakumulasi selama pertumbuhan aktif adalah miselium. Beberapa hifa terbagi menjadi sel-sel oleh dinding pemisah atau septa, yang secara khas terbentuk pada interval yang teratur selama pertumbuhan hifa. Hifa yang menembus medium penyangga dan mengabsorbsi bahan-bahan makanan adalah hifa vegetatif atau hifa substrat. Sebaliknya, hifa aerial menyembul di atas permukaan miselium dan biasanya membawa struktur reproduktif dari mold.
Ragi adalah sel tunggal, biasanya berbentuk bulat atau elips dan diameternya bervariasi dari 3-15 μm. Kebanyakan ragi bereproduksi melalui pertunasan. Beberapa spesies menghasilkan tunas yang mempunyai ciri khas gagal melepaskan diri dan menjadi memanjang; kesinambungan dari proses pertunasan kemudian menghasilkan suatu sel ragi panjang yang disebut pseudohifa (Brooks dkk, 2005).
Semua jamur mempunyai dinding sel kaku yang penting untuk menentukan bentuknya. Dinding-dinding sel sebagian besar terbentuk oleh lapisan karbohidrat, rantai-rantai panjang polisakarida, juga glikoprotein dan lipid. Selama infeksi, dinding sel jamur mempunyai sifat-sifat patobiologi yang penting. Komponen permukaan dinding memperantai penempelan jamur pada sel inang. Beberapa ragi dan mold memberi melanin pada dinding sel, memberikan pigmen coklat atau hitam. Jamur yang demikian adalah dematiaceous. Dalam beberapa penelitian, melanin berhubungan dengan virulensi (Brooks dkk, 2005).
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Jamur
Setiap mikroorganisme mempunyai kurva pertumbuhan, begitu pula fungi. Kurva tersebut diperoleh dari menghitung massa sel pada kapang atau kekeruhan media pada khamir dalam waktu tertentu. Kurva pertumbuhan mempunyai beberapa fase (Gandjar, 2006) antara lain :
- Fase lag, yaitu fase penyesuaian sel-sel dengan lingkungan, pembentukan enzim-enzim untuk mengurai substrat;
- fase akselerasi, yaitu fase mulainya sel-sel membelah dan fase lag menjadi fase aktif;
- fase eksponensial, merupakan fase perbanyakan jumlah sel yang sangat banyak, aktivitas sel sangat meningkat, dan fase ini merupakan fase yang penting dalam kehidupan fungi. Pada awal dari fase ini kita dapat memanen enzim-enzim dan pada akhir dari fase ini atau;
- fase deselerasi (Moore-Landecker, 1996 dalam Gandjar, 2006), yaitu waktu sel-sel mulai kurang aktif membelah, kita dapat memanen biomassa sel atau senyawa-senyawa yang tidak lagi diperlukan oleh sel-sel;
- fase stasioner, yaitu fase jumlah sel yang bertambah dan jumlah sel yang mati relatif seimbang. Kurva pada fase ini merupakan garis lurus yang horizontal. Banyak senyawa metabolit sekunder dapat dipanen pada fase stasioner;
- fase kematian dipercepat, jumlah sel-sel yang mati atau tidak aktif sama sekali lebih banyak daripada sel-sel yang masih hidup.
Pada umumnya pertumbuhan fungi dipengaruhi oleh (Gandjar, 2006):
1. Substrat
Substrat merupakan sumber nutrien utama bagi fungi. Nutrien-nutrien baru dapat dimanfaatkan sesudah fungi mengekskresi enzim-enzim ekstraselular yang dapat mengurai senyawa-senyawa kompleks dari substrat tersebut menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana. Misalnya, apabila substratnya nasi, atau singkong, atau kentang, maka fungi tersebut harus mampu mengekskresikan enzim α-amilase untuk mengubah amilum menjadi glukosa. Senyawa glukosa tersebut yang kemudian diserap oleh fungi. Apabila substratnya daging, maka fungi tersebut harus mengeluarkan enzim yang proteolitik untuk dapat menyerap senyawa asam-asam amino hasil uraian protein. Contoh yang lain lagi, misalnya substratnya berkadar lemak tinggi, maka fungi tersebut harus mampu menghasilkan lipase agar senyawa asam lemak hasil uraian dapat diserap ke dalam tubuhnya. Fungi yang tidak dapat menghasilkan enzim sesuai komposisi substrat dengan sendirinya tidak dapat memanfaatkan nutrien-nutrien dalam substrat tersebut.
Substrat merupakan sumber nutrien utama bagi fungi. Nutrien-nutrien baru dapat dimanfaatkan sesudah fungi mengekskresi enzim-enzim ekstraselular yang dapat mengurai senyawa-senyawa kompleks dari substrat tersebut menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana. Misalnya, apabila substratnya nasi, atau singkong, atau kentang, maka fungi tersebut harus mampu mengekskresikan enzim α-amilase untuk mengubah amilum menjadi glukosa. Senyawa glukosa tersebut yang kemudian diserap oleh fungi. Apabila substratnya daging, maka fungi tersebut harus mengeluarkan enzim yang proteolitik untuk dapat menyerap senyawa asam-asam amino hasil uraian protein. Contoh yang lain lagi, misalnya substratnya berkadar lemak tinggi, maka fungi tersebut harus mampu menghasilkan lipase agar senyawa asam lemak hasil uraian dapat diserap ke dalam tubuhnya. Fungi yang tidak dapat menghasilkan enzim sesuai komposisi substrat dengan sendirinya tidak dapat memanfaatkan nutrien-nutrien dalam substrat tersebut.
2. Kelembapan
Faktor ini sangat penting untuk pertumbuhan fungi. Pada umumnya fungi tingkat rendah seperti Rhizopus atau Mucor memerlukan lingkungan dengan kelembapan nisbi 90%, sedangkan kapang Aspergillus, Penicillium, Fusarium, dan banyak hyphomycetes lainnya dapat hidup pada kelembapan nisbi yang lebih rendah, yaitu 80%. Fungi yang tergolong xerofilik tahan hidup pada kelembapan 70%, misalnya Wallemia sebi, Aspergillus glaucus, banyak strain Aspergillus tamarii dan A. Flavus (Santoso et al., 1998 dalam Gandjar, 2006). Dengan mengetahui sifat-sifat fungi ini penyimpanan bahan pangan dan materi lainnya dapat dicegah kerusakannya.
3. Suhu
Berdasarkan kisaran suhu lingkungan yang baik untuk pertumbuhan, fungi dapat dikelompokkan sebagai fungi psikrofil, mesofil, dan termofil. Fungi psikofril adalah fungi yang dengan kemampuan untuk tumbuh pada atau optimum 400C dan suhu maksimum 50-600C. Contohnya Aspergillus fumigatus yang hidup pada suhu 12-550C. Mengetahui kisaran suhu pertumbuhan suatu fungi adalah sangat penting, terutama bila isolat-isolat tertentu akan digunakan di industri. Misalnya, fungi yang termofil atau termotoleran (Candida tropicalis, Paecilomyces variotii, dan Mucor miehei), dapat memberikan produk yang optimal meskipun terjadi peningkatan suhu, karena metabolisme funginya, sehingga industri tidak memerlukan penambahan alat pendingin.
4. Derajat keasaman lingkungan
pH substrat sangat penting untuk pertumbuhan fungi, karena enzim-enzim tertentu hanya akan mengurai suatu substrat sesuai dengan aktivitasnya pada pH tertentu. Umumnya fungi menyenangi pH di bawah 7.0. Jenis-jenis khamir tertentu bahkan tumbuh pada pH yang cukup rendah, yaitu pH 4.5-5.5. Mengetahui sifat tersebut adalah sangat penting untuk industri agar fungi yang ditumbuhkan menghasilkan produk yang optimal, misalnya pada produksi asam sitrat, produksi kefir, produksi enzim protease-asam, produksi antibiotik, dan juga untuk mencegah pembusukan bahan pangan. yang dapat merapuhkan tekstil, atau meninggalkan noda-noda hitam akibat sporulasi yang terjadi, sehingga menurunkan kualitas bahan tersebut.
Selama pertumbuhannya fungi menghasilkan senyawa-senyawa yang tidak diperlukannya lagi dan dikeluarkan ke lingkungan. Senyawa-senyawa tersebut merupakan suatu pengaman pada dirinya terhadap serangan oleh mikroorganisme lain termasuk terhadap sesama mikroorganisme. Manusia memanfaatkan senyawa-senyawa tersebut, yang kita kenal sebagai antibiotik, untuk mencegah berbagai penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme (Gandjar, 2006).
Teori Simpul
Gambar 1. Teori Simpul Penyakit yang Disebabkan Jamur Candida albicans dan Aspergillus spp. pada Pakaian Bekas
Dalam proses kejadian penyakit, termasuk penyakit menular, pada hakikatnya dapat diuraikan dalam empat simpul (Anies, 2006). Simpul 1 yaitu sumber penyakit. Sumber penyakit adalah titik yang menyimpan dan/atau menggandakan agen penyakit serta mengeluarkan atau mengemisikan agen penyakit. Agen penyakit adalah komponen lingkungan yang dapat menimbulkan gangguan penyakit melalui media perantara (yang juga komponen lingkungan) (Achmadi, 2013). Dalam hal ini, simpul 1 berupa jamur yang terdapat pada pakaian bekas, diantaranya jamur Candida albicans dan Aspergillus spp.
Simpul 2 yaitu media transmisi penyakit. Media transmisi penyakit yaitu komponen lingkungan yang dapat memindahkan agen penyakit. Media transmisi tidak akan memiliki potensi penyakit kalau di dalamnya tidak mengandung agen penyakit (Achmadi, 2013). Dalam hal ini, simpul 2 berupa udara dan pakaian yang mengandung bakteri yang berasal manusia.
Simpul 3 yaitu perilaku pemajanan. Hubungan interaktif antara komponen lingkungan dengan penduduk berikut perilakunya, dapat diukur dengan konsep yang disebut sebagai perilaku pemajanan atau behavioral exposure. Perilaku pemajanan adalah jumlah kontak antara manusia dengan komponen lingkungan yang mengandung potensi bahaya penyakit (agen penyakit) (Achmadi, 2013). Dalam hal ini, simpul 3 berupa pengetahuan, perilaku, pekerjaan, dan lokasi penduduk.
Simpul 4 yaitu kejadian penyakit. Kejadian penyakit merupakan outcome hubungan interaktif antara penduduk dengan lingkungan yang memiliki potensi bahaya gangguan kesehatan. Manifestasi dampak akibat hubungan antara
penduduk dengan lingkungan menghasilkan penyakit pada penduduk (Achmadi, 2013).
Penyakit yang Disebabkan Jamur
Penyakit yang disebabkan jamur pada manusia disebut mikosis. Menurut Entjang (2003), penyakit-penyakit yang disebabkan jamur yaitu:
- Tinea versicolor (panu) yaitu mikosis superfisial dengan gejala berupa macula (bercak) putih kekuning-kuningan disertai rasa gatal, biasanya pada kulit dada, bahu, punggung, axilla, leher dan perut bagian atas. Pada penyembuhan, daerah yang terkena biasanya mengalami depigmentasi dalam waktu yang cukup lama. Penyakit ini disebabkan Malassezia furfur.
- Tinea cruris yaitu mikosis superfisial yang mengenai paha bagian atas sebelah dalam. Pada kasus yang berat dapat pula mengenai kulit sekitarnya, daerah scrotum, perineum, perut dan ketiak. Penyakit ini disebabkan Epidermophyton floccosum atau Trichophyton sp.
- Tinea circinata (tinea corporis) yaitu mikosis superfisial berbentuk bulat-bulat (cincin) dimana terjadinya jaringan granulamatous, pengelupasan lesi kulit disertai rasa gatal. Gejala penyakitnya bermula berupa papula kemerahan yang melebar ke arah luar sedang bagian tengahnya membaik, pinggirnya agak menonjol dan berwarna merah. Penyakit ini disebabkan Mycrosporum sp. dan Trichophyton sp.
- Nocardiosis yaitu mikosis yang menyerang jaringan subkutan dimana terjadi pembengkakan jaringan yang terkena dan terjadinya lubang-lubang yang mengeluarkan nanah dan jamurnya berupa granula. Penyakit ini disebabkan Nocardia asteroides.
- Candidiasis yaitu mikosis yang menyerang kulit, kuku, selaput lendir mulut, vagina dan organ tubuh seperti ginjal, jantung dan paru-paru. Penyakit ini disebabkan Candida albicans.
- Sporotrichosis yaitu mikosis yang mengenai kulit dan kelenjar lympha superfisial dengan gejala benjolan (nodul) di bawah kulit kemudian membesar, merah, meradang, proses nekrosis kemudian terbentuk ulcus. Nodula yang sama terjadi sepanjang pembuluh lympha regional dan terjadi ulcus-ulcus berikutnya. Penyakit ini disebabkan Sporotrichum schenckii.
- Blastomycosis yaitu mikosis yang menyerang kulit, paru-paru, viscera tulang dan sistem syaraf dengan gejala berupa papula atau pustula yang berkembang menjadi ulcus kronik dengan jaringan granulasi pada alasnya. Penyakit ini disebabkan Blastomyces dermatitidis dan Blastomyces brasieliensis.
- Aspergillosis yaitu infeksi oputunistik yang paling sering terjadi pada paru-paru dengan gejala yang mirip dengan TB paru. Penyakit ini disebabkan Aspergillus spp. terutama Aspergillus fumigatus (Rusdi, 2013).
Gambar 2. Badan penderita Tinea versicolor (panu) (Sumber: Siregar, 2004) |
Gambar 3. Tangan penderita sporotrichosis (Sumber: Siregar, 2004) Universitas Sumatera
Post a Comment