1. Pengantar
Tujuan kedua dari delapan tujuan Pembangunan Millenium (TPM) atau Millennium Development Goals (MDGs) adalah mencapai pendidikan dasar untuk semua. MDGs memang bukan merupakan isu yang baru, tetapi pencapaian target MDGs di Indonesia masih di bawah target yang diharapkan. Bahkan, menurut Laporan "A Future Within Reach" maupun Laporan MDGs Asia-Pasifik tahun 2006, Indonesia termasuk dalam kategori terbawah bersama Banglades, Laos, Mongolia, Myanmar, Pakistan, Papua Nugini dan Filipina (Hartiningsih, 2007). Pada awal sosialisasi MDGs di Indonesia memang menimbulkan beberapa kontroversi. Ada sebagian dari komponen masyarakat yang menganggap bahwa MDGs sebagai program yang ambisius. Namun, MDGs sebenarnya bukan hal yang ambisius atau mengada-ada karena MDGs merupakan program yang didasarkan pada semangat pemenuhan hak dasar warga negara. Hal ini dapat dilihat bahwa sebagian besar indikator MDGs didasarkan pada Human Development Index (HDI) yang terdiri dari tiga indikator, yaitu: pencapaian pembangunan bidang kesehatan, pendidikan dan ekonomi. Tiga indikator dalam HDI yang meliputi aspek kesehatan, pendidikan dan ekonomi tersebut mencerminkan sejauh mana negara mampu memenuhi hak-hak dasar warga negara.
Apabila keberhasilan pencapaian MDGs diukur dari HDI, maka pencapaian MDGs di Indonesia masih sangat memprihatinkan. Posisi Indonesia dalam HDI pada tahun 2006 berada pada urutan 108, dengan nilai indeks sebesar 0,83. Ranking Indonesia ini jauh di bawah negara-negara Asia Tenggara lainnya, misalnya Singapura yang berada pada urutan ke-25, Malaysia ke- 61, Thailand ke-74, Filipina ke–84 dan Brunei Darrusalam ke-34. Karena tulisan ini akan mendiskusikan tujuan kedua dari delapan Tujuan Pembangunan Milenium, maka akan disajikan tingkat pencapaian bidang pendidikan di Indonesia. Setidaknya kita akan melihat posisi Indonesia dalam beberapa negara di Asia Tenggara. Menurut Global Monitoring Report (GMR) 2008 yang dikeluarkan UNESCO, Indeks Pembangunan Pendidikan atau Education Development Index (EDI) Indonesia mengalami penurunan. Pada GMR, peringkat Indonesia turun dari posisi 58 menjadi 62. Seperti yang dipaparkan pada Kompas (31 Desember 2007:14), nilai total EDI yang diperoleh Indonesia juga mengalami penurunan sebesar 0,003 poin dari 0,938 menjadi 0,935. Tabel 1 berikut ini menyajikan nilai EDI agar dapat mengamati perbandingan Education Development Index (EDI) beberapa negara Asia Tenggara.
Tujuan kedua dari delapan tujuan Pembangunan Millenium (TPM) atau Millennium Development Goals (MDGs) adalah mencapai pendidikan dasar untuk semua. MDGs memang bukan merupakan isu yang baru, tetapi pencapaian target MDGs di Indonesia masih di bawah target yang diharapkan. Bahkan, menurut Laporan "A Future Within Reach" maupun Laporan MDGs Asia-Pasifik tahun 2006, Indonesia termasuk dalam kategori terbawah bersama Banglades, Laos, Mongolia, Myanmar, Pakistan, Papua Nugini dan Filipina (Hartiningsih, 2007). Pada awal sosialisasi MDGs di Indonesia memang menimbulkan beberapa kontroversi. Ada sebagian dari komponen masyarakat yang menganggap bahwa MDGs sebagai program yang ambisius. Namun, MDGs sebenarnya bukan hal yang ambisius atau mengada-ada karena MDGs merupakan program yang didasarkan pada semangat pemenuhan hak dasar warga negara. Hal ini dapat dilihat bahwa sebagian besar indikator MDGs didasarkan pada Human Development Index (HDI) yang terdiri dari tiga indikator, yaitu: pencapaian pembangunan bidang kesehatan, pendidikan dan ekonomi. Tiga indikator dalam HDI yang meliputi aspek kesehatan, pendidikan dan ekonomi tersebut mencerminkan sejauh mana negara mampu memenuhi hak-hak dasar warga negara.
Apabila keberhasilan pencapaian MDGs diukur dari HDI, maka pencapaian MDGs di Indonesia masih sangat memprihatinkan. Posisi Indonesia dalam HDI pada tahun 2006 berada pada urutan 108, dengan nilai indeks sebesar 0,83. Ranking Indonesia ini jauh di bawah negara-negara Asia Tenggara lainnya, misalnya Singapura yang berada pada urutan ke-25, Malaysia ke- 61, Thailand ke-74, Filipina ke–84 dan Brunei Darrusalam ke-34. Karena tulisan ini akan mendiskusikan tujuan kedua dari delapan Tujuan Pembangunan Milenium, maka akan disajikan tingkat pencapaian bidang pendidikan di Indonesia. Setidaknya kita akan melihat posisi Indonesia dalam beberapa negara di Asia Tenggara. Menurut Global Monitoring Report (GMR) 2008 yang dikeluarkan UNESCO, Indeks Pembangunan Pendidikan atau Education Development Index (EDI) Indonesia mengalami penurunan. Pada GMR, peringkat Indonesia turun dari posisi 58 menjadi 62. Seperti yang dipaparkan pada Kompas (31 Desember 2007:14), nilai total EDI yang diperoleh Indonesia juga mengalami penurunan sebesar 0,003 poin dari 0,938 menjadi 0,935. Tabel 1 berikut ini menyajikan nilai EDI agar dapat mengamati perbandingan Education Development Index (EDI) beberapa negara Asia Tenggara.
Tabel 1. Indeks Pembangunan Pendidikan Negara Asia Tenggara
Negara
|
Indeks Pembangunan Pendidikan
|
Angka Partisipasi Pendidikan Dasar
|
Angka Melek Huruf usia 15 thn keatas
|
Angka menurut gender
|
Angka Bertahan hingga kelas 5
SD
|
Brunei
Darrussalam
|
0,965
|
0,969
|
0,927
|
0,967
|
0,995
|
Malaysia
|
0,945
|
0,954
|
0,904
|
0,938
|
0,984
|
Indonesia
|
0,935
|
0,983
|
0,904
|
0,959
|
0,895
|
Vietnam
|
0,899
|
0,878
|
0,903
|
0,945
|
0,868
|
Filipina
|
0,893
|
0,944
|
0,926
|
0,955
|
0,749
|
Myanmar
|
0,866
|
0,902
|
0,899
|
0,963
|
0,699
|
Kamboja
|
0,807
|
0,989
|
0,736
|
0,871
|
0,631
|
Laos
|
0,750
|
0,836
|
0,714
|
0,820
|
0,630
|
Sumber: EFA Global Monitoring Report 2008 dalam Kompas 31 Desember 2007:14.
Menurut sistem penilaian EDI yang membagi tiga kategori skor, yaitu kelompok negara dengan indeks pendidikan tinggi (0,950 keatas), sedang (0,800 sampai dibawah 0,950) dan rendah (dibawah 0,800). Maka menempatkan Indonesia, Malaysia, Filipina, Vietnam, Myanmar dan Kamboja, berada di kelompok negara dengan kategori EDI sedang. Sementara Indeks Pendidikan Brunei Darussalam menempati peringkat tinggi (Kompas, 31 Desember 2007:14).
Posisi negara Indonesia yang berada pada kategori sedang ini terkait dengan beberapa realita. Realita-realita tersebut, yang akan diuraikan pada pembahasan berikut ini yang terdiri dari angka buta huruf di beberapa daerah, rendahnya rata-rata lama studi dan kesenjangan Angka Partsipasi Sekolah (APS) antara laki-laki dan perempuan.
Pembangunan nasional yang telah dilaksanakan sejak Repelita I tahun 1969, hendaknya telah mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Meskipun pembangunan nasional telah dilaksanakan sejak Repelita I ternyata masih menyisakan sejumlah masalah diantaranya bidang pendidikan. Salah satu indikatornya adalah kemampuan baca tulis yang merupakan ketrampilan minimal yang diperlukan oleh masyarakat untuk mencapai hidup sejahtera. Kemampuan baca tulis tercermin dari angka melek huruf yaitu persentase penduduk diatas 10 tahun yang dapat membaca dan menulis. Pada tahun 2005, memang proporsi penduduk yang masih buta huruf secara nasional sudah jauh menurun dan tinggal sebesar 8,09% (Statistik Kesejahteraan Rakyat, 2005:70). Namun beberapa propinsi masih memiliki proporsi buta huruf yang relatif tinggi, seperti Papua (26,43%), NTB (18,27%), Sulawesi Selatan (13,71%), NTT (13,32%), Jawa Timur (12,79%), DIY (12,11%), Jawa Tengah (11,13%) dan Kalimantan Barat (10,89%). Disparitas angka melek huruf tersebut bukan hanya meliputi propinsi saja, akan tetapi disparitas juga terjadi antara desa-kota dan laki-laki perempuan. Menurut Statistik Pendidikan 2006, persentase penduduk buta huruf 10 tahun keatas di daerah pedesaan (10,24%) mencapai dua kali lipat lebih tinggi dibanding perkotaan (4,24%). Pola serupa juga ditemukan untuk laki-laki dan perempuan. Persentase penduduk buta huruf perempuan (10,33%) mencapai dua kali lipat lebih tinggi dibandingkan penduduk laki-laki (4,88%).
Disamping masih tingginya angka buta huruf di beberapa daerah (termasuk DIY yang notabene sebagai kota pendidikan) masalah lain yang masih harus mendapat perhatian serius adalah rendahnya rata-rata lama sekolah. Rata-rata lama sekolah merupakan indikator lainnya yang diformulasikan oleh UNDP pada tahun 1990 untuk menyusun Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Program Wajib Belajar 9 tahun telah dicanangkan pemerintah sejak tahun 1994 melalui Inpres I tahun 1994. Rata-rata lama sekolah di Indonesia pada tahun 2006 baru mencapai 7,44 (Statistik Pendidikan 2006:57). Angka ini menunjukkan bahwa rata-rata pendidikan penduduk Indonesia baru mencapai jenjang pendidikan kelas 1 SMP. Realita tersebut diatas jelas menuntut bahwa percepatan pembangunan bidang pendidikan terutama pendidikan dasar merupakan kebutuhan yang sangat mendesak.
Tulisan ini bertujuan mengkaji beberapa program Pemerintah Indonesia untuk mewujudkan pendidikan dasar untuk semua serta mengemukakan kajian tentang pencapaian program pendidikan di Indonesia berkaitan dengan tujuan kedua dari Millenium Development Goals (MDGs). Data yang digunakan dalam kajian ini berasal dari berbagai sumber diantaranya Biro Pusat Statistik, Depdiknas dan media masa.
Menurut sistem penilaian EDI yang membagi tiga kategori skor, yaitu kelompok negara dengan indeks pendidikan tinggi (0,950 keatas), sedang (0,800 sampai dibawah 0,950) dan rendah (dibawah 0,800). Maka menempatkan Indonesia, Malaysia, Filipina, Vietnam, Myanmar dan Kamboja, berada di kelompok negara dengan kategori EDI sedang. Sementara Indeks Pendidikan Brunei Darussalam menempati peringkat tinggi (Kompas, 31 Desember 2007:14).
Posisi negara Indonesia yang berada pada kategori sedang ini terkait dengan beberapa realita. Realita-realita tersebut, yang akan diuraikan pada pembahasan berikut ini yang terdiri dari angka buta huruf di beberapa daerah, rendahnya rata-rata lama studi dan kesenjangan Angka Partsipasi Sekolah (APS) antara laki-laki dan perempuan.
Pembangunan nasional yang telah dilaksanakan sejak Repelita I tahun 1969, hendaknya telah mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Meskipun pembangunan nasional telah dilaksanakan sejak Repelita I ternyata masih menyisakan sejumlah masalah diantaranya bidang pendidikan. Salah satu indikatornya adalah kemampuan baca tulis yang merupakan ketrampilan minimal yang diperlukan oleh masyarakat untuk mencapai hidup sejahtera. Kemampuan baca tulis tercermin dari angka melek huruf yaitu persentase penduduk diatas 10 tahun yang dapat membaca dan menulis. Pada tahun 2005, memang proporsi penduduk yang masih buta huruf secara nasional sudah jauh menurun dan tinggal sebesar 8,09% (Statistik Kesejahteraan Rakyat, 2005:70). Namun beberapa propinsi masih memiliki proporsi buta huruf yang relatif tinggi, seperti Papua (26,43%), NTB (18,27%), Sulawesi Selatan (13,71%), NTT (13,32%), Jawa Timur (12,79%), DIY (12,11%), Jawa Tengah (11,13%) dan Kalimantan Barat (10,89%). Disparitas angka melek huruf tersebut bukan hanya meliputi propinsi saja, akan tetapi disparitas juga terjadi antara desa-kota dan laki-laki perempuan. Menurut Statistik Pendidikan 2006, persentase penduduk buta huruf 10 tahun keatas di daerah pedesaan (10,24%) mencapai dua kali lipat lebih tinggi dibanding perkotaan (4,24%). Pola serupa juga ditemukan untuk laki-laki dan perempuan. Persentase penduduk buta huruf perempuan (10,33%) mencapai dua kali lipat lebih tinggi dibandingkan penduduk laki-laki (4,88%).
Disamping masih tingginya angka buta huruf di beberapa daerah (termasuk DIY yang notabene sebagai kota pendidikan) masalah lain yang masih harus mendapat perhatian serius adalah rendahnya rata-rata lama sekolah. Rata-rata lama sekolah merupakan indikator lainnya yang diformulasikan oleh UNDP pada tahun 1990 untuk menyusun Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Program Wajib Belajar 9 tahun telah dicanangkan pemerintah sejak tahun 1994 melalui Inpres I tahun 1994. Rata-rata lama sekolah di Indonesia pada tahun 2006 baru mencapai 7,44 (Statistik Pendidikan 2006:57). Angka ini menunjukkan bahwa rata-rata pendidikan penduduk Indonesia baru mencapai jenjang pendidikan kelas 1 SMP. Realita tersebut diatas jelas menuntut bahwa percepatan pembangunan bidang pendidikan terutama pendidikan dasar merupakan kebutuhan yang sangat mendesak.
Tulisan ini bertujuan mengkaji beberapa program Pemerintah Indonesia untuk mewujudkan pendidikan dasar untuk semua serta mengemukakan kajian tentang pencapaian program pendidikan di Indonesia berkaitan dengan tujuan kedua dari Millenium Development Goals (MDGs). Data yang digunakan dalam kajian ini berasal dari berbagai sumber diantaranya Biro Pusat Statistik, Depdiknas dan media masa.
Pada bulan September tahun 2000, perwakilan-perwakilan dari 189 negara menandantangani deklarasi yang disebut sebagai Millennium Declaration yang mengandung 8 poin dan harus dicapai sebelum tahun 2015. Negara-negara yang membuat kesepakatan tersebut bukan saja negara kaya tetapi juga negara-negara miskin dan berkembang. Delapan poin ini tergabung dalam tujuan yang dinamakan sebagai Millennium Development Goals (MDGs). Di Indonesia MDGs disebut sebagai Tujuan Pembangunan Milenium.
Delapan kesepakatan dalam MDGs tersebut adalah:
- Menanggulangi kemiskinan dan kelaparan (eradicate extreme poverty and hunger).
- Mencapai pendidikan dasar untuk semua (achieve universal primary education)
- Mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan (promote gender equality and empower women)
- Menurunkan Angka Kematian anak (reduce child mortality).
- Meningkatkan kesehatan Ibu (increase maternal health)
- Memerangi HIV/AIDS, Malaria dan penyakit lainnya (combat HIV/AIDS, malaria and other diseases)
- Memastikan kelestarian lingkungan hidup (ensure environment sustainability).
- Membangun kemitraan global untuk pembangunan (develop a global partnership for development).
Dengan menggunakan prinsip right based approach, maka upaya untuk memberikan pelayanan bidang pendidikan menjadi salah satu tujuan prioritas di dalam Tujuan Pembangunan Millenium dengan tekad untuk mewujudkan Education for All (EFA) yang di Indonesia kemudian disebut sebagai Pendidikan untuk Semua (PUS).
Mengapa pemenuhan pelayanan pendidikan kepada seluruh warga negara menjadi prioritas yang akan diwujudkan di dalam MDGs? Hal ini karena pendidikan merupakan hak dasar setiap warga negara. Pendidikan merupakan kebutuhan paling asasi bagi semua orang karena masyarakat yang berpendidikan setidaknya dapat mewujudkan tiga hal, yaitu : Pertama, dapat membebaskan dirinya dari kebodohan dan keterbelakangan. Kedua, mampu berpartisipasi dalam proses politik untuk mewujudkan masyarakat yang demokratis dan ketiga, memiliki kemampuan untuk membebaskan diri dari kemiskinan.
Pentingnya pendidikan sebagaimana diuraikan di atas memang tidak dapat disangkal lagi. Bagi sebagian besar orang miskin, pendidikan merupakan salah satu alat mobilitas vertikal yang paling penting. Ketika modal yang lain tidak mereka miliki, terutama modal berupa uang atau barang, hanya dengan modal pendidikanlah mereka dapat berkompetisi untuk mendapatkan kesempatan memperoleh penghidupan yang lebih baik di masa depan.
Pendidikan yang tinggi, yang ditunjang dengan kondisi kesehatan yang baik, pada akhirnya dapat meningkatkan kemampuan masyarakat untuk mencapai kehidupan yang sejahtera. Tentu pendidikan dan kesejahteraan tidak memiliki hubungan yang bersifat langsung, akan tetapi melalui proses panjang di mana pendidikan yang baik akan memberi peluang pada anggota masyarakat untuk dapat terlibat di dalam proses pembangunan ekonomi. Bagaimana mekanisme tersebut dapat terjadi dapat dijelaskan dalam proses sebagai berikut: Kondisi pendidikan dan kesehatan yang baik merupakan prasayat terbentuknya SDM yang berkualitas. Dengan SDM yang berlualitas maka masyarakat akan memiliki produktivitas tinggi. Produktivitas yang tinggi pada gilirannya akan berkontribusi sangat significant pada upaya untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi.
Kesempatan untuk dapat memperoleh pelayanan pendidikan, dengan demikian, dapat pula digunakan sebagai instrumen yang paling efektif untuk memotong matai rantai atau lingkaran setan kemiskinan (the vicious circle of poverty, di mana kemiskinan terjadi karena rendahnya produktivitas orang miskin yang disebabkan rendahnya kualitas SDM (pendidikan dan kondisi kesehatan) orang miskin tersebut. Rendahnya SDM orang miskin itu sendiri disebabkan kondisi kemiskinan mereka sehingga mereka tidak mampu melakukan investasi untuk pendidikan dan kesehatan. Bagaimana lingkaran setan kemiskinan tersebut terjadi digambarkan sebagai berikut:
Gambar 1. Lingkaran Setan Kemiskinan
Selain menjadi instrumen strategis untuk memotong lingkaran setan kemiskinan, pendidikan juga punya makna sangat penting bagi upaya untuk memberdayakan kaum perempuan. Relevansi ini tidak hanya berkaitan dengan persoalan kesetaraan gender, akan tetapi juga didasarkan pada realitas bahwa, jika berbicara tentang kemiskinan, maka dari golongan kaum perempuanlah sebagian besar pemberi kontribusi kelompok miskin.
Dengan demikian pendidikan bagi kaum perempuan memiliki makna yang sangat penting. Lebih dari sekedar memberi instrumen untuk memperoleh pendapatan yang lebih baik yang pada gilirannya dapat membebaskan diri dari belenggu kemiskinan dan ketidakberdayaan, pendidikan juga akan memperbaiki kondisi kehidupan kaum perempuan dalam banyak aspek atau dimensi kehidupan mereka. Dengan pendidikan yang maju, maka kaum perempuan akan lebih banyak terekspos dengan berbagai hal seperti kesehatan, hak-hak pribadi, hak politik dan sebagainya. Meningkatnya pengetahuan kaum perempuan terhadap berbagai hal tadi pada gilirannya akan memperbaiki kondisi kesejahteraan masyarakat pada berbagai aspek, sebab kaum perempuanlah yang selama ini menjadi ujung tombak perbaikin kondisi kesejahteraan keluarga. Thomas, et.al (2000: 50-2) menjelaskan bahwa peningkatan kapasitas perempuan tidak hanya memperbaiki pendapatan mereka akan tetapi juga memperbaiki kesehatan reproduksi, menurunkan angka kematian bayi dan anak, serta dengan pengetahuannya tentu akan menguntungkan bagi pembentukan generasi berikutnya. Pendapat senada juga didukung oleh Tatyana (2000: 35) yang menyatakan bahwa pendidikan merupakan unsur yang sangat vital dalam pembangunan ekonomi. Disamping, modal fisik seperti mesin, bangunan dan sejenisnya, modal manusia merupakan unsur vital. Untuk mencapai pembangunan ekonomi yang tinggi maka diperlukan modal manusia yang berpendidikan tinggi juga.
Dengan demikian pendidikan bagi kaum perempuan memiliki makna yang sangat penting. Lebih dari sekedar memberi instrumen untuk memperoleh pendapatan yang lebih baik yang pada gilirannya dapat membebaskan diri dari belenggu kemiskinan dan ketidakberdayaan, pendidikan juga akan memperbaiki kondisi kehidupan kaum perempuan dalam banyak aspek atau dimensi kehidupan mereka. Dengan pendidikan yang maju, maka kaum perempuan akan lebih banyak terekspos dengan berbagai hal seperti kesehatan, hak-hak pribadi, hak politik dan sebagainya. Meningkatnya pengetahuan kaum perempuan terhadap berbagai hal tadi pada gilirannya akan memperbaiki kondisi kesejahteraan masyarakat pada berbagai aspek, sebab kaum perempuanlah yang selama ini menjadi ujung tombak perbaikin kondisi kesejahteraan keluarga. Thomas, et.al (2000: 50-2) menjelaskan bahwa peningkatan kapasitas perempuan tidak hanya memperbaiki pendapatan mereka akan tetapi juga memperbaiki kesehatan reproduksi, menurunkan angka kematian bayi dan anak, serta dengan pengetahuannya tentu akan menguntungkan bagi pembentukan generasi berikutnya. Pendapat senada juga didukung oleh Tatyana (2000: 35) yang menyatakan bahwa pendidikan merupakan unsur yang sangat vital dalam pembangunan ekonomi. Disamping, modal fisik seperti mesin, bangunan dan sejenisnya, modal manusia merupakan unsur vital. Untuk mencapai pembangunan ekonomi yang tinggi maka diperlukan modal manusia yang berpendidikan tinggi juga.
3. Pencapaian Pendidikan Untuk Semua di Indonesia
Pendidikan dasar bagi anak laki-laki dan perempuan adalah tujuan kedua dari Millennium Development Goals (MDGs). Targetnya adalah pada tahun 2015, seluruh anak baik laki-laki maupun perempuan di mana saja mereka berada harus sudah menyelesaikan pendidikan dasar. Sebagai negara yang ikut meratifikasi MDGs/ Tujuan Pembangunan Millenium, Indonesia tidak bisa mengabaikan pembangunan di bidang pendidikan dasar ini.
Untuk dapat mewujudkan Tujuan Pembangunan Millenium bidang pendidikan tersebut tentu bukan perkara yang mudah untuk dilaksanakan. Diperlukan suatu langkah-langkah kongkrit dalam bentuk kebijakan-kebijakan, baik jangka pendek, menengah, maupun jangka panjang untuk dapat mewujudkan tujuan tersebut. Kebijakan-kebijakan tersebut tentu saja tidak hanya dibuat dan diimplementasikan oleh pemerintah pusat saja, akan tetapi juga perlu dukungan dari pemerintah daerah. Sebab, mengacu kepada Undang-Undang No. 22/1999 yang kemudian direvisi menjadi UU No. 32/2004 tentang otonomi daerah, pemerintah daerahlah yang memiliki tugas untuk menyelenggarakan urusan pelayanan pendidikan dasar (SD dan SLTP). Dengan demikian, upaya pemerintah untuk dapat mencapai Tujuan Pembangunan Millenium dalam bidang pendidikan harus juga melibatkan dukungan pemerintah daerah.
Upaya meyakinkan pemerintah daerah untuk dapat mewujudkan tujuan millenium bidang pendidikan tentu bukan pekerjaan mudah dilakukan. Selain kesadaran daerah yang masih kurang tentang pentingnya mewujudkan MDGs, persoalan yang muncul adalah rendahnya dukungan anggaran, SDM, dan infrastruktur yang ada di daerah untuk dapat mewujudkan tujuan MDGs tersebut. Terlebih lagi, koordinasi pembangunan yang tidak lagi bersifat sentralistik seperti yang terjadi pada jaman Orde Baru dalam banyak hal telah menyebabkan berbagai dokumen rencana pembangunan yang dibuat oleh pemerintah, misalnya, Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tidak selalu menjadi acuan pemerintah daerah di dalam membuat dokumen yang sama, yaitu RPJP-D dan RPJM-D. Persoalan yang muncul kemudian adalah rencana dan realisasi berbagai program pembangunan di daerah tidak selalu seiring dan sejalan dengan rencana pembangunan yang dibuat oleh pemerintah pusat.
Kondisi yang demikian sangat mungkin menyebabkan upaya untuk mencapai MDGs bidang pendidikan dasar menjadi tidak akan mudah untuk dilaksanakan. Hanya apabila pemerintah memiliki kapasitas untuk meyakinkan pemerintah daerah bahwa MDGs merupakan hal yang penting yang harus diwujudkan dan diikuti dengan dukungan instrumen koordinasi yang baik saja maka MDGs bidang pendidikan akan dapat dicapai.
Untuk mengetahui sejauh mana pencapaian MDGs bidang pendidikan, maka analisis pada sub bab ini akan dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama akan dilakukan review terhadap berbagai kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah sebagai upaya untuk mewujudkan MDGs tersebut. Pada bagian berikutnya analisis akan lebih diarahkan untuk mengetahui sejauh mana implementasi berbagai macam program tersebut mampu mewujudkan tujuan pembangunan millenium bidang pendidikan.
* Kebijakan Pemerintah Untuk Mencapai
MDGs Bidang Pendidikan
Pemerintah telah banyak melaksanakan kebijakan dan
program untuk menjamin pendidikan. Komitmen pemerintah untuk menjamin
pendidikan ini sangatlah penting mengingat pendidikan merupakan kebutuhan utama
untuk mewujudkan masyarakat sejahtera. Mengingat keterbatasan yang dimiliki
oleh pemerintah, maka program pendidikan dasar yang menjadi prioritas kewajiban
pemerintah. Sebagai wujud konkrit atas pentingnya pendidikan dasar, UUD 1945
pasal 31 (termasuk juga pasal 31 dalam Perubahan keempat Undang-undang Dasar
1945) yang menyatakan bahwa pemerintah bertanggung jawab atas pendidikan dasar.
Hal ini tertuang secara jelas pada ayat 1 dan ayat 2, seperti dibawah ini.
Pasal
31
Ayat
1: “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”
Ayat
2: “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib
membiayainya”
Kemudian
komitmen pemerintah terhadap anggaran tertuang pada pasal 31 ayat 4, yaitu
anggaran pendidikan minimal harus 20% dari APBN dan APBD, seperti dikutip di
bawah ini:
Ayat
4: “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh
persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran
pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan
pendidikan nasional”.
Komitmen pemerintah mengenai pendidikan dasar ini
dipertegas lagi dalam UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(SISDIKNAS), yaitu pada pasal 17 dan pasal 34.
Pasal
17
(1) Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang
melandasi jenjang pendidikan menengah
(2) Pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan
Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta Sekolah Menengah
Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs) atau bentuk lain yang sederajat
(3) Ketentuan mengenai pendidikan dasar sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah
Pasal
34
(1) Setiap warga negara yang berusia 6 tahun dapat
mengikuti program wajib belajar
(2) Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin
terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa
memungut biaya
(3) Wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang
diselenggarakan oleh lembaga pendidikan pemerintah, pemerintah daerah dan
masyarakat.
(4) Ketentuan mengenai wajib belajar sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah (PP).
Pemerintah bahkan menerbitkan kebijakan yang populer untuk mengatasi
putus sekolah pada tingkat pendidikan dasar yaitu dengan Bantuan Operasional
Sekolah (BOS). Program penanggulangan
putus pendidikan dasar telah banyak diterbitkan. Program yang paling populer
saat ini adalah Bantuan Operasional Sekolah atau yang lebih dikenal dengan BOS.
Tujuan pemerintah menciptakan program BOS ini adalah agar semua anak terutama
dari keluarga miskin dapat mencapai kelulusan pada tingkat pendidikan dasar.
Sejak tahun 2001 sampai Juni 2005, pemerintah telah
mengalokasikan sebagian dari penghematan subsidi BBM yang kemudian dialokasikan
sebagai Dana Bantuan Khusus Murid (BKM) bagi keluarga miskin. Untuk periode
Juli–Desember 2005, pemerintah menegaskan untuk melakukan perubahan penerima
langsung dana tersebut, dari keluarga ke sekolah berupa Bantuan Operasional
Sekolah (BOS). Program BOS ini didasarkan pada jumlah siswa yang terdaftar
dalam satu sekolah. Sejak Juli 2005, pemerintah telah menyerahkan dana BOS ke
seluruh sekolah SD dan SMP, dan secara terbatas masih melanjutkan program BKM.
Mekanisme alokasi bantuan yang baru ini telah banyak mengubah anggaran
pendidikan dasar dan pendidikan menengah pertama. Perubahan ini menunjukkan
bahwa pemerintah pusat kini medanai bagian yang cukup besar untuk biaya
operasional sekolah.
Program BOS mencakup sekitar 41 juta siswa dengan
rincian 62 persen berada pada jenjang sekolah dasar dan 38 persen pada
pendidikan sekolah menengah pertama. Program BOS telah menyalurkan sebanyak Rp
5.3 triliun antara Juni–Desember 2005 dan selanjutnya Rp 11.12 triliun di tahun
2006, atau sekitar 25 persen dari keseluruhan anggaran pemerintah pusat untuk
sektor pendidikan. Besarnya anggaran untuk setiap sekolah ditentukan oleh
jumlah siswa, untuk sekolah dasar menerima Rp 235.000 (sekitar AS$25) per siswa
per semester, dan siswa sekolah menengah pertama menerima Rp 324.500 (kira-kira
AS$35). Dana BOS tersebut digunakan untuk menanggulangi biaya operasional
sekolah dan sekolah pun diharapkan dapat menurunkan atau bahkan menghapuskan
uang SPP (sumbangan pembinaan pendidikan). Dana BOS disalurkan secara langsung
ke sekolah. Sekolah harus memiliki nomor rekening bank yang akan digunakan
untuk menyimpan dana tersebut untuk mencegah terjadinya kebocoran, serta untuk
meningkatkan transparansi.
Selain itu, Laporan Bappenas yang berjudul Tema dan Prioritas Pembangunan Nasional
tahun 2007, menetapkan prioritas pembangunan bidang pendidikan tahun 2007, adalah sebagai berikut:
- Beasiswa siswa miskin jenjang SD/MI dan SMP/MTs.
- Beasiswa siswa miskin jenjang SMA/SMK/MA.
- Pengembangan pendidikan keaksaraan fungsional.
* Hasil-Hasil yang Dicapai
Sebagaimana diuraikan di depan, berbagai kebijakan
telah dibuat oleh pemerintah sebagai upaya untuk mewujudkan Tujuan Pembangunan
Millenium di Indonesia, termasuk tujuan yang kedua yaitu keberhasilan bidang
pendidikan. UNDP mengukur keberhasilan dalam implementasi kebijakan bidang
pendidikan melalui tiga indikator, seperti angka melek huruf (literacy rate), angka partisipasi sekolah
(school enrollment ratio) dan lama
studi yang ditempuh ( mean years of
schooling).
Ketiga indikator tersebut akan dipakai sebagai
instrumen analisis untuk menilai sejauh mana keberhasilan atau kinerja
implementasi berbagai kebijakan untuk menyediakan layanan pendidikan bagi semua
di Indonesia.
Tabel 2. Persentase
Penduduk 10 Tahun ke Atas yang Buta Huruf menurut Tipe Daerah, Kelompok Umur
dan Jenis Kelamin, Tahun 2006
Tipe Daerah/
Jenis Kelamin
|
Kelompok Umur (tahun)
|
||
10 - 14
|
15 – 24
|
25 - 44
|
|
Perkotaan:
|
|||
Laki-laki
(L)
|
0,59
|
0,57
|
1,04
|
Perempuan
(P)
|
0,40
|
0,48
|
2,49
|
L+P
|
0,50
|
0,52
|
1,78
|
Perdesaan:
|
|||
Laki-laki
(L)
|
1,49
|
1,71
|
3,81
|
Perempuan
(P)
|
1,25
|
1,98
|
7,26
|
L+P
|
1,37
|
1,84
|
5,58
|
Perkotaan
dan Perdesaan
|
|||
Laki-laki
(L)
|
1,13
|
1,20
|
2,54
|
Perempuan
(P)
|
0,91
|
1,27
|
5,08
|
L+P
|
1,02
|
1,24
|
3,84
|
Sumber: BPS, Susenas Tahun 2006 dalam Statistik
Pendidikan, 2006 (56).
Dari Tabel 2 di atas terlihat
bahwa persentase angka melek huruf di Indonesia boleh dikatakan cukup tinggi,
yaitu di atas 90 persen, baik di daerah perkotaan maupun di daerah perdesaan.
Jika dilihat dari kelompok umur, rata-rata angka melek huruf yang tinggi berada
pada kelompok umur 10-14 tahun, yaitu 98,98%, disusul oleh kelompok umur
15-24 dan 25-44, masing-masing 98,76%
dan 96,16% pada tahun 2006. Di Indonesia, proporsi melek huruf telah mengalami kenaikan dari tahun ke tahun.
Apabila dilihat pada tahun 2004, maka angka melek huruf untuk kelompok umur
15-19 tahun sebesar 98,84% (Indikator Kesejahteraan Rakyat 2005:18). Tingginya
angka melek huruf tersebut tidak terlepas dengan keberhasilan pemerintah untuk
meningkatkan Angka Partisipasi Sekolah (APS). Seperti yang dapat dilihat pada
Tabel 3, Indonesia telah berhasil mencapai Angka Partisipasi Sekolah diatas 90%
untuk Sekolah Dasar selama periode 1995
hingga 2005.
Tabel 3. Angka Partisipasi Sekolah (APS) pada Berbagai
Jenjang Pendidikan, Tahun 1995-2005
(dalam %)
APS
|
1995
|
1998
|
2000
|
2002
|
2004
|
2005
|
SD
|
91,5
|
92,3
|
92,4
|
92,7
|
92,7
|
93,2
|
SMP
|
51,0
|
58,4
|
61,7
|
61,7
|
60,9
|
65,2
|
SMA
|
32,6
|
36,9
|
39,5
|
39,5
|
36,8
|
41,7
|
Berdasarkan Tabel 3 di atas menunjukkan bahwa proporsi
murid yang mampu melanjutkan pada jenjang pendidikan menengah baru sekitar 50%.
Angka Partisipasi Sekolah (APS) atau yang juga sering disebut scholl enrollment
pada Sekolah Dasar (SD) memang sangat tinggi yaitu diatas 90%. Namun kemudian
terjadi penurunan APS pada Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah
Atas (SMA). Meskipun selama periode tahu
1995-2005 tingkat APS pada jenjang Sekolah Menengah Pertama terus mengalami
peningkatan tetapi nilainya masih jauh dari persentase APS pada jenjang
pendidikan Sekolah Dasar. Tingkat APS pada jenjang pendidikan Sekolah Menengah Pertama
hanya berkisar 50-65% selama periode 1995-2005. Dan tingkat APS makin mengalami
penurunan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Rendahnya proporsi
penduduk yang melanjutkan ke Sekolah
Menengah (SMP dan SMA) menyebabkan angka
rata-rata lama sekolah yang rendah.
Tabel 4. Rata-rata
Lama Sekolah Penduduk Berumur 15 Tahun ke Atas menurut Tipe Daerah dan Jenis
Kelamin, tahun 2004, 2005 dan 2006
(dalam tahun)
Jenis kelamin
|
Perkotaan
|
Perdesaan
|
Perkotaan+Perdesaan
|
||||||
2004
|
2005
|
2006
|
2004
|
2005
|
2006
|
2004
|
2005
|
2006
|
|
Laki-laki(L)
|
9,3
|
9,4
|
9,48
|
6,6
|
6,5
|
8,53
|
7,8
|
7,8
|
9,00
|
Perempuan(P)
|
8,2
|
8,4
|
6,68
|
5,5
|
5,5
|
5,72
|
6,7
|
6,8
|
6,20
|
L+P
|
8,8
|
8,9
|
7,92
|
6,0
|
6,0
|
6,97
|
7,2
|
7,3
|
7,44
|
Sumber: Indikator Kesejahteraan Rakyat, 2005 (19) dan BPS, Susenas
dalam Statistik Pendidikan, 2006 (57).
Keberhasilan Indonesia dalam pembangunan untuk
meningkatkan pencapaian melek huruf dan partisipasi penduduk agar bersekolah
memang telah membuahkan hasil yang relatif tinggi. Setelah tahun 2000, tingkat
melek huruf telah mencapai angka di atas
90%. Namun apabila dilihat dari rata-rata lama sekolah, kondisi pendidikan
Indonesia masih sangat memprihatin. Secara umum, rata-rata lama sekolah yang
masih pada kisaran 7,2 hingga 7,4 tahun selama tahun 2004 sampai 2006. Angka
ini menunjukkan bahwa pendidikan dasar 9 tahun belum sepenuhnya tercapai. Belum
tercapainya target pendidikan dasar 9 tahunmemang merupakan permasalahan yang
sangat penting. Permasalahan penting lainnya menurut Tabel 4 adalah masih
terjadinya disparitas rata-rata lama sekolah menurut wilayah kota-desa dan
jenis kelamin. Penduduk laki-laki di wilayah perkotaan telah mengenyam
pendidikan dasar 9 tahun, tetapi hal ini tidak sama dengan kaum laki-laki yang
tinggal di wilayah pedesaan.
Tabel 4 juga memberikan gambaran bahwa program Pendidikan
untuk Semua masih terjadi disparitas
antar wilayah kota-desa. Daerah perkotaan mencapai hasil yang lebih tinggi
untuk angka rata-rata lama bersekolah dibandingkan daerah perdesaan. Jika Tabel
4 telah menunjukkan betapa disparitas mengenai rata-rata lama bersekolah
terjadi antar desa-kota dan jenis kelamin, lalu bagaimanakah gambaran menurut
wilayah propinsi. Apakah rata-rata lama sekolah juga terjadi disparitas antar
propinsi? Tabel 5 di bawah ini akan menyajikan
data rata-rata lama sekolah propinsi-propinsi di Indonesia tahun 1999 dan 2002.
Tabel 5. Rata-rata Lama Sekolah di Indonesia 1999
dan 2002 (dalam tahun)
No
|
Nama Propinsi
|
1999
|
2002
|
1
|
Nangroe Aceh D
|
7,2
|
7,8
|
2
|
Sumatera Utara
|
8,0
|
8,4
|
3
|
Sumatera Barat
|
7,4
|
8,0
|
4
|
Riau
|
7,3
|
8,3
|
5
|
Jambi
|
6,8
|
7,4
|
6
|
Sumatera Selatan
|
6,6
|
7,1
|
7
|
Bengkulu
|
7,0
|
7,6
|
8
|
Lampung
|
6,4
|
6,9
|
9
|
Bangka Belitung
|
6,5
|
6,6
|
10
|
DKI Jakarta
|
9,7
|
10,4
|
11
|
Jawa Barat
|
6,8
|
7,2
|
12
|
Jawa Tengah
|
6,0
|
6,5
|
13
|
D.I. Yogyakarta
|
7,9
|
8,1
|
14
|
Jawa Timur
|
5,9
|
6,5
|
15
|
Banten
|
7,7
|
7,9
|
16
|
Bali
|
6,8
|
7,6
|
17
|
NTB
|
5,2
|
5,8
|
18
|
NTT
|
5,7
|
6,0
|
19
|
Kalimantan Barat
|
5,6
|
6,3
|
20
|
Kalimantan Tengah
|
7,1
|
7,6
|
21
|
Kalimantan Selatan
|
6,6
|
7,0
|
22
|
Kalimantan Timur
|
7,8
|
8,5
|
23
|
Sulawesi Utara
|
7,6
|
8,6
|
24
|
Sulawesi Tengah
|
7,0
|
7,3
|
25
|
Sulawesi Selatan
|
6,5
|
6,8
|
26
|
Sulawesi Tenggara
|
6,8
|
7,3
|
27
|
Gorontalo
|
6,3
|
6,5
|
28
|
Maluku
|
7,6
|
8,0
|
29
|
Maluku Utara
|
6,5
|
8,4
|
30
|
Papua
|
5,6
|
6,0
|
|
INDONESIA
|
6,7
|
7,1
|
Sumber: Laporan Pembangunan Manusia,
2004: 106-113
Disparitas rata-rata lama sekolah
juga terjadi antar propinsi di Indonesia. Tabel 5 memperlihatkan gambaran yang
sama halnya dengan Tabel 4, yaitu kondisi Indonesia secara umum yang masih jauh
dari harapan tercapainya Wajar 9 tahun. Hanya propinsi DKI Jakarta yang telah
mampu mencapainya. Hal ini ditunjukkan baik pada tahun 1999 dan 2002, rata-rata
lama sekolah diatas 9 tahun, yaitu 9,7 (1999) dan 10,4 (2002). Sedangkan
propinsi DIY yang terkenal dengan julukan kota pelajar belum mampu mencapai
nilai rata-rata lama sekolah untuk program Wajar 9 tahun. Pada tahun 1999,
rata-rata lama sekolah yang dicapainya hanya sebesar 7,9. Meskipun pada tahun
2002 rata-rata lama sekolah mengalami peningkatan tetapi tetap belum memenuhi
target untuk program Wajar karena nilainya hanya sebesar 8,1. Propinsi-propinsi
yang termasuk rendah dalam pencapaian nilai rata-rata lama studi adalah NTB,
NTT, Kalimantan Barat dan Papua.
Berkaitan dengan rata-rata lama studi adalah siswa yang mengalami putus
sekolah atau tidak lagi melanjutkan sekolah. Tabel 6 menyajikan alasan penduduk
yang berumur 7-18 tahun untuk tidak melanjutkan sekolah.
Tabel 6. Persentase
Penduduk Berumur 7-18 Tahun yang Tidak/Belum Pernah Sekolah/Tidak Bersekolah
Lagi menurut Alasan Tidak Melanjutkan Sekolah, Tipe Daerah dan Jenis Kelamin,
Tahun 2006.
|
Perkotaan
|
Perdesaan
|
Perkotaan+Perdesaan
|
||||||
L
|
P
|
L+P
|
L
|
P
|
L+P
|
L
|
P
|
L+P
|
|
1. Tidak ada
biaya
|
30,74
|
32,63
|
31,70
|
38,72
|
38,98
|
38,85
|
35,31
|
36,24
|
35,78
|
2. Tidak suka
/ malu
|
2,46
|
2,14
|
2,30
|
4,04
|
3,90
|
3,97
|
3,36
|
3,14
|
3,25
|
3. Bekerja
|
42,91
|
14,38
|
28,45
|
31,51
|
8,35
|
19,87
|
36,38
|
10,95
|
23,56
|
4. Menikah
|
2,63
|
29,57
|
16,29
|
4,24
|
26,42
|
15,39
|
3,55
|
27,78
|
15,77
|
5. Tidak
diterima+dikeluarkan
|
0,30
|
0,30
|
0,30
|
0,23
|
0,18
|
0,21
|
0,26
|
0,23
|
0,25
|
6. Sekolah
Jauh
|
0,65
|
0,95
|
0,80
|
3,38
|
4,01
|
3,70
|
2,21
|
2,68
|
2,45
|
7. Merasa
pendidikan cukup
|
9,46
|
9,02
|
9,24
|
5,78
|
5,09
|
5,43
|
7,36
|
6,79
|
7,07
|
8. Cacat
|
0,39
|
0,32
|
0,35
|
0,41
|
0,37
|
0,39
|
0,40
|
0,35
|
0,37
|
9. Menunggu
pengumuman
|
0,18
|
0,19
|
0,19
|
0,07
|
0,07
|
0,07
|
0,12
|
0,12
|
0,12
|
10. Sudah diterima tp
belum sekolah
|
0,13
|
0,13
|
0,13
|
0,07
|
0,07
|
0,07
|
0,10
|
0,09
|
0,10
|
11. Belum cukup umur
|
2,95
|
2,62
|
2,79
|
3,70
|
3,33
|
3,51
|
3,38
|
3,02
|
3,20
|
12. Lainnya
|
7,19
|
7,75
|
7,47
|
7,85
|
9,24
|
8,55
|
7,56
|
8,59
|
8,08
|
Total
|
100,00
|
100,00
|
100,00
|
100,00
|
100,00
|
100,00
|
100,00
|
100,00
|
100,00
|
Sumber:
BPS, Susenas Modul tahun 2006 dalam Statisik Pendidikan, 2006 (61)
Seperti yang dapat dilihat pada Tabel 6, permasalahan
ekonomi mendominasi alasan tidak melanjutkan sekolah, Di daerah perkotaan
maupun perdesaan sebesar 35,78% murid tidak melanjutkan sekolah karena tidak
ada biaya. Di
perdesaan, proporsi yang tidak melanjutkan sekolah karena alasan biaya lebih
tinggi sekitar 3% dibandingkan di daerah perkotaan. Kemudian sebesar 23,56%
mereka harus bekerja mencari nafkah. Proporsi penduduk laki-laki memang
mendominasi tidak melanjutkan sekolah karena mereka harus bekerja. Faktor kedua
adalah berkaitan dengan budaya yaitu menikah sebesar 15,77%. Dan sebesar 7,07%
mereka merasa bahwa sekolahnya sudah cukup. Disamping faktor ekonomi dan
budaya, faktor kekurangan infrastruktur dan fasilitas sekolah masih sebesar
2,45%.
Tabel
7. Persentase
Penduduk Berumur 10 tahun ke atas menurut Propinsi dan Ijazah/STTB Tertinggi
yang Dimiliki, 2004
No
|
Propinsi
|
Tidak mempunyai ijazah
|
sd/mi
|
sltp/mtS
|
SMU
|
1
|
Nangroe
Aceh D
|
21,48
|
29,37
|
23,44
|
19,67
|
2
|
Sumatra
Utara
|
21,92
|
28,03
|
23,94
|
18,14
|
3
|
Sumatra
Barat
|
28,92
|
27,16
|
18,99
|
16,02
|
4
|
Riau
|
23,11
|
28,94
|
20,00
|
19,13
|
5
|
Jambi
|
27,56
|
33,09
|
19,94
|
12,89
|
6
|
Sumatra
Selatan
|
27,82
|
35,10
|
18,05
|
13,15
|
7
|
Bengkulu
|
27,74
|
29,37
|
19,73
|
14,87
|
8
|
Lampung
|
31,46
|
33,43
|
19,10
|
10,43
|
9
|
Bangka
Belitung
|
37,46
|
31,94
|
14,33
|
8,56
|
10
|
DKI
Jakarta
|
12,02
|
20,29
|
21,53
|
27,01
|
11
|
Jawa
Barat
|
26,63
|
37,86
|
16,84
|
12,06
|
12
|
Jawa
Tengah
|
32,27
|
35,78
|
16,47
|
8,59
|
13
|
DIY
|
26,58
|
22,30
|
17,13
|
18,38
|
14
|
Jawa
Timur
|
34,07
|
31,98
|
16,02
|
10,58
|
15
|
Banten
|
26,85
|
32,18
|
17,54
|
15,84
|
16
|
Bali
|
30,61
|
27,95
|
13,89
|
17,95
|
17
|
NTB
|
45,19
|
26,36
|
13,55
|
10,60
|
18
|
NTT
|
41,24
|
33,32
|
11,69
|
8,66
|
19
|
Kalimantan
Barat
|
39,48
|
29,16
|
17,37
|
9,33
|
20
|
Kalimantan
Tengah
|
22,64
|
35,86
|
23,35
|
12,36
|
21
|
Kalimantan
Selatan
|
29,65
|
34,08
|
17,39
|
12,74
|
22
|
Kalimantan
Timur
|
22,39
|
26,74
|
20,66
|
19,41
|
23
|
Sulawesi
Utara
|
20,18
|
28,09
|
23,01
|
19,93
|
24
|
Sulawesi
Tengah
|
26,41
|
36,44
|
18,77
|
11,51
|
25
|
Sulawesi
Selatan
|
35,68
|
28,68
|
15,75
|
12,58
|
26
|
Sulawesi
Tenggara
|
28,96
|
31,05
|
18,68
|
14,34
|
27
|
Gorontalo
|
35,28
|
35,78
|
12,25
|
10,46
|
28
|
Maluku
|
20,72
|
33,39
|
21,22
|
17,40
|
29
|
Maluku
Utara
|
30,11
|
30,88
|
20,40
|
13,38
|
30
|
Papua
|
44,27
|
23,66
|
14,38
|
11,24
|
|
INDONESIA
|
29,40
|
32,27
|
17,62
|
13,07
|
Sumber: Statistik Kesejahteraan Rakyat , BPS, 2004:
122-123.
Seperti yang ditampilkan pada Tabel 4 dan 5
berdasarkan indikator rata-rata lamanya studi bahwa pencapaian tujuan MDGs
kedua masih jauh dari yang diharapkan. Secara nasional pada tahun 2004, hanya
sebesar 17,62% penduduk yang telah lulus program Wajar. Pada tahun yang sama persentase
terbesar penduduk Indonesia hanya memiliki ijasah kelulusan SD/MI yaitu sebesar
32, 27%. Kondisi yang sangat mememerlukan perhatian besar bahwa ternyata
persentase penduduk yang tidak lulus SD juga sangat besar yaitu 29,4%.
Sedangkan persentase penduduk yang sampai pada tingkat Sekolah Menengah
Kejuruan, Diploma I, Akademi, Universitas dan S2/S3 secara keseluruhan hanya
sebesar 7,64%.
4. Komitmen Internasional
Sebenarnya negara-negara maju
telah lama berkomitmen untuk membantu
program pendidikan di negara berkembang. Kesepakatan negara-negara maju
terutama diperuntukkan terhadap program Education
for All (EFA) yang diawali di Jomtien pada tahun 1990. Kesepakatan yang
dibangun di Jomtien, Thailand pada tahun 1990 adalah EFA dan menurunkan buta
aksara secara masif. Kemudian kesepakatan ini diperkuat setelah kemunculan
program MDGs dengan mengadakan pertemuan di Dakar pada tahun 2000. Kesepakatan yang dibangun di Dakar berisikan enam
tujuan utama yaitu:
1. Memperluas pendidikan untuk anak usia dini
2. Menuntaskan wajib belajar untuk semua (2015)
3. Mengembangkan proses pembelajaran/keahlian untuk orang
muda dan dewasa
4. Meningkatnya 50% orang dewasa yang melek huruf (2015),
khususnya perempuan
5. Menghapuskan kesenjangan gender
6. Meningkatkan mutu pendidikan
Untuk mencapai enam tujuan tersebut maka strategi
penting adalah memastikan dukungan dana dan membangun kemitraan antara
pemerintah dengan Civil Society
Organizations. Namun karena MDGs dan
program EFA dibangun melaui kesepakatan internasional maka dukungan
internasional pun sangat penting. Komunitas Donor dan Badan-Badan Multilateral menyatakan
dukungan kepadan PUS dan MDGs adalah G8, EU, The IFIS (World Bank dan ADB).
Pada konferensi mengenai pendanaan pembangunan di Monterrey Mexico, Maret 2002
dan dialog tingkat tinggi di New York, Oktober 2003, mereka berkomitmen untuk
menambahkan sumbangan untuk program EFA sebesar $16 milyar.
Tetapi, realitanya komunitas donor ini tidak memenuhi
komitmen mereka. Dukungan dana yang diberikan hanya sangat kecil yaitu $ 5
milyar (1990) dan $ 4 milyar (2000).
Sedangkan selama tahun 90an, hanya sekitar 8% dari bantuan bilateral diberikan
untuk bidang pendidikan.
Mereka justru berargumentasi bahwa negara tidak akan
dapat memenuhi pembiayaan pendidikan keseluruhan. Seperti argumen yang
dikemukakan Muchtar (2003), ketika negara miskin tidak dapat memenuhi
pembiayaan pendidikan keseluruhan maka
negara tersebut harus mendapatkan
alternatif untuk pembiayaan pendidikan dengan memberikan saran sebagai
berikut:
- Cost Recovery
- Biaya pendidikan ditanggung oleh komunitas pemakai.
- Penyediaan pelayanan pendidikan lebih besar diserahkan kepada pasar
- Sehingga partisipasi sektor swasta yang lebih besar
- Dalam rangka era desentralisasi Pemerintah Pusat memberikan beban peran lebih besar kepada pemerintah daerah
- Tidak ada lagi subsidi untuk pendidikan setingkat universitas
Saran dari Bank Dunia dan ADB ini berimplikasi pada
privatisasi pendidikan di negara-negara miskin dan berkembang.Padahal
perspektif right based approach,
pendidikan adalah hak dasar rakyat dan
negara harus menyelenggarakan pendidikan gratis dan bermutu sebagai usaha
memenuhi hak dasar ini.
Privatisasi pendidikan di Indonesia memberikan dampak
yang kontraproduktif terhadap pencapaian MDGs. Fenomena privatisasi yang
menyebabkan makin tingginya biaya pendidikan ini setidaknya berimplikasi pada:
- Terjadinya proses pemiskinan dan pembodohan pada masyarakat yang semakin kuat
- Tidak ada perhatian dan prioritas untuk:
-
Perbaikan
kualitas pendidikan
-
Program
pendidikan untuk kelompok-kelompok
masyarakat yang tidak beruntung
-
Semakin
terkotak-kotaknya masyarakat Indonesia berdasarkan status sosial ekonomi,
antara yang kaya dan miskin
5.
Pengeluaran Publik untuk Pendidikan di Indonesia
Indonesia menargetkan 100% APS di
tingkat SD dan 96% di SMP pada tahun 2009. UU No. 20/2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional menyatakan bahwa setiap anak yang berumur 7 sampai 15 tahun
harus menyelesaikan pendidikan dasar. UU No. 20/2003 ini memberikan implikasi
bahwa pemerintah seharusnya menyediakan pelayanan pendidikan gratis untuk
semua. Kemudian hal ini dituangkan dalam program Pendidikan untuk Semua (PUS)
atau sering disebut sebagai Education for
All (EFA). Program Pendidikan untuk Semua (PUS) ditujukan untuk: (i).
Seluruh siswa dapat ditampung sampai tingkat pendidikan sekolah menengah
pertama, (ii). Menjamin bahwa anak-anak dari keluarga miskin memiliki akses
yang sama dan penuh terhadap sekolah yang menyediakan lingkungan belajar yang
menarik dan pengajaran yang efektif, dan (iii). Menyediakan pendidikan dengan
mutu yang dapat dipertanggungjawabkan dan sesuai dengan kondisi sosial ekonomi
Indonesia.
Namun tantangan terberat yang dihadapi saat ini
setidaknya ada tiga hal, yaitu:
1). Kesenjangan APS antara tingkat SD dengan SMP
2). Kesenjangan APS akibat perbedaan status sosial
ekonomi terutama pada tingkat SMP
3). Kesenjangan APS karena faktor geografis.
1). Kesenjangan APS antara tingkat SD dengan SMP
Grafik 1. Angka
Partisipasi Sekolah pada Berbagai Jenjang Pendidikan, 1970-2005
Sumber: Kajian
Pengeluaran Publik Indonesia, 2007:31
Semakin tinggi jenjang pendidikan justru akan semakin
rendah Angka Partisipasi Sekolah (APS). Pada grafik 1 di atas menunjukkan bahwa
Angka Partisipasi Sekolah untuk jenjang pendidikan Sekolah Dasar (SD) yaitu
pada anak usia 7-12 tahun selalu mencapai nilai diatas 90%. Akan tetapi tidak
demikian untuk jenjang pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) yaitu anak
usia 13-15. Pada jenjang pendidikan SMP ini, Angka Partisipasi Sekolah (APS)
hanya menunjukkan kisaran 50% hingga 65% selama tahun 1995-2005. Kemudian pada
jenjang pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA), Angka Partisipasi Sekolah
semakin mengalami penurunan. Nilai APS pada jenjang pendidikan SMA ini hanya
mencapai nilai sebesar 17% pada tahun 1970 dan 41,7% pada tahun 2005.
2).
Kesenjangan APS akibat perbedaan status sosial ekonomi
Grafik 2. Partisipasi Sekolah menurut Golongan
Pendapatan 2004
Catatan: Q1= Quintile termiskin
dan Q5 = Quintile terkaya
Pada jenjang pendidikan Sekolah
Dasar (SD) yaitu pada kelompok anak usia 7-12 tahun, Angka Partisipasi Sekolah
(APS) hampir sama pada kelima kelompok berdasarkan pendapatan tersebut.
Kemudian pada jenjang pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP), Angka
Partisipasi Sekolah (APS) mulai terjadi perbedaan antar golongan masyarakat
menurut tingkat pendapatannya. Tetapi perbedaan pada jenjang pendidikan Sekolah
Menengah Pertama (SMP) tidak setajam seperti pada jenjang pendidikan Sekolah
Menengah Atas (SMA). Selain tidak terjadi perbedaan yang tajam antar golongan
masyarakat yang didasarkan pada tingkat pendapatan, Angka Partisipasi Sekolah
pada jenjang pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) juga mencapai nilai yang relatif lebih tinggi
dibandingkan dengan pencapain APS pada jenjang pendidikan Sekolah Menengah Atas
(SMA). Angka Partisipasi Sekolah (APS) ini mengalami perbedaan yang cukup tajam
antar kelompok pendapatan pada jenjang pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA)
yaitu pada anak usia 16-18 tahun.
Disamping terjadi perbedaan yang
cukup tajam antar golongan masyarakat yang didasarkan pada tingkat pendapatan,
Angka Partisipasi Sekolah pada jenjang pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA)
juga tidak mampu mencapai nilai yang tinggi sebagaimana tingkat pencapain APS
pada jenjang pendidikan Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Banyak aspek yang mempengaruhi
terjadinya disparitas dalam pemenuhan pendidikan seperti kemiskinan, bencana
alam, krisis, perang, eksklusi sosial serta alokasi investasi publik yang tidak
tepat. Tingginya perbedaan APS antar kelompok masyarakat berdasarkan pada
status sosial ekonomi terutama pada jenjang pendidikan menengah sangat tidak
menguntungkan. Apabila distribusi akses pendidikan terlalu asimetris maka
terdapat kerugian yan amat besar karena kemampuan masyarakat tidak dimanfaatkan
dengan optimal (Thomas, et.al. 2000:58-59). Fenomena seperti ini tentu saja
memberikan implikasi bahwa negara harus memiliki peran yang lebih besar.
Grafik 3. Persentase Pengeluaran Publik untuk Bidang Pendidikan
Sumber: Kajian Pengeluaran Publik
Indonesia 2007:34 (diolah)
Dewasa ini negara-negara berkembang makin meningkatkan perhatiannya pada bidang pendidikan dibanding selama era tahun 1980. Hal ini cukup beralasan karena masyarakat dengan tingkat pendidikan yang baik maka akan memberikan kontribusi yang besar terhadap proses pembangunan. Peningkatan persentase pengeluaran publik untuk bidang pendidikan juga dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Sejak tahun 2001, Indonesia telah mengalami peningkatan persentase pengeluaran publik untuk bidang pendidikan.
Namun demikian, persentase pengeluaran publik untuk bidang pendidikan negara-negara berkembang tetap masih lebih kecil dibandingkan negara maju. Di negara berpendapatan tinggi (high-income countries), persentase pengeluaran publik untuk bidang pendidikan sebesar 5,6% dari GDP, sementara negara berpendapatan menengah (middle-income countries) sebesar 4,4% dari GDP dan negara miskin (low-income countries) hanya sebesar 3,4 (Tatyana, 2000 dan HDI, 2006). Berikut data pengeluaran publik untuk bidang pendidikan di empat negara ASEAN yaitu Malaysia, Thailand, maupun Filipina. Indonesia menempati posisi paling bawah untuk pengeluaran publik bidang pendidikan yaitu hanya 14,2%. Semenatara itu, Malaysia dan Thailand yang menempati posisi paling atas untuk pengeluaran publik bidang pendidikan yaitu 27% sedangkan Filipina sebesar 16%. Kondisi yang memprihatinkan lagi bahwa PDB perkapita di Indonesia paling rendah diantara empat negara ASEAN tersebut, tetapi persentase pengeluaran publik untuk bidang pendidikan justru yang paling rendah. Kondisi ini memberikan implikasi bahwa biaya pendidikan akan menjadi tanggung jawab yang lebih besar bagi masyarakat meskipun Indonesia hanya memiliki PDB perkapita rendah.
Tabel 8. Pengeluaran Publik Bidang Pendidikan di Malaysia, Thailand, Filipina dan Indonesia tahun 2004
|
malaysia
|
THAILAND
|
filipina
|
indonesia
|
Persentase
pengeluaran publik untuk bidang pendidikan dari total pengeluaran pemerintah
|
28
|
27
|
17,2
|
9
|
Per kapita PDB (harga US$ pada konstan 2000)
|
4.290
|
2.356
|
1.085
|
906
|
Jumlah penduduk (juta)
|
24,4
|
63,7
|
81,6
|
217,6
|
Persentase jumlah penduduk
berumur 0-14
|
3,0
|
4,1
|
2,8
|
3,5
|
Sumber: Tabel HDI 2006
Setelah diketahui bahwa komitmen pemerintah Indonesia terhadap bidang pendidikan berada pada peringkat yang paling bawah diantara negara-negara Malaysia, Thailand dan Filipina. Selanjutnya bagaimanakah pembagian kewenangan dan tanggung jawab antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah setelah era desentralisasi dan otonomi daerah. Selama masa pemerintahan Orde Baru, anggaran bidang pendidikan menjadi beban pemerintah pusat secara keseluruhan. Setelah era desentralisasi dan otonomi daerah seharusnya porsi anggaran akan lebih besar menjadi tanggung jawab kepada pemerintah kabupaten/kota. Kemudian bagaimana nasib dunia pendidikan setelah era desentralisasi dan otonomi daerah ini? Berikut di bawah ini akan ditampilkan tabel untuk melihat komposisi pengeluaran publik untuk sektor pendidikan berdasarkan tingkat pemerintahan.
Tabel 9. Komposisi Pengeluaran Publik untuk Sektor Pendidikan berdasarkan Tingkat Pemerintahan, 2001-2004
Tingkat
Pemerintah
|
2001
|
2002
|
2003
|
2004
|
||||
Rp
|
%
|
Rp
|
%
|
Rp
|
%
|
Rp
|
%
|
|
Pusat
|
14,1
|
33
|
14,7
|
29
|
22,5
|
35
|
19,4
|
31
|
Pembangunan
|
8,5
|
60
|
9,2
|
62
|
15,6
|
69
|
12,3
|
63
|
Rutin
|
5,6
|
40
|
5,6
|
38
|
6,9
|
31
|
7,1
|
37
|
Propinsi
|
1,9
|
4,6
|
4,0
|
7,8
|
3,9
|
6,1
|
3,8
|
6
|
Pembangunan
|
1,4
|
70
|
2,6
|
66
|
3,1
|
80
|
3,0
|
79
|
Rutin
|
0,6
|
30
|
1,4
|
34
|
0,8
|
20
|
0,8
|
21
|
Kab/Kota
|
26,2
|
62
|
32,6
|
63
|
38,3
|
59
|
39,8
|
63
|
Pembangunan
|
3,0
|
11
|
4,6
|
14
|
5,3
|
14
|
4,6
|
12
|
Rutin
|
23,2
|
89
|
28,0
|
86
|
33,0
|
86
|
35,2
|
88
|
Total
|
42,3
|
100
|
51,3
|
100
|
64,8
|
100
|
63,1
|
100
|
Sumber: Kajian Pengeluaran
Publik Indonesia 2007, hal:35.
Kondisi yang demikian ini tidak akan mampu menjadi faktor pendorong terhadap peningkatan kualitas pelayanan pendidikan. Akibatnya biaya untuk pelayanan pendidikan akan dibebankan kepada masyarakat. Sementara itu dilihat bahwa PDB perkapita Indonesia paling rendah diantara negara-negara Malaysia, Thailand dan Filipina maka akan menjadi sulit bagi masyarakat Indonesia untuk mencapai pendidikan yang baik. Hal ini dapat dilihat pada pencapaian APS untuk jenjang pendidikan yang semakin tinggi maka APS semakin rendah.
6. Komitmen Pemerintah yang
Melemah
Komitmen pemerintah yang kurang terhadap anggaran bidang pendidikan memunculkan sejumlah problema sosial. Dampak yang paling kronis adalah belum tercapainya Wajib Belajar 9 tahun secara merata. Disamping itu, rendahnya anggaran ini juga berakibat bahwa pendanaan pendidikan menjadi tanggungjawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat seperti yang tertuang pada UU No 20 tahun 2003 pasal 34 ayat 3. Pasal tersebut jelas bertentangan dengan amanat UUD 1945. Menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat telah membangun logika aparatur pemerintah bahwa pemerintah bertanggung jawab separuh dan separuh lagi ditanggung oleh masyarakat yaitu orang tua siswa. Hal ini memunculkan legalitas bahwa sekolah memungut berbagai iuran dan sumbangan kepada orangtua siswa. Akibatnya pendidikan menjadi mahal dan hanya menyentuh kelompok masyarakat dengan status ekonomi menengah keatas. Sehingga anak-anak dari kelompok masyarakat miskin tidak mampu membiayai sekolah. Jika kita membuat perbandingan antara rata-rata penghasilan penduduk Indonesia dengan rata-rata biaya pendidikan memang akan terlihat betapa mahalnya pendidikan di Indonesia. Berikut ini kutipan tabel mengenai rincian biaya pendidikan selama satu tahun yang dihimpun oleh Balitbang Depdiknas.
Tabel 10. Biaya Pendidikan
Siswa per Tahun
Jenis&Jenjang
Pendidikan
|
Biaya Satuan Pendidikan Per Tahun (dalam ribu rupiah)
|
||||||
Buku + ATK
|
Pakain + perlengkapan sekolah
|
Transportasi
|
Karyawisata
|
Uang saku
|
Iuran Sekolah
|
Total
|
|
SD
|
245,5
|
348,0
|
331,5
|
55,0
|
492,5
|
317,5
|
1.790,0
|
MI
|
200,5
|
298,5
|
215,0
|
42,5
|
374,0
|
150,0
|
1,280,5
|
SMP
|
264,0
|
346,5
|
374,0
|
64,5
|
646,0
|
501,5
|
2.196,5
|
MTs
|
183,0
|
318,5
|
242,5
|
57,0
|
495,0
|
296,5
|
1.592,5
|
Sumber:
Balitbang Depdiknas dalam Ujiyati 2005:27
Tabel 11. Data Siswa Bunuh Diri Karena Biaya Sekolah
Tanggal
|
Nama
|
Umur
|
Sekolah
|
Motif
|
Juni 1997
|
Wartini
|
13
|
SD Samarinda Kaltim
|
Malu dituduh nunggak uang SPP
|
Agustus 2003
|
Heryanto
|
12
|
SD Garut, Jawa Barat
|
Gantung diri, malu tidak bayar uang ketrampilan Rp
2500 namun selamat
|
Juni 2004
|
Soleh
|
14
|
|
Orang tua tidak sanggup bayar ujian akhir. Selamat
|
Mei 2005
|
Eko Haryanto
|
15
|
Kecamatan Kramat, Tegal, Jateng
|
Gantung diri, malu nunggak uang
sekolah
|
Mei 2005
|
Jarwanto
|
16
|
SMP Jatoroto, Wonogiri Jateng
|
Gantung diri, malu belum bayar
SPP
|
Sumber: Data Media Indonesia 22 Mei
2005 dalam (Ujiyati 2005:23)
Meskipun data yang pasti mengenai jumlah anak bunuh diri akibat masalah biaya sekolah juga tidak ada. Tetapi data yang berhasil dihimpun oleh Media Indonesia tersebut telah mampu merefleksikan betapa persoalan biaya sekolah telah menjadi beban serius bagi sebgaian kelompok masyarakat miskin di Indonesia.
7.
Kesimpulan
Ada empat aspek yang perlu kita
perhatikan dari tulisan di atas:
- Pemerintah belum memiliki political will terhadap tujuan kedua dari Pembangunan Milenium sebagai prioritas dalam pembangunan. Hal ini terbukti bahwa alokasi anggaran untuk bidang pendidikan masih rendah. Akibat kemauan poiltik pemerintah yang rendah ini, maka kebijakan pendidikan cenderung bersifat pragmatis.
- Komitmen pemerintah sebagaimana tertuang pada pasal 31 UUD 1945 dan pasal 34 UU No tahun 2003 ternyata mengalami “pengingkaran”. Pemerintah agaknya ingin melimpahkan sebagian tanggung jawab pendidikan dasar 9 tahun yang wajib diikuti oleh seluruh masyarakat justru kepada masyarakat itu sendiri. Melemahnya komitmen pemerintah terhadap kewajiban penyelenggaran pendidikan dasar ini semakin tampak dalam pasal 46 ayat 1UU no 20 tahun 2003, yang menyatakan bahwa pendanaan pendidikan menjadi tanggungjawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat.
- Otonomi daerah justru makin mempersulit pencapaian MDGs karena lemahnya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah
- Dukungan lembaga internasional terhadap pencapaian MDGs juga masih jauh dari harapan. Yang semestinya dunia internasional memberi dukungan besar karena masalah pendidikan masih merupakan masalah kronis di negara berkembang.
Diskusi mengenai kebijakan dan permasalahan di
atas membawa sejumlah rekomendasi sebagai berikut:
- Pemerintah semestinya lebih meningkatkan prioritas pembangunan bidang pendidikan mengingat permasalahan pendidikan di Indonesia masih relatif besar dengan belum tercapainya target pendidikan dasar untuk semua. Strategi yang paling tepat untuk mengatasi masalah ini adalah meningkatkan alokasi APBN dan APBD untuk bidang pendidikan.
- Pemerintah juga nampaknya melibatkan masyarakat dalam pembiayaan Wajib Belajar 9 Tahun. Akibatnya pendidikan dasar di Indonesia mahal karena subsidi pemerinath yang rendah, dan orang tua siswa harus menanggung biaya yang besar. Dalam kondisi seperti ini, lapisan masyarakat yang paling miskin akan mengalami kesulitan. Mengingat permasalahn ini, maka rekomendasi yang ditawarkan pemerintah hendaknya membuat peraturan tentang perpanjangan masa pakai buku pelajaran dan meningkatkan penyediaan buku pelajaran oleh pemerintah yang gratis.
- Perbaikan infrastruktur pendidikan adalah kebutuhan mendesak, mulai dari gedung sekolah, jembatan, jalan beserta fasilitas lainnya.
- Mendesak lembaga donor dan perusahaan multinasional untuk turut berperan dalam mewujudkan program education for all. Untuk perusahaan multinasional misalnya melalui Corporate Social Responsibility (CSR).
Alston, Philip. 2004, A Human Rights Perspective on the Millennium Development Goals, Contributed paper to the work of the Millennium Project Task Force on Poverty and Economic Development, New York.
Arowolo, Oladele.Achieving the MDGs with Equity: Need for the Human Rights Based Approach, UNFPA (Contributed paper, at the Fifth African Population Conference: Arusha, Tanzania, 10-14 December, 2007)
Dwiyanto, Agus et.al. 2003. Reformasi Tata Pemerintahan dan Otonomi Daerah. Yogyakarta: Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan.
Purwanto, Erwan Agus. 2006. Pembagian Kewenangan dalam Pelayanan Publik antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Jurnal Kebijakan dan Administrasi Publik (JKAP) v.10(2).
Soubbotina, Tatyana P. 2000. Beyond Economic Growth: An Introduction to Sustainable Development. World Bank
Thomas, Vinod et.al. 2000. The Quality of Growth. World Bank.
Ujiyanti, Tatak Prapti 2005. Reformasi Pendidikan Dasar di Indonesia. Policy Assessment, The Indonesian Institute
Kompas, Indeks Pendidikan Indonesia Menurun, Kompas 31 Desember 2007
UNDP, 2006. Human Development Index.
Badan Pusat Statistik, 2006. Statistik Pendidikan, Jakarta.
…………, 2005. Statistik Kesejahteraan Rakyat, Jakarta.
…………, 2005. Indikator Kesejahteraan Rakyat, Jakarta.
Post a Comment