1. Defenisi Emotional Labor
Istilah emotional labor didefenisikan Robbin & Judge (2008) sebagai kemampuan dimana seorang karyawan memperlihatkan emosi-emosi yang diinginkan secara organisasi selama transaksi antarpersonal ditempat kerja.
Emotional Labor merupakan istilah yang relatif baru, Menurut Hochchild (1983) mengartikan konsep emotional labor sebagai “manajemen perasaan untuk menciptakan ekspresi muka dan jasmani” yang dapat dilihat secara umum. Menurut dari defenisi ini, para karyawan mengatur ekspresi emosi melalui ekspresi wajah yang mereka berikan kepada orang lain. Cara untuk melibatkan emosi untuk mengubah ekspresi. Hochchild (1983) juga mengatakan bahwa individu mengontrol emosinya dalam kehidupan pribadi dan juga dalam pekerjaan.
Emotional Labor adalah kontrol perilaku seseorang untuk menampilkan emosi yang tepat (Chu, 2002) hal ini mununjukkan bahwa seseorang harus membangkitkan atau menekan emosi tertentu sehingga harus menyesuaikan diri dengan norma-norma sosial. Konsep dari emotional labor ini tidak terbatas hanya pada tempat kerja saja, ini juga akan terjadi pada setiap aspek kehidupan.
Hochschlid (2013) mendefenisikan emotional labor sebagai mengacu pada pengendalian emosi dari pekerja yang sering kontak dengan pelanggan.
Kontrol ini menghasilkan ekspresi wajah dan gerakan tubuh. Organisasi dan sistem penghargaan gajinya menentukan bahwa pekerja harus mengontrol emosi mereka ditempat kerja dan mampu menciptakan suasana kerja yang kondusif bagi organisasi. Menurut Grandey (2013) bahwa emotional labor adalah proses mengatur baik perasaan dan ekspresi untuk tujuan organisasi.
Ketika personal line pertama berinteraksi dengan pelanggan, emotional labor adalah tindakan mengekspresikan emosi yang tepat, dalam tuntutan organisasi pekerja harus mengontrol perilaku mereka dan menampilkan emosi yang sesuai. Ashforth dan Humphrey (1993) mendefenisikan emotional labor sebagai tindakan menampilkan emosi yang tepat.
Berdasarkan uraian diatas, maka pengertian dari emotional labor adalah kesesuaian emosi yang berlaku bagi organisasi sesuai dengan tuntutan peran yang mengharuskan seseorang untuk menampilkan perilaku emosional yang menutupi perasaan mereka sebenarnya didalam suatu perusahaan.
2. Dimensi Emtional Labor
Menurut Robbin & Judge (2008) dimensi dari emotional labor ada dua yaitu sebagai berikut :
1. Surface Acting
Surface Acting adalah menyembunyikan perasaan terdalam seseorang dan menghilangkan ekspresi-ekspresi emosional sebagai respons terhadap aturan-aturan penampilan. Surface Acting ini mengekspresikan emosi tanpa merasa bahwa sedang emosi (Hochschild, 1983). Surface Acting sering juga disebut dengan berpura-pura menampilkan emosi yang berbeda. Saat suasana hati sedang negative, karyawan harus bisa menampilkan wajah yang riang, senyuman, keramahaan dan emosi emosi yang positif. Surface acting berfokus pada ketidak sesuaian antara emosi yang sebenarnya dan yang ditampilkan. Surface Acting paling sering melibatkan emosi negative, seperti marah, jengkel, sedih kemudian ketika melihatkan emosi positive seperti bahagia, gembira.
2. Deep Acting
Deep Acting adalah berusaha untuk mengubah perasaan seseorang berdasarkan aturan-aturan penampilan. Deep Acting juga sering disebut dengan berupaya mengelola emosi negative menjadi benar-benar positive sehingga konsisten antara emosi yang dirasakan dan emosi yang ditampilkan atau ditunjukkan.
3. Frequency
Frequency telah menjadi dimensi yang paling penting pada emotional labor dan hal ini masih tetap merupakan indikator penting karena semakin sering sebuah organisasi atau perusahaan membutuhkan menampilkan emosi yang tepat secara sosial maka semakin besar juga permintaan tenaga kerja atau karyawan yang harus
menggunakan emotional labor.
4. Variety
Variety merupakan emosi yang sangat luas untuk diekspresikan, karena karyawan harus menampilakn berbagai macam emosi sesuai dengan aturan dari perusahaan.
5. Intensity
Setiap orang memiliki intensitas dalam mengekspresikan emosi yang berbeda satu dengan yang lainnya. Ada individu yang hampir tidak pernah menunjukkan perasaannya, tetapi ada juga orang yang sangat emosional.
6. Dampak dari Emotional Labor
Dalam literatur emotional labor, para peneliti membahas hasil yang tidak menguntungkan. Hasil yang paling sering dikutip adalah kelelahan (Hochschild, 1983; Kahn, 1993; Morris & Feldman, 1996) dan job dissatisfaction (Morris & Feldman, 1996; Grandey, 1999; Wharton, 1993).
Emotional Labor menyebabkan peningkatan kelelahan, emosi antara karyawan dengan otonomi kerja yang rendah, masa kerja lebih lama dan bekerja dengan waktu yang lama.
Menurut Hochchild (1983) secara umum, emosi ditangani dalam kaitannya dengan emosi umum yang diharapkan oleh organisasi atau pekerjaan dari karyawan mereka. Akibatnya, perspektif ini menyatakan bahwa secara umum dapat membedakan emosi yang dirasakan oleh seorang karyawan dari emosi yang ia tampilkan, yang memiliki bentuk ekspresi wajah, gerak isyarat, nada, suara dan bahasa yang digunakan untuk menyampaikan perasaan (Kurniasari, 2011). Memperlihatkan emosi yang berbeda dari apa yang seseorang rasakan meliputi pengaturan emosi, yang merupakan upaya untuk mempengaruhi emosi yang dimiliki dan bagaimana emosi ini dialami atau diekspresikan (Gronross, 1990). Aktivitas ini dianggap sebagai tugas atau pekerjaan karena karyawan dibayar atau digaji untuk menampilkan emosi terbaik mereka ketika berhadapan dengan konsumen atau orang-orang dalam organisasi dan menghasilkan keadaan emosi yang tepat.
Menurut Hochschild, (1983) dan Karabanow (1999) untuk memenuhi kebutuhan emosi organisasi, karyawan juga perlu berlatih untuk memainkan peran seperti tersenyum atau tertawa. Dengan kata lain, ketika karyawan sedang berinteraksi dengan klien atau pelanggan, karyawan harus menampilkan emosi yang diinginkan oleh perusahaan atau organisasinya. shforth dan Humphrey (1993) mengatakan bahwa emotional labor sebagai “pedang bermata dua”. Pada satu sisi emotional labor ini dapat memfasilitasi kinerja tugas dan mengatur interaksi dan mampu menghalangi masalah interpersonal. Pada sisi lain, hal ini dapat mengganggu kinerja karyawan dengan harapan dari karyawan yang tidak dapat dipenuhi. Hal ini akan berdampak pada kesejahteraan psikologis (Ashforth & Humphrey, 1993).
Post a Comment